Pages

APOGHTEMATA PATRUM EDISI FEBRUARI



APOGHTEMATA PATRUM EDISI FEBRUARI
(RJK. 2018).
01 FEBRUARI
Pada suatu hari, Abas Arsenius meminta nasihat kepada seorang rahib tua Mesir mengenai pikiran-pikirannya.
Seseorang mengetahui hal itu dan berkata kepadanya: “Abas Arsenius, bagaimana bisa terjadi, Bapa yang tahu bahasa Latin dengan baik dan berpendidikan Yunani menanyakan pikiran-pikiran Bapa kepada rahib sederhana itu?”
Ia menjawab: “Aku memang belajar Latin dan Yunani, akan tetapi aku tidak tahu apa-apa tentang abjad rahib sederhana itu.”
02 FEBRUARI
Uskup Agung Teofilus yang suci, didampingi seorang hakim, suatu hai menemui Abas Arsenius.
Ia bertanya kepada sang penatua untuk mendengarkan sepatah kata dari dia.
Sesudah diam sebentar, sang penatua menjawab: “Apakah Anda mau melaksanakan yang akan saya katakan pada Anda?”
Mereka berjanji untuk melaksanakannya.
“Jikalau Anda mendengar Arsenius ada di suatu tempat, jangan pergi kesana.”
Kali lain, Uskup Agung, yang bermaksud mengunjunginya, mengutus seseorang untuk mencari tahu apakah sang penatua bersedia menerimanya.
Arsenius berkata: “Jikalau Anda datang, aku akan menerima Anda. Akan tetapi kalau aku menerima Anda, berarti aku menerima setiap orang dan itu berarti aku tidak akan tinggal di sini lagi.”
Ketika mendengar jawaban itu, sang Uskup Agung berkata: “Kalau aku yang menyebabkan dia pergi karena mengunjunginya, aku tidak akan pernah mengunjunginya lagi.”
03 FEBRUARI
Seorang saudara bertanya kepada Abas Arsenius untuk mendengarkan sepatah kata dari dia.
Sang penatua berkata: “Berusahalah dengan sekuat tenagamu untuk menyelaraskan kegiatan batinmu dengan Allah, maka engkau akan dapat mengalahkan nafsu-nafsu lahir.”
Ia juga berkata: “Kalau kita mencari Allah, Ia akan memperlihatkan Diri-Nya kepada kita. Dan kalau kita tetap berpegang pada-Nya, Ia akan tetap tinggal dekat pada kita.”
04 FEBRUARI
Seseorang berkata kepada Abas Arsenius: “Pikiran-pikiranku menggelisahkan daku, karena mereka berkata, ‘Engakau tidak dapat berpuasa ataupun bekerja, sekurang-kurangnya pergilah mengunjungi orang sakit, karena hal itu jua
ga merupakan perbuatan kasih! “
Sang penatua yang mengetahui bahwa itu merupakan saran iblis, berkata kepadanya: “Pulanglah, makanlah, minumlah, tidurlah, tak usah bekerja, hanya saja jangan meninggalkan selmu.”
Karena ia tahu bahwa kesetiaan dalam sel bisa menjaga rahib di jalan yang benar. Ia juga mengatakan: “Seorang rahib yang berpergian keluar tidak akan memperoleh apapun. Karena itu ia harus tetap tinggal dalam selnya dengan alami.”
05 FEBRUARI
Abas Markus berkata kepada Abas Arsenius: “Mengapa Bapa menghindari kami?”
Sang penatua menjawab: “Allah tahu bahwa aku mencintaimu. Akan tetapi aku tak dapat hidup bersama Allah sekaligus bersama orang-arang. Beribu-ribu dan sepuluh ribu balatentara surgawi hanya memiliki satu keinginan, sedangkan manusia memiliki banyak keinginan. Karena itu aku tak dapat meninggalkan Allah untuk tinggal bersama orang-orang.”
06 FEBRUARI
Abas Daniel berkata tentang Abas Arsenius bahwa ia biasa melewati seluruh malam tanpa tidur dan pagi-pagi buta ketika tubuhnya memaksa dia untuk tidur, ia akan berkata kepada sang tidur, ‘Datanglah kemari, hai hamba jahat’.
Kemudian, sambil tetap duduk, ia akan tidur sebentar sekali dan segera bangun lagi. Ia biasa berkata bahwa tidur satu jam sudah cukup untuk seorang rahib, kalau ia betul-betul seorang pejuang yang baik.
07 FEBRUARI
Seorang penatua biasa menceritakan bagaimana pada suatu hari seseorang membagi-bagikan beberapa buah ara kering di Scetis.
Karena buah-buah itu tidak berharga apa-apa, tidak ada seorang pun yang memberikannya kepada Abas Arsenius untuk menjaga jangan sampai menyinggung perasaannya.
Ketika mengetahui hal itu, sang penatua tidak datang ke “synaxis” dengan berkata: “Kalian telah mengucilkan aku karena kalian tidak memberi aku bagian dari berkat yang telah Allah berikan kepada para saudara dan yang tidak pantas kuterima.”
Setiap orang yang mendengar hal itu mendapat manfaat rohani dari kerendahan hati sang penatua. Kemudian seorang imam membawakan sedikit buah ara kering kepadanya dan mengajak dia ke “synaxis” dengan gembira.
08 FEBRUARI
Abas Daniel berkata bahwa ada beberapa saudara yang bermaksud pergi ke Thebaid untuk membeli beberapa tali rami sembari berkata ‘Mari kita juga mengambil kesempatan untuk mengunjungi Abas Arsenius’.
Maka Abas Alexander memberitahuhan sang penatua: “Beberapa saudara yang datang dari Alexandria ingin menemui Bapa”.
Sang penatua menjawab: “Tanyakan pada mereka untuk apa mereka datang”.
Ketika ia mengetahui bahwa mereka bermaksud pergi ke Thebaid untuk membeli tali rami, ia melaporkan itu kepada sang penatua yang berkata: “Mereka pasti tidak bermaksud menemui Arsenius, karena mereka tidak datang untukku melainkan untuk tugas mereka. Biarkan mereka beristirahat kemudian suruhlah mereka pergi dalam damai dan katakan kepada mereka bahwa sang penatua tidak dapat menerima mereka.”
09 FEBRUARI
Ketika Abas Arsenius tinggal di Canopus, ada seorang gadis yang sangat kaya dan takut akan Allah dari kalangan senat datang dari Roma untuk menemuinya.
Ketika Uskup Agung Teofilus bertemu dengannya, gadis itu mohon kepadanya untuk membujuk sang penatua supaya menerima dia.
Maka ia pergi dan memohon kepada Arsenius untuk melakukan hal itu dengan kata-kata ini : “Seseorang dari kalangan senat datang dari Roma dan ingin menemui Bapa”.
Sang penatua menolak untuk bertemu dengannya.
Akan tetapi ketika Uskup Agung itu memberitahukan penolakan itu kepada gadis muda tersebut, segera ia memerintahkan memasang pelana pada seekor binatang beban sambil berkata : “Aku percaya pada Allah bahwa aku dapat menemuinya, karena aku datang bukan untuk menemui seorang pria (ada banyak pria dikota kami), melainkan seorang nabi.”
Ketika ia tiba di sel sang penatua, atas izin Allah, ia berada di luar selnya.
Ketika melihat dia, si gadis meniarap di muka kakinya. Dengan kasar Arsenius membangunkannya dan berkata sambil menatap dia dengan tajam: “Jikalau engkau harus melihat wajahku ini, lihatlah.“
Si gadis menjadi malu dan tidak berani memandang wajahnya. Kemudian sang penatua berkata: “Tidakkah engkau mendengar berita tentang cara hidupku? Itu harus kauhormati. Berani-beraninya engkau mengadakan perjalanan sejauh itu? Apakah engkau tidak sadar bahwa engkau seorang perempuan dan tidak dapat pergi begitu saja kesana-kemari? Ataukah engkau, begitu kembali ke Roma lalu dapat berkata kepada perempuan-perempuan lain: Aku telah melihat Arsenius? Lalu mereka akan mengubah lautan menjadi jalan penuh perempuan untuk datang melihat aku?”
Si gadis berkata: “Demi Tuhan, aku tidak akan membiarkan seorang pun datang ke sini. Tetapi doakanlah aku dan ingatlah aku selalu.”
Akan tetapi ia menjawab: “Aku mohon kepada Allah untuk menghapus ingatan akan dikau dari dalam hatiku.”
Dengan rasa terpukul akibat mendengar kata-kata itu, ia mengundurkan diri. Ketika ia kembali ke kota, dalam kesedihannya ia jatuh sakit demam.
Lalu Uskup Agung Teofilus yang suci diberitahu bahwa ia sakit. Sang Uskup datang menjenguknya dan menyuruh dia menceriterakan apa yang telah terjadi.
Ia berkata: “Seandainya aku tidak pergi kesana: ketika aku mohon sang penatua untuk mengingat aku, ia malah berkata: ‘Aku mohon kepada Allah untuk menghapus ingatan akan dikau dari dalam hatiku’. Jadi sekarang aku sangat sedih sekali.
Uskup itu berkata: “Apakah engkau tidak sadar bahwa engkau seorang wanita dan bahwa melalui wanitalah si musuh berperang melawan para kudus? Itulah penjelasan dari kata-kata sang penatua. Tetapi demi jiwamu, ia akan mendoakannya terus menerus.“
Mendengar itu, batin si gadis disembuhkan dan ia pulang ke rumahnya dengan gembira.
10 FEBUARI
Abas Daud menceriterakan hal ini tentang Abas Arsenius.
Pada suatu hari seorang notaris datang, sambil membawa surat wasiat dari seorang senator, masih sanak keluarganya yang meninggalkan untuknya sejumlah besar warisan.
Arsenius mengambil surat itu dan hampir memusnahkannya. Akan tetapi notaris itu meniarap di muka kakinya sambil berkata: “Aku mohon, jangan memusnahkan itu karena mereka akan memenggal kepalaku.”
Abas Arsenius berkata kepadanya: “Tetapi aku telah mati lama sebelum senator itu baru saja mati”, dan ia mengembalikan surat wasiat itu kepadanya tanpa menerima apa-apa.
11 FEBRUARI
Abas Daud berkata: “Abas Arsenius menceritakan kepada kami kisah berikut, seakan-akan itu mengenai seorang lain padahal sebetulnya mengenai dirinya sendiri.
Seorang penatua sedang duduk di selnya dan ada suara yang mengatakan: ‘mari, aku akan memperlihatkan kepadamu pekerjaan-pekerjaan orang-orang’.
Ia bangun dan mengikuti. Suara itu membimbing dia ke suatu tempat dan memperlihatkan kepadanya seorang Etiopia sedang memotong kayu dan menumpuknya sampai tinggi. Ia berusaha untuk membawanya tetapi sia-sia. Anehnya, daripada membawa beberapa potong, ia malah memotong lebih banyak lagi yang ia tambahkan pada tumpukan itu. Ia melakukan hal itu lama sekali.
Ketika pergi sedikit lebih jauh, sang penatua melihat seorang pria sedang berdiri di tepi danau sambil mengambil air yang ia tuang ke dalam sebuah wadah yang bocor, sehingga air itu kembali lagi ke danau.
Kemudian suara itu berkata lagi kepada sang penatua: “Mari, aku akan menunjukkan kepadamu sesuatu yang lain.”
Ia melihat sebuah kuil dan dua orang peria menunggang kuda saling berhadapan sambil membawa sepotong kayu secara melintang. Mereka ingin melewati pintu kuil itu tetapi tidak dapat karena mereka memegang kayu tersebut secara melintang. Tidak ada seorang pun dari mereka yang mau mundur ke belakang yang lain supaya dapat membawa kayu itu secara lurus, sehingga mereka tetap tinggal diluar pintu.
Suara itu berkata kepada sang penatua: “Orang-orang itu membawa kuk kebenaran dengan sombong dan tidak merendahkan dirinya untuk memperbaiki diri mereka dan berjalan dalam jalan kerendahan hati Kristus. Maka mereka tetap tinggal diluar kerajaan Allah. Pria yang memotong kayu itu adalah orang yang hidup dalam banyak dosa dan daripada bertobat ia malah menambah lebih banyak kesalahan pada dosa-dosanya. Pria yang mengambil air ialah orang yang memang melakukan perbuatan-perbuatan baik, akan tetapi mencampurnya dengan perbuatan-perbuatan buruk, sehingga ia malah mencemarkan perbuatan-perbuatan baiknya. Oleh karenanya, setiap orang harus waspada terhadap perbuatan-perbuatannya, jangan sampai ia bekerja dengan sia-sia.
12 Februari
Pada suatu ketika Abas Arsenius jatuh sakit di Scetis. Seorang imam membawa dia ke gereja dan membaringkannya diatas sebuah tempat tidur dengan sebuah bantal kecil di bawah kepalanya.
Lalu datang seorang rahib untuk mengunjunginya dan ketika ia melihat Arsenius berbaring diatas tempat tidur dengan sebuah bantal kecil di bawah kepalanya ia menjadi shock dan berkata: “Apakah ini benar-benar Abas Arsenius, pria yang sedang terbaring seperti ini?” “Aku telah menjalani hidup yang sangat keras”.
Lalu imam itu berkata: “Dan bagaimana hidupmu dalam selmu sekarang?”
Rahib itu menjawab: “Sekarang aku lebih senang”.
Kemudian imam itu berkata kepadanya: “Engkau lihat Abas Arsenius ini? Ketika ia masih di dunia, ia adalah bapa dari kaisar, dikelilingi oleh beribu-ribu budak dengan korset-korset emas, semua memakai borgol leher dari emas dan pakaian-pakaian dari sutra. Di bawah kakinya terhampar permadani-permadani mewah. Ketika engkau di dunia sebagai seorang gembala, engkau tidak menikmati kesenangan-kesenangan yang sekarang kau peroleh, akan tetapi dia tidak lagi menikmati kesenangan hidup yang ia alami sewaktu ia di dunia. Karena itu engkau sekarang malah hidup senang sedangkan dia hidup menderita”.
Berkat kata-kata itu, rahib tersebut dipenuhi dengan keremuk-redaman hati dan meniarap sambil berkata: “Bapa, ampunilah aku, karena aku telah berdosa. Benar jalan yang diikuti oleh pria ini adalah jalan kebenaran, karena jalan itu membimbing kepada kerendahan hati, sedang jalanku mengarah kepada kesenangan.”
Demikianlah rahib itu pulang dengan memperoleh manfaat rohani.
13 Februari
Seorang Bapa mengunjungi Abas Arsenius. Ketika ia mengetuk pintu, sang penatua yang membukanya, karena ia mengira itu adalah pelayannya. Akan tetapi ketika ia melihat bahwa itu adalah seorang lain ia berbaring dengan menelungkupkan mukanya ke tanah.
Orang itu berkata kepada Arsenius: “Bangunlah Bapa, supaya aku dapat menyalami Bapa.”
Akan tetapi sang penatua itu menjawab: “Aku tidak akan bangun sampai engkau pergi”.
Dan meskipun ia memohon dengan sangat, Arsenius tidak bangkit sampai orang itu pergi.
14 Februari
Ada seorang saudara yang datang mengunjungi Abas Arsenius di Scetis. Ketika ia tiba di gereja, ia bertanya kepada imam di situ apakah ia dapat mengunjungi Abas Arsenius.
Mereka berkata kepadanya: “Saudara, makanlah sedikit kemudian pergilah dan temuilah dia”.
“Aku tidak akan makan apa-apa”, katanya, “sampai aku bertemu dengannya”.
Karena sel Arsenius jauh letaknya, mereka menyuruh seorang saudara menyertai dia. Sesudah mengetuk pintu, mereka masuk, memberi salam kepada sang penatua dan duduk tanpa mengatakan apa-apa.
Kemudian saudara yang dari gereja itu berkata: “Aku akan meninggalkan engkau. Berdoalah bagiku.”
Saudara pengunjung itu karena merasa tak senang dengan sang penatua, berkata: “Aku ikut bersamamu”.
Lalu mereka pergi bersama-sama. Kemudian saudara pengunjung itu memohon: “Bawa aku ke tempat Abas Musa, yang bekas perampok itu.”
Ketika mereka tiba Abas Musa menyambut mereka dengan gembira dan kemudian melepas mereka pulang dengan senang.
Saudara yang telah membawa yang lain itu berkata: “Lihat, aku telah membawa engkau ke orang asing itu dan ke orang Mesir itu. Mana diantara keduanya yang lebih kau sukai?
“Bagiku”, jawabnya, “aku lebih menyukai si orang Mesir itu”.
Ada seorang Bapa yang mendengar hal itu lalu berdoa kepada Allah: “Tuhan, jelaskanlah hal ini kepadaku: demi nama-Mu yang satu lari dari orang-orang, dan yang lainnya, demi nama-Mu, menerima mereka dengan tangan terbuka.
“Kemudian diperlihatkan kepadanya ada dua sampan besar di sebuah sungai. Dan ia melihat Abas Arsenius dengan Roh Allah sedang berlayar disampan yang satu, dalam kedamaian sempurna. Sedangkan di sampan lainnya ia melihat Abas Musa dengan para malaikat Allah sedang makan kue madu.
15 Februari
Ketika Abas Arsenius hampir meninggal, murid-muridnya menjadi susah.
Ia berkata kepada mereka: “Waktunya belum tiba. Kalau waktunya tiba aku akan mengatakannya kepada kalian. Tetapi seandainya kalian memberikan jenasahku kepada siapa pun saja kita akan diadili dihadapan tahta pengadilan yang menggentarkan.“
Mereka berkata kepadanya: “Apa yang harus kami perbuat? Kami tidak tahu bagaimana menguburkan seseorang.”
Sang penatua berkata kepada mereka: “Apakah kalian tidak tahu bagaimana mengikat sebuah tali pada kakiku dan menyeret aku ke atas gunung?”
Sang penatua biasa berkata kepada dirinya: “Arsenius, mengapa engkau telah meninggalkan dunia? Aku kerap menyesal karena sudah banyak bicara, tetapi tidak pernah diam”.
Ketika saat kematian semakin mendekat, para saudara melihat dia menangis dan mereka berkata kepadanya: “Sesungguhnya, Bapa, apakah Bapa juga takut?”
“Memang”, jawabnya, “ketakutanku pada saat ini telah ada padaku sejak aku menjadi rahib”.
Sesudah itu ia jatuh tertidur.
16 Februari
Dikatakan tentang Arsenius bahwa ia mempunyai sebuah lekuk di dadanya karena dikikis oleh air mata yang jatuh dari matanya sepanjang hidupnya sementara ia duduk melakukan kerja tangannya.
Ketika Abas Poemen mengetahui bahwa ia meninggal, ia berkata sambil menangis: “Sungguh engkau berbahagia, Abas Arsenius, karena engkau menangisi dirimu sendiri di dunia ini; Orang yang tidak menangisi dirinya di dunia sini akan menangis abadi di dunia sana; karena itu tidak mungkin tidak menangis entah dengan sengaja entah karena dipaksa oleh penderitaan.”
17 Februari
Abas Daniel biasa berkata tentang Abas Arsenius demikian: “Ia tidak mau menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan Kitab Suci, meskipun ia sebetulnya dapat melakukannya dengan baik kalau ia mau. Demikian juga ia tidak pernah menulis surat. Kalau kadang-kadang ia datang ke gereja, ia akan duduk di belakang sebuah tiang, sehingga tidak seorang pun yang dapat melihat wajahnya dan ia sendiri tidak akan memperhatikan orang-orang lain."
"Penampilannya seperti malaikat, seperti kisah Yakub. Tubuhnya halus dan ramping; janggutnya panjang sampai menyentuh pinggangnya. Karena banyak menangis bulu matanya menjadi rontok. Badanya tinggi tetapi menjadi bungkuk karena usia tua. Ia berusia 95 tahun ketika meninggal."
"Selama 40 tahun ia bekerja di istana Teodosius Agung, ayah dari Arcadius dan Honorius; kemudian ia tinggal di Scetis selama 40 tahun, di Troe di atas Babilon, berseberangan dengan Memphis, selama 10 tahun dan di Canopus Alexandria selama 3 tahun."
"Dua tahun terahir ia kembali ke Troe di mana ia meninggal, sesudah menyelesaikan jalan hidupnya dalam damai dan takut akan Allah. Ia seorang yang baik “penuh dengan Roh Kudus dan iman” (Kis 11,24). Ia mewariskan kepadaku jubah kulitnya, kemeja putih dari bulu kasar dan sandal daun palmanya. Meskipun tidak pantas, aku memakainya, supaya mendapat berkatnya.”
18 Februari
Pada suatu hari beberapa rahib mengunjungi Abas Arsenius dan memaksa untuk bertemu dengannya. Ia menerima mereka.
Kemudian mereka meminta pendapatnya mengenai rahib-rahib yang tinggal dalam kesunyian tanpa bertemu seorang pun.
Sang penatua berkata kepada mereka: “Selama seorang gadis muda tinggal dalam rumah ayahnya, banyak pemuda ingin menikahinya. Tetapi kalau ia telah bersuami, ia tidak dapat lagi menyenangkan setiap orang; beberapa orang menghinanya, yang lain memujinya; ia tidak lagi menikmati kebaikan dan kemanisan masa lalu, ketika ia masih menjalani hidup yang tersembunyi. Demikian halnya dengan jiwa; sejak hari ketika ia tampil di hadapan orang, ia tidak dapat lagi memuaskan setiap orang.”
19 Februari
Abas Petrus, murid Abas Lot, berkata: “Suatu hari ketika aku berada di sel Abas Agaton, seorang saudara masuk dan berkata kepadanya: “Aku ingin hidup bersama para saudara; beritahukanlah kepadaku bagaimana supaya aku dapat tinggal bersama mereka.“
Sang penatua menjawab: “Sepanjang hari hidupmu tetaplah menganggap dirimu sebagai seorang asing yang datang pada hari pertama engkau bergabung bersama mereka, supaya engkau tidak menjadi terlalu akrab dengan mereka.”
Abas Makarius bertanya: “Apa akibatnya kalau menjadi terlalu akrab?”
Sang penatua menjawab: “Itu sama seperti angin yang kuat dan panas, setiap kali ia bertiup segala sesuatu terbang berhamburan dan ia memusnahkan buah-buah dari pohonnya.“
Abas Makarius berkata lagi: “Apakah berbicara terlalu bebas sungguh-sungguh seburuk seperti itu semua?”
Abas Agaton berkata:
“Tidak ada nafsu yang lebih buruk daripada lidah yang tidak terkendali, karena itu adalah ibu dari segala nafsu. Karena itu karyawan yang baik tidak akan menggunakannya, bahkan kalau ia tinggal seorang diri dalam selnya. Aku kenal seorang saudara yang tinggal dalam waktu lama di dalam selnya dengan mengunakan sebuah ranjang kecil. Ia berkata: ‘Aku seharusnya telah meninggalkan selku ini tanpa menggunakan ranjang kecil itu kalau sebelumnya ada orang yang memberitahukan aku bahwa ranjang itu ada disitu.’ Rahib yang bekerja keraslah yang menjadi seorang pejuang sejati.
20 Februari
Abas Agaton berkata: “Dalam segala situasi rahib seharusnya membiarkan suara hatinya menegur dia tentang segala sesuatu”.
Ia juga berkata: “Kecuali dengan mentaati perintah-perintah Allah, seorang rahib tidak dapat membuat kemajuan, bahkan dalam sebuah keutamaan pun”.
Ia berkata juga: “Aku tidak pernah pergi tidur dengan perasaan susah karena telah melawan seseorang, dan sedapat-dapatnya aku tidak pernah membiarkan seorang pun pergi tidur dengan perasaan susah karena telah melawan daku.”
21 Februari
Dikatakan tentang Abas Agaton bahwa beberapa rahib datang menemuinya karena telah mendengar tentang kemampuannya yang besar dalam hal penegasan roh.
Karena ingin melihat apakah ia akan kehilangan kesabarannya, mereka berkata kepadanya: “Bukankah engkau Agaton yang dikatakan sebagai seorang pezinah dan sombong?”
“Ya, itu sangat benar,” jawabnya.
Mereka melanjutkan: “Bukankah engkau Agaton yang selalu berbicara omong kosong?”
“Ya”.
Mereka berkata lagi: “Bukankah engkau Agaton si bidaah?”
Kali ini ia menjawab: “Aku bukan seorang bidaah.”
Mereka lalu bertanya kepadanya: “Beritahukanlah kepada kami mengapa engkau menerima setiap hal yang kami lontarkan kepadamu, tetapi menolak penghinaan yang terakhir.”
Ia menjawab:
“Tuduhan-tuduhan pertama aku terima karena itu baik bagi jiwaku. Tetapi bidaah berarti terpisah dari Allah. Dan aku tidak ingin dipisahkan dari Allah.”
Dengan kata-kata itu mereka menjadi kagum akan kemampuannya mengadakan penegasan roh dan mereka pulang dengan memproleh manfaat rohani.
22 Februari
Dikatakan bahwa Abas Agaton telah menghabiskan banyak waktu untuk membangun sebuah sel dengan para muridnya.
Pada akhirnya ketika selesai, mereka tinggal di sana. Ketika dalam minggu pertama ia melihat sesuatu yang nampaknya berbahaya, ia berkata kepada para muridnya: “Bangunlah, mari kita tinggalkan tempat ini”.
Tetapi mereka menjadi terkejut dan menjawab: “Kalau Bapa telah memutuskan untuk pindah, mengapa kita telah demikan bersusah payah membangun sel ini? Kita bahkan menyebabkan batu sandungan bagi orang-orang, yang akan berkata: “Lihat mereka, pindah lagi; orang-orang yang tidak stabil”.
Ia melihat bahwa mereka dikuasai oleh perasaan takut, maka ia berkata kepada mereka: “kalau beberapa orang mendapat batu sangdungan, sebaliknya beberapa orang lainnya justru memperoleh banyak manfaat rohani dan akan berkata: ‘Betapa berbahagianya mereka yang berangkat demi Allah, yang tidak mencemaskan apapun’.
Bagaimanapun juga, biarlah yang ingin tetap tinggal, tinggallah, sedangkan aku sendiri, aku mau pergi.”
Lalu mereka meniarap di tanah dan mohon kepadanya untuk mengizinkan mereka pergi bersamanya.
23 Februari
Dikatakan bahwa Abas Agaton kerap pergi tanpa membawa apa-apa kecuali pisaunya untuk membuat keranjang anyaman.
Ia adalah orang yang bijaksana dalam roh dan giat dalam tubuh. Ia menyediakan sendiri segala sesuatu yang ia perlukan untuk kerja tangan, makanan dan pakaian.
Ia berkata: “Aku tidak pernah memberi persembahan ‘agape’; tetapi tindakan memberi dan menerima bagiku sudah merupakan tindakan ‘agape’, karena aku melihat kebaikan saudaraku sebagai persembahan kurban.”
24 Februari
Seorang bertanya kepada Abas Agaton: “Mana yang lebih baik, askesis badan atau berjaga-jaga batin?”
Sang penatua menjawab: “Manusia itu seperti sebatang pohon, askesis badan adalah daunnya, berjaga-jaga batin buahnya. Menurut apa yang tertulis, ‘Setiap pohon yang tidak menghasilkan buah baik akan ditebang dan dibuang kedalam api’ {Mat 3,10}. Maka jelas bahwa semua perhatian kita harus diarahkan kepada buahnya, artinya, kepada berjaga batin; akan tetapi hal itu membutuhkan perlindungan dan perhiasan daun-daun, yang adalah askesis badan.”
25 Februari
Para saudara bertanya kepada Abas Agaton: “Di antara semua pekerjaan baik, mana keutamaan yang menuntut paling banyak usaha?”
Ia menjawab: “Maafkan daku, tetapi kukira tidak ada jerih payah yang lebih besar daripada berdoa kepada Allah. Karena setiap kali seorang ingin berdoa, para musuhnya, iblis, ingin mencegah dia, sebab mereka tahu bahwa hanya dengan memalingkan dia dari doalah mereka dapat memalingkan perjalanannya. Apapun pekerjaan baik yang di lakukan seseorang, kalau ia bertekun didalamnya, ia akan memperoleh istirahat. Tetapi berdoa merupakan pertempuran sampai nafas yang terakhir.”
26 Februari
Abas Agaton sedang berjalan-jalan bersama para muridnya. Salah seorang dari antara mereka menemukan sebuah kacang hijau di jalan, lalu berkata kepada sang penatua: “Bapa, bolehkah saya mengambilnya?”
Sang penatua memandang dia dengan heran dan berkata: “Apakah engkau yang meletakkannya disitu?”
“Bukan”, jawab saudara itu.
“Lalu”, lanjut sang penatua, “bagaimana engkau dapat mengambil sesuatu yang tidak kau taruh sendiri?”
Pada waktu lain, ada seorang saudara datang menemui sang penatua dan berkata kepadanya: “Izinkanlah aku tinggal bersama dengan Bapa”.
Dalam perjalanan ia telah menemukan sepotong garam di jalan dan membawanya.
“Dari mana kau temukan garam itu?” tanya Abas Agaton.
Saudara itu menjawab: “Aku menemukannya di jalan ketika aku datang kesini dan aku mengambilnya”.
Sang penatua berkata kepadanya: “Kalau engkau ingin tinggal bersamaku, bagaimana engkau dapat mengambil sesuatu yang tidak kau taruh sendiri?” Kemudian ia menyuruhnya meletakkan kembali garam itu ke tempat ia menemukannya.
27 Februari
Di katakan tentang Abas Agaton bahwa selama 3 tahun ia hidup dengan sebuah batu di dalam mulutnya, sampai ia berhasil belajar silentium.
Apabila pikirannya mendorong dia untuk mengadili sesuatu yang ia lihat, ia akan mengatakan kepada diri sendiri: “Agaton, bukan urusanmu untuk melakukan itu”.
Dengan demikian rohnya selalu sadar, utuh dan hening.
Ia berkata juga: “Orang yang marah, bahkan kalau ia dapat membangkitkan orang mati, tidak berkenan kepada Allah”.
28 Februari
Sekali waktu Abas Agaton mempunyai dua orang murid yang masing-masing menjalani hidup sebagai anakorit sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Pada suatu hari ia bertanya kepada yang satu: “Bagaimana cara hidupmu dalam sel ?”
Ia menjawab: “Saya berpuasa sampai sore, kemudian saya makan dua potong biskuit keras.”
Ia berkata kepadanya: “Cara hidupmu sudah bagus, tidak dibebani oleh terlalu banyak askesis”.
Kemudian ia bertanya kepada yang kedua: “Dan engkau, bagaimana cara hidupmu ?”
Ia menjawab: “Saya berpuasa selama dua hari, kemudian saya makan dua potong biskuit keras”.
Sang penatua berkata: “Engkau bekerja sangat keras dengan bertahan dalam menghadapi dua pertentangan batin; yang satu, ada orang yang bekerja keras untuk makan setiap hari tanpa rakus; yang lain, ada orang-orang yang ingin berpuasa selama dua hari, lalu sesudahnya menjadi rakus, sedangkan engkau sesudah berpuasa dua hari tidak menjadi rakus”.
29 Februari (untuk tahun kabisat)
Seorang saudara bertanya kepada Abas Agaton mengenai nafsu percabulan.
Ia menjawab: “Pergi dan campakkanlah kelemahanmu di hadapan Allah maka engkau akan mendapatkan ketenangan.
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar