Pages

Trust in God's timing.



HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
Trust in God's timing.
Esensi dari wakil rakyat, yaitu sebagai “...hoi aristoi, yakni: para bangsawan muliawan pilihan rakyat yang terpilih bukan karena asal-usulnya, melainkan karena luhurnya budi pekerti, perhatian, kemampuan, kepekaan, kesusilaannya.
Karenanya harus tanggap terhadap sifat dan keadaan bangsa serta tanah airnya, paham terhadap pemerintahan, paham dan mendalami panas-perih, kesulitan dan penderitaan bangsa, paham terhadap gejolak nasional dan internasional, meyakini kewajiban dan tanggung jawabnya, penuh kesetiaan terhadap kesanggupan dan sumpahnya”.
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
NB:
BAHAYA “FUNDAMENTALISME” ATAU “BANALISASI” DENGAN MEMPERALAT KELOMPOK-KELOMPOK
MILITAN BERBENDERA AGAMA?
1.
Aneka ria gerakan fundamentalis Islam, selama tahun tahun terakhir, telah menimbulkan kecemasan di kalangan non-Muslim maupun di kalangan Muslim yang memperjuangkan kehidupan bersama pengikut agama-agama lain secara damai, tanpa friksi dan tanpa kekerasan. Karena gerakan-gerakan ini yang dulunya sering dikaitkan dengan tokoh asal Yaman yang jadi musuh bebuyutan pemerintah AS, Osamah bin Laden dan kini nge-trend dengan “teror” dan “horor” ala ISIS, banyak orang awam mengira bahwa gerakan-gerakan ini merupakan fenomena baru di dunia. Padahal kenyataannya tidak.
Yang baru adalah kalau di masa kolonial penguasa sangat menentang gerakan itu, di era yang katanya reformasi dan pasca reformasi, gerakan ini justru seakan ber‘bulan madu’ dengan sejumlah perwira aktif dan purnawirawan TNI dan Polri yang termasuk di komunitas intelijen (lihat Abduh 2001; Abduh (peny.) 2003; Ismail 2004).
2.
Gerakan pemurnian ajaran dan praktik agama Islam ini, yang sangat tidak toleran terhadap mazhab lain dalam Islam, apalagi dengan agama-agama non-Islam, dikenal dengan sebutan “gerakan salafi radikal” (Azyumardi Azra) atau “aliran skripturalisme” (Alwi Shihab). Gerakan ini dipelopori oleh ‘Abd-al Wahhab (1703-1787) di Semenanjung Arab, sehingga pengikutnya kemudian disebut kaum Wahhabi atau Wahhabiyah. Mereka mengecam kebiasaan yang menurut mereka bersifat takhayul, polities, bahkan kafir, yang merajalela di tengah-tengah kaum Muslim waktu itu, seperti misalnya sembahyang atau penyembahan di makam para syekh dan wali, serta kelalaian menjalankan shalat dan tuntutan Syariat lainnya. Mereka menuntut agar Islam kembali kepada cara hidup kaum Muslim pada masa Nabi.
Dalam hal ini ‘Abd-al Wahhab mengikuti mazhab Hanbali yang berprinsip bahwa hanya Al-Qur’an dan Sunnah Nabi-lah boleh dipegang sebagai pedoman bagi kehidupan seorang Muslim dalam pengertiannya yang harafiah, bukan melalui interpretasi apapun. Gerakan Wahhabi ini, sejak awal abad ke-20, melalui raja Ibnu Saud, menjadi satu-satunya mazhab yang diakui di Arab Saudi (lihat Aritonang 2004: 123).
3.
Gerakan Salafi ini mengalami radikalisasi seusai Perang Dunia kedua, ketika rezim-rezim sekuler yang didukung negara-negara Barat memegang kekuasaan di negara-negara Muslim, melakukan represi terhadap mereka.
Ini juga terjadi di Hindia Belanda, di mana orang-orang Islam yang baru pulang dari menjalankan ibadah haji dicurigai sebagai orang-orang fanatik yang gemar memberontak. Sikap antipati terhadap gerakan pemurnian penghayatan agama Islam itu akhirnya melahirkan reaksi dari kalangan pembaharu Islam dalam bentuk Perang Paderi (lihat Aritonang 2004: 132-7).
4.
Bertolak belakang dengan di zaman kolonial, di era pasca-Soeharto gerakan Salafi radikal mengalami arus pasang, dengan maraknya aksi-aksi kekerasan atas nama Islam, serta beredarnya majalah bulanan seperti Sabili, yang tidak hanya sangat antipati terhadap aliran Islam lain, seperti Ahmadiyah dan Syi’ah, tapi juga terhadap agama-agama non-Muslim, khususnya Nasrani.
Perkembangan ini belum terlalu meresahkan umat Kristiani. Keresahan baru timbul setelah banyak gereja dan kegiatan ibadah Kristiani diserang dan tempat ibadah ditutup oleh penduduk sekitar, kadang-kadang atas hasutan kelompok militan dari tempat lain, tapi hampir selalu dengan pembiaran oleh aparat keamanan setempat.
5.
Timbul pertanyaan: Apakah kasus-kasus itu terjadi secara spontan, secara acak, dan bukan direkayasa? Apakah kerusuhan-kerusuhan itu merupakan kerja suatu “industri kerusuhan” (riot industry)? Apakah ada orang-orang dari kelas pejabat/penguasa yang dimobilisir oleh komunitas intelligence untuk mengorganisir penyerangan-penyerangan itu?
Lebih jauh lagi, apakah “industri kerusuhan” itu bertujuan memelihara kerawanan sosial sehingga pilar kekuasaan lama dapat berkuasa kembali, dengan menggunakan gerakan militan Islam sebagai kendaraan politiknya?
6.
Stigmatisasi umat Islam, khususnya pesantren yang digambarkan sebagai ‘sarang teroris’, tercipta lewat pernyataan-pernyataan pers. Pernyataan-pernyataan yang kurang arif ini mengundang reaksi keras dari sejumlah pimpinan pesantren dan tokoh Islam, termasuk Abdurrahman Wahid.
7.
Sederhananya:
Apakah kita sedang menghadapi bahaya fundamentalisme Islam, ataukah kita sedang menghadapi banalisasi, yakni proses pendangkalan etika ber-politik secara akal sehat, dengan memperalat atau meng-inastrumentalisasi kelompok-kelompok militan Muslim sebagai picu atau pengawet kerusuhan? Ataukah kedua – duanya?
Silakan renung dan telaah. “Mang onceki dewe-dewe!”***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar