Pages

ADA KARTINI, ADA KARTONO.



HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI
HARAPAN, IMAN, KASIH.
Menjelang "HIK" - Hari Ibu Kartini"
Sabtu 21 April 2018
ADA KARTINI, ADA KARTONO
Sang pahlawan jenius bersahaja, tersembunyi tapi tetap berbunyi, dan yang disembunyikan tapi tetap mencerahkan.
Kartono, nama lengkapnya RM. Panji Sosrokartono, lahir 1877. Dia adalah kakak kandung RA Kartini.1898, sosok pribumi pertama yang kuliah di luar Hindia-Belanda, Leiden. Ia pribadi yang cerdas bernas, kesayangan para dosen dan seorang "poliglot", bisa menguasai 27 bahasa asing & 10 bahasa Nusantara.
Pangeran ganteng, pinter, gaul, anak orang kaya, terkenal, & merakyat.....hayoo kurang apa lagi si cowo' keren ini, bahkan konon cewe cewe eropa nyebut si Sosrokartono ini, "de mooie Sos." (Sos yg cakep).
Bule Eropa & Amerika menyebut dia dengan rasa hormat, 'de Javanse Prins' (Pangeran Jawa), tapi pribumi memanggil Kartono saja.
1917, ia menjadi wartawan Perang Dunia I , yakni di koran Amerika, The New York Herald, cab. Eropa. Test masuknya, memadatkan artikel bahasa Perancis sejumlah 30 kata dalam 4 bahasa (Inggris, Spanyol, Rusia, Perancis). Kartono lulus dengan 27 kata, para bule asli lebih dari 30 kata.
Sebagai wartawan perang, ia diberi pangkat mayor oleh sekutu, tapi menolak membawa senjata: "saya tak menyerang orang, karena itu saya pun tak akan di serang. jadi apa perlunya bawa senjata?" ~ahli diplomasi yg hebat. hmm...
Ia "menggemparkan" Eropa~Amerika dengan artikel perundingan Jerman & Perancis yang "privat", dirahasiakan dan sangat tertutup, dalam gerbong kereta api, di tengah hutan, dijaga dengan sangat ketat. Semua wartawan mencari informasi...eeh koran New York Herald telah memuat hasil perundingan tersebut..!!??
1919, ia menjadi penterjemah tunggal di Liga Bangsa Bangsa.
1921, LBB menjadi PBB dan ia menjadi ketua penterjemah untuk segala bahasa, kalah kan para poliglot bule Eropa~Amerika.
1925 Pangeran Sos pulang ke tanah air. Ki Hajar Dewantara mengangkat dia menjadi Kepala Sekolah Menengah di Bandung.
Rakyat berjejal menemui si pintar ini, bukan melulu untuk belajar atau minta diajar tapi kerap meminta air & doa. Aneh nya banyak yang sembuh. Maka antrian pun makin banyak termasuk bule bule Eropa, dan akhirnya beliau mendirikan Klinik Darussalam (Yerusalem = Kota Damai).
Konon, ia pernah menyembuhkan anak Eropa hanya dengan disentuh-sentuh (tuk3..) dihadapan para dokter yang angkat tangan dan si anak sembuh dalam hitungan detik. Ia juga pernah memotret kawah gunung dari udara, hebatnya tanpa pesawat.
Soekarno muda sering berdiskusi dgnnya. Bung Hatta bahkan sebut beliau sebagai orang jenius.
Rumahnya selalu mengibarkan bendera Merah Putih, tapi Belanda, Jepang, dan Sekutu seolah tak peduli padahal kalau orang lain pasti sudah ditangkap dan dihajar.
1951, ia wafat di Bandung. dikebumikan di makam Sedo Mukti, Desa Kaliputu, Kudus, Jawa Tengah di samping makam kedua orang tuanya Nyai Ngasirah dan RMA Sosroningrat. Ia tak punya banyak apa apa, rumah pun kontrak. padahal sebagai bangsawan & cendekiawan, ia bisa hidup mewah dan megah.
Orang orang tak temukan pusaka dan jimat di rumahnya, hartanya hanya kain bersulam huruf *ALIF.*
Seperti sebuah tulisan filosofi yang dipasang di Museum Jepara (Rumah RA.Kartini), pada nisannya juga tertulis:
"sugih tanpa bondo.
digdaya tanpa aji"
Beliau wartawan, tapi PWI tidak pernah singgung namanya. Beliau tokoh pendidikan tapi banyak guru seolah lupa namanya.
Sang Alif....
Alif sak jeroning Alif....
NB:
A.
RMP Sosrokartono.
Jika KRMT adalah Kanjeng Raden Mas Telematika, maka RMP adalah Raden Mas Panji. Di Jepara, RMP Sosrokartono adalah nama sebuah jalan yang terletak di sebelah SMKN 2 atau SMIK begitu ia lebih akrab dikenal. Mereka yang menggemari bakso tentu tahu persis letak jalan ini. Di sanalah lokasi Bakso Uleg Temanggung.
Tentu saja penjual bakso uleg itu namanya bukanlah Sosrokartono. Bukan pula nama seorang pedagang teh botol di kios seberang warung bakso. RMP Sosrokartono jauh lebih besar dari itu. Bahkan bisa dibilang ia terlalu agung untuk cuma diabadikan sebagai nama jalan.
Mengenalkan RMP Sosrokartono pertama kali paling mudah adalah dengan memakai atribut ia kakak Raden Ajeng (atau Ayu) Kartini. Sudah jadi rahasia dunia, Kartini adalah produk langka Jawa pada abad 19. Ia berpikiran sangat progresif dan boleh dibilang pemberontak jika memakai standar masa itu.
Cuma ada dua lelaki yang bisa mengikuti dan menerima jalan berpikir Kartini: Sosrokartono sang kakak dan Sosroningrat sang ayah: “Hanya mereka (Kartono dan Sosroningrat) yang bisa mengikuti jalan pikiran saya,” tulis Kartini dalam suratnya untuk Nyonya Nellie van Kol, penulis Belanda, pada 1896.
Kartini, atau Trinil panggilan masa bocahnya, haus membaca. Ia mencintai pengetahuan sebagaimana ia mendamba kebebasan. Kartono, lahir pada 10 April 1877, adalah salah satu yang menyuplai bahan bacaan untuk adik tersayang. Saat sela libur sekolah Hogere Burger School (HBS) Semarang, ia pulang ke Jepara membawa buku. Genre-nya macam-macam: soal emansipasi wanita, revolusi Prancis, atau yang ringan semacam novel.
Adakah dari kalian yang punya mimpi bersekolah di Negeri Kincir Angin? Kartono adalah senior dari segala senior kalian. Lelaki berotak cemerlang ini adalah mahasiswa Indonesia pertama yang bersekolah di Belanda. Usianya masih 21 tahun waktu itu.
Sekolah pertamanya di sana adalah Sekolah Tinggi Teknik di Universitas Delft. Tapi ia tak betah dan kemudian pindah ke Jurusan Bahasa dan Kesusatraan Timur di Universitas Leiden. Kartono lulus dengan predikat summa cum laude bergelar doctorandus in de Oosterche – doktorandus dari Timur.
Berapa banyak bahasa asing yang kalian kuasai sampai bisa menyebut diri seorang polyglot, penutur banyak bahasa? Jangan sombong dulu karena sudah menguasai 4 – 10 bahasa asing. Tengok Kartono sang polyglot pertama Indonesia, ia fasih 20an bahasa asing dan 10 bahasa suku Nusantara. Bahkan ada sebuah pengakuan bahwa ia menguasai 48 bahasa asing, namun belum ada bukti otentik yang mendukung itu.
Salah satu yang dikuasai Kartono adalah bahasa Basque, sebuah wilayah di Spanyol tempat kelahiran dan wilayah St. Ignatius Loyola, yang konon warganya ogah disebut sebagai orang Spanyol. Masih kurang kenal Basque? Jadilah pendukung Athletic Bilbao atau Real Sociedad. Kalau mau lebih hipster lagi, pilih Osasuna. Berani jamin dalam waktu setahun saja kalian akan kenal mendalam apa itu Basque. Kecuali jika memilih jalan fans karbitan atau jongos bola.
Kemampuan bahasa Kartono hanya kalah dari Salomo yang bisa bahasa binatang. Maka jangan kaget kalau Kartono dijuluki ‘Si Jenius’ oleh teman-temannya.
Usai menjadi seorang doktorandus, Kartono tak pulang ke Jepara. Ia melanjutkan petualangannya ke Austria. Di negeri musik klasik itu ia bekerja sebagai wartawan di New York Herald, kini New York Herald Tribune. Karya jurnalistik Kartono tak bisa diremehkan. Pada 1917 ia meliput Perang Dunia I. Mohammad Hatta menulis dalam otobiografinya, bayaran Kartono waktu itu US$ 1.250 per bulan. Cukup untuk hidup mewah di Eropa, kata Hatta.
Kartono adalah wartawan perang pertama Indonesia, tapi ia bukan wartawan pertama. Yang bergelar wartawan pertama Indonesia adalah sang adik yang sama cerdas dengannya, Kartini.
Tulisan jurnalistik pertama Kartini adalah saat ia menulis prosesi pernikahan suku Koja di Jepara. Reportase berjudul Het Huwelijk bij de Kodja’s (Perkawinan Itu di Koja) ditulis Kartini pada 1895 dan dipublikasikan di Jurnal Humaniora dan Ilmu Pengetahuan Sosial Asia Tenggara volume 50 nomor 1 tahun 1898.
Seperti yang bisa diduga, dengan menguasai 20an bahasa asing, sulit untuk tidak menebak Kartono mencicipi pekerjaan sebagai penerjemah. Pekerjaan itu ia lakoni di Kedutaan Besar Prancis di Den Haag, Belanda, usai perang. Dan tak lama, pada 1919, ia diberi tanggung jawab sebagai Kepala Penerjemah Liga Bangsa-Bangsa di Jenewa, Swiss, embrio Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Kartono bisa saja mengikuti jejak ayahnya menjadi seorang bupati. Tapi ia menolaknya saat kembali ke Nusantara pada 1925. Ia lebih memilih menjadi Kepala Perguruan Taman Siswa di Bandung. Kartono adalah senior aktivis pergerakan, seperti sebut satu nama saja: Bung Karno.
Di Kota Kembang ia dipanggil ‘Ndoro Pangeran Sosro’. Tak cuma jadi pengajar, ia juga membuka balai pengobatan Darussalam.
Kartono tak pernah menikah atau mengangkat anak hingga ajal menjemputnya pada 8 Februari 1952 di usia 74 tahun. Atas perintah Presiden Soekarno, TNI AD menjemput jenazahnya untuk diterbangkan ke Semarang sebelum dimakamkan di Kudus.
Kartono adalah sebuah teladan cemerlang bagi Jepara. Berasal dari kota kecil, pada abad 19 Jepara tentu saja jauh lebih kecil dan sepi dari sekarang, bukan berarti cuma akan berakhir menjadi orang yang kerdil. Karya yang diciptakan tak melulu kerdil, bisa bergaung nasional dan global jika mau. Sepatutnya malu kepada Kartono jika putra-putri Jepara memilih jadi katak dalam tempurung.
B.
Besar tapi Terlupakan.
Tak banyak memang yang mengenal sosoknya. Kaum bangsawan di Belanda menjulukinya Pangeran dari Tanah Jawa. Namanya Raden Mas Panji Sosrokartono. Dia adalah Kakak tokoh penggerak emansipasi wanita RA Kartini.
Jasanya untuk membesarkan bangsa ini tidak perlu diragukan lagi, karena sepak terjangnya dalam dunia jurnalistik diakui oleh dunia. Hanya sayangnya, organisasi ‘kuli tinta’ Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) belum juga meliriknya, sehingga jasanya dalam bidang jurnalistik terkesan dilupakan.
Pria yang mengembara ke Eropa selama29 tahun ini, Terlahir di Desa Mayong, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara pada 10 April 1877.
Dirinya tumbuh sebagai seorang intelektual, karena selama menjadi mahasiswa Universitas Leiden ia bergaul dengan kalangan intelektual dan bangsawan. Jadi tidak heran kalau almarhum Bung Hattaketika itu menyebutkan Raden Mas PanjiSosrokartono sebagai seorang yang jenius.
Sosrokartono yang di Jepara akrab dipanggil Kartono ini, sejak kecil sudah memiliki kemampuan belajar dan analisa yang istimewa, dan konon bisa meramal masa depan.
Nah, berlawanan dengan Kartini yang kecerdasannya harus terkungkung isu gender, kecerdasan Kartono difasilitasi penuh oleh keluarganya tanpa dipingit-pingit. Poor Kartini..
Setelah lulus Eropesche Lagere School di Jepara, ia melanjutkan pendidikannya ke H.B.S. di Semarang. Nah dari sinilah CV akademiknya melambung jauh ketika ia melanjutkan sekolah ke Leiden, Belanda tahun 1898.
Mula-mula ia diterima di sekolah Teknik Tinggi, tetapi merasa gak cocok, terus pindah ke Jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur. Beliau tercatat sebagai mahasiswa pribumi pertama, yang membuka jalan bagi para bumiputera lain yang ingin melanjutkan sekolah tinggi di luar Hindia-Belanda.
Pembimbing utama Kartono di Leiden adalah Profesor Dr Johan Hendrik Kern, seorang Orientalis. Ia segera menjadi murid kesayangan Kern. Meski baru pindah kampus, Kern sudah menyuruhnya bicara di Kongres Sastra Belanda di Gent, Belgia, pada September 1899.
Kartono membawakan pidato Het Nederlandsch in Indie (Bahasa Belanda di Hindia Belanda). Seruan patriotik agar Belanda mengajarkan bahasanya lebih luas bagi rakyat Jawa itu dimuat di majalah bulanan Neerlandia sebulan kemudian.
Kisah gemilang mas Kartono ini berlanjut setelah ia lulus dan memperoleh gelar Docterandus in de Oostersche Talen dari Perguruan Tinggi Leiden.
Ia pun berkeliling Eropa untuk mencari pekerjaan. Kemampuan luar biasanya dalam mempelajari bahasa sangat membantunya. Pada tahun 1917, koran Amerika The New York Herald Tribune, yang menerbitkan edisi internasionalnya yakni International Herald Tribune di kota Wina, Ibukota Austria, membuka lowongan kerja sebagai wartawan perang untuk meliput Perang Dunia I.
Salah satu tes adalah menyingkat-padatkan sebuah berita dalam bahasa Perancis yang panjangnya satu kolom menjadi berita yang terdiri atas kurang lebih 30 kata, dan harus ditulis dalam 4 bahasa yaitu Inggris, Spanyol, Rusia dan Perancis sendiri.
Kartono, tentunya satu-satunya putra nusantara yang ikut melamar, berhasil memeras berita itu menjadi 27 kata, sedangkan para pelamar lainnya lebih dari 30 kata, sehingga akhirnya ia terpilih sebagai wartawan perang surat kabar bergengsi tersebut.
Konon beliau semasa hidupnya menguasai 24 bahasa asing (termasuk bahasa Basque) serta 10 bahasa nusantara. Bahkan ada yang bilang bahasa asing yang dikuasainya bukanlah 24 tetapi 27 bahasa !
The New York Herald adalah koran yang diterbitkan di New York dan bertahan hidup dari 1835 sampai 1924. Pada Perang Dunia I, koran ini juga terbit dalam edisi Eropa. Surat kabar ini kemudian melakukan merger dengan The New York Tribune, menjadi The New York Herald Tribune yang terbit sampai hari ini.
Ketika bertugas dalam medan perang, Agar supaya pekerjaannya lancar ia juga diberi pangkat Mayor oleh Sekutu. Tapi ia menolak membawa senjata. “Saya tidak akan menyerang orang, karena itu saya pun tak akan diserang. Jadi apa perlunya membawa senjata?” kata Kartono, seperti dikutip dalam naskah Drs. RMP Sosrokartono, Sarjono-Satrya Pinandita karya Amin Singgih.
Salah satu keberhasilan Kartono sebagai wartawan perang adalah ketika ia memuat hasil perundingan antara Jerman yang kalah perang dan Prancis yang menang perang.
Perundingan antara Stresman yang mewakili Jerman dan Foch yang mewakili Prancis itu berlangsung secara rahasia di sebuah gerbong kereta api di hutan Campienne, Prancis, dan dijaga sangat ketat.
Ketika banyak wartawan yang mencium adanya ‘perundingan perdamaian rahasia’ masih sibuk mencari informasi, koran Amerika The New York Herald Tribune ternyata telah berhasil memuat hasil perundingan rahasia tersebut.
Penulisnya ‘anonim’, cuma menggunakan kode pengenal ‘Bintang Tiga’. Kode tersebut di kalangan wartawan Perang Dunia ke I dikenal sebagai kode dari wartawan perang RMP Sosrokartono.
Konon tulisan itu menggemparkan Amerika dan juga Eropa. Yang menjadi pertanyaan bagaimana RMP Sosrokartono bisa mendapat hasil perundingan perdamaian yang amat dirahasiakan dan dijaga ketat? Apakah RMP Sosrokartono menjadi penterjemah dalam perundingan rahasia tersebut? Kalau ia menjadi penterjemah dalam perundingan rahasia itu lalu bagaimana ia menyelundupkan beritanya keluar? Seandainya ia tidak menjadi penterjemah dalam perundingan perdamaian rahasia itu, sebagai wartawan perang, bagaimana caranya ia bisa mendapat hasil perundingan perdamaian rahasia tersebut?
Sayangnya dalam buku Biografi RMP Sosrokartono tidak ada informasi mengenai hal ini. Namun tak dapat disangkal lagi, berita tulisan RMP Sosrokartono di koran New York Herald Tribune mengenai hasil perdamaian rahasia Perang Dunia I itu merupakan salah satu prestasi luar biasa Sosrokartono sebagai wartawan perang.
Kemampuan bahasa Kartono juga mengantarnya menjadi juru bahasa tunggal di Volken Bond atau Liga Bangsa-Bangsa. Dari tahun 1919 sampai 1921, RMP Sosrokartono, anak Bumiputra, mampu menjabat sebagai Kepala Penterjemah untuk semua bahasa yang digunakan di Liga Bangsa-Bangsa.
Ia berhasil mengalahkan poliglot-poliglot dari Eropa dan Amerika sehingga meraih jabatan tersebut. Liga Bangsa-Bangsa kemudian berubah nama menjadi Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Organization) pada tahun 1921.
Tahun 1919 RMP Sosrokartono juga diangkat menjadi Atase Kebudayaan di Kedutaan Besar Perancis di Belanda. Sebuah prestasi yang bukan main-main. Bahkan Muhammad Hatta dalam Memoir menulis bahwa pendapatan Sosrokartono pada masa itu mencapai US$ 1.250 per bulan dan beliau biasa bergaul dengan para cendikiawan dan bangsawan Eropa. “Dengan gaji sebanyak itu, ia dapat hidup sebagai miliuner di Wina,” tulis Hatta.
Beliau pun akhirnya mendapat berbagai julukan, antara lain De Mooie Sos atau Sos yang ganteng, dan De Javanese Prins atau Pangeran dari tanah Jawa.
Petualangannya di Eropa berakhir pada tahun 1925, ia pun kembali ke tanah air. Ia ingin mendirikan sekolah sebagaimana dicita-citakan Kartini. Ia juga ingin mendirikan perpustakaan.
Untuk menghimpun modal, Kartono kemudian menggalang dukungan dari kelompok pergerakan di Indonesia. Ia menemui Ki Hajar Dewantara.
Ki Hajar Dewantara lalu mempersilakan Kartono membangun perpustakaan di gedung Taman Siswa Bandung. Ia pun diangkat menjadi Kepala Sekolah Menengah. Dengan demikian beliau pun menjadi salah satu pelopor pendidikan pribumi di tanah air.
Di sisi lain, kemampuan pengobatan alternatifnya seakan menemui tempatnya di Bandung. Kepercayaan lokal yang meyakini adanya media pengobatan diluar rasio-medis membuat Kartono laku keras sebagai seorang “dokter” alternatif.
Di sebuah rumah panggung berbentuk L di Jalan Pungkur no.7, Bandung (sekarang tepat di seberang terminal Kebon Kalapa), ia mendirikan rumah pengobatan Darussalam.
Sekarang pondok pengobatan milik Kartono diperkirakan menempati deretan bangunan yang kini sudah berubah menjadi toko listrik, swalayan di Gedung Mansion, serta sebuah apotek yang terletak di sudut Jalan Pungkur dan Jalan Dewi Sartika.
Pondok itu juga merangkap perpustakaan milik pribadi beliau. Di perpustakaan pondok ini pula, Ir.Soekarno sering datang dan berdiskusi dengan Kartono baik dalam masalah bangsa maupun masalah kebatinan.
Beliau menekuni bidang kebatinan dan pendidikan ini hingga akhir hayatnya tahun 1951. Meninggal di Bandung, jenazah beliau dibawa ke Jepara dan dimakamkan di pemakaman keluarga. Makam beliau seringkali diziarahi oleh orang-orang yang tertarik pada ilmu kebatinan Jawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar