Pages

Djoko Pekik.



REPOST:
Djoko Pekik.
Ars longa vita brevis....
PEKIK. Ia selintas mirip Ho Chi Minh yang menyamar jadi buruh perkebunan tebu. Kurus. Misainya memanjang tapi tak rimbun. Rambutnya yang lurus rada kacau, gondrong tapi tak berjela. Keriputnya kentara di kulit wajahnya yang gelap terjemur matahari, tapi otot itu tampak masih liat. Matanya sipit, dengan tilikan tajam (lewat kacamata) yang jail. Atau jenaka.
Djoko Pekik, 80 sekian tahun, masih bisa menertawakan nasib dan dirinya. Saya rasa pelukis ini, dengan sikap ironis, sedang berbahagia. Dan itu sebuah cerita tersendiri.
Siang itu saya berdiri di sebelahnya, di tepi Kali Bedhog yang mengalir tipis dan lirih di kiri rumahnya. Serumpun bambu tinggi menaungi petak tanah itu, sebagaimana ratusan pohon meneduhkan tanahnya di Desa Sembungan itu. Tenteram.
Tadi, ketika kami duduk di bangku, menghadapi gelas kopi manis dan pisang rebus, ia serius bertanya: apa sebenarnya nasib baginya? Saya tiba-tiba teringat sebaris sajak saya sendiri: “Tuhan, kenapa kita bisa bahagia?”
Pada tahun 1965, Djoko Pekik ditangkap, bersama ribuan orang yang dianggap mendukung PKI. Bersama sederet pelukis lain, anggota grup Bumi Tarung yang aktif di Yogya, juga hampir semua anggota Lekra, ia disekap. Pekik dikurung di Benteng Vredeburg, bangunan buatan VOC ketika mempertahankan cengkeramannya di wilayah Mataram.
Entah berapa ratus orang ditahan di sana. Bisa saya bayangkan betapa padatnya benteng itu. Hampir setiap hari ada tahanan yang mati, dan tak cuma satu: karena sakit, kelaparan, penyiksaan.
Pekik teringat ketika pagi hari para tahanan dijemur, disuruh duduk mencangkung dan menatap ke tanah berjam–sementara ada tentara yang naik dan berjalan menginjak-injak deretan kepala mereka, menendangkan sepatu, memukulkan popor bedil.
Trauma merasuk ke dalam diri Pekik sejak itu; ia gemetar tiap melihat warna hijau, warna seragam militer.
Setelah 1972, setelah ia lepas dari tahanan dan punya rumah sendiri, ia lawan traumanya dengan cara seorang pelukis: ia cat semua dinding rumahnya dengan warna hijau. Trauma itu pun hilang.
“Saya ini orang yang beruntung,” katanya. Di antara kebrutalan yang disaksikan dan dialaminya, dalam penjara ia masih ketemu tentara yang menunjukkan kebaikan-kebaikan kecil: mengajarinya mengecat topi baja dan kopelrim, membiarkannya makan di dapur sampai hampir mati kekenyangan, tak menyiksanya ketika ia dipergoki lepas sebentar untuk beli gula jawa di pasar dekat Benteng Vredeburg.
Tapi nasib baiknya yang terbesar datang karena Bung Karno. Sekitar awal 1966 Bung Karno, yang tahu penyekapan besar-besaran yang terjadi tapi tak cukup kuasa untuk melepaskan mereka (waktu itu, Soeharto, bukan Sukarno, yang praktis mengendalikan keadaan), diam-diam memanggil Overste Mus Subagyo.
Perwira polisi militer yang berkuasa di Yogya ini kemudian bercerita kepada Pekik: Bung Karno berpesan agar para seniman yang ditahan tak dihabisi. “Menghasilkan seniman itu lebih susah daripada menghasilkan insinyur, Mus,” kata Bung Karno menurut cerita Mus Subagyo kepada Pekik.
Mus Subagyo–kabarnya perwira yang ikut menangkap Ketua PKI D.N. Aidit–menghormati Bung Karno sungguh-sungguh, dan ia tahu Bung Karno benar. Ia laksanakan pesan itu.
Djoko Pekik salah seorang yang diam-diam diselamatkannya. Pelukis itu (waktu itu ia bukan apa-apa) diberi ruangan tersendiri di sebuah rumah di luar Vredeburg. Ia tetap dikurung, tapi punya kesempatan berkarya. Pekik sempat membuat sebuah patung. Ia tampaknya tak pernah melupakan jasa perwira polisi militer itu.
Pada 1969, dalam umur 30, di tahanan, Pekik menikahi seorang gadis Katolik, Tini Purwaningsih. Perempuan manis yang lebih muda 12 tahun ini dikenalnya ketika ia masih kuliah di Akademi Seni Rupa Indonesia di Gampingan. Tini dulu tinggal di belakang sekolah itu.
Pasti ada yang mengikat gadis Katolik ini hingga ia mau bersuamikan seorang tahanan “Gestapu”, lelaki dari keluarga tani Dusun Kedungwaru di Grobogan yang tak punya apa-apa. Apa pun yang menjadikannya, pernikahan mereka panjang dan tenang. Delapan anak lahir, yang sulung ketika Pekik masih dalam status tahanan.
Ketika ia akhirnya bebas, ia mencari nafkah dengan jadi penjahit. Sesekali melukis dengan bahan seadanya. Hidup amat-amat sulit. Ia berjualan kain dengan naik sepeda ke tempat-tempat jauh.
Tapi akhirnya ia “ditemukan”: karya-karya cat minyaknya yang sempat ia buat mengejutkan para peminat seni rupa.
Salah satunya, Ketika Keretaku Tak Berhenti Lama, dipilih untuk ikut dibawa ke Amerika buat pameran seni Indonesia besar-besaran di tahun 1991.
Hidup Pekik berubah. Ia jadi dikenal, ia jadi makmur. Ia membeli tanah yang luas di Kelurahan Bangunjiwo di Kecamatan Kasihan, Bantul. Saya lihat ada seperangkat gamelan yang dimainkan para niyaga, konon setiap Jumat Kliwon. Teman lamanya, juga teman baru, hampir tiap kali bertandang.
Tapi ia tak lupa, lebih dengan rasa sedih ketimbang sakit hati, bagaimana di hari-hari awal kebebasannya ia tetap disisihkan, juga oleh sesama seniman. Saya kira Reformasi 1998 yang memberinya lebih banyak momen bersyukur tanpa mengucapkannya.
Apa sebenarnya arti nasib? Siang itu saya berdiri di sebelahnya, memandangi Kali Bedhog yang mengalir lirih. Pekik sedang merencanakan pameran yang unik: membawa karya beberapa pelukis di atas rakit, bersama arus.
Ketika ia minta bantuan untuk membersihkan sungai itu, tak disangkanya komandan militer setempat mengirim 150 prajurit. Kemudian datang bekerja beberapa puluh polisi.
“Saya orang yang beruntung,” kata Djoko Pekik.
Juga Indonesia, tanah airnya, negeri yang beruntung: teror, trauma, dendam, permusuhan lama, akhirnya bisa juga dilarung, dibawa arus waktu. Entah kemana. (GM).
===
Pria berperawakan kurus yang secara keseluruhan nampak karikatural ini sering tampil trendi dengan pakaian-pakaian berwarna mencolok lengkap dengan supenden serta telpon genggam di tangannya. Djoko Pekik yang berbicara apa adanya, ceplas-ceplos dengan gaya punokawan, kadang-kadang naif yang semakin mempertegas citra dan identitas dirinya.
Dewasa ini Pekik adalah pelukis yang karyanya banyak diburu kolektor dalam maupun luar negri. Hal ini bertolak belakang dengan masa-masa saat ia baru keluar dari jeruji besi tanpa proses pengadilan,saat ini ia terpaksa nyambi menerima jahitan dan menjual lurik logro untuk menghidupi istri dan anaknya. Seolah malikgrembyang saat ini harga lukisannnya sangat fantastis.Ada orang yang berani membayar 1 M untuk satu lukisannya.
Lukisan Djoko Pekik makin diburu orang meski harganya terus melambung.Di sisi lain muncul plagiat-plagiat dengan karya aspal yang marak dengan nama “Djoko Pekikan” yang harga pelukisannya sekitar Rp.250.000.
Keunikan Djoko Pekik ialah terletak pada kemampuannya mengubah kata-kata sumpah-serapah menjadi subyek-subyek utama dan pendukung dalam suasana-suasana yang terbentuk dari bercampurnya ironi, konflik, kelakar, kelucuan dan sensualitas.
Lebih jauh, ia mampu menyulap ekspresi-ekspresi pisuhan menjadi komoditas. Dibenaknya wanita cantik ialah yang pakai kebaya berkain panjang dan rambutnya disanggul,model rambut tradisional jawa.
Djoko Pekik dapat diformulasikan kriteria-kriteria bagaimana sebuah lukisan dapat diminati orang banyak. Formulasi dari kriteria itu adalah:
1. Berbobot
2. Ada sejarah Khusus yang melingkupi seniman dengan karya dan karya yang dimaksud.
3. Karya itu dan seluk-beluk yang melingkupi seniman kreatornya terpublikasikan secara luas
4. Ada tidaknya wahyu yang jatuh pada seniman tersebut.
===
Januari 2018 lalu usianya genap 81 tahun. Usia senja tak mengalanginya terus berkarya. Ia seniman tiga zaman. Kariernya sebagai pelukis bermula di pengujung Orde Lama. Saat Soeharto berkuasa ia dibelenggu. Namanya kembali moncer paska reformasi. Dialah Djoko Pekik.
Menuju ke rumahnya di Bantul serasa menyusuri hutan kecil. Dari jalan utama beraspal, tiap tamu harus melewati jalanan kecil dengan pepohonan di kanan dan kiri. Rimbun dan adem.
Djoko Pekik lahir di Grobogan, Jawa Tengah. Desanya terletak di tepi hutan jati berjarak 40 kilometer dari ibu kota kabupaten, Purwodadi. Orang tuanya petani. Ia bungsu dari tujuh bersaudara. Enam saudaranya telah tiada.
Seperti kebanyakan petani, keluarganya menanam tembakau. Sebagian hasilnya dikonsumsi sendiri. Pekik kecil kala itu sering membantu memanen, merajang, dan menjemur. Tembakau kering itu lantas ia bungkus daun pisang untuk disimpan. "Mereka tak tahu seniman itu apa. Mereka tahunya macul dan pergi ke sawah," katanya.
Toh nasib berkata lain. Pekik tak jadi petani seperti orang tuanya. Pada 1957, Pekik pergi ke Yogyakarta untuk kuliah di Akademi Seni Rupa Indonesia (kini ISI Yogyakarta) hingga lulus pada 1962. Setahun sebelum lulus, bersama Amrus Natalsya, Isa Hasanda, dan Misbach Tamrin, ia membidani Sanggar Bumi Tarung.
Bumi Tarung adalah satu-satunya sanggar yang mendeklarasikan diri berkedudukan di bawah Lembaga Kebudayaan Rakyat, organisasi kesenian Partai Komunis Indonesia. Misbach lewat bukunya "Amrus Natalsya dan Bumi Tarung" mengisahkan seniman Bumi Tarung menjadikan seni sebagai alat perjuangan untuk mengangkat harkat martabat kaum papa.
Prahara politik pecah pada 1965. Soeharto berkuasa lewat kudeta. Pemerintah baru ini memburu anggota dan simpatisan komunis. Hidup atau mati. Bumi Tarung bubar. Senimannya ditangkap dan dijebloskan penjara tanpa proses peradilan.
Pekik ditangkap November 1965 dan dipenjara di Benteng Vredeburg Yogyakarta. Ia bebas 1972, setelah tujuh tahun mendekam di balik jeruji. Tapi bagi pesakitan politik Orde Baru, hidup di luar bui sama buruknya dalam jeruji. Pekik dilarang melakukan kegiatan seni apalagi berpolitik.
Itu dulu. Sekarang tak perlu sembunyi-sembunyi melukis. Ia tak perlu lagi menjadi penjahit -seperti masa sekeluarnya dari penjara- untuk menyambung hidup. Bayangkan saja, pada 1998 satu lukisannya berjudul "Berburu Celeng" tembus terjual Rp1 miliar. Rekor pertama bagi pelukis Indonesia.
"Gayaku iki yo gaya feodal, gaya borjuis tapi kenapa orang-orang nuding aku PKI," katanya, setengah berkelakar.

Dari teras bangunan tempatnya menyimpan gamelan, Pekik menyatakan bahwa lantai pertama dimanfaatkan menjadi galeri khusus penyimpan lukisan, sedangkan lantai dua menjadi tempat tinggalnya.
Begitu masuk, lukisan berjudul Go To Hell Crocodile langsung terpampang di depan pintu. Ukurannya gigantik (2,75 X 6 meter), gambarnya seekor buaya raksasa melingkari galian tambang. Di baliknya, tergantung Sirkus Adu Badak, lukisan seukuran 2,5 X 5 meter bergambar dua ekor badak beradu di tengah arena sirkus.
Dua lukisan itu tergantung berpunggungan. Keduanya pernah dipamerkan di bursa seni rupa terbesar tanah air, Art Jog. Go To Hell Crocodile konon dibanderol Rp 6 miliar di Art Jog 2014, sedangkan Sirkus Adu Badak ditawarkan seharga Rp 5 miliar di Art Jog 2016. "Saya jual kalau ada yang nawar," katanya.
Sebuah hygrometer tergeletak di bawah lukisan Go To Hell Crocodile. Jarum panjangnya menunjuk angka 71 persen sementara jarum pendeknya mengarah pada angka 27 derajat celsius.
Pekik memperlakukan ruangan ini secara istimewa. Beberapa unit pendingin udara, kipas angin, dan exhaust fan dipasang untuk mengendalikan suhu dan kelembaban udara. Sepanjang hari mesinnya tak pernah mati agar lukisan yang tersimpan tak cepat rusak.
Menurut dia, kelembaban di atas 80 persen akan membuat kanvas bercendawan. Lukisan berjamur karena udara terlalu lembab. Sebaliknya, kelembaban di bawah 50 persen akan menyebabkan udara kering dan kanvas menjadi rawan pecah. "Jadi harus diatur rata-rata 60-70," katanya.
Begitu istimewanya tempat ini, sampai-sampai Pekik mengharamkan cat basah masuk ke ruangan ini. Untuk melukis, ia punya tempat tersendiri. Sebuah studio berdinding kaca di halaman belakang tepat di tepi kali Bedog.
Di sudut ruangan tergantung replika Berburu Celeng. Ukurannya lebih kecil dibanding aslinya. "Itu foto yang ditempel di kanvas," katanya.
Berburu Celeng menggambarkan dua lelaki kurus bertelanjang dada memikul babi hutan. Hitam legam bertubuh tambun. Mereka berjalan di tengah kerumunan massa diiringi permainan seni tradisional, jathilan.
Menurut Pekik, meski lukisan itu baru dibuatnya 1998, gagasannya sudah muncul sejak 1966 ketika ia mendekam di penjara. Penderitaan semasa di bui yang mengilhami karya itu. Tidur di ubin, makan nasi jagung. Tahanan sengaja dibuat mati kelaparan.
Gara-gara bertahun-tahun tidur di ubin, punggungnya kapalan. Hitam dan mati rasa. Saban hari, tahanan dijatah setengah gelas jagung grontol. "Ayam saja kurang," katanya.
Pekik mengumpat tak habis-habis. Ia merapal nama-nama hewan untuk mengutuki nasib yang dialami. Asu, celeng, dan entah apa lagi. Baginya, terpenjara bukan berarti menyerah. Ketika memakai sandal jepit saja dilarang, misuh adalah caranya melawan.
Pada 1998, gelombang gerakan massa berhasil melibas kediktatoran Soeharto. Ia terjungkal dari kursi kepresidenan. Satu pisuhan Pekik menjelma jadi lukisan, Berburu Celeng.
Banyak orang memaknai Berburu Celeng adalah ekspresi peristiwa reformasi 1998. "Silakan saja menganggap seperti itu, boleh," katanya. Yang jelas, kata dia, lukisan itu menggambarkan bagaimana petani di kampung halamannya, Grobogan, memburu babi hutan. Jika dapat, bangkainya digotong dan diarak keliling kampung. Dan, massa merayakannya sebagai kemenangan. Tak disangkal. "Lengsernya Soeharto ya seperti celeng itu."
Dua tahun sebelum melukis Berburu Celeng, Pekik menggambar lukisan bertema serupa. Judulnya Susu Raja Celeng dan dipamerkan di pameran bersama sewindu tahta untuk rakyat Sultan Hamengku Buwono X di Keraton Yogyakarta.
Dua karya itu --Susu Raja Celeng (1996) dan Berburu Celeng (1998)-- adalah rangkaian. Keduanya menarasikan peribahasa; raja alim raja disembah, raja lalim raja disanggah. Maka kalau menjadi penguasa janganlah berlaku seperti celeng. Menurut dia, celeng adalah simbol keserakahan. Binatang itu doyan segala. "Tapi matinya terhina," katanya.
Meski kebebasannya terpasung Orde Baru, ia tak pernah mendendam pada siapa pun. Termasuk Soeharto. "Soeharto hanya suruhan," katanya.
Siapa yang menyuruh Soeharto melakukan kekejian itu? "Neokolonialisme," jawabnya mantap. Inilah kekuatan besar yang menghancurkan bangsa Indonesia, kata dia. Dengan politik belah bambunya, neokolonialisme menggarong sumber daya alam di negeri ini. "Karena itu saya melukis Adu Badak dan Go To Hell Crocodile," katanya.
Adu Badak bercerita tentang prahara politik 65. Anak bangsa diadu, bertikai saling bunuh, sementara bangsa asing masuk dengan leluasa mencuri kekayaan Indonesia. Adapun Go To Hell Crocodile berkisah tentang sepak terjang Freeport mengeruk simpanan emas Papua.
Pekik mengibaratkan watak rakus penjarah itu sebagai celeng. Watak itu tak hanya hinggap di kepala bangsa asing, tapi juga kepala bangsa sendiri. Gara-gara watak serakah, kedaulatan negara ini tergadai. Sampai-sampai memproduksi tempe saja harus bergantung pada dolar.
"Serakah itu tak bisa hilang, celeng itu tetap hidup," katanya. "Lihat kasus korupsi KTP elektronik. Itu lengji lengbeh." Apa itu? "Celeng siji celeng kabeh."
Suatu hari, seorang sipir menyuruh Pekik mengecat kopel dan helm tentara. Sebagai ganjaran, Pekik bebas mengambil dan memilih makanan di dapur umum.
Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, ia makan sebanyak-banyaknya. Mulutnya terus melumat meski perutnya tak mampu menampung. Akibatnya ia klenger. Duduk tak nyaman, tidur apalagi. Bernapas saja susah. Dalam kondisi itu ia merasa hidupnya segera berakhir. "Sejak saat itu saya selalu berhati-hati kalau makan. Tak mau banyak-banyak, makan secukupnya saja," katanya.
Di usianya yang senja, kondisi fisik Pekik terbilang prima. Kerap, ia terlihat mengunjungi pameran seni rupa di pusat kota Yogyakarta sendirian. Satu-satunya penyakit yang ia khawatirkan adalah diabetes yang menderanya sejak 20 tahun lalu. Jika kambuh, fisiknya langsung lemas tak bertenaga. "Jangan makan enak-enak terus, secukupnya saja dan apa adanya," kata dia ketika ditanya resep sehatnya.
Tahun ini, ia berencana membuat satu hingga tiga lukisan. Satu di antaranya sudah ia persiapkan judul dan temanya. Petruk Jadi Ratu. Petruk adalah tokoh punawakawan dalam cerita pewayangan Jawa. Ia simbol rakyat jelata. Hidupnya sederhana bahkan ketika sudah menjadi raja dan hidup di istana.
Narasi itu menjadi antitesis Petruk Mantu, lukisan yang dibuatnya pada 2011. Pada Petruk Mantu, Pekik menggambarkan ribuan tikus keluar dari istana.
Ia mengatakan tiga lukisan itu persiapkan untuk pameran dalam peluncuran buku biografinya. Naskahnya, di antaranya ditulis budayawan Goenawan Mohamad, Romo Sindhunata, sejarawan Romo Baskara T. Wardaya, Rektor ISI Yogyakarta Agus Burhan, dan kurator seni Dwi Maryanto. "Naskahnya sudah jadi, dibuat dalam dua bahasa Inggris dan Indonesia," katanya.
Baginya, melukis adalah caranya berkomunikasi. "Melukis itu gantinya saya ngomong. Suatu saat kalau saya ingin ngomong ya melukis," katanya.
Nama:
Djoko Pekik
Tempat/Tanggal Lahir:
Grobogan, Jawa Tengah, 2 Januari 1937
Pendidikan:
Akademi Seni Rupa Indonesia (sekarang ISI Yogyakarta) tahun 1957-1962
Istri:
C.H.Tini Purwaningsih
Anak:
8 orang
Cucu:
18 Orang
Organisasi:
Ikut mendirikan Sanggar Bumi Tarung (afiliasi Lembaga Kebudayaan Rakyat) pada 1961
Tahanan Politik Orde Baru:
1965-1972
Karya-karya:
Susu Raja Celeng (1996)
Berburu Celeng (1998)
Demit (2000)
Kali Brantas (2008)
Bengawan Solo (2008)
Petruk Mantu (2011)
Pawang Kesurupan (2012)
Ledek Gogik (2012)
Go To Hell Crocodile (2014)
Sirkus Adu Badak (2016)
NB:
Djoko Pekik dan Ideologi "Celeng"
Orang tidak akan terkejut bila ada seekor kuda, burung langka atau beberapa jenis ikan hias sampai dihargai sebesar Rp. 1.000.000.000. Tapi orang akan tersentak kaget jika mendengar ada seekor celeng yang dihargai sampai Rp.1.000.000.000.
Dan begitulah kenyataannya, di Djogja ada “celeng” yang dihargai sebesar itu. Tapi tentu saja itu bukan celeng beneran yang biasanya diburu pak tani gara-gara suka merayah ladang jagung dan palawija mereka. Ini adalah tentang lukisan karya Djoko Pekik yang berjudul “ Berburu Celeng” yang dia lukis di tahun 1998.
Saya juga tidak habis pikir, terus siapa orang bodo yang mau membeli lukisan semahal itu?. Ing atase “cuma’’ lukisan karya pelukis lokal lho. Terus kok ya kurang kerjaan amat eyang Djoko Pekik melukis binatang semacam itu? Wong kayaknya di bumi ini masih tersedia banyak spesies binatang yang lebih eksotik dan lebih lumrah untuk dijadikan model sebuah lukisan.
Tapi ya namanya juga seniman. Kalau nggak aneh dan nyeleneh ya bukan seniman namanya. Atau jangan-jangan memang hanya jenis binatang ini yang masih tersisa di belantara tanah Ngayogyakarta Hadiningrat? Tapi memangnya masih ada sisa hutan di Djogja ?. Ah, paling-paling ada sedikit di Gunung Kidul, Menoreh atau di lereng Merapi sana. Dan memang yang tersisa dihutan-hutan itu kayaknya hanya tinggal sebangsa monyet dan celeng saja. Tapi toh saya yakin, bukan dengan pertimbangan ini eyang Djoko Pekik itu melukis dengan tema ini. Lha terus apa ?.
Bagi saya terlalu sayang untuk melewatkan sejarah, lakon kehidupan pelukis kelahiran Grobogan, 81 tahun lalu itu. Dan namanya itu lho, kok ya bolehnya provokatif, Djoko Pekik. Djoko berarti pemuda , sedang Pekik berarti tampan. Tentu saja akan terlalu sulit mencari sisa “ketampanan” dia di usianya yang sudah terlanjur uzur. Tapi saya masih bisa melihat sorot matanya yang menyiratkan kewaskitaan.
Lalu menengok kampung kelahirannya di Grobogan, saya langsung teringat komunitas masyarakat Samin yang mendiami daerah itu sampai Pati dan Bojonegoro. Sebuah komunitas yang dibangun oleh sempalan kaum priyayi-prajurit dari kraton Mentaram yang emoh tunduk pada hegemoni kekuasaan feodal dan kolonial.
Soal kepercayaan pantheis yang kemudian mereka anut, saya hanya bisa mengulang kredo simbah-simbah dahulu, bahwa agama pada titik tertentu mesti dipandang tak lebih dari ” agemaning ati”, pakaian bagi hati. Hati tanpa agama adalah ”ketelanjangan moral”.
Yang jelas mereka adalah tipikal masyarakat yang begitu menjunjung tinggi kejujuran dan kerendahan hati. Kerasnya tanah kapur sisi utara Muria dan lebatnya alas Randu Blatung telah mengajari mereka tentang arti kebersahajaan.
Tak banyak yang saya ketahui tentang kehidupan dia di kampung halamannya. Yang jelas dia sempat sekolah di SR Purwodadi ( tidak lulus ) dan tahu-tahu dia sudah belajar melukis di Akademi Seni Rupa Indonesia, ASRI Djogja. Tapi konon bukan di ASRI dia mematangkan kemampuan melukisnya. Justru di sanggar Bumi Tarung dia kemudian menemukan jati-diri melukisnya dengan mengusung mazhab realis-ekspresionis.
Ya, Bumi Tarung, yang menurut para punggawanya merupakan othak-athik-mathuk dari kata buruh dan tani. Dari bahasanya saja jelas kita dapat menebak, kemana mereka ini ber-afiliasi pada zaman revolusi di medio 60-an?
Ya...kemana lagi kalau bukan ke Lekra, Lembaga Kebudayaan Rakyat yang sering dianggap sebagai ounderbouw-nya PKI. Dan gara-gara keikutsertaannya di Lekra ini, Djoko Pekik mesti menjadi pesakitan. Ia masuk penjara Wirogunan, Djogja dari tahun 1965 sampai 1972.
Saya jadi mikir, kenapa ideologi komunis menjadi sebegitu menariknya bagi para seniman, buruh dan petani kala itu?. Entah ini ada kaitannya dengan posisi mereka yang selalu tertindas atau karena sistem propaganda komunis yang berhasil memikat rakyat. Apa yang ditawarkan oleh kaum komunis pada mereka ?. Apresiasi karya komunal, upah yang layak, atau kebijakan land-reform yang lebih adil ?. Lalu bagaimana masyarakat Jawa yang katanya berkepribadian halus itu lalu bisa menerima ideologi sosaialis-komunis-marxist yang cenderung radikal-revolusioaner. Apakah orang Jawa telah kehilangan kehalusannya ?. Apakah ada kesamaan ”tertentu” antara ideologi Jawa dengan ideologi komunis ?.
Tempo hari saya rampung membaca History of Western Philosopy karya Bertrand Russel. Satu hal yang menarik ketika Bertrand Russel membandingkan hubungan antara nilai-nilai komunis yang dikembangkan Marx dengan nilai-nilai Kristen yang dikembangkan St. Agustinus.
Karena saya orang Jawa dan yang sedang saya bicarakan juga soal orang Jawa, maka saya lalu mencoba membuat perbandingan antara hubungan ideologi Kejawen dengan nilai-nilai komunis kala itu. Saya tahu ini bukan penemuan orisinil, tapi ya biarin saja tho. Wong saya juga cuma ngawur.
Inilah versi saya:
Ratu adil = dialektika Marxist
Satriya Piningit = Karl Marx
Keraton = Partai Komunis
Pribadi Kinasih = Kaum Proletar
Centhini, Wedhatama = Das Capital, Comunist Manifest
Asmaradana, Dandang-Gendhis = Internationale, Nasakom Bersatu
Bharatayudha = Revolusi
Swarga = Persemakmuran komunis
Tentu saja analisa saya itu tidak mencakup orang Jawa secara umum. Masih banyak golongan Jawa lain yang tentunya memilih orientasi politik sesuai selera mereka sendiri-sendiri. Yang golongan priyayi dan ningrat memilih ikut PNI. Kaum santri dan pesisiran tentu saja memilih Masyumi .
Terus yang ikut PKI ?. Ya...rakyat-rakyat kecil itu. Mereka itu petani yang tanahnya hanya ada diangan-angan mereka. Buruh yang gajinya hanya cukup buat ”sekedar” hidup saja. Nelayan yang bukannya tidak punya ”laut”, tapi tidak punya ”perahu".
Dan akhirnya tentu saja kaum intelektual dan seniman yang memiliki rasa dan kepekaan sosial yang tinggi. Contohnya ?. Banyak dong, salah satunya, ya eyang Djoko Pekik ini.
Trilogi lukisannya yaitu Susu Raja Celeng ( 1996 ), Berburu Celeng ( 1998 ) dan Tanda Bunga & Telegram Duka Cita ( 2000 ) dianggap ”puncak” dari lelaku seninya.
Ketiganya mungkin sebuah usaha ” menyimpulkan” semua ideologi, kepercayaan dan perjalanan hidupnya. Meskipun karya-karya sebelum triloginya justru dipandang oleh sebagian kritikus sebaga karya yang lebih kreatif dan mempunyai gagasan ”cogito” yang lebih kuat, tapi lewat triloginya itu kemudian dia benar-benar mendapat kamulyan. Ya, kamulyan, penghargaan , baik secara intelektual maupun finansial.
Tapi saya lalu bertannya lagi. Kenapa ya mesti celeng lho?. Apa jangan-jangan celengnya Djoko Pekik ini sebenarnya adalah sebuah simbol belaka?. Kalau begitu dia menyombolkan apa?. Atau jangan-jangan pertanyannya mesti diganti dengan , itu menyimbolkan siapa?.
Saya kemudian mengamati detail lukisan Berburu Celeng ( 1998) itu. Disana digambarkan seekor celeng yang diikat dengan sebuah pikulan yang diarak masa. Di sekelilingnya saya lihat euforia masa yang tengah berang dengan aneka penampilan dan ekspresi. Semuanya seakan meneriaki, menghujat sang celeng. Sang celeng kelihatan begitu tak berdaya dan pupus. Entahlah mungkin saat itu sang celeng telah mati. Dari situ saya coba mengingat, celeng apa yang diburu dan dihujat di tahun 1998?.
Setalah saya pikir-pikir...Ya ampun.....celeng yang itukah?. Waduh, kalau begitu itu bukan sak baene, bukan sembarang celeng. Tapi itu adalah jenis yang sangat besar, sakti dan ampuh. Celeng yang dengan satu mantra...” ya tho”....akan mampu membunuh semua aktifis, pejuang pro-demokrasi, pembela syariat agama dan seniman idealis yang dianggap “kiri”. Dia adalah makhluk yang telah membasahi culanya dengan darah kaum Muslim di Talangsari-Lampung dan Tanjung Priok. Dia adalah spesies super yang sudah merampok tanah leluhur saya di Gajah Mungkur-Wonogiri sana.
Tapi ngomong-ngomong, ah, bukan juga barangkali. Itu mungkin hanya buah pikiran saya saja yang terlalu berprasangka. Lagian mana ada sih makhluk seperti itu di negeri ini. Ini adalah Indonesia, dimana seluruh warganya selalu rukun dan bertepaselira karena dalam hidupnya selalu berpedoman dengan moral luhur Pancasila. Pejabat dan pemimpinnya juga tidak mungkin sekejam itu. Mereka semua adalah orang-orang pilihan dan terpuji, bahkan sudah lulus penataran P4 semua.
Jadi kemudian saya mengambil kesimpulan, bahwa sang celeng itu mungkin tak lebih sekedar simbologi mental saja. Mental dan moral celeng, “sebuah ideologi celeng”. Itulah ideologi perusak (siapapun dia), tapi merusaknya itu lho, kok ya pilih-pilih juga. Dan yang dirusak kok ya lagi-lagi rakyat kecil dan kaum marjinal.
Ujung-ujungnya sepeti celeng beneran saja, maunya cuma ngrusak tanamannya petani kecil macam singkong dan jagung saja. Tidak pernah sekalipun merusak tanaman perkebunan dengan kapita modal besar punya konglomerat-konglomerat itu. Walaupun tidak lucu juga kalau ada binatang macam itu iseng makan karet dan pinus. Tapi tebu dan kakao boleh juga kan?. Atau jangan-jangan para konglomerat itu teman-temannya sang celeng ?. Ah, saya tak boleh berprasangka buruk. Lagian ini kan lagi ngomongin soal lukisan.
Tapi bicara soal ideologi celeng agaknya saya tidak sendiri. Tokoh Majalah Tempo, Goenawan Moehammad merayakan ulang tahun yang anehnya acara ini diadakan di kediaman Djoko Pekik. Ada semacam saresehan dan pentas seni teatrikal yang di beri tajuk “ Sang Celeng Telah Mati”. Keseluruhan acaranya sendiri saya kurang tahu, tapi kemudian saya baca di Kedaulatan Rakyat liputannya.
Satu hal menarik ketika tampilnya Drs. Susilo Nugroho yang dulu di TVRI Djogja dikenal sebagai den baguse Ngarso di acara populer Bangun Desa. Menurut dia bahwa manusia itu selain mempunyai bapak secara biologis, juga mempunyai bapak secara ideologis, dan dalam kontek ini tentu saja yang dia maksud adalah ideologi celeng.
Saya juga tidak begitu paham bagaimana sang celeng menitiskan ideologi ke-celengan-nya itu kepada ras-ras manusia. Apakah seperti yang digambarkan Djoko Pekik dalam lukisan pertama dari Triloginya, yaitu dengan “Susu Raja Celeng”?. Padahal setahu saya susu itu tidak membawa faktor genetis. Tapi seandainya saja iya, betapa berbahayanya penyebaran ideologi itu.
Anggap saja sang Raja Celeng menyusui 12 ras manusia. Lalu perdana menterinya, sentana-nya, prajuritnya dan seluruh rakyatnya dari bangsa celeng masing-masing menyusui 12 ras manusia juga. Terus berapa ras manusia yang akan terpangaruh dan ketularan ideologi ini?. Wah, jika teori ini benar, saya yakin 65.3% populasi rakyat Indonesia akan tertular paham ini. Jelas ini adalah bahaya latent yang lebih berbahaya dari komunisme. Agaknya pemerintah mesti segera membuat perangkat hukum untuk mengantisipasi penyebaran ideologi ini.
Akhirnya saya sadar bahwa sebuah lukisan ternyata bisa melahirkan penafsiran yang begitu beragam. Lalu saya ngaca, siapa sih saya ini?, kok berani-beraninya cumantaka, lancang menilai sebuah karya besar dari seorang seniman besar macam Djoko Pekik.
”Anggepmu kamu itu kritikus seni apa?”.
Tapi bagaimanapun ada aturan umum untuk sebuah karya seni yang telah dipublikasikan. Sebuah karya, apapun itu, setelah di lepas ke tangan khalayak maka menjadi hak khalayak untuk menilai, manafsirkan dan mengkritisinya. Ibaratnya sang seniman telah menjual gagasan dan ideanya, sedangkan khalayak membeli dengan apresiasi dan timbangannya. Eloknya, kadang kita tidak melihat tawar-menawar dalam transaksi macam ini.
Dan bagi saya inilah yang saya tangkap dari karya-karya Djoko Pekik. Saya menakar dan menimbang apa yang telah dia lakukan dan hasilkan. Saya coba mengerti dan mengapresiasi. Bagi saya Djoko Pekik adalah ”orang besar” yang telah mengabdikan dirinya untuk idealisme yang dia yakini.
Tapi di sisi lain kebesarannya, saya melihat kerandahan hatinya. Dengan penuh kejujuran dia mengakui keterbatasannya ajan ide dan teknik melukis. Dia mengakui bahwa teknik melukisnya sendiri telah ketinggalan zaman.
” Bila orang menilai lukisan saya itu unik dan berbeda, itu bukan karena teknik melukis saya lebih maju dibanding yang lain. Akan tetapi itu karena saya telah ketinggalan dalam hal teknik dibandingkan pelukis modern lainnya ” , inilah kata-kata Djoko Pekik yang telah sumeleh, terhadap kemampuannya sendiri.
Kalau saya mesti memilih karya Djoko Pekik yang paling ”berarti”, maka saya tidak akan memilih satupun dari Trilogi puncaknya. Saya justru akan memilih karya patungnya yang berjudul ” Memanah Matahari”. Saya melihat ada kejujuran yang benar-benar manusiawi. Saya melihat harapan dari karya itu. Harapan untuk menghentikan matahari di ufuk timur. Matahari di saat pagi, di saat harapan dan kebahagiaan tumbuh.
Saat ini Djoko Pekik sudah mulya. Ibarat orang labuh , menanam, dia sekarang telah ngunduh, memanen apa yang dia perjuangkan dan usahakan. Rumah besarnya di desa Sembongan , kecamatan Kasihan, Bantul, dia sulap menjadi semacam pesanggrahan, pondokan yang begitu hijau dan asri. Setiap hari dia bercengkerama dengan binatang-binatang ternaknya ( tapi tentu saja dia tidak memelihara celeng, dia Muslim yang taat ).
Dan dengan bus pribadi ( yang digambari dengan lukisan airbrush bermotif celeng ) dia kelilingi jalan-jalan di Djogja dan dikumpulkannya seniman dan anak-anak jalanan untuk diajak kerumahnya.
Ya, apalagi kalau tidak diajak untuk bersama menikmati ke-mulya-annya itu. Ah, seandainya saja semua seniman seberuntung dia. Konon, yang paling membuat iri adalah dua hal :
Pertama, dia berkesempatan ”menikmati” zaman yang penuh kebebasan dan ”warna”. Zaman dimana semua ideologi dan aliran boleh berkembang dan bersaing. Yang kanan-liberal-agamis, yang kiri-sosalis-komunis semua tinggal pilih, mana yang sesuai dengan “kelas” dan idealisme kita. Walaupun pada akhirnya ke ikut -sertaan mereka dengan golongan “kiri” mesti dibayar dengan sangat mahal, tapi menurut saya itu sebuah harga yang pantas untuk satu kebebasan ideologis.
Kedua, dia oleh Gusti Allah diberi kanugrahan seorang perempuan kristiani re-inkarnasi wara Srikandhi , bernama CH.Tri Purwaningsih, yang dia nikahi di tahun 1970. Seorang perempuan yang benar-benar menempatkan diri sebagai “ garwa ”. Ya, garwa, sigaraning nyawa, belahan jiwa . Istri yang benar-benar bisa “mengerti”, dan mau mendampingi dalam susah maupun senang. Bahkan bisa “memahami” perjuangan dan idealisme yang kadang-kadang di mata orang lain dianggap sinthing”
Saya tahu perempuan macam itu oleh Gusti Allah “dicipta” sebagai edisi khusus dan terbatas. Saya bahkan ragu, apakah dijaman “now” ini perempuan macam itu masih “exist”, sehingga banyak orang tidak akan ragu untuk mengulang-ulang syair yang telah diajarkan Zarathustra : ”di hari-hari itu aku mencintai gadis-gadis timur dan kerajaan-kerajaan surga biru lainnya, yang di atasnya tidak ada awan-awan dan pikiran yang melayang-layang”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar