HIK – HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
24 Maret:
Hari Misionaris Martir.
Pada hari Sabtu besok, 24 Maret, seluruh Gereja di Italia akan
memperingati edisi ke-25 dari Hari Misionaris Martir. Pada hari itu umat
beriman diajak untuk berdoa dan berpuasa untuk memperingati para
Misionaris yang menjadi Martir.
Inisiatif Hari Misionaris Martir
ini lahir pada tahun 1993 oleh Gerakan Misionaris Kaum Muda dari Karya
Kepausan Misionaris Italia, yang memilih tanggal 24 Maret, tanggal
pembunuhan Mgr. Oscar Arnulfo Romero, Uskup Agung San Salvador (24 Maret
1980) yang rencananya akan dikanonisasi bersama Paus Paulus VI di tahun
2018 ini.
=====
Sketsa Profil Oscar Romero
(Buku "XXI - Interupsi", RJK, Kanisius)
Prolog
Astari, seorang anak muda Jakarta yang pernah menjadi staf khusus
kepresidenan era SBY dan staff di Kemenlu RI adalah seorang gadis sulung
yang tumbuh dari latar belakang keluarga Katolik.
Bagi saya,
“Astari” bisa berarti Asal Cintanya Lestari. Setiap orang beriman yang
telah dibaptis juga termasuk uskup dan imam adalah juga manusia.
Meskipun kita dipanggil dan dipilih Allah untuk mengabdi Allah dan
manusia, tidak berarti kita selalu lestari cintanya, bukan? Seperti kata
Santo Paulus kepada jemaat di Korintus, kita kerap tetap seperti bejana
tanah liat yang mudah rapuh dan mudah pecah karena kelemahan-kelemahan
kita sebagai manusia. Di sinilah kita akan belajar bagaimana menjaga
lestarinya cinta kita dengan belajar dari seorang Oscar Romero, uskup
diosesan dan sekaligus seorang martir modern.
A
Sebuah Sketsa Profil
Oscar Arnulfo Romero y Galdamez - begitulah nama lengkapnya, dilahirkan
di Ciudad Barrios pada 15 Agustus 1917. Orang tuanya bernama Santos
Romero dan Guadalupe de Jesus Galdamez.
Ketika kanak-kanak,
Oscar Romero dikenal sebagai seorang anak yang serius, rajin, dan saleh.
Setelah cukup berumur, Oscar Romero masuk sekolah umum setempat
beberapa waktu lamanya. Setelah itu, Romero belajar pada seorang guru
yang bernama
Anita Iglesias sampai berumur dua belas tahun. Kemudian
ayah Romero menyuruhnya untuk magang pada seorang tukang kayu. Di
tempat inilah, Oscar Romero belajar membuat meja, kursi, pintu, dan juga
pelbagai peti kayu.
Setelah berusia tiga belas tahun, pada tahun
1930, ia mempunyai keinginan untuk masuk ke seminari. Oscar Romero
segera meninggalkan Ciudad Barrios untuk masuk ke seminari di San
Miguel. Ia ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1942. Setahun kemudian
Oscar Romero belajar teologi di Roma. Pada tahun 1970, ia diangkat
sebagai pembantu uskup agung San Salvador dan pada tahun 1977, Oscar
Romero diangkat menjadi uskup agung di San Salvador.
Sebagai
Uskup Agung, ia hidup dalam konteks situasi kemiskinan dan ketidakadilan
yang dialami rakyat El Salvador, serta tindakan represif rezim militer
yang dikomandani oleh Jenderal Maximiliano Hernandez Martinez.
Kemiskinan dan ketidakadilan yang dialami rakyat negara yang paling
padat penduduknya di Amerika Latin itu disebabkan oleh monopoli
kepemilikan lahan oleh segelintir konglomerat kopi. Sementara mayoritas
penduduk hanya menjadi buruh perkebunan kopi. Kemiskinan dan
ketidakadilan diperparah lagi oleh tindakan rezim otoriter dan
militeristik.
Situasi itu berlangsung pada dekade 1960-an sampai
1980-an. Situasi semakin parah ketika terjadi perang saudara selama 12
tahun sejak akhir tahun 1980-an. Ketidakadilan, kemiskinan rakyat dan
politik kekerasan di El Salvador ini dilawan oleh para imam, biarawan,
dan biarawati. Perlawanan mulai dari lingkup grass root (akar rumput)
sampai lingkup akademis. Para imam dan biarawan-biarawati membentuk
komunitas-komunitas basis dan memberi
pencerahan kepada rakyat agar
melawan rezim penyebab ketidakadilan. Para imam yang mengajar di
Universitas Amerika Tengah menggagas teologi pembebasan yang
berorientasi keberpihakkan kepada rakyat yang tertindas.
Dimotori
Ignacio Ellacuria dan Jon Sobrino, teologi politik yang memihak kaum
miskin bergema dan menghantam rezim militer dan para konglomerat kopi.
Cuiusvis hominis est errare - setiap orang bisa berbuat salah (kutipan
dari karya Cicero, Philippica XII,5). Pada awalnya, Romero mengambil
sikap yang salah. Ia berseberangan dengan gerakan perlawanan itu. Di
sinilah, Romero hanya berkutat di altar dan mimbar. Ia melayani umat
dengan pelayanan sakramental dan ibadat-ibadat seputar altar. Ia
mencambuki dirinya sebagai silih atas dosa-dosa yang dilakukannya. Ia
mengembangkan pelayanan karitatif seperti Santa Claus: Ia meminta uang
dari orang kaya dan diberikan kepada orang-orang miskin. Ia tidak masuk
dalam realitas kemiskinan dan penderitaan mayoritas rakyat El Salvador.
Sebaliknya, ia bersahabat karib dengan para juragan dan konglomerat
kopi. Ia bahkan mengkritik para imam yang terlibat dalam gerakan
perlawanan sebagai Neo-Marxis. Teologi pembebasan yang dikembangkan
Ellacuria dan Sobrino dituduhnya sebagai Kristologi baru yang berdimensi
Marxis.
Tetapi sikap itu berubah total, setelah beberapa waktu
Romero diangkat sebagai Uskup Agung San Salvador. Ia berubah 180
derajat. Ia mendukung gerakan-gerakan perlawanan yang sudah dibangun
para imam sebelumnya.
Ia menantang dan menentang rezim yang
berkuasa secara terang-terangan. Melalui khotbah-khotbahnya yang
disiarkan secara langsung saat memimpin Misa di Gereja Katedral San
Salvador, ia mengangkat bendera perlawanan.
Tafsiran-tafsiran
Kitab Suci bercorak teologi pembebasan dikumandangkan dengan tegas dan
konsisten dalam setiap khotbahnya: tremens et fascinats, menggetarkan
tapi sekaligus membahagiakan. Romero tampil sebagai uskup yang gigih
membela kaum miskin, berhadapan dengan para penindas di negerinya, yang
juga orang kristiani seperti dia. “Seorang gembala tak boleh mencari
keamanan di saat umatnya diancam ketakutan,” kata Romero di saat ia
diteror habis-habisan.
Akhirnya, perlawanan dan pembelaannya
terhadap kaum miskin-tertindas berbuah darah. Ia mati ditembak pasukan
bersenjata ketika sedang memimpin misa di kapel susteran pada tanggal 24
Maret 1980.
Melalui Uskup Romero, menjadi nyata bahwa Injil
Yesus Kristus mampu mengubah hati manusia untuk rela menempuh jalan
hidup sama dengan Yesus beserta opsinya untuk mewujudkan Kerajaan Allah
dengan melayani orang yang miskin dan tertindas. Kesaksian hidup Uskup
Romero sedemikian mengesankan sampai Ellacuria, seorang Jesuit dan
pemikir teologi pembebasan mengatakan bahwa
dengan Mgr. Oscar Romero, Allah lewat sekali lagi di tengah umat-Nya.
B.
Refleksi Teologis
a. Salib, Saat Aku Lemah Ingatlah Bapa
Kenapa Oscar Romero berubah total? Apa yang menyebabkan ia berubah
begitu drastis dari sikap diam dan hati-hati terhadap rezim yang
berkuasa dan para konglomerat kopi, menjadi perlawanan terbuka?
Pengalaman salib, itulah jawabannya. Yah, kematian seorang rekan imam,
yakni Rutilio Grande, membuat mata Romero terbuka. Grande yang selama
hidupnya mengabdikan diri untuk membangun kesadaran dan perlawanan
rakyat yang tersalib, terhadap segala bentuk ketidakadilan, dibunuh oleh
rezim militer yang berkuasa. Di hadapan jenazah Rutilio Grande, Uskup
Romero berikrar dengan keyakinan mendalam, “Mereka membunuh dia karena
apa yang dilakukannya, maka saya harus berjalan pada jalan yang sama.
Rutilio telah membuka mata saya.”
Ikrar itulah yang menjadi api
pembakar semangat perlawanan Romero terhadap rezim yang berkuasa. “Saya
bersyukur bahwa Gereja kita dikejar-kejar karena memihak kaum miskin dan
karena berusaha menginkarnasikan diri bersama kaum miskin. Betapa sedih
kita jika di negeri, di mana pembunuhan kejam terjadi, tiada imam yang
menjadi korban. Imam
yang terbunuh adalah saksi bahwa Gereja sungguh menginkarnasikan diri dalam problem umatnya,” katanya lebih lanjut.
Apakah solidaritas dengan “rakyat tersalib”, akan membuat Gereja
kehilangan identitasnya? Sebaliknya, solidaritas dengan mereka akan
membimbing Gereja untuk memahami identitasnya secara lebih baik, yaitu
sebagai tanda Kerajaan Allah dalam sejarah. Identitas itu kita temukan
ketika kita memilih berpihak pada Allah yang mencintai setiap orang dan
berpihak kepada korban.
Gutierrez, seorang teolog pembebasan
lain, juga pernah menegaskan bahwa cinta akan Allah dan komitmen pada
mereka yang tersalib merupakan elemen sentral dalam pengalaman mereka
yang percaya pada Allah kehidupan.
Cinta akan Allah dan komitmen
pada mereka yang tersalib itu kita hidupi dalam solidaritas dengan
mereka yang kecil lemah miskin dan tersingkir. Ia mengkritik hidup
keagamaan yang tidak berkontak dengan realitas dan ketidakpedulian pada
orang miskin. Solidaritas kita dengan rakyat tersalib memberikan dasar
kuat untuk berbicara tentang Allah. Allah yang juga melewati sebuah
jalan salib untuk mengalami kebangkitan paskah.
Lewat pengalaman Romero inilah, kita semakin mengerti makna salib, yakni “saat aku lemah ingatlah bapa.”
b. Mati, Mohon Allah Tambahkan Iman
Tentang Romero, Ignacio Ellacuria menulis: “Tudung yang menyelubung
kebenaran terhadapnya tersobek dan kebenaran baru mulai menguasai
seluruh hidupnya. Penyebabnya bukan keinginan sadar untuk berubah,
tetapi lebih merupakan suatu transformasi yang menimpanya. Ia sadar akan
apa yang sebelumnya tidak dilihatnya, biar pun ada kehendak baik dan
tekad kuatnya, terlepas dari waktu yang dihabiskannya untuk berdoa,
terlepas dari imannya yang benar, terlepas dari kesetiaannya terhadap
ajaran Gereja dan Vatikan.
Terang telah menguasainya dan
membentuknya kembali. Bukan bahwa ia berubah berdasarkan dorongan
batinnya sendiri atau mencari kejelasan dengan dayanya sendiri,
sebaliknya ia melihat sesuatu, melihat sesuatu yang secara objektif baru
dan hal itu mengubahnya.”
Romero tampil sebagai orang yang
berani mati. “Mati” di sini bisa juga berarti Mohon Allah Tambahkan
Iman. Saya meyakini bahwa faktor yang paling mendukung Romero berani
bersikap radikal adalah karena imannya.
Iman yang dimohonkannya
dari Allah sendiri. Baiklah kalau kita juga melihat kembali pelbagai
intisari surat-surat gembalanya yang berupaya juga menambahkan iman bagi
semua umatnya.
Dalam Surat Gembalanya yang pertama, Oscar Romero
melontarkan gagasannya tentang iman Gereja Paskah. Gereja hidup bukan
hanya untuk dirinya sendiri, tetapi Gereja berusaha untuk melayani Tuhan
dengan menyelamatkan dunia. Gagasan tentang Gereja dipertajam lagi
dengan munculnya Surat Gembala yang kedua (Agustus 1977).
Baginya, Gereja adalah Tubuh Kristus di dalam Sejarah. Gereja adalah
Kristus yang memenuhi misinya untuk menyelamatkan dunia melalui
anggota-anggotanya.
Implikasinya, Gereja harus bertindak sesuai
dengan apa yang diimaninya, yang dilakukan Kristus sendiri, yaitu untuk
mewartakan Kerajaan Allah kepada manusia dan secara khusus kepada orang
miskin. Oleh karena itu, Gereja mesti menentang segala bentuk dosa,
seperti ketidakadilan dan kekejaman yang terjadi dalam masyarakat.
Gereja wajib mewartakan Kerajaan Allah kepada semua orang miskin. Tetapi
mewartakan kerajaan Allah bagi orang miskin di El Salvador berarti
mendukung usaha mereka untuk membebaskan diri dari struktur
ketidakadilan. Pembebasan dari kemiskinan, penindasan, keterasingan, dan
perampasan hak-hak mereka. Gereja perlu mendukung usaha pembebasan
mereka.
Kemudian dalam Surat Gembalanya yang ketiga (1978),
Romero berbicara tentang hubungan Gereja dengan Organisasi Politik
Populer yang berkembang di antara kalangan petani.1 Organisasi yang
dibicarakan Romero ini telah dimulai sekitar 1960 dan ketika Oscar
Romero menjadi uskup, organisasi tersebut semakin menguat dan berusaha
mengadakan perubahan politik. Mereka mengorganisir orang miskin dan
mengajarkan politik kepada mereka. Kerap kali organisasi-organisasi itu
menggalang sejumlah aksi protes terhadap ketidakadilan dan penindasan
yang terjadi di El Salvador.
Melalui Surat Gembalanya yang
ketiga ini, Oscar Romero memberikan beberapa prinsip tentang hubungan
Gereja dengan Organisasi Politik Populer. Ia menyebutkan tiga prinsip.
Misi Gereja secara khusus bukan terletak dalam bidang politik, ekonomi,
ataupun sosial. Misi Gereja bersifat keagamaan. Tetapi dari misi
tersebut muncullah tugas, terang, dan daya kekuatan yang dapat membentuk
dan meneguhkan masyarakat manusia menurut Hukum Ilahi.
Sifat
dasar Gereja adalah membangun komunitas. Komunitas-komunitas akar rumput
yang tumbuh di antara orang miskin adalah dasar Gereja.
Gereja
mempunyai misi untuk melayani manusia. Gereja tidak memihak pada salah
satu organisasi politik mana pun, tetapi ia dapat memberi konsiderasi
akan seluruh tujuan dan mekanisme dari partai dan organisasi-organisasi
politik. Gereja mendukung segala sesuatu yang baik dan adil, tetapi pada
kesempatan yang sama Gereja akan mencela segala bentuk ketidakadilan
yang terjadi di dalam organisasi mana pun.
Gereja harus menerangi
setiap usaha dari organisasi untuk pembebebasan dengan cahaya iman dan
harapan Kristiani, serta visi pembebasannya yang integral. Pembebasan
itu melibatkan semua orang, dalam semua dimensinya, termasuk
keterbukaannya akan Tuhan. Pembebasan itu berpusat pada Kerajaaan Allah.
Pembebasan memerlukan perubahan hati dan pikiran. Pembebasan struktur
masyarakat belumlah cukup.
Pembebasan tidak perlu kekerasan karena kekerasan pada prinsipnya bertentangan dengan Injil dan semangat hidup Kristiani.
Setahun kemudian muncullah Surat Gembala yang keempat. Pada surat
Gembala ini, Romero berbicara tentang misi Gereja dalam situasi krisis
Negara. Dalam terang konferensi Puebla dan krisis politik yang terjadi
di El Salvador, Romero menambahkan refleksi baru tentang apa yang telah
ditulisnya dalam Surat Gembala sebelumnya. Gereja mempunyai misi untuk
mewartakan kerajaan Allah di tengah situasi krisis El Salvador.
Selanjutnya, Oscar Romero semakin kuat dalam menyuarakan hak dan
martabat kaum miskin. Melalui khotbah-khotbahnya yang disiarkan ke
seluruh negeri, Oscar Romero berusaha melawan kekerasan yang dilakukan
oleh penguasa. Ia sering mengkritik dan mengutuk setiap ketidakadilan
dan penyelewengan yang terjadi di El Salvador. Ia secara terang-terangan
menyampaikan kritik dan kutukannya.
Dalam sebuah wawancara dengan Prensa Latina, Oscar Romero sangat mendukung organisasi-organisasi yang tumbuh di kalangan
rakyat. Romero percaya bahwa organisasi-organisasi rakyat adalah kekuatan yang sedang memperjuangkan hak-hak mereka dan akan
membangun sebuah masyarakat sejati. Organisasi-organisasi itu pasti
akan menggantikan sistem masyarakat dan pemerintahan yang terjadi di El
Salvador. Maka menurutnya, organisasi itu harus tetap ada dalam
masyarakat supaya proses pembebasan tetap terjadi.
Dalam perjalanan selajutnya, Oscar Romero juga pernah membuat sebuah surat kepada Presiden Jimmy Carter agar pemerintahan
Amerika Serikat tidak lagi mengirimkan bantuan militer dan campur tangan dalam pengambilan kebijaksanaan di El Salvador.
Keberanian Oscar Romero telah membawa dirinya dalam posisi terancam. Ia
menyadari betul akan setiap ancaman yang mungkin dapat terjadi sebagai
konsekuensi dari tindakannya. Akan tetapi, Oscar Romero sendiri tidak
pernah takut karena dia memiliki iman. Romero yakin
kalau mati terbunuh, pasti semangatnya akan bangkit di antara rakyat El Salvador.
Menjelang akhir hidupnya Oscar Romero mengajak, memohon, dan
memerintahkan kepada semua jajaran tentara untuk menghentikan penindasan
dan menghiraukan setiap perintah atasan untuk membunuh. Oscar Romero
mengajak semua jajaran tentara
untuk mengingat kembali Hukum Tuhan.
“Saya ingin menyampaikan suatu seruan khusus kepada semua anggota
tentara … Saudara-saudaraku, masing-masing orang dari Anda sekalian
adalah salah seorang dari kami juga. Kita adalah sama-sama rakyat. Para
petani yang kalian bunuh adalah saudara-saudaramu sendiri. Kalau kalian
mendengar suara seseorang yang memerintahkan untuk membunuh, maka
sebagai gantinya segeralah ingat pada suara Tuhan: ‘Kau tidak boleh
membunuh!’ Hukum Tuhan mesti berlaku. Tidak ada serdadu yang diwajibkan
mematuhi suatu perintah yang bertentangan dengan hukum
Tuhan. Masih
ada cukup waktu bagi kalian untuk mematuhi kata hati nurani kalian
sendiri, bahkan ketika menghadapi perintah penuh dosa untuk membunuh …
Atas nama Tuhan, atas nama rakyat kita yang teraniaya, yang tangis
mereka membumbung tinggi sampai ke surga, saya memohon kepada Anda
sekalian, saya meminta Anda sekalian, saya memerintahkan Anda sekalian:
HENTIKAN PENINDASAN INI!”
C.
Epilog
Untuk membangun sebuah komunitas diperlukan seseorang untuk menjadi martir: menjadi roti yang dipecahpecah,
ikan yang dibagi-bagi untuk mewujudkan cita-cita Gereja mewujudkan sebuah komunio!
Sebagai seorang Uskup Agung, Oscar Romero menjadi martir dengan motonya
Sentir con la Iglesia juga dengan semangat kenabiannya. Ia jelas ingin
menjadi satu pikiran dan hati dengan Gereja.
Lewat figur Romero,
tampak jelaslah bahwa hakikat Gereja yang satu itu merupakan pemberian
Allah, sekaligus tugas yang belum selesai. Pemberian itu memiliki
dimensi yang belum selesai, janji, bahkan dimensi eskatologis. Hakikat
Gereja yang bersatu itu tidak hanya harus dibagikan, melainkan juga
harus dicari, terutama ketika berinteraksi dengan pihak lain. Gereja
ikut serta dalam riuh rendah untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang
mengatur hajat hidup orang banyak. Konteks seperti ini memasukkan
Gereja dalam sukaduka dan jerih payah yang sering kali menghasilkan
gesekan, benturan, konflik dan bahkan meletus menjadi konflik kekerasan
yang tak berujung.
Pelbagai Gereja di dunia ketiga, yang kerap
ditandai dengan kemiskinan, pelanggaran, dan penindasan hak asasi mereka
yang lemah, cinta kristiani tak bisa lagi dimengerti hanya sebagai
cinta kepada Tuhan dan sesama yang melulu personal sifatnya. Cinta itu
harus menjadi political love: cinta yang berpolitik, yang juga sosial
sifatnya, untuk membebaskan kaum miskin dari penderitaannya. Cinta
politis ini sebenarnya adalah cinta Tuhan sendiri.
Sebab sepanjang
sejarah penyelamatan, Tuhan selalu memperlihatkan diri bukan sebagai
Tuhan yang netral, tetapi Tuhan yang memihak kaum lemah dan miskin,
bukan?
Romero juga pernah bertutur, kemiskinan spiritual menjadi
syarat utama umat untuk merayakan Natal dalam arti sebenarnya. Eros
self-sufficiency, kesombongan, kekayaan dan subordinasi atas yang lain
menjadi penghalang utama kita merayakan kelahiran Yesus.
Romero
jelas mengundang kita untuk tidak melulu mencari bayi Yesus di palungan
indah, tetapi di antara anak-anak yang kelaparan dan tidur berselimutkan
koran supaya cinta kita semakin lestari.
“Menolak kekerasan
itulah satu-satunya seruannya (seruan Gereja). Setiap kali tangan
terangkat melawan orang lain siapa pun dia, kekerasan adalah tindakan
berdosa yang mencemari dunia. Seruan penolakan dan perlawanan tidak
pernah menyulut nafsu balas dendam dan kebencian dalam Gereja
…Sebaliknya, suara Gereja selalu menganjurkan persaudaraan yang dibangun
berdasarkan iman dan kebenaran yang diwahyukan oleh
Allah, sebagai sumber ilham untuk ajaran sosial.” (Oscar Romero).