Ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia dua tahun lalu terasa istimewa. Selain Romo van Lith, dua imam juga menerima penghargaan dari pemerintah. Dua imam itu yakni Romo Franz Magnis-Suseno SJ dan almarhum Romo Petrus Josephus Zoetmulder SJ.
Sosok Romo Magnis sudah terlampau dikenal berbagai kalangan. Tapi, siapa Romo Zoetmulder? Mengapa ia layak mendapat Bintang Budaya Paramadharma?
Prof. Dr. Petrus Josephus Zoetmulder, S.J. (lahir di Utrecht, Belanda, 29 Januari 1906 – meninggal di Yogyakarta, 8 Juli 1995 pada umur 89 tahun) adalah seorang pakar Sastra Jawa dan budayawan Indonesia. Ia terkenal dengan disertasinya mengenai penelitian tentang sebuah aspek agama Kejawen yang dalam edisi Indonesianya berjudul "Manunggaling Kawula Gusti".
Ya, nama Zoetmulder memang tidak dapat dilepaskan dari telaah sastra Jawa Kuno Kalangwan dan kamus Jawa Kunanya yang terbit dalam dua edisi, yaitu edisi Bahasa Inggris (1982) dan edisi Bahasa Indonesia (1995).
Ia lahir di Belanda, 29 Januari 1906. Sejak tahun 1950-an, Romo Zoetmulder memilih menjadi warga negara Indonesia. Seperti para imam dari Eropa yang lain, Romo Zoetmulder merasa nyaman tinggal di Indonesia hingga akhir hayat dengan perawakannya sebagai Pastor Londo yang tinggi besar dan jika berbicara menggunakan bahasa Jawa yang sangat halus.
Romo Zoetmulder terkenal juga dalam kedisiplinan hariannya. Ia menjalankan aktivitas di Gereja Hati Santa Maria Tak Bercela Kumetiran, Yogyakarta, sebuah paroki dimana saya juga pernah bertugas di akhir studi saya sebagai frater teologan di Yogyakarta.
Menurut kesaksian banyak orang, dari bangun, sarapan, pergi ke kantor, pulang, makan malam, baca majalah atau koran, hingga tidur malam, nyaris selalu tepat waktu. Sangat presisi!
Dalam bekerja, Romo Zoetmulder ditemani sopir yang merangkap menjadi asisten. Jika tak salah bernama Mukibat. Si sopir hanya tamatan sekolah dasar. Alhasil, semua karya intelektual Romo Zoetmulder mendapat sentuhan tangan sang sopir. Mulai dari mencari referensi, mengumpulkan kliping, mengetik, sampai menjadi naskah paripurna. Si sopir bertindak sebagai asisten yang piawai.
Romo Zoetmulder juga amat sederhana dalam hal makanan. Ia menyukai tahu dan tempe, serta sayur-mayur khas Yogyakarta. Ia sangat menikmati makanan tradisional. Ia menghayati hidup ugahari; sederhana dan membumi.
Kepingan-kepingan kecil tentang Romo Zoetmulder ini yang kemudian menjadi gambaran tentang sosok Romo Zoetmulder secara utuh.
Pertama, disiplin yang telah melekat erat dalam diri Romo Zoetmulder.
Tidak hanya menyoal tentang disiplin waktu saja, Romo Zoetmulder juga disiplin dalam berpikir, berbicara, dan bertindak. Selama berkarya sebagai imam dan cendekiawan di kampus, tidak pernah terdengar desas-desus tentang kecerobohan Romo Zoetmulder.
Tidak hanya menyoal tentang disiplin waktu saja, Romo Zoetmulder juga disiplin dalam berpikir, berbicara, dan bertindak. Selama berkarya sebagai imam dan cendekiawan di kampus, tidak pernah terdengar desas-desus tentang kecerobohan Romo Zoetmulder.
Kedua, pemuridan.
Dalam konteks ini, Romo Zoetmulder meneladan junjungannya, Yesus Kristus. Tumbuh kembang kristianitas lantaran strategi Yesus yang mengangkat dua belas murid untuk mewartakan Kabar Gembira.
Dalam konteks ini, Romo Zoetmulder meneladan junjungannya, Yesus Kristus. Tumbuh kembang kristianitas lantaran strategi Yesus yang mengangkat dua belas murid untuk mewartakan Kabar Gembira.
Mirip seperti Yesus, Romo Zoetmulder juga melakukan pemuridan, mulai dari yang sederhana seperti sang sopir yang menjadi asisten, hingga para mahasiswa yang kelak menjadi cendekiawan utama dalam budaya Jawa.
Alhasil, walaupun Romo Zoetmulder sudah mangkat pada 1995, hasil karya dan pemikirannya tetap “abadi”, karena diteruskan para muridnya.
Ketiga, ugahari.
Kaul kemiskinan ia jalankan dengan konsekuen. Prinsip hidup Romo Zoetmulder jika diterjemahkan adalah sederhana dalam penampilan, kaya dalam pengetahuan. Ugahari yang dijalani Romo Zoetmulder akhirnya melahirkan karya yang tidak lekang ditelan zaman.
Kaul kemiskinan ia jalankan dengan konsekuen. Prinsip hidup Romo Zoetmulder jika diterjemahkan adalah sederhana dalam penampilan, kaya dalam pengetahuan. Ugahari yang dijalani Romo Zoetmulder akhirnya melahirkan karya yang tidak lekang ditelan zaman.
Tanda Kehormatan Bintang Budaya Paramadharma dari Pemerintah RI sudah disematkan di dada Romo Zoetmulder. Dan kita, entah imam maupun awam, pantas meneladan hidup Romo Petrus Josephus Zoetmulder SJ.
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
NB:
A.
Belajar dari LB.Moerdani
A.
Belajar dari LB.Moerdani
Bukan rahasia lagi, trend menjadi muallaf karena iming-iming pangkat dan jabatan sudah terjadi secara masif.
Karenanya, ada orang yg rela menukar keyakinannya demi sebuah pangkat dan jabatan. Ini terjadi juga di dunia artis, artis karbitan ingin tenar dadakan dengan bermuallaf ria.
LB Moerdani, tidak mau menjual keyakinannya demi sebuah jabatan. Hal tsb tertuang dalam memoarnya, Menyibak Tabir Orde Baru : Memoar Politik Indonesia 1965-1998 (2014).
Fikri Jufri bertanya pada Benny Moerdani "kenapa anda tidak mau masuk Islam supaya kami bisa memilih Anda sebagai Presiden Republik Indonesia ?
Fikri Jufri bertanya pada Benny Moerdani "kenapa anda tidak mau masuk Islam supaya kami bisa memilih Anda sebagai Presiden Republik Indonesia ?
Dituliskan, "Semua yang hadir terdiam. Benny menatap tajam Fikri dan bilang :" Apa kamu pikir saya semurah itu? Dengan nada marah.
'Meninggalkan keyakinan saya hanya untuk mendapatkan suatu jabatan? Never!' "
'Meninggalkan keyakinan saya hanya untuk mendapatkan suatu jabatan? Never!' "
Sampai akhir hayatnya Pak Benny tetap setia pada keyakinannya. Ia wafat sbg seorang Katholik yang taat.
#jangan tukar imanmu demi urusan perut dan bawah perut#
B.
PADA hari Kamis tanggal 13 Agustus 2015, Pemerintah RI menganugerahi dua bintang penghargaan bagi dua pastor Jesuit moncer yang dianggap berjasa bagi bangsa Indonesia. Kedua pastor Jesuit itu adalah alm. Pastor Prof. Dr. Petrus “Piet” Josephus Zoetmulder SJ (1906-1995) dan Pastor Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno SJ.
PADA hari Kamis tanggal 13 Agustus 2015, Pemerintah RI menganugerahi dua bintang penghargaan bagi dua pastor Jesuit moncer yang dianggap berjasa bagi bangsa Indonesia. Kedua pastor Jesuit itu adalah alm. Pastor Prof. Dr. Petrus “Piet” Josephus Zoetmulder SJ (1906-1995) dan Pastor Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno SJ.
Alm. Pastor Zoet –demikian begawan untuk studi sastra Jawa klasik ini biasa dipanggil– dianggap berjasa atas karya intelektualnya yang cemerlang dengan menulis kamus Bahasa Jawa Kuna dalam dua edisi: Bahasa Inggris (1982) dan Bahasa Indonesia (1995). Pastor Zoet juga menulis buku masterpiece tentang sastra Jawa yakni Kalangwan.
Diutus sebagai misionaris ke Tanah Jawa masih sebagai novis Jesuit, Pater Zoet melanjutkan studinya di Yogyakarta dan kemudian kuliah di Universitas Leiden atas saran Pastor J. Willekens SJ yang kelak menjadi Uskup Batavia.
Usai mendapatkan gelar doktor bidang Sastra Jawa Klasik di Universitas Leiden di Belanda (1935), Romo Zoet langsung melanjutkan studi imamatnya di Maastrict. Sebagai Jesuit, ia menjalani masa tersiatnya di Belgia.
Ia kembali ke Tanah Jawa dengan lika-liku perjalanan yang menegangkan karena saat itu Eropa mulai dikuasai oleh ekspansi Nazi Jerman. Ia mesti mengungsi ke Perancis dan kemudian ke Inggris dan selanjutnya naik kapal menuju Indonesia melalui Hong Kong. Salah satu teman perjalanannya meninggal dunia ketika hendak naik kapal namun kemudian kapal itu ditorpedo oleh Angkatan Laut Nazi Jerman.
Sepanjang hayatnya, Pater Zoet mengajar Sastra Jawa Klasik di UGM sampai pensiun. Pater Zoet meninggal dunia di Yogyakarta dan dimakamkan di kerkop Muntilan.
Pater Franz Magnis-Suseno menerima penghargaan dari Pemerintahan RI atas jasanya ikut ‘mencerahkan’ alam pikir bangsa Indonesia melalui karya-karya intelektualnya yang dipublikasi melalui buku dan esainya di media massa. Lahir di sebuah kota kecil yang kini menjadi bagian Polandia, Romo Magnis –demikian bangsawan Jerman ini biasa dikenal oleh masyarakat Indonesia– mengawali hidupnya sebagai misionaris ketika sebagai Jesuit muda diutus ke tanah misi: Jawa.
Pastor Jesuit yang suka nonton wayang dan banyak menulis essai tentang etika umum, etika politik dan filsafat ini ikut berjasa membesarkan STF Driyarkara Jakarta –tempatnya mengajar sejak muda hingga sekarang.
Tahun 2007, Romo Magnis dengan gagah berani menolak pemberian Bakrie Award karena merasa penghargaan itu bertentangan dengan suara hatinya. Langkah penolakan ini kemudian diikuti oleh banyak penerima Bakrie Award lainnya yang kemudian mengambil sikap sama: menolak penghargaan award ini.
Lebih lanjut, pastor Jesuit ahli Marxisme, Etika Umum dan Etika Politik ini mengatakan: “Pekan lalu saya diberitahu bahwa saya diusulkan oleh Menteri Pendidikan Nasional bersama delapan orang lainnya –tujuh di antaranya sudah meninggal dunia– untuk menerima bintang penghargaan ini. Saya merasa terhormat dengan penghargaan ini yakni Bintang Mahaputera yang saya juga baru dengar setelah menerima pemberitahuan dari Sekretariat Negara hari ini (baca; Rabu, tanggal 12 Agustus 2015 kemarin).”
Ia kemudian melanjutkan, “terutama juga bahwa orang yang kadang-kadang mengritik pun juga mereka hargai.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar