Pages

Historiografi Katolisitas di Nusantara

Historiografi Katolisitas di Nusantara
Sebuah tinjauan historis, teologis dan sosiologis..

Pengantar:
Pada umumnya, sejarah agama Katolik di dunia, lebih dipahami sebagai rangkaian peristiwa penting, lengkap dengan tanggal, tempat kejadian, dan pelakunya. Singkatnya, sejarah agama melulu menjadi kronologi peristiwa. Padahal, sejarah agama yang dipahami sebagai kronologi peristiwa, dan dipersempit pada sejarah kekuasaan, akan menciptakan masyarakat yang kehilangan rasa kesejarahannya, lack of sense of history.

Rasa kesejarahan sendiri mengajak orang memahami kehidupan bertolak dari masa lampau sekaligus melihat kaitannya dengan situasi dan tuntutan aktual yang terarah pada masa depan yang menantang dalam pelbagai aspek kehidupan yang melingkupinya.  

Di lain matra, diakui bahwa perspektif historis-sosio dan kultural setiap agama mempunyai dimensi politis. Sejarah agama sebagai -sebuah teks perlulah memperhitungkan konteks sosio-kultural masyarakat sebagai keseluruhan terutama ketika berinteraksi satu sama lain.

Konteks seperti ini wajar pernah dan akan memasukkan agama Katolik dalam suka duka dan jerih payah yang kerap menghasilkan gesekan, benturan, konflik dan bahkan meletus menjadi konflik kekerasan yang tak berujung pangkal.

”HISTORIOGRAFI AGAMA ini sendiri dimunculkan, dengan maksud untuk memberi sumbangan kritis, agar kita menempatkan sejarah agamanya dalam aspek kesejarahan di tengah masyarakat yang luas dengan pendekatan pelbagai bidang ilmu, minimal bidang sosiologi dan kultural.

Jelasnya, lebih dari sekedar menyoroti sejarah agama Katolik sebagai kronologi peristiwa, seri ini mengajak kita untuk memahami sebuah peristiwa sejarah dengan lingkup pemikiran yang hidup pada masanya beserta pelbagai situasi yang membuat peristiwa sejarah berlangsung.

Akhirullallam, ’jangan sekali-kali melupakan sejarah’!!! Slogan ‘Jas Merah’ yang ditelorkan oleh Soekarno ini, kiranya tepat. Karena, jelas jika kita tidak mengenal sejarah, kita tertakdir mengulangi pelbagai kekeliruan agama dari masa lampau. Bukankah, jika kita memahami sejarah, kita mampu menanggapi situasi sekarang secara bijak dalam bingkai pemikiran yang luas?

Sejarah Gereja Indonesia sendiri bisa dibagi dalam beberapa era:
ERA KRUSIAL

Dalam kurun waktu 1900-1929 Gereja Katolik, dalam hal ini orang-orang Katolik (di) Indonesia, tengah membangun infrastruktur.

Maksudnya, tata kepemimpinan yang bercorak hierarkis-sentralistik yang dimaksudkan untuk melayani dan membantu semua anggota Gereja mewujudkan dan mengungkapkan iman kepercayaannya mulai dirintis dan ditegakkan. Berikut ini saya utarakan sejumlah highlights dan nuansa dominannya.

1. Perfektur dan Vikariat di Pulau-Pulau Sekitar Jawa.
Setelah tahun 1900, jumlah orang Katolik pribumi cenderung meningkat (yang nota bene pertumbuhan kuntitatif sangat signifikan itu justru terjadi pada pasca Indonesia merdeka).

Tidak hanya di tempat di mana ada imam tinggal sehingga ia dapat mengadministrasikan sakramen dan penyebaran Injil, tetapi dalam perjalanan di beberapa wilayah para misionaris berpendapat bahwa di wilayah lain juga ada kemungkinan sebagai tempat tinggal tetap para imam. Untuk melaksanakan hal ini diperlukan misionaris yang jumlahnya besar, entah dari anggota tarekat religius (biarawan) entah imam diosesan.

Mengingat izin berkarya di Hindia Belanda hanya diperuntukkan bagi misionaris Belanda, maka pelayanan sakramental di wilayah pendudukan sangat tergantung pada jumlah panggilan di Nederland.

Sejarah mencatat sikap simpati Raja Wilhelm II terhadap orang-orang Katolik. Situasi ini, didorong oleh efek revolusi-revolusi Eropa pada 1848, mengkondisikan orang-orang Katolik menuntut suatu konstitusi yang menjamin dibukanya kembali seminari-seminari dan perlindungan yuridis terhadap kongregasi religius.

Jadi, ada gerakan internal dalam Gereja untuk melakukan karya misioner. Pada saat itu pula, Negeri Belanda mencapai stabilitas politis dan karenanya dapat memberi perhatian yang lebih besar lagi pada koloni-koloni Asia Tenggara.

Dengan Konstitusi 1848, banyak kongregasi religius direstorasi. Inilah yang menyebabkan sekitar tahun 1900 Belanda dapat mengirimkan sejumlah besar misionaris ke Hindia Belanda.

Suasana kondusif dan keinginan untuk menciptakan harmoni, kerjasama dan malah keseragaman di berbagai wilayah ini telah memotivasi pada pimpinan wilayah gerejawi untuk membentuk pada 15-16 Mei 1924 sebuah konferensi, yang sekarang disebut Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).

Di sana diputuskan untuk mendirikan sekretariat permanen yang dipimpin oleh seorang imam, yang disebut Delegatus missionis. Tugasnya antara lain ialah mewakili di hadapan otoritas pemerintah kepentingan misi Katolik, yang pertama-tama persekolahan, dan mengusahakan kebebasan bagi para imam untuk mengunjungi seluruh wilayah Hindia Belanda.

Setahun kemudian, Paus Pius XI menugaskan Mgr. Bernardus Jordanus Gijlswijk OP (nuntius untuk Afrika Selatan) untuk melakukan visitasi ke Hindia Belanda.

Ia tiba di Batavia, 19 Juli 1925. Dari 31 Agustus–8 September di bawah pimpinan Mgr. Velsen diadakan rapat. Hadir di sana 4 (empat) vikarius dan 4 (empat) perfektur apostolik. Didiskusikan saat itu formasi calon imam pribumi, perlunya para misionaris mempelajari bahasa setempat (di mana ia bekerja), pentingnya ikhtiar pengintegrasian antara kebudayaan lokal dan manifestasi agama Katolik (misalnya arsitektur gereja, liturgi).

Pada tahun 1926-1946 kepentingan-kepentingan Gereja Indonesia diwakili oleh delegatus apostolik di Australia, tinggal di Sydney, sementara itu internuntius di Den Haag mewakilkan kepentingan Gereja di hadapan pemerintah Belanda.

2. Misionaris Katolik dan Zending Protestan.
Dibandingkan dengan gerakan evangelisasi Katolik  dalam kurun waktu ini penyebaran dan kebangkitan kembali Gereja Katolik merupakan sebuah gerakan dari atas ke bawah.

Dalam pasal 123 Konstitusi Hindia Belanda ditegaskan, pemerintah berkuasa menetapkan wilayah-wilayah yang dikhususkan bagi para misionaris Katolik dan zending Protestan. Ini berarti Konstitusi menafikan misi ganda, yakni pihak Katolik tidak boleh berkarya di wilayah “Protestan” atau “Muslim”.

Pada tahun 1920, ketika dalam parlemen di Den Haag didiskusikan rencana untuk meninjau kembali Konstitusi tersebut, banyak anggota parleman yang mendesak agar pasal itu ditiadakan. Namun, Pasal 177 Konstitusi  (tahun 1925) tetap mempertahankan esensi dari pasal 123. Artinya, ada wilayah tertentu di nusantara ini yang tetap tertutup bagi misionaris dan kegiatan Katolik. Wilayah orang-orang Batak, Toraja, Dayak, Papua, penduduk kepulauan Sumba (kendati kehadiran misionaris Katolik di sini sudah sejak abad sebelumnya) dan Timor Selatan tetap tertutup bagi misionaris Katolik.

Para misionaris Katolik dapat bekerja dengan bebas untuk “menyelamatkan” penduduk Papua bagian selatan dan menjadikannya “modern”; Nusa Tenggara tidak dapat dimengerti tanpa Gereja dan gerakan evangelisasi, bahkan “dimajukan oleh Gereja”; Mobilitas sosial dan religius dikembangkan di antara orang Cina dan Dayak; Sumatera Selatan dimajukan oleh kebijakan migrasi kolonial; Kai-Tanimbar menjadi pusat misi ke-2 di Indonesia Timur; Timor dan Sumba pada akhirnya mencitrakan dialog-kehidupan ekumenis.

Tetapi pada mulanya tenaga zending Protestan menduduki wilayah yang strategis dan empuk, dan dalam tahun 1980 jumlah orang Protestan sekitar 10 juta, yang paling tinggi di antara semua orang protestan Asia.

Di Flores (1914) didirikan nukleus SVD, yang sebagian diusir dari Togo yang sampai saat itu menjadi koloni Jerman di Afrika Barat (kendati beberapa misionaris itu bukan warga negara Belanda, mereka tetap diizinkan).

Ketika seorang Jerman Mgr. Henrich Leven (1933) menjadi vikarius apostolik, ia melakukan “pembelandaan”. Di “Pulau Bunga” Gereja Katolik memiliki kesempatan dan kemungkinan yang sangat khusus. Di antara misi Katolik dan pemerintah Hindia Belanda ada kesepakatan pada tahun 1913 menyangkut sistem pendidikan di pulau itu, yaitu diserahkan secara khusus pada misi. Sekolah-sekolah dapat mengambilalih program pemerintah, dan tenaga pengajarnya digaji oleh pemerintah.

Juga di Jawa, para imam, biarawan dan biarawati mengabdikan diri pada reksa rohani terhadap orang-orang Belanda yang beragama Katolik dan beberapa orang Cina yang beralih kepada kekristenan (terutama di kota-kota besar).

Disini kemudian didirikan paroki-paroki yang baru dan sejumlah sekolah. Seperti halnya di Belanda, demikian juga di Hindia Belanda institut pendidikan konfesional disetarakan dengan sekolah umum, terutama dalam hal konstruksi bangunan sekolah, program pendidikan dan gaji para pengajar.

Hanya di Jawa Tengah berkembang secara bertahap Gereja pribumi lantaran prakarsa Pater van Lith SJ.  Salah satu inisiatifnya adalah mendirikan sekolah pendidikan guru di Muntilan, 1914 (dan sekolah Mendut) dengan sasaran: mempersiapkan penanganan pendidikan orang-orang Jawa.

Terjadi pula bahwa lulusan sekolah ini dibenum oleh pemerintah Hindia Belanda untuk mengajar di sekolah umum yang dibanjiri oleh bumi putera. Para pengajar ini menjadi medium signifikan bagi penyebaran Gereja Katolik.

Bersama dengan rekan-rekannya dalam lembaga pendidikan guru di Muntilan, van Lith yakin bahwa di antara alumni dapat ditemukan calon-calon imam. Keyakinan itu memang menjadi kenyataan. Mereka ini kemudian menerima usulan untuk mencoba melakukan pendidikan bagi para calon imam.

Pernah dipersoalkan mana yang lebih menguntungkan: mendidik calon-calon imam diosesan atau mendorong calon untuk masuk Serikat Jesus.

Vikarius Apostolik Batavia, Mgr. E.S. Luypen, tidak mau mengambil alih tanggungjawab dalam hal pendidikan para calon imam pribumi. Ia memiliki pengalaman buruk. Sebab di Nusa Tenggara, ia sudah mencoba mewujudkan gagasan pendidikan bagi para calon imam pribumi, akan tetapi tiada hasil.

Selama lima puluh tahun, orang mengusahakan pendidikan tersebut disana baru kelihatan hasilnya. Tidak demikian halnya di Jawa Tengah. Hasil pendidikan setengah abad di Nusa Tenggara sama dengan hasil duabelas tahun pendidikan di Jawa Tengah.

Pada akhirnya, Serikat Jesus menjadi pengemban utama formasi imam. Nantinya Serikat memanen para anggota dari Jawa.

3. Kiprah Orang-Orang Katolik dalam Bidang Sosial-Politik
Pada awal abad ke-20 jumlah orang Belanda yang menetap di bagian Indonesia Timur bertambah. Pertambahan ini berkenaan juga dengan tuntutan situasi kekuasaan kolonial atas penduduk kepulauan Nusantara yang berkaitan dengan interes ekonomis dan politik. Sementara itu muncul resistensi di antara penduduk pribumi terhadap pendudukan dan kekuasaan Belanda. Para kolonialis sendiri memakai istilah Hindia Belanda; sedang orang-orang pribumi menggunakan istilah Indonesia.

Eksistensi dan pergumulan orang-orang Katolik Indonesia tidak dapat diceraikan dengan suasana dan pergumulan bangsa Indonesia. Adalah Boedi Oetomo (BO) yang lahir pada tahun 1908, yang berarti aspirasi atau cita-cita luhur. Organisasi ini menginspirasikan berdirinya aneka lembaga yang bersifat kejawaan, yang berpretensi mempertahankan kebudayaan sendiri di samping menggalakkan pendidikan gaya Barat.

Dalam rapat-rapat BO, sesekali diungkapkan kemauan untuk melakukan oposisi terhadap Islam, sejauh Islam tidak memperlihatkan sikap respek terhadap kebudayaan bangsa Indonesia dan khususnya suku Jawa. Selain BO, juga berdiri organisasi yang memiliki kepedulian pada kultur nasional (1912), yang diinspirasikan oleh Sarikat Islam (SI). Program organisasi ini sangat jelas sejak semula: melaksanakan dengan setia kewajiban keagamaan, dan pendidikan manusia seturut nafas dan jiwa Islam.

Dengan lahirnya dua organisasi seperti BO dan SI mencuatlah masalah yang memainkan peranan utama dalam sejarah gerakan nasional Indonesia dan akhirnya memotivasi  kemerdekaan Indonesia. Dalam kenyataannya, hal utama dalam peredaksian Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 akan sangat tergantung selain pada pemenuhan aspirasi kemerdekaan, juga pada formasi intelektual modern. BO dan SI ternyata tidak bersatu dalam dasar ideologis berkenaan dengan negara yang baru saja merdeka.

Setelah dua organisasi itu berdiri, orang-orang Katolik Jawa Tengah juga tidak berlambat-lambat dalam mengungkapkan minat mereka di bidang politik. Sementara itu, orang-orang Katolik Belanda memberikan inspirasi perihal peran serta aktif dalam administrasi koloni-koloni. Pada mulanya orang-orang Jawa melibatkan diri dalam perserikatan cabang lokal dari BO, tetapi pada tahun 1917 orang-orang Katolik Belanda mendirikan sebuah partai politik otonom, Indische Katholieke Partij (IKP).  Program kerja partai ini sangat gamblang: Partai menganggap sangat menguntungkan peran serta bumi putera dalam administrasi urusan-urusan publik, wilayah, dan negara, juga mempersiapkan otonomi (pemerintahan sendiri), meski dalam sikap hormat terhadap kedaulatan Negeri Belanda. Sejak saat itu orang-orang Katolik Jawa pada mendaftarkan diri masuk dalam partai yang baru.

Pada tanggal 21 Mei 1918 diresmikan di Jakarta, Dewan Rakyat, yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda dengan maksud untuk membantu pemerintah pusat dengan peranan konsultatif. Dapat disimak dalam lembaga itu adanya niat pemerintah Hindia Belanda, yakni memperluas kompetensi Dewan, yang beranggotakan orang-orang Belanda dan wakil-wakil penduduk pribumi. Dalam hal ini IKP, yang praktis merupakan partai politik orang-orang Katolik Eropa, diwakili oleh seorang Belanda. Sampai di sini Steenbrink tidak banyak mengulas bagaimana relasi antara IKP dengan PPKD (Pakempalan Politik Katolik Djawi), yang semula bernama Katholieke Javanen Vereeniging vor Politieke Actie.

Dengan maksud untuk mempersiapkan perluasan dan efektivitas fungsi dewan, pemerintah Belanda mendirikan sebuah komisi. Pater van Lith, yang sudah dikenal di kalangan orang Katolik Jawa, dipilih sebagai wakil dari pihak Katolik. Masalah krusial terletak dalam memutuskan apakah para wakil rakyat Indonesia memiliki hak pilih yang sama dengan rakyat yang diwakili oleh orang-orang Belanda. Pater van Lith menegaskan, dalam hal ini tidaklah banyak artinya mengingat Dewan Rakyat bentukan pemerintah Belanda itu telah mengatur agar mayoritas secara otomatis selalu merupakan previlese Belanda. Tambahnya, keputusan-keputusan yang diambil oleh Dewan Rakyat hanya sah jika sudah mendapat persetujuan dari semua dan dua perwakilan (Belanda dan pribumi).

Pater van Lith pada tahun 1922 pernah meramalkan bahwa pada suatu hari orang-orang Belanda akan diusir dari wilayah kepulauan ini. Ia juga menegaskan, banyak orang di Belanda tidak mengerti situasi nyata wilayah kepulauan ini. Mereka percaya bahwa semua akan tetap lestari seperti sekarang ini. Mereka semua keliru, mengingat suatu zaman dan dunia yang baru sedang menantikan kelahiran. Siapa yang arif bestari akan harus bebenah diri dan siap menerima perubahan yang merupakan keniscayaan.

Menurut van Lith, kepentingan utama orang Katolik adalah tidak membebani diri sendiri sebagai pihak yang bertanggungjawab atas lahirnya sistem pemerintahan yang menindas dan merendahkan orang-orang pribumi.

Dalam bulan Februari 1923, di Jogjakarta berkumpullah F.S. Harjadi (kepala sekolah), Raden Mas Jakobus Soejadi Djajasepoetra (seorang dokter hewan di Purwokerto), dan Ignatius Joseph Kasimo Endrawahjana (konsultan pertanian di Tegalgondo, Surakarta) bersama dengan sekitar empatpuluh orang muda Katolik alumni lembaga pendidikan pengajaran di Muntilan, seperti C. Pranoto dan F. Soetrisno.

Pertemuan ini menjadi ancangan bagi lahirnya partai katolik yang baru, Pakempalan Politik Katolik Djawi pada 5 Agustus 1923. Dua Minggu berikutnya statuta paguyuban tersebut diserahkan kepada pemerintah untuk disahkan.

Pada mulanya organisasi yang baru ini berkonfederasi dengan Indische Katholieke Partij,  tetapi kemudian orang-orang Katolik Jawa memisahkan diri dan menjadi otonom. Di sini juga Steenbrink melihat kemustahilan kesatuan politik antara orang-orang Katolik Eropa dan Jawa, yang masing-masing memiliki kepentingan yang tidak terdamaikan.

Dalam sejarahnya, ketika terjadi pemungutan suara atas masalah-masalah yang berkenaan dengan prinsip-prinsip nasional orang-orang Katolik Jawa berbicara bersama dengan para wakil dari partai-partai Indonesia yang lain, seperti BO dan SI. Sementara itu, orang-orang Katolik Belanda bersekutu pada pihak orang-orang Belanda lainnya.

Pater van Lith wafat pada 9 Januari 1926, beberapa bulan sebelum berlangsungnya tahbisan imam pertama Indonesia, F.X. Satiman SJ di Maastricht 15 Agustus 1926.

Imam baru ini kemudian berkarya sebagai pastor paroki di antara mantan anggota Jemaat Kijahi Sadrach Suryapranata di Kalibawang.  Sayangnya, Satiman "meninggalkan Serikat" pada 7 September 1940 setelah ditempatkan di Kolese Santo Ignatius (Jogjakarta), sejak 1936. Rm FX Satiman sendiri menjadi Rm Antonius Satiman dan hidup bersama para rahib Trappist di Rawaseneng sampai meninggalnya pada 11 Juni persis 50 tahun yang lalu.

Sebenarnya, van Lith bukannya belum melihat separasi politik antara murid-muridnya dengan orang-orang Belanda. Sebab sebenarnya sejak tahun 1920-an para imam sudah menginsafi bahwa cita-cita adanya satu front Katolik yang kompak dan solid di bidang sosial-politik merupakan hal yang mustahil. Karena ketiga kelompok yang ada, yakni bumi putera, Eurasia, dan orang-orang Eropa yang baru saja tiba di koloni itu, terlalu berbeda.

KURUN KRISIS
Sebagaimana setiap krisis yang terjadi dapat menciptakan kehancuran, tetapi dapat pula mendewasakan, demikian pula orang-orang Katolik di Indonesia saat itu. Eksistensi ‘keindonesiaan’-nya pada kurun waktu ini menepati apa yang digarisbawahi dalam Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes, art. 1.

Pada tanggal 10 Mei 1940, Negeri Belanda diduduki pasukan NAZI, Jerman. Ratu dan pemerintah Belanda yang berada di pengasingan (London) berusaha bersikap fleksibel di hadapan cita-cita kemerdekaan orang-orang Indonesia. Setelah Pearl Harbour porak poranda akibat serangan kilat 7 Desember 1941, laskar Dai Nippon mulai bergerak ke Asia Timur Laut, termasuk Indonesia. Orang-orang Nippon itu berusaha mencari dukungan dari para pemuka bangsa Indonesia entah dari kelompok nasionalis entah dari kelompok agamis.

Dalam rangkaian pembicaraan bersama kelompok yang terakhir ini memperoleh posisi yang jauh lebih baik ketimbang saat dikuasai kolonialis Belanda.

Di samping itu misi Katolik sedang mengarungi masa krisis. Hampir semua misionaris disekap. Akibatnya tidak kurang dari 74 imam, 47 bruder dan 160 suster dimangsa maut. Vikarius Apostolik Maluku dan Papua, Mgr. J. Aerts MSC dituduh oleh orang-orang Jepang dan Non-Kristen karena dianggap menyembunyikan sejumlah bedil.

Bersama dua belas imam dan bruder akhirnya ia ditembak mati tanpa proses pengadilan. Vikarius Apostolik Jakarta, Mgr. J.P. Willekens, menjalani tahanan rumah. Sementara itu, Mgr. H. Leven (di Ende) tetap dibiarkan bebas, lantaran ia seorang Jerman. Mgr. Soegija juga menikmati udara bebas, sehingga dapat malakukan kunjungan kepada orang-orang Katolik.

Orang-orang Jepang mengutus Uskup Nagasaki, Mgr. Yamaguchi ke Indonesia dengan harapan mendapat dukungan dari orang-orang Katolik di Indonesia demi kebesaran Jepang. Uskup ini bersama dengan tiga imam Jepang bekerja di Flores. Mereka bekerja dengan penuh pengabdian kepada orang-orang Katolik di sana, tetapi sayang Flores tidak memainkan peran menentukan dalam perjuangan politik, terutama karena jauh dari pusat kekuasaan di Jawa.

Ada seorang imam Jepang yang bekerja di Kalimantan Barat; satu lagi di Sulawesi Selatan dan yang lain di Sulawesi Utara. Di Jawa berlangsung peristiwa bersejarah: empat belas imam baru ditahbiskan, sementara itu sebelas imam baru juga lahir di Flores, kendati mereka semua belum menyelesaikan studi. Sumatera, Kalimantan Timur, Timor, Maluku, Irian Utara selama hampir tiga tahun defisit tenaga imam.

Orang-Orang Katolik dan Kemerdekaan.
Tidaklah aneh jika Belanda sama sekali tidak mengakui proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945.

Tindak lanjut dari sikap itu adalah aksi militer ke pelbagai wilayah kepulauan ini. Tetapi intelegensi kulit putih dipecundangi para tokoh dan rakyat Indonesia yang berjuang dengan spirit, determinasi, akal dan okol bambu runcing. Agresi Belanda itu dilihat dengan sebelah mata dalam kancah percaturan diplomatik internasional.

Pada 22 Desember 1949, ditandatangani di Amsterdam sebuah traktat pengalihan kedaulatan. Sehari kemudian Soekarno diterima di Jakarta sebagai Presiden Pertama Republik Indonesia.

Tidak seorang pun yang beragama Katolik ikut serta dalam komite yang pada April–Agustus 1945 telah merumuskan paham negara dan konstitusi. Akan tetapi sesudah proklamasi kemerdekaan Ignatius Joseph Kasimo menjadi anggota Komite Nasional Pusat. Tugas yang diemban komite adalah menjadi organ konsultatif dari Presiden dan wakilnya.

Sebagai ganti Partai Politik Katolik Indonesia, didirikan pada 8 Desember 1945 Partai Katolik Republik Indonesia. Program utama partai ini adalah membela Republik Indonesia dan memperkuat keberadaan negara yang baru lahir ini. Formasi politik partai ini tidak diteruskan di luar Jawa dan Sumatera. Sebab pulau-pulau besar lain di luar telah diduduki Belanda.

Tokoh Katolik, Mgr. Soegija, juga mendukung sepenuhnya proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dalam sebuah deklarasi (1947), Mgr. Soegija mengundang orang Katolik untuk bersyukur atas proklamasi kemerdekaan unilateral dan mendukung Republik Indonesia ini. Caranya: menyatakan kesediaan untuk bekerjasama secara aktif membangun dan menegakkan martabat bangsa ini. Selain itu, sebagaimana telah diperlihatkan dalam sejarahnya, orang-orang Katolik mewujudkan janji untuk meneruskan bekerjasama dengan semua pihak demi tujuan mewujudkan kemerdekaan yang langgeng dan berdayaguna. Inilah makna konkret dari menjadi 100% Katolik, 100% Indonesia.

Pada tahun 1948, Mgr. Soegija mengungkapkan peranannya yang aktif dalam mengatasi embargo yang diberlakukan oleh penjajah Belanda dengan menerbitkan sebuah artikel dalam mingguan Katolik Amerika Commonwealth.

Beliau menentang secara gigih prakarsa pemerintah Belanda yang telah mendukung manuver politis Partai Komunis Indonesia, yang gagal melakukan coup d’état, 18 September 1948.

Seorang tokoh kawakan seperti I.J. Kasimo pernah menjadi anggota Kabinet sebanyak dua kali yang (karena Jakarta diduduki Belanda) berkedudukan di Jogjakarta. Tetapi ketika (juga) Jogjakarta diduduki pasukan Belanda pada Desember 1948, banyak orang Katolik yang bergabung dalam pasukan gerilya memerangi agresi Belanda. Dua dari putera Katolik terbaik yang yang gugur dan kemudian dinyatakan sebagai pahlawan nasional adalah Ignatius Slamet Rijadi  dan Agustinus Adisutjipto.

Dalam tahun-tahun yang sama, Vikarius Apostolik di Semarang Mgr. Soegija, tidak berada di takhtanya (Semarang), melainkan di Jogjakarta. Sikap taktis-politis dan compassion Mgr. Soegija ini mau memperlihatkan bahwa pemimpin Gereja lokal berada di posisi berpihak pada gerak hati nurani seluruh bangsa Indonesia, yang memindahkan (ad interim) ibukota negara ke Jogjakarta.

Di kota inilah, Mgr. Soegija acapkali berkontak dengan para pemuka pemuda Republik. Ketika Soekarno dibuang ke luar Jawa (Desember 1948 - Juli 1949), Mgr. Soegija mempedulikan dan mencurahkan perhatian pada keluarga Presiden Pertama Republik ini.

Juga di Sumatra, orang-orang Katolik terlibat aktif baik di dalam kegiatan Partai Katolik Republik Indonesia maupun dalam pasukan gerilya. Tambahan pula, di pulau-pulau lain di mana pemerintah Belanda menciptakan status otonom dengan maksud tunggal untuk membentuk suatu federasi, tokh ada sejumlah partai politik.

Di antara anggota dan ahli, delegasi Indonesia dalam traktat pengalihan kedaulatan yang berlangsung di Den Haag, terdapat pula beberapa orang Katolik, antara lain R.V. Sudjito, ketua perwakilan Jawa Tengah.

Tiga minggu sebelum pengalihan kedaulatan, berlangsunglah Kongres Katolik seluruh Indonesia di Jogjakarta. Mgr. Soegija dan I.J. Kasimo memimpin kongres ini, yang dihadiri oleh Soekarno-Hatta. Di antara keputusan Kongres yang perlu dicatat ialah bahwa semua partai politik Katolik yang didirikan antara 1945-1949 dipersatukan dalam satu partai politik Katolik yang bertaraf nasional, Partai Katolik.

Dengan demikian komunitas Katolik Indonesia masuk dalam Republik: kendati secara kuantitatif tidaklah seberapa jumlah anggotanya, namun sejak awal komunitas ini berperan secara nasional. Fakta ini memperlihatkan, ada martabat dan kesetaraan yang dicapai sejak kemerdekaan.

Hal ini juga memungkinan orang-orang Katolik mengemban tanggungjawab di pelbagai kehidupan masyarakat warga, mengingat menjadi Katolik berarti menjadi Indonesia di bumi Indonesia. Sejak sejarah republik ini bergulir orang-orang Katolik (meski jumlahnya relatif sangat kecil) berintegrasi sepenuhnya dan menjadi bagian konstitutif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan lebih daripada di kebanyakan negara di Asia.

Hal ini juga dimungkinkan oleh suasana umum penganut agama Islam yang moderat dan toleran, yang menjadi anutan mayoritas Muslim di Indonesia sehingga posisi dan makna minoritas orang-orang Katolik yang percaya diri bisa bertumbuh secara positif.

Penutup:
TIDAK  PERNAH  HANYA  AGAMA

Pergumulan (menjadi) katolik (di) Indonesia abad ke-19 dan 20 tidak hanya perkara agama tapi melalui perawatan kesehatan, perintisan sistem pendidikan dan pewartaan misi Kristen merekrut penganut yang percaya diri dan bersemangat gigih di pulau utama Jawa.

Selama abad ke-19, orang-orang Katolik Eropa dan Eurasia di Jawa jauh lebih banyak daripada pribumi. Namun kelompok pribumi itulah penentu utama kehadiran Katolik di Indonesia modern.

Sewaktu VOC berkuasa (1602-1799), para imam Katolik dilarang masuk ke Hindia Belanda, dan orang-orang Katolik pribumi dicatat sebagai anggota Gereja Reformasi. Adalah Daendels yang mengizinkan para imam berkarya di sini. Inilah masa kebangkitan bersahaja kekatolikan.

Para imam melayani warga Belanda dan Eurasia, lalu melebar pada pribumi, yang paling banyak terjadi di Flores dan Timor, di mana bekas misi Portugis ditemukan. Akan tetapi ada indikasi lain, bahwa kekatolikan dirintis oleh awam: Tsen On Njie (Bangka), MacMootry (Semarang); para raja Larantuka.

Remah-remah itu Jatuh.
Setelah tahun 1913, misi Katolik dipercaya untuk mengelola lembaga pendidikan. De facto, sekolahan tidak saja menyebarkan agama, tapi juga bahasa Melayu, faktor pemersatu terpenting dalam masyarakat yang baru.
Karena persekolahan menyerap tenaga dan biaya, maka penambahan misionaris mengangkat mutu pendidikan. Semua siswa diupayakan untuk tinggal di asrama yang gratis. Stragegi sekolah, yakni alumni nantinya berperan ganda: Katekis dan guru sekolah.

Para suster mempromosikan pendidikan bagi anak perempuan. Meski tak digaji mereka menjadi garda depan evangelisasi. Pendidikan kemudian disadari sebagai jantung misi. Di kolese Xaverius (Muntilan), semua alumni memeluk agama Katolik. Kolese ini menjadi buaian bagi sekelompok orang Katolik yang penuh percaya diri di tengah masyarakat Islam.

Tetapi tak semua izin pendirian sekolah mudah diperoleh. Dikatakan ‘Untuk jemaat Katolik kecil di koloni ini, dengan 6.810 orang Minahasa di antara 27.601 orang Katolik pribuminya pada tahun 1903, remah-remah yang jatuh dari meja Protestan ini terbilang cukup penting. Mereka kian kokoh, setia, dan tabah daripada kelompok di Kai, Flores, Timor yang bertobat melalui sebuah proses yang lebih kolektif’

Kiprah di Latar Sosial-Kultural.
Gerakan misi ke Indonesia dipersubur oleh boom kongregasi religius yang lahir di Eropa abad ke-19. Hampir semuanya meminati karya misi. Para misionaris itu menjadi penolong kaum papa (yatim piatu, orang sakit, lansia), memprotes eksploitasi terhadap para buruh, memperjuangkan Minggu sebagai hari libur, malah ada yang wafat di medan pelayanan.

Mereka berjuang melawan penyembahan berhala, tepatnya iman infantil, peninggalan masa silam yang bersahaja. D’Armandville SJ, yang cara kerjanya flamboyan, memusnahkan praksis takhayul, menghancurkan batu-batu setan dan menggunakannya untuk lantai kamar mandinya.

Tokoh seperti Hoevenaars yang mencela para pejabat yang memiliki nyai tanpa menikahinya, dituduh melakukan agresi. Suatu saat, anak-anak dengan pakaian terbaik difoto, lalu diajak ke gereja dan direciki dengan air berkat. Maka tersebar kabar, semua anak itu telah dibaptis. Inilah kesenjangan pendekatan budaya dan awal kegagalan misi Hoevenaars.

Van Lith pernah mempertobatkan orang dengan ikatan ekonomi, tapi tak semua mendukungnya. Ada fakta di Minahasa faktor ekonomi menjadi determinan. Prajurit, setelah menjadi Kristen, mendapat gaji lebih besar. Dan lagi, van Lith mendorong orang-orang Katolik ikut slametan, karena itu lebih sebagai peristiwa sosial alih-alih peristiwa religius .

Kendala Intern.
Obsesi para misionaris adalah membaptis banyak orang. Mereka lalu berpatroli, mengadakan pelajaran dan persiapan agama dengan tergesa-gesa. Eksesnya adalah iman instan yang tidak berakar kuat.

Di Hindia Belanda ini, konflik antar misionaris juga lumrah. Para pastor mengeluhkan gaya hidup para suster yang terlalu bebas. “Mereka pergi jauh dari biara dan malah tidur di pantai, tanpa meminta izin dari pastor paroki. Tidak ikut misa, malah mencari kayu.” .

Ada juga fakta di Kai: selain agama Islam alkoholisme menjadi kendala bagi  misi. Konflik dengan Islam memuncak ketika kepala kampung Tual mau memungut pajak untuk ongkos isterinya naik haji. Orang-orang Kristen menolak membayar jenis pajak ini.

Di tempat lain, Jawa kedua (Sumba) adalah daerah sulit dan kersang. Ayam dan beras pun perlu didatangkan dari tempat lain. Penduduknya cinta damai, namun tegar tengkuk, sangat taat pada adat kebiasaan lama. Di sana banyak pencuri dan sarana transportasi sangat sulit.

Kurangnya pengetahuan akan bahasa lokal, seperti Pastor Palincks yang melayani Yogyakarta (1865-1899) tak pernah mempelajari bahasa Jawa, menciptakan jarak dengan pribumi. Perutusan menuntut kemampuan untuk mempelajari bahasa setempat.

Peran Pemerintah dan Misi.
Banyaknya jumlah baptisan menjadi indikasi keberhasilan misi. Adagium populis saat itu ialah extra ecclesiam nulla salus (di luar gereja tidak ada keselamatan). Gerakan misi Katolik memang menikmati fasilitas yang diberikan oleh pemerintah kolonial. Tegasnya, tiada misi Katolik tanpa izin dan malah kerja sama dari kolonialis. Tetapi dominasi pertobatan tidak selalu diberikan pada agama kaum imperialis.

Regeeringsreglement pasal 123 menyatakan, semua penyebar agama Kristen harus mendapat izin dari Gubernur Jendral. Pasal ini diciptakan demi mencegah misi ganda, tetapi hal ini tak berlaku di Sumba. Tahun 1882, izin diberikan kepada zending Protestan dan misi Katolik.

Meski banyak wilayah tertutup untuk misi, namun ekspansi Katolik bukan hasil strategi tunggal yang terencana. Sejumlah prakarsa datang dari bawah, digalakkan tanpa banyak intervensi para imam. Pada medio kedua abad ke-19 penyebaran dan kebangkitan kembali Gereja Katolik merupakan gerakan dari atas ke bawah.

Misi menjadi program yang terencana dan dibiayai oleh organisasi yang memiliki personel berdedikasi tinggi, bahkan berkomitmen seumur hidup pada karya misi. Tapi itu tidak berarti misi menjadi strategi global yang dilaksanakan secara sistematis. Banyak prakarsa tergantung pada peluang unpredictable, ketersediaan personel dan dana. Dengan begitu, gerakan keagamaan tidak pernah hanya soal agama.

 ‘MINORITAS’ KATOLIK dalam DINAMIKA MENJADI INDONESIA
Pada tahun 1978 terbitlah sebuah buku yang dibidani oleh Irish Conference of Historians, yang bertajuk Minorities in History (London: Edward Arnold Ltd., 1978). Buku ini diedit oleh A.C. Hepburn, lektor pada New University of Ulster (Irlandia Utara). Buku ini berbicara tentang kelompok-kelompok minoritas baik di Eropa (Kontinental), maupun Amerika Utara.

Kelompok-kelompok minoritas itu (seperti Huguenots abad ke-17 di Prancis, Warga Inggris di Irlandia dan Virginia, Protestantisme di Irlandia Selatan, Katolik di Irlandia Utara, Orang Negro di USA, dll.) memberikan sumbangan signifikan bagi kehidupan bersama (yang pluralistik). Di dalam proses itu diungkapkan penemuan jati diri, dinamika internal kelompok, mimpi-mimpi ke depan, hambatan-hambatan konkret, dan apa maknanya bagi interaksi antarkelompok, dlsb.

Di negeri kepulauan ini, ada sekian banyak “minoritas” yang de facto digilas oleh ekspansi mayoritas. Gerakan ini mengandalkan stragegi, tenaga (personel), ‘ideologi’ (ungkapan sakralnya: panggilan suci), keuangan, militansi tertentu. Dalam konteks pembicaraan ini, saya memaksudkan agama lokal sebagai survivor (kurban) ‘romanisasi’ (katolikisasi). Minoritas itu bertumbuh secara spektakuler atas dasar kepercayaan diri yang tinggi. Dalam kenyataannya, pertumbuhan spektakuler secara kuantitatif berarti beralihnya orang berkepercayaan dalam agama lokal, ‘islam abangan’ (meminjam istilah Cliford Geertz) ke aliran dan institusi gereja Katolik.

Akan tetapi pertumbuhan spektakuler itu juga berkaitan dengan keterlibatan yang semakin intens orang-orang katolik dalam persoalan bangsa ini. Mereka menyumbangkan ruh (Geist) dan elan vital bagi bonum commune, penghargaan terhadap martabat manusia, dll. Ini semua memanifestasikan eksistensi dan raison d’être kekatolikan di Indonesia. Ia menjadi bagian integral dan konstututif bangsa ini.

Dalam hitungan inilah, gerakan misioner di satu pihak telah menghancurkan sistem kepercayaan masyarakat. Tetapi di lain pihak telah ‘memodernisasikan’, menyingkirkan praksis-praksis tradisional-lokal yang tidak menghargai kehidupan (mis. mengayau, jimat, gugon tuhon, takhayul), menata kembali masyarakat secara menyeluruh; pendidikan formal, perawatan kesehatan, hidup politik dan organisasi, dlsb.

Berdasarkan perhitungan tersebut, saya dapat mengerti meskipun tidak menyetujui kesimpulan Romo J.W.M. Bakker SJ (alm.). Kesimpulan berikut ini terlampau berlebihan dalam menilai diri sendiri dan sedikit banyak gegabah. Tulisnya, “..... Agama-agama asing, seperti Buddha, Hindu dan Islam tidak menyentuh hati orang-orang beriman. Beberapa ritual dan mitos diambil alih, namun “agama asli” tetap tidak tersentuh di bawah tudung agama asing. Hanya agama Kristen, khususnya tradisi Katoliknya, mampu menerobos hingga ke hakikat jiwa Indonesia, karena kemampuannya untuk beradaptasi”.

Sesungguhnya, nyaris tidak ada kriteria umum atau parameter yang tetapat yang dapat dipakai untuk mengukur pertumbuhan spektakuler jemaat Katolik. Mengapa? Karena masing-masing daerah, wilayah yang dirambah oleh kekatolikan sangat beragam.

Pluralitas sudah menjadi hakikat ‘keindonesiaan’ sebagai negeri kepulauan. Dapat saja ditetapkan parameter untuk kepentingan itu, misalnya: kuantitatif, kemandirian (independensi), keterlibatan, ‘kemaslahatan bagi masyarakat umum’, dlsb.
Kantong-kantong kekatolikan seperti di beberapa wilayah di Jawa Tengah, Nusa Tenggara, Sumatera Utara, Kai-Tanimbar, (Pedalaman) Papua, Kalimantan (Dayak dan Cina) memiliki ciri otentik dan unik, teristimewa
dalam perjumpaannya dengan kekatolikan.

Tetapi anehnya, kekatolikan itu kemudian lebih berarti penyeragaman, terutama ketika gerakan misi dijalankan oleh ‘kaum berjubah’. Inkulturasi dalam kurun waktu itu masih menjadi barang mewah. Mungkinkah ini yang menyebabkan orang-orang katolik tetap terbilang golongan ‘minoritas’ (bukan dalam arti rendah diri dan penakut, pecundang, melainkan kelompok kecil!)?

Tegasnya, dalam kurun waktu 1903-1942 ini “Penyebaran dan kebangkitan kembali Gereja Katolik merupakan sebuah gerakan dari atas ke bawah” (hlm. 4). Selama dasawarsa pertama abad ke-20, kekatolikan lebih banyak bercorak klerus -oriented. Tegasnya, para pemeran utama dan “pembuka hutan” wilayah misi  adalah para misionaris.

Nantinya, Gereja Katolik di Indonesia akan menuai kritik karena peran klerikalisasi dalam seluruh gerak misionernya. Jika orang-orang Katolik tidak bergegas mengubah pola ini, mereka berarti sedang menggali kubur untuk dirinya sendiri. Dominasi kaum klerus sangat besar, sampai-sampai Gereja nyaris bisu dan sepi tanpa klerus. Barang tentu Gereja yang demikian tidak sehat.

Menelisik pertumbuhan spektakuler tersebut: metode klasik kristenisasi yang masih dominan hingga dewasa ini, meski tidak secara langsung mengumbar kristenisasi adalah pelayanan kesehatan, pendidikan melalui sekolah. Sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan metode “merebut gembala”, seakan agama Katolik menjadi salah satu kontestan dalam pasar malam keselamatan.

Ada dua sinyalemen yang patut dicatat berkenaan dengan metode misioner dan aktivitas sosial keagamaan:

1. Sekolah Moentilan & Mendoet.
Semua siswa Moentilan adalah laki-laki, sedangkan murid-murid Mendoet perempuan. Mereka ini tidak dipungut biaya. Gratis. Sinyalemen berikut ini dapat dikategorikan sebagai bentuk kristenisasi yang berhasil dalam bidang persekolahan: Hampir semua murid yang masuk sekolah-sekolah itu tidak Katolik. Kemudian semua yang tamat dari sekolah-sekolah itu pasti beragama Katolik tulen, sejati dan nyaris militan. (Mungkin di sekolah-sekolah itu terjadi brain-washing oleh para misionaris terhadap peserta didik, sehingga mereka mudah digiring untuk memeluk agama Katolik!).

Para alumni tersebut nantinya menjadi agen katolikisasi di manapun mereka berada. Alumni kedua sekolah-sekolah tersebut kadang dipertemukan dan akhirnya membentuk keluarga Katolik. Mereka mendapat nasihat: “Berkembangbiaklah dan jadilah keluarga yang besar! Dari keluarga-keluarga kalianlah sedapat mungkin dilangsungkan pendidikan Katolik dan ciptakanlah suasana Katolik dalam keluarga agar daripadanya muncul panggilan suci untuk menjadi biarawan-biarawati dan imam.”

Demikian juga di Minahasa (Sulawesi Utara). Metode ini nantinya diikuti oleh sejumlah ordo, yang masih bertahan hingga sekarang ini: mungkin Ursula - Kanisius (Jakarta); De Britto - Stella Duce (Jogja) sedikti banyak mencerminkan semangat zaman baheula.

2. Gedung Gereja dan Sentra Sosial.
Sasaran utama para pemimpin gerejawi pada abad ke-20 adalah pembentukan jemaat Katolik yang vital dan  murni. Untuk mencapai sasaran ini mereka mengefektifkan dua pusat utama, yakni gedung gereja dan sentra sosial. Gedung-gedung gereja dijadikan meeting-point. Dengan demikian gereja menjadi sentra sosial, hal mana kemudian pelbagai devosi kerakyatan dibangkitkan dan dilangsungkan di sekitar gedung gereja. Sejalan dengan itu, nyaris tidak banyak aktivitas religius bagi orang-orang Katolik di dalam rumah tangga. Hal ini sangat kentara di mana telah terjadi proses kristenisasi secara kolektif.

Berkaitan dengan kegiatan sosial, yang paling mencolok mata adalah keterlibatan orang-orang Katolik (pada mulanya adalah para misionaris) dalam penyelenggaraan pendidikan (umum) untuk anak-anak melalui sekolah (kejuruan, kursus), asrama-asrama, di samping pemanfaatan fasilitas perawatan di balai-balai pengobatan dan penyediaan tenaga-tenaga medis. Tidak kurang sentra-sentra sosial itu nantinya memperlihatkan dengan gamblang keterlibatan orang-orang Katolik dalam bidang organisasi (politik, sosial, keagamaan), perintisan media cetak, kerja sama dengan pemerintah, pemeluk agama Non-Katolik, pelestari kebudayaan setempat, dlsb. Kekatolikan (baca: organisasi Katolik), misalnya di luar Jawa praktis hanya di sekitar (kegiatan) paroki. Sedangkan di Jawa – dan ini bidang sosiologi perkotaan – berkembang pesat pelbagai paguyuban.

Akhirul kalam, semoga tulisan ini memperlihatkan dengan gamblang bagaimana “kekatolikan” mengindonesia di kalangan orang-orang Indonesia. Tegasnya, orang-orang Katolik pun menjadi bagian integral Indonesia. Semoga kita semua, entah rekan seimam, atau seiman atau seperjalanan, mau berjuang membuktikan kebenarannya!

NB:
A.
SEJARAH SINGKAT KEUSKUPAN AGUNG SEMARANG

Tahun 1806, 7 Agustus Raja Lodewijk Napoleon mengumumkan undang-undang kebebasan beragama. Akibatnya, Gereja Katolik di Indonesia, yang dilarang sejak tahun 1621, dapat berkembang lagi. Tahun 1807 mulailah lembaran baru dalam sejarah Gereja,  ketika wilayah Hindia Belanda menjadi satu kesatuan dalam Gereja Katolik, yaitu Prefektur Apostolik Batavia. Dua imam sekulir dari Negeri Belanda tiba di Jakarta pada tanggal 4 April 1808 sebagai minionaris pertama. Pastor Jacobus Nelissen menjadi pemimpin pertama misi, yang meliputi seluruh Nusantara, dan beliau berkediaman di Jakarta.

Selama 50 tahun berikutnya,  31 imam sekulir mengikuti jejak langkah kelompok kecil misionaris pertama itu. Di antara mereka adalah Pastor C.J.H. Franssen yang ditugaskan di Ambarawa. Pada tahun 1859, dua imam Jesuit tiba di Jakarta untuk membantu para imam sekulir itu. Selama masa jabatan Mgr. A.C. Classens (1874-1893), hanya dua imam sekulir saja bertahan. Akan tetapi, sementara itu 57 imam Jesuit berdatangan. Dengan demikian,  praktis seluruh karya pastoral Gereja ditangani oleh imam Jesuit. Pada tahaun 1893, ketika pastor W.J. Staal, SJ ditugaskan menjadi Vikaris Apostolik, tanggungjawab evangelisasi di Indonesia secara kanonik dialihkan dari imam sekulir kepada Serikat Jesus.

Pada tahun 1842 Prefektur Apostolik Batavia ditingkatkan menjadi Vikariat. Pada tahun 1866 Vikariat Apostolik Batavia dibagi menjadi 8 stasi: Batavia, Semarang, Ambarawa, Yogyakarta, Surabaya, Larantuka, Maumere dan Padang.

Pada tahun 1903, seorang guru agama dengan 4 orang kepala dusun dari pegunungan wilayah Kalibawang berkunjung pada Rama van Lith. Empat orang dibaptis pada tanggal 20 Mei 1904. Dan kemudian, 171 orang menyusul dibaptis oleh Rama van Lith pada bulan Desember 1904 di Sendangsono. Peristiwa tersebut di luar harapan Rama van Lith. Mgr. Luypen dan pembesar SJ menafsirkan bahwa peristiwa pembaptisan tersebut sebagai tanda yang jelas bahwa metode Rama van Lith menghasilkan buah. Sementara itu pada tanggal 27 Mei 1899, Rama  Hoevenaars SJ, teman seperjalanan Rama van Lith dari Eropa ditugaskan di Mendut.  Ia berpendapat bahwa misi harus langsung mengarahkan kegiatan-kegiatannya pada rakyat kelas bawah. Ia berhasil juga. Dalam jangka waktu setengah tahun setibanya di Indonesia, telah dibaptis 62 orang Jawa. Pada akhir tahun 1903 jumlah orang Katolik di stasi Mendut lebih kurang 300 orang.

Kedua metode tersebut dipraktikkan dan dipertahankan oleh kedua misionaris pertama itu. Pada tanggal 27 Juni 1905 Rama Hovenaars dipindahkan ke Cirebon. Beberapa tahun sesudahnya, ketika ia ditugaskan di Surakarta, ia mengakui keunggulan kebijakan Rama van Lith dan mengikuti jejaknya.

Terutama  wilayah sekitar Surakarta dan Yogyakarta terbukti menjadi tanah subur bagi benih-benih firman Allah. Sampai sekarang mayoritas umat Katolik Keuskupan Agung Semarang tinggal  di wilayah tersebut. Di situlah pengaruh kuat dari keraton Surakarta dan Yogyakarta, bersamaan dengan nilai budaya tradisional telah berakar sangat dalam dalam hati dan sikap hidup masyarakat.

Nilai-nilai budaya tersebut tidak menjadi ancaman atau diganti dengan agama Katolik. Karena alasan itulah, proses inkulturasi, yang telah dirintis oleh Rama van Lith, mengutamakan perlunya bahasa Jawa. Bahasa tidaklah sekedar sarana komunikasi, tetapi juga kristalisasi jiwa masyarakat dalam memandang dunia dan manusia secara khas Jawa. Di Muntilan Rama van Lith adalah pastor pertama yang dapat berkomunikasi dengan masyarakat Jawa dalam bahasa Jawa. Ia men-terjemah-kan doa Bapa kami dalam bahasa Jawa.

Rama van Ltih berhasrat memberi kaum muda Jawa, pria dan wanita, suatu pendidikan yang bermutu tinggi, yang membuat mereka mampu memiliki posisi penting dalam masyarakat. Maka diselenggarakan pendidikan Kristiani, agar mereka menjadi benih-benih kerasulan yang dapat tumbuh dan berbuah di kemudian hari. Pada tanggal 14 Januari Tarekat Suster Fransiskan mendirikan sekolah ketrampilan khusus untuk gadis-gadis Jawa di Mendut.

Peristiwa sangat penting di Keuskupan Agung Semarang adalah didirikannya Seminari Menengah. Tiga orang calonnya dari 6 generasi pertama dari tahun 1911-1914 ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1926 dan 1928, yaitu Rama F.X.Satiman, SJ, A. Djajasepoetra, SJ dan Alb. Soegijapranta, SJ.

Pada tahun 1915 Rama van Driessche, SJ (1875-1934) merintis karyanya di antara orang-orang Jawa di Yogyakarta dengan bantuan seorang katekis.

Karya misi sungguh didukung dan dikembangkan oleh Tarekat Bruder FIC. Lima Bruder pertama datang dari Negeri  Belanda di Yogyakarta pada bulan September 1920. Langsung saja mereka ditugaskan untuk mengajar di HIS. Kedatangan Bruder-Bruder berikutnya mampu memekarkan karya mereka di kota-kota lain seperti Muntilan (1921), Surakarta (1926), Ambarawa (1928) dan Semarang (1934). Pada Januari 1922, Percetakan Kanisius mulai beroperasi dan dipercayakan kepada Tarekat Bruder FIC.

Rama Strater mendirikan Perhimpunan Wanita Katolik pada tanggal 9 September 1923. Berdirinya Organisasi Partai Politik Katolik pada bulan Agustus 1923 menjadi bukti perkembangan Gereja dan keberanian orang-orang Katolik dengan pusatnya di Yogyakarta.

Disebabkan oleh perbedaan situasi antara Jawa Barat/Batavia dan Jawa Tengah, dan demi berkembangnya Gereja, pada tanggal 1 Agustus 1940 diririkanlah Vikariat Apostolik Semarang. Paus Pius XII menetapkan Rama Albertus Soegijapranata SJ menjadi Vikaris Apostolik. Ia menjadi uskup pribumi Indonesia pertama.

Peristiwa tragis menimpa dua orang hamba Tuhan, Rama Richardus Kardis Sandjaja dan Frater Hemanus Bouwens, SJ. Pada tanggal 20 Desember 1948 mereka dibunuh secara kejam di dusun Kembaran dekat Muntilan. Peristiwa itu berkaitan dengan penyerangan pasukan Belanda di Semarang yang berlanjut ke Yogyakarta pada bulan Desember 1948, yang biasa disebut dengan clash kedua.

Mgr. Albertus Soegijapranata SJ wafat pada tahun 1963, dan dimakamkan di makam Pahlawan Giri Tunggal sebagai Tokoh Nasional. Mgr. Justinus Darmojuwono, Uskup kedua (1964-1981), diangkat menjadi Kardinal pertama di Indonesia (26 Juni 1967). Agar karya pastoral semakin berbuah, pada tahun 1967 Kardinal Justinus Darmajuwono mendirikan 4 Vikariat Episkopalis di Keuskupan Agung Semarang, yaitu Semarang, Kedu, Surakarta dan Yogyakarta. Bapak Kardinal Justinus Darmojuwono wafat pada tanggal 3 Februaari, dan dimakamkan di Makam Muntilan.
 Mgr. Julius Darmaatmadja, SJ, penggantinya memimpin Keuskupan Agung Semarang (1984-1996). Mgr. Julius mengembangkan karya pastoral berdasarkan Arah Dasar Keuskupan untuk periode lima tahunan (1984-1990; 1990-1995; 1996-2000). Beliau kemudian juga diangkat menjadi Kardinal, dan kemudian dipindahtugaskan ke Jakarta menjadi Uskup Agung Jakarta. Mgr. Suharyo dan dilanjutkan oleh Mgr Pujasumarta terus mengembangkan karya pastoral dengan mengumatkan Arah Dasar Keuskupan Agung Semarang untuk periode 2001-2005. Berinspirasikan ajaran Konsili Vatikan II Mgr. Suharyo dan Mgr Pujasumarta mendorong Gereja Katolik mewujudkan diri menjadi persekutuan paguyuban-paguyuban yang hidup, tempat orang-orang beriman menghayati Gereja sebagai peristiwa iman.

Yang pasti, benih-benih firman Allah telah berkembang dan menghasilkan banyak buah sebagaimana tampak dalam banyaknya karya misi, aksi pastoral dan mekar suburnya benih benih panggilan membiara di Keuskupan Agung Semarang sampai tahun 2017 ini dengan Mgr Rubiyatmoko sebagai Uskup Agung nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar