Pages

Amoris Laetitia



HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
"KRITIK ATAS KRITIK"
POPE FRANCIS:
"Respectable but wrong."
"Kritik- kritik itu amat berharga, "respectable" karena berasal dari anak -anak Allah, tapi salah.
Untuk mengerti Amoris Laetitia, anda harus membacanya dari awal sampai akhir.
Mulai dari bab pertama, lalu ke bab kedua, dan seterusnya.. dan kemudian merefleksikannya.
Juga, bacalah ulang apa yang tertulis pada Sinode.
Ada beberapa pihak yang mengatakan bahwa moralitas Katolik tidak terdapat dalam Amoris Laetitia, saya ingin mengulangi lagi dengan jelas bahwa moralitas dalam Amoris Laetitia adalah "Thomis", moralitas dari Santo Thomas agung."
Inilah sepenggal pernyataan Paus Fransiskus atas kritik yang ditujukan kepada dokumen Amoris Laetitea; yang ia sampaikan dalam pertemuan tertutup dengan para Jesuit saat mengunjungi Kolombia beberapa waktu lalu.
Adapun tanggapan "kritik atas kritik" ini juga diterbitkan dalam journal La Civiltà Cattolica, yaitu koran yang dikelola oleh Jesuit.
Bicara soal Amoris Laetitia, pada awal tahun lalu, tepatnya April 2016, bersama dengan maraknya Tahun Kerahiman, Paus Fransiskus menerbitkan Anjuran Apostolik, yang disebut Amoris Laetitia atau Sukacita Kasih.
Dokumen itu menekankan pentingnya ikatan kasih sayang dalam membangun keluarga harmonis.
Paus menunjuk Presiden WACOM (World Apostolic Conggress On Mercy) yang adalah Uskup Agung Wina, Austria, yang orangtuanya bercerai, Kardinal Christoph Schönborn OP untuk mengumumkan anjuran apostolik itu di Vatikan pada Jumat, 8 April 2016 lalu.
Amoris Laetitia sendiri adalah rangkuman dan keputusan pada dua Sinode Para Uskup sedunia tentang keluarga di Vatikan pada 2013 dan 2015.
Dua sinode itu membahas berbagai topik sensitif soal keluarga dan perkawinan. Misalnya, sikap Gereja terhadap pernikahan pasangan yang bercerai dan isu pernikahan lagi, juga peran perempuan dan kaum awam dalam Gereja.
Berdasarkan pertimbangan dua sinode itu, Amoris Laetitia diyakini sebagai jawaban sekaligus solusi kompromistis dalam menanggapi upaya kaum reformis.
Nilai-nilai dalam Amoris Laetitia adalah suara mayoritas peserta sinode yang melihat tantangan keluarga dan masalah-masalah yang dihadapi guna mencari solusi yang realistis.
Dokumen setebal 255 halaman yang terdiri dari 325 paragraf ini, memuat nilai-nilai penting kekristenan, seperti penegasan Bapa Suci mengenai karakter dasar para rohaniwan. Bapa Suci berharap, pelayan pastoral harus setia mendampingi dan mengarahkan umat bertumbuh lebih baik. Cara yang ia tawarkan adalah pastoral kehadiran dan sikap belaskasih dalam pelayanan.
Ada juga ulasan tentang pernikahan dan keluarga. Paus secara khusus mengambil sikap tegas dan selalu berpijak pada hukum dan norma fundamental Gereja. Ia menghimbau keluarga perlu membangun ikatan kasih sayang yang kokoh di antara sesama anggota keluarga. Tujuannya, tak ada permusuhan dalam keluarga.
Paus menandaskan, Gereja Katolik hanya mengakui pernikahan antara laki-laki dan perempuan. “Tak ada dasar dalam rencana Tuhan bagi pernikahan sesama jenis,” demikian pernyataan Paus dalam Amoris Laetitia yang ditanda tanganinya 19 Maret 2016, pada Hari Perayaan St Yusuf.
Berikut adalah 10 seruan ini dalam anjuran apostolik yang sarat dengan "HIK" - "Harapan Iman dan Kasih" itu:
Pertama, memahami setiap keluarga dan individu:
Paus menekankan perlunya Gereja memahami setiap keluarga dan individu dengan segala kompleksitas mereka. Ia menegaskan, Gereja perlu bertemu mereka di mana mereka berada. Imam hendaknya menghindari penilaian-penilaian yang tidak mempertimbangkan kompleksitas dari berbagai situasi.
Kedua, pentingnya hati nurani:
Paus menyatakan, hati nurani berperan penting dalam membuat keputusan moral.
Ketiga, terkait umat Katolik yang bercerai dan menikah lagi:
Menurut Paus, mereka perlu secara penuh diintegrasikan ke dalam Gereja. Mereka tidak diekskomunikasikan. Perlakuan demikian, kata dia, karena mereka masih bagian dari Gereja.
Keempat, sungguh-sungguh menjadi Kristiani: Paus mengajak semua anggota keluarga untuk secara baik menjalani kehidupan Kristiani. Seruan Paus ini banyak berisi tentang refleksi tentang Injil dan ajaran Gereja tentang cinta kasih, keluarga dan anak-anak.
Kelima, terkait orang yang hidup dalam dosa. Paus mengatakan, kita tidak seharusnya bicara lagi soal orang yang hidup dalam dosa. Menurutnya, tidak bisa sekedar mengatakan bahwa mereka yang hidup dalam situasi yang tidak wajar atau kondisi khusus seperti single mother perlu dimengerti, dihibur dan diterima.
Keenam, adaptasi dengan situasi setempat.
Ia mengatakan, apa yang bisa dilakukan di satu tempat belum tentu bisa dilakukan di tempat lain. Setiap negara atau daerah bisa mencari solusi yang baik yang sesuai dengan kebudayaan dan peka terhadap tradisi dan kebutuhan setempat.
Ketujuh, posisi Gereja tegas soal perkawinan: Ajaran tradisional tentang perkawinan itu tegas, tapi Gereja hendaknya tidak membebani umat dengan ekspektasi yang tidak realistis. Para calon imam dan imam perlu dilatih dengan lebih baik untuk memahami kompleksitas kehidupan berkeluarga.
Kedelapan, pendidikan seks dan seksualitas: Anak-anak harus dididik soal seks dan seksualitas. Seks harus selalu dipahami sebagai berkah atas kehidupan baru.
Kesembilan, Gay dan lesbian hendaknya dihormati:
Perkawinan sejenis tidak diperbolehkan, tapi Paus mengatakan bahwa ia ingin menegaskan kembali bahwa gay dan lesbian harus dihormati martabatnya dan diperlakukan dengan baik.
Kesepuluh, menerima semua orang:
Gereja harus membantu keluarga dan mengerti ketidaksempurnaan mereka dan bahwa mereka dicintai Allah dan bisa membantu orang lain untuk mengalami kasih itu.
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
NB:
A.
FULL TEXT OF THE POPE FRANCIS'S RESPONSE:
“I’ll use this question to say something else that I believe should be said out of justice, and also out of charity. In fact I hear many comments – they are respectable for they come from children of God, but wrong – concerning the post-synod apostolic exhortation.
To understand Amoris Laetitia you need to read it from the start to the end. Beginning with the first chapter, and to continue to the second and then on … and reflect. And read what was said in the Synod.”
“A second thing: some maintain that there is no Catholic morality underlying Amoris Laetitia, or at least, no sure morality. I want to repeat clearly that the morality of Amoris Laetitia is Thomist, the morality of the great Thomas. You can speak of it with a great theologian, one of the best today and one of the most mature, Cardinal Schönborn.”
“I want to say this so that you can help those who believe that morality is purely casuistic. Help them understand that the great Thomas possesses the greatest richness, which is still able to inspire us today.
But on your knees, always on your knees…”
B.
AJARAN PAUS FRANSISKUS = "SESAT"?
Awal minggu di medio bulan September 2017 ini, 62 klerus dan awam mengeluarkan sebuah "Filial Correction" kepada Paus Fransiskus, atas apa yang mereka sebut sebagai "propaganda sesat/salah". Filial Correction yang ditujukan kepada seorang Paus adalah sangat jarang terjadi, bahkan terakhir kali pernah terjadi adalah pada tahun 1333 (684 tahun yang lalu), yaitu terhadap Paus Yohanes XXII.
Sebuah situs web telah dibuat untuk hal ini: www.correctiofilialis.org ; yang memberikan informasi tentang penyebaran correctio filialis. Adapun koreksi yang diberikan kepada Paus Fransiskus ini adalah menyangkut Apostolic Exhortation nya , "Amoris Laetitia", di mana seolah-olah Paus Fransiskus "memberi kesan" bahwa orang Katolik yang bercerai dan menikah lagi, boleh menerima Komuni Kudus.
Inilah yang menyebabkan kebingungan dan polemik karena muncul berbagai perbedaan tafsir atas apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh Bapa Suci. Beberapa Dewan Konferensi Uskup yang lebih liberal, seperti di Jerman, Malta, Argentina, dan Belgia, menginterpretasikan Apostolic Exhortation ini sebagai : memperbolehkan mereka yang bercerai dan menikah lagi untuk menerima Komuni. Sementara Dewan Konferensi Uskup yang lebih tradisional/konservatif, seperti di negara Polandia, menterjemahkannya sebagai "melanjutkan seperti tradisi lama." (tidak boleh terima Komuni)
Gereja Katolik sendiri tidak mengakui perceraian sipil atau pernikahan ulang (dengan orang lain) para pasangan yang menikah di dalam Gereja Katolik karena perkawinan dalam Gereja Katolik adalah tak terceraikan. Perceraian/perpisahan/menikah lagi dengan orang lain; dalam pandangan Gereja adalah melakukan dosa perzinahan. Dosa zinah adalah dosa daging, karena itu dilarang menerima Komuni dalam keadaan demikian. Menerima Komuni Kudus dalam keadaan berdosa berat adalah melakukan dosa lagi, yaitu dosa Sakrilegi terhadap Tubuh dan Darah Kristus. Hal inilah yang harus dihindari.
Hal inilah yang selalu diajarkan, akan terus diajarkan oleh Gereja. Tidak ada yang dapat termasuk seorang Paus, yang memiliki kuasa untuk mengubah apa yang telah ditetapkan Yesus sendiri. Namun, nampaknya inilah yang bagai hendak dilakukan Paus Fransiskus, dan inilah sebabnya ia mendapat desakan dan pertanyaan resmi dari para Kardinal (Dubia), yang belum dijawabnya walau batas waktu 2 bulan yang diberikan telah berlalu, dan kini ia "diberi" semacam "Filial Correction", yang walaupun memang memunculkan kontroversi, namun adalah dibutuhkan demi kesatuan Gereja kita sendiri.
Filial Correction ini tidak dimaksudkan untuk menekan, apalagi sebagai perlawanan atau pemberontakan terhadap Paus. Sebaliknya, ini dimaksudkan untuk membela kepentingan Gereja yang lebih besar dan juga membela kepausan. Yang dapat kita lakukan bersama adalah mendoakan Paus agar beliau segera memberi jawaban yang lebih jelas dan lugas kepada Dubia dan atas hal-hal yang disebut dalam Filia Correction tersebut sehingga kesimpang-siuran tidak terus berlanjut. Bersama Bunda Maria dan Santo Fransiskus dan para kudus lainnya, kita mendoakan dengan penuh Harapan, Iman dan Kasih, agar Paus Fransiskus selalu "S3" - " Sehat Sukacita dan Sejahtera, dalam keadaan yang baik dan bijak sehingga dapat terus menjadi "Supreme Roman Pontif" dan "Vicar Kristus".
Lebih jelasnya, tercandra kritik yang didokumentasikan dengan seksama ini adalah semacam kelanjutan dari Dubia terhadap Amoris Laetitia (19 September 2016) yang dibuat oleh 4 Kardinal yakni:
Walter Brandmüller,
Raymond L. Burke,
Joachim Meisner,
Carlo Caffarra.
(Dua yang terakhir meninggal tahun ini, masing-masing pada tanggal 5 Juli dan 6 September.)
Para Kardinal dengan hormat meminta Paus Fransiskus untuk "mengklarifikasi" lima poin yang tidak ortodoks dalam Amoris Laetitia. Dubia tetap tidak terjawab dan kemudian diikuti oleh permintaan tatap muka dari keempat penulis (25 April 2017) tapi permintaan mereka inipun belum dikabulkan.
Pada tanggal 29 Juni, 45 teolog menyerahkan kepada Kardinal Angelo Sodano, dekan Kolese Dewan Kardinal, sebuah studi kritis lainnya terhadap 19 point dalam Amoris Laetitia, tapi kritik ini juga belum dijawab.
====
Ringkasan dari "Correctio Filialis"
Sebuah surat setebal 25 halaman yang ditandatangani oleh 40 imam Katolik dan cendekiawan awam dikirimkan ke Paus Fransiskus pada tanggal 11 Agustus.
Karena tidak ada jawaban yang diterima dari Bapa Suci, hal itu diumumkan hari ini, 24 September, Hari Raya Bunda Berbelas Kasih dan Bunda Maria dari Walsingham.
Surat tersebut, yang terbuka untuk penandatangan baru, sekarang memiliki nama 62 imam dan cendekiawan awam dari 20 negara, yang juga mewakili orang lainnya yang tidak memiliki kebebasan berbicara.
Surat ini memiliki nama Latin: 'Correctio filialis de haeresibus propagatori' (secara harafiah, 'Koreksi bakti-hormat tentang penyebaran ajaran sesat').
Isinya menyatakan bahwa Paus, melalui Seruan Apostoliknya "Amoris Laetitia", dan melalui kata, perbuatan, dan penghapusan lainnya, secara efektif menjunjung tinggi 7 posisi bidah dalam pernikahan, kehidupan moral, dan penerimaan sakramen, dan telah menyebabkan pendapat sesat ini menyebar di Gereja Katolik, dimana ajaran sesat ini diungkapkan oleh para penandatangan dalam bahasa Latin, bahasa resmi Gereja.
Surat koreksi ini memiliki 3 bagian utama.
Pada bagian pertama, para penandatangan menjelaskan mengapa, sebagai orang Katolik yang percaya dan mempraktekkan ajaran Katolik, mereka memiliki hak dan kewajiban untuk mengeluarkan koreksi semacam itu kepada Sri Paus. Hukum gereja sendiri mensyaratkan agar orang-orang yang kompeten tidak tinggal diam saat para gembala Gereja menyesatkan kawanan domba.
Dalam hal ini, tidak terjadi konflik dengan dogma Katolik tentang infalibilitas kepausan, karena Gereja mengajarkan bahwa seorang Paus harus memenuhi kriteria yang ketat sebelum ucapannya dapat dianggap tidak dapat salah.
Paus Fransiskus belum memenuhi kriteria ini. Dia belum menyatakan posisi sesat ini untuk menjadi ajaran definitif Gereja, atau menyatakan bahwa umat Katolik harus mempercayai mereka dengan keyakinan iman. Gereja mengajarkan bahwa tidak ada Paus yang dapat mengklaim bahwa Tuhan telah mengungkapkan beberapa kebenaran baru kepadanya, yang mengharuskan umat Katolik mempercayainya.
Bagian kedua dari surat itu yang terpenting, karena berisi 'Koreksi' dengan sebenarnya. Disini dicantumkan bagian-bagian Amoris Laetitia, dimana posisi bidah disusupkan atau didorong, dan kemudian memuat kata-kata, perbuatan, dan kelalaian Paus Fransiskus yang membuatnya jelas tanpa keraguan bahwa dia ingin umat Katolik menafsirkan ayat-ayat ini dengan cara yang demikian, yang sesungguhnya sesat.
Khususnya, Paus secara langsung maupun tidak langsung menyetujui keyakinan bahwa ketaatan kepada Hukum Allah tidaklah mungkin atau tidak dikehendaki, dan bahwa Gereja kadang-kadang harus menerima perzinahan sebagai hal selaras bagi orang yang mempraktikan ajaran Katolik.
Bagian terakhir, yang disebut 'Penjelasan', membahas dua penyebab krisis unik ini. Salah satu penyebabnya adalah 'Modernisme'.
Secara teologis, Modernisme adalah keyakinan bahwa Tuhan belum menyampaikan kebenaran yang pasti kepada Gereja, dimana Gereja harus terus menerus mengajarkannya dalam arti yang persis sama sampai akhir zaman.
Kaum modernis berpendapat bahwa Tuhan hanya berkomunikasi dengan umat manusia, hanyalah sebagai pengalaman yang dapat dipikirkan oleh manusia, sehingga membuat berbagai pernyataan tentang Tuhan, kehidupan dan agama; tapi pernyataan semacam itu hanya sementara, bukanlah dogma yang tetap.
Modernisme dikutuk oleh Paus St. Pius X pada awal abad ke-20, namun dihidupkan kembali pada pertengahan abad ini. Kebingungan besar dan terus berlanjut yang ditimbulkan dalam Gereja Katolik oleh Modernisme mewajibkan para penandatangan untuk menggambarkan arti sebenarnya dari 'iman', 'bidah', 'wahyu', dan 'ajaran Gereja'.
Penyebab kedua dari krisis ini adalah pengaruh nyata dari gagasan Martin Luther terhadap Paus Fransiskus. Surat tersebut menunjukkan bagaimana Luther, pendiri Protestantisme, memiliki gagasan tentang pernikahan, perceraian, pengampunan, dan hukum ilahi yang sesuai dengan apa yang Paus promosikan lewat kata, perbuatan dan penghapusan. Tercatat juga pujian eksplisit dan belum pernah terjadi sebelumnya yang diberikan oleh Paus Fransiskus kepada sang bidah Jerman.
Para penandatangan tidak berani menilai tingkat kesadaran Paus Fransiskus saat menyebarkan 7 ajaran sesat yang mereka daftarkan. Tapi mereka dengan hormat bersikeras agar Paus mengutuk ajaran sesat ini, yang secara langsung atau tidak langsung didukungnya.
Penanda tangan mengakui kesetiaan mereka kepada Gereja Roma yang kudus, meyakinkan Paus akan doa-doa mereka, dan meminta berkat apostoliknya.
Beberapa daftar para penandatangan
Dr. Gerard J. M. van den Aardweg
European editor, Empirical Journal of Same-Sex Sexual Behavior
Prof. Jean Barbey
Historian and Jurist, former Professor at the University of Maine
Fr. Claude Barthe
Diocesan Priest
Philip M. Beattie BA (Leeds), MBA(Glasgow), MSc (Warwick), Dip.Stats (Dublin)
Associate Lecturer, University of Malta (Malta)
Fr. Jehan de Belleville
Religious
Dr. Philip Blosser
Professor of Philosophy, Sacred Heart Major Seminary, Archdiocese of Detroit
Fr. Robert Brucciani
District superior of the SSPX in Great Britain
Prof. Mario Caponnetto
University Professor, Mar de la Plata (Argentina)
Mr. Robert F. Cassidy STL
Fr. Isio Cecchini
Parish Priest in Tuscany
Salvatore J. Ciresi, M.A.
Director of the St. Jerome Biblical Guild, Lecturer at the Notre Dame Graduate School of Christendom College
Fr. Linus F Clovis, Ph.D., JCL, M.Sc., STB, Dip. Ed,
Director of the Secretariat for Family and Life in the Archdiocese of Castries
Fr. Paul Cocard
Religious
Fr. Thomas Crean OP STD
Prof. Matteo D'Amico
Professor of History and Philosophy, Senior High School of Ancona
Dr. Chiara Dolce PhD
Research doctor in Moral Philosophy at the University of Cagliari
Deacon Nick Donnelly MA
Petr Dvorak
Head of Department for the Study of Ancient and Medieval Thought at the Institute of Philosophy, Czech Academy of Sciences, Prague; Professor of philosophy at Saints Cyril and Methodius Theological Faculty, Palacky University, Olomouc, Czech Republic
H.E. Bp. Bernard Fellay
Superior General of the SSPX
Christopher Ferrara Esq.
Founding President of the American Catholic Lawyers’ Association
Prof. Michele Gaslin
Professor of Public Law at the University of Udine
Prof. Corrado Gnerre
Professor at the Istituto Superiore di Scienze Religiose of Benevento, Pontifical Theological University of Southern Italy
Dr. Ettore Gotti Tedeschi
Former President of the Institute for Works of Religion (IOR), Professor of Ethics at the Catholic University of the Sacred Heart, Milan
Dr. Maria Guarini STB
Pontificia Università Seraphicum, Rome; editor of the website Chiesa e postconcilio
Prof. Robert Hickson PhD
Retired Professor of Literature and of Strategic-Cultural Studies
Fr. John Hunwicke
Former Senior Research Fellow, Pusey House, Oxford
Fr. Jozef Hutta
Diocesan Priest
Prof. Isebaert Lambert
Full Professor at the Catholic University of Louvain, and at the Flemish Katholieke Universiteit Leuven
Dr. John Lamont STL DPhil (Oxon.)
Fr. Serafino M. Lanzetta STD
Lecturer in Dogmatic Theology, Theological Faculty of Lugano, Switzerland; Priest in charge of St Mary’s, Gosport, in the diocese of Portsmouth
Prof. Massimo de Leonardis
Professor and Director of the Department of Political Sciences at the Catholic University of the Sacred Heart in Milan
Msgr. Prof. Antonio Livi
Academic of the Holy See
Dean emeritus of the Pontifical Lateran University
Vice-rector of the church of Sant'Andrea del Vignola, Rome
Dr. Carlo Manetti
Professor in Private Universities in Italy
Prof. Pietro De Marco
Former Professor at the University of Florence
Prof. Roberto de Mattei
Former Professor of the History of Christianity, European University of Rome, former Vice President of the National Research Council (CNR)
Fr. Cor Mennen
Lecturer in Canon Law at the Major Seminary of the Diocese of ‘s-Hertogenbosch (Netherlands). Canon of the cathedral chapter of the diocese of ‘s-Hertogenbosch
Prof. Stéphane Mercier
Lecturer in Philosophy at the Catholic University of Louvain
Don Alfredo Morselli STL
Parish priest of the archdiocese of Bologna
Martin Mosebach
Writer and essayist
Dr. Claude E. Newbury M.B., B.Ch., D.T.M&H., D.O.H., M.F.G.P., D.C.H., D.P.H., D.A., M. Med;
Former Director of Human Life International in Africa south of the Sahara; former Member of the Human Services Commission of the Catholic Bishops of South Africa
Prof. Lukas Novak
Faculty of Arts and Philosophy, Charles University, Prague
Fr. Guy Pagès
Diocesan Priest
Prof. Paolo Pasqualucci
Professor of Philosophy (retired), University of Perugia
Prof. Claudio Pierantoni
Professor of Medieval Philosophy in the Philosophy Faculty of the University of Chile; Former Professor of Church History and Patrology at the Faculty of Theology of the Pontificia Universidad Católica de Chile
Fr. Anthony Pillari, J.C.L., M.C.L
Prof. Enrico Maria Radaelli
Philosopher, editor of the works of Romano Amerio
Dr. John Rao
Associate Professor of History, St. John’s University, NYC; Chairman, Roman Forum
Dr. Carlo Regazzoni
Licentiate in Philosophy at University of Freiburg
Dr. Giuseppe Reguzzoni
External Researcher at the Catholic University of Milan and former editorial assistant of Communio, International Catholic Review (Italian edition)
Prof. Arkadiusz Robaczewski
Former Professor at the Catholic University of Lublin
Fr. Settimio M. Sancioni STD
Licence in Biblical Science
Prof. Andrea Sandri
Research Associate, Catholic University of the Sacred Heart in Milan
Dr. Joseph Shaw
Tutor in Moral philosophy, St Benet’s Hall, University of Oxford
Fr. Paolo M. Siano HED (Historiae Ecclesiasticae Doctor)
Dr. Cristina Siccardi
Historian of the Church
Dr. Anna Silvas
Adjunct research fellow, University of New England, NSW, Australia
Prof. Dr Thomas Stark
Phil.-Theol. Hochschule Benedikt XVI, Heiligenkreuz
Rev. Glen Tattersall
Parish Priest, Parish of Bl. John Henry Newman, archdiocese of Melbourne; Rector, St Aloysius’ Church
Prof. Giovanni Turco
Associate Professor of Philosophy of Public Law at the University of Udine, Member Corrispondent of the Pontificia Accademia San Tommaso d'Aquino
Prof. Piero Vassallo
Former editor of Cardinal Siri’s theological review Renovatio
Prof. Arnaldo Vidigal Xavier da Silveira
Former Professor at the Pontifical University of São Paulo, Brazil
Msgr. José Luiz Villac
Former Rector of the Seminary of Jacarezinho
=====
Excerpt of the Filial Correction issued to His Holiness Pope Francis:
Most Holy Father,
With profound grief, but moved by fidelity to our Lord Jesus Christ, by love for the Church and for the papacy, and by filial devotion toward yourself, we are compelled to address a correction to Your Holiness on account of the propagation of heresies effected by the apostolic exhortation Amoris laetitia
and by other words, deeds and omissions of Your Holiness.
We are permitted to issue this correction by natural law, by the law of Christ, and by the law of the Church, which three things Your Holiness has been appointed by divine providence to guard.
By natural law:
for as subjects have by nature a duty to obey their superiors in all lawful things, so they have a right to be governed according to law, and therefore to insist, where need be, that their superiors so govern.
By the law of Christ:
for His Spirit inspired the apostle Paul to rebuke Peter in public when the latter did not act according to the truth of the gospel (Gal. 2). St Thomas Aquinas notes that this public rebuke from a subject to a superior was licit on account of the imminent danger of scandal concerning the faith (Summa Theologiae 2a 2ae, 33, 4 ad 2), and ‘the gloss of St Augustine’ adds that on this occasion, “Peter gave an example to superiors, that if at any time they should happen to stray from the straight path, they should not disdain to be reproved by their subjects” (ibid.).
The law of the Church also constrains us, since it states that “Christ’s faithful . . . have the right, indeed at times the duty, in keeping with their knowledge, competence, and position, to manifest to the sacred pastors their views on matters which concern the good of the Church."
C.
TUJUH JALAN CINTA PAUS FRANSISKUS.
Jika ada yang meragukan bahwa Paus Fransiskus dipilih oleh Para Kardinal dengan mandat untuk memperbarui Vatikan, maka Paus sendiri bergurau kepada para jurnalist tanggal 16 Maret, 3 hari setelah terpilih, bahwa beberapa Kardinal mengusulkan nama baginya “Adrianus”, mengikuti jejak Paus Adrianus VI, seorang Paus yang secara agresif memperbarui Pusat Administrasi Vatikan pada tahun-tahun permulaan dari Protestantisme.
Namun pembaruan semacam itu hanyalah sebagian kecil saja dari yang Tuhan kehendaki dalam pembaruan Gereja. Ketika St. Fransiskus dari Asisi mendengarkan kata-kata Yesus dari Salib di Gereja San Damiano, “bangunlah kembali Gereja-Ku”, ia menyangka Tuhan menyuruhnya memperbaiki bangunan Gereja Kecil San Damiano itu. Nanun ternyata Tuhan menghendaki suatu proyek pembangunan lain yaitu: mereformasi kehidupan iman umat Gereja secara keseluruhan.
Nampaknya demikianlah, meskipun para Kardinal memilih seorang Paus untuk mengatasi pelbagai issue yang terjadi di dalam Curia Vatikan, dan pelbagai skandal di dalam Gereja, namun sama seperti Santo Pelindungnya itu, Paus Fransiskus kiranya boleh menjadi tangan Tuhan untuk melakukan pembaruan yang lebih besar dan mendasar di dalam Gereja Katolik.
Salah satu pembaruan yang mendesak ialah pemulihan kredibilitas moral hirarki Gereja, khususnya para imamnya. Skandal seks para imam dan cerita tentang korupsi di Vatikan bukan hanya sangat menurunkan kewibawaan moral pemimpin Gereja, melainkan juga memberikan kesan bahwa bentuk-bentuk kehidupan moral para klerus itu lebih menyerupai monster daripada santo.
Selama masa dua pekan sebagai Paus, maupun 14 tahun sebagi Uskup Agung Buenos Aires, Paus Fransiskus telah memiliki peta pembaruan hidup imamat. Kita dapat menggarisbawahi 7 (tujuh) pokok yang saya sebut sebagai "tujuh jalan cinta", berikut ini:
1. Kesederhanaan Para Imam (priestly simplicity)
Imam-imam diosesan tidak mengucapkan kaul kemiskinan, namun menyatakan komitmen mereka untuk hidup sederhana. Di banyak tempat, komitmen itu hanya “di mulut” saja (lip sevice), karena para imam itu (imam religius juga) mengendarai mobil yang baik (bahkan tergolong mewah), sering masuk di restaurant terbaik, dan nginap di hotel mewah (exquisite digs). Teladan Kardinal Bergoglio yang memilih tinggal di apartemen sederhana daripada di istana uskup, naik kendaraan umum daripada mobil pribadi dengan sopir, memasak makanannya sendiri, mau tidak mau akan membuat para imam berefleksi tentang ketulusan dan kesungguhan hati mereka untuk menghayati kemiskinan dan kesederhanaan.
2. Integritas Imamat (Priestly Integrity)
Ketika sebagai Uskup Agung, Paus ini berbicara secara vocal dan lantang melawan para imam yang “ hidup ganda” (spoke out forcefully against priests’ living a “double-life). Tahun 2010 ia menegaskan dalam suatu wawancara yang sudah diterbitkan menjadi buku, El Jesuita, tentang “ungkapan yang sudah umum di Argentina”: “Saya percaya kepada Tuhan, tetapi saya tidak percaya kepada para Imam”. Dan Ia menjawab: “Banyak di antara kita, para imam, yang memang tidak pantas mendapat kepercayaan itu.
Kardinal Bergoglio ingin mengubah keadaan itu dengan mengajak, membantu dan menuntut para imam untuk menghidupi integritas imamat secara tulus dan gembira. Di Buenos Aires, jika ada imam yang berada dalam kesulitan, ia akan membantunya mengatasi kesulitan itu, bahkan jika mencakup kemungkinan untuk meninggalkan imamat sekalipun. Apa yang tidak akan diberikan toleransi ialah: imam-imam yang hidup tidak konsekuen ( priests’ living incoherent lives); karena ia tahu bahwa hal tersebut akan berakibat sangat buruk dan menjadi skandal bagi umat Allah.
3. Akuntabilitas Imamat (priestly accountability)
Dengan membayar sewa penginapan yang ia tempati sebagai Kardinal ketika di Roma sebelum masuk ke Domun Santae Marhtae mengikuti konklav, segera setelah Ia terpilih menjadi Paus, tidak boleh hanya diartikan sebagai tindakan manis yang ingin melepaskan segala bentuk privilegi, melainkan sebagai tanda nyata dari akuntabilitas; Bahkan seorang Paus pun tidak boleh dikecualikan dari tuntutan keadilan standard yang berlaku untuk masyarakat umum.
4. Pelurusan Penggunaan Kekuasaan Klerus.
Seperti ditegaskannya pada homili Misa Inagurasi Paus, bahwa kekuasaan seorang imam harus letakkan atas dasar pelayanan, yaitu diarahkan kepada perlindungan penuh kasih kepada sesama, khususnya yang miskin dan menderita, yang lemah dan yang dianggap tidak berguna, dan mereka yang dilupakan. Seperti seorang Gembala yang baik, seorang imam harus berusaha untuk menjadi pelayan, bukan menjadi tuan besar. Hal-hal itu persis terbalik dengan semangat klerikalisme yang di banyak tempat telah menyakitkan dan melukai Umat Allah atau Gereja.
5. Imam harus menjadi orang yang Penuh Belaskasih. (calling priests to be men of profound mercy)
Dalam buku El Jesuita itu, ketika ada imam-imam yang meminta nasehatnya, Bergoglio akan menjawab: “Milikilah belaskasih”. Mottonya sendiri Miserando Atque Eligendo (“Lowly But Chosen”. Kecil namun dipilih.) mengingatkan pengalaman panggilannya yang lahir dari pengalaman belas kasih Allah. Ketika berusia 17 tahun, ia pergi mengaku dosa pada pesta St. Mateus, seorang pendosa yang bertobat. Paus Fransiskus mengingatkan pada kesempatan Angelus Pertama kepada umat di lapangan St. Petrus bahwa “Tuhan tidak pernah lelah mengampuni kita, namun kitalah yang lelah memohon ampun kepada Tuhan” (Dio no si stanca mai a perdornarci, Ci siamo noi che stanchiamo a chiedere perdono a Dio).
6. Imam perlu menghayati secara nyata semangat liturgi (he is calling all priests to live out the real spirit of the liturgy.)
Paus Fransiskus akan melanjutkan pembaruan-pembaruan liturgi, dengan berfokus pada pembaruan internal dan spiritual dari para pelaku liturgi itu sendiri. Ia sepaham dan sepakat dengan Paus Benedictus XVI bahwa Yesus-lah, bukan imam, adalah Pusat dari Liturgi dan Pelaku sesungguhnya dari Ekaristi. Ia juga sealiran dan sependapat dengan Paus Benedictus tentang cinta yang mendalam dari pemikiran-pemikiran seorang liturgist yang besar Romano Guardini, yang tentangnya Paus Fransiskus telah menulis dissertasi.
7. Imam adalah pelaksana Evangelisasi Baru.
Masih dalam El Jesuita itu, Kardinal Bergoglio pernah menyatakan: “Penggodaan terbesar dan permanen dari pada Klerus atau imam adalah untuk menjadi administrator dari pada menjadi pastor (gembala). Imam-imam itu perlu keluar untuk menjumpai umat, khususnya yang hilang dan tersesat. Seorang Imam yang hanya tinggal-tinggal di pastoran bukanlah imam yang sejati (autentik); ( he is not an “authentic pastor). Ia memuji para pastor paroki yang mengenal dengan baik umatnya bukan hanya nama mereka, tetapi juga nama julukan mereka. Pada zaman di mana para imam, uskup dan kuria sudah dijebak dalam penjara tugas-tugas administrasi ini, Paus Fransiskus mengajak mereka semua untuk memprioritaskan kembali pada tugas penginjilan Gereja ( to reprioritize toward the Church’s evangelical mission)
THINK GLOBALLY, ACT LOCALLY

Tidak ada komentar:

Posting Komentar