“Si vis amari, ama”
Minggu Paskah V
Kis 14:21b-27; Why 21:1-5a; Yoh 13:31-33a.34-35
“Si vis
amari, ama - Jika kau ingin dicintai, cintailah!” Kutipan dari karya
Publilius Syrus yang saya tulis dalam buku "Carpe Diem" ini
mengingatkan saya akan sosok Pangeran dan Cinderella, Romeo dan Juliet,
Abelardus dan Heloise, Rama dan Sinta, Arjuna dan Srikandi atau bahkan Rangga
dan Cinta. Hari ini, Yesus juga mengatakan: "Semua orang akan tahu, bahwa
kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi" (Yoh
13:35).
Dengan kata lain: cinta kasih adalah tanda kita
sebagai seorang kristiani karena Allah telah jatuh cinta pada kita. Model jatuh
cinta ilahi antara Allah pada manusia adalah membebaskan dan tidak memaksa,
memaafkan, mengorbankan diri, memberikan yang terbaik dan berbelas kasih.
Inilah sebuah cinta yang tak bersyarat, unconditional love. Inilah cinta kasih
yang tulus, yang dapat dirasakan oleh hati, yang dapat dilihat oleh orang buta,
dan yang dapat didengar oleh orang tuli.
Adapun tiga ciri cinta yang tak bersyarat, al:
1.Giver:
Ia selalu mau memberikan diri bagi Tuhan dan sesama
dengan murah hati, karena mustahil kita mencintai tanpa memberi bukan? Baginya,
hidup tanpa cinta adalah ibarat pohon tanpa bunga atau buah.
2.Supporter:
Ia selalu mau mendukung dan mengembangkan orang
lain dengan tulus hati. Baginya, mencintai adalah memberi “sayap” padanya, dan
bukan malah memberi “borgol”. Baginya, cintakasih itu terwujud tatkala dia
membuat seseorang bahagia, kendati dia bukan melulu menjadi bagian dari
kebahagian orang tersebut.
3.Healer:
Ia selalu berusaha untuk berbesar hati, karena jelaslah
hidup pasti memiliki aneka kisah, yang tidak semuanya tulus tapi kadang penuh
akal bulus, dimana kadang sesamanya bahkan yang seharusnya menjadi teladan iman
malahan mudah saling menyakiti dan tidak saling mengasihi, asyik menghakimi dan
tidak saling mengayomi. Disinilah, ia meyakini bahwa obat segala penyakit,
kesalahan, kekhawatiran, kesedihan, dan kekecewaan dalam hidup dan
panggilannya, semuanya terletak pada satu kata, yakni ‘cinta.’
Semoga kisah di akhir tulisan ini membuat kita
semakin berani menjadi giver, supporter dan healer yang benar-benar tulus:
Alkisah, Kapak, Gergaji, Palu, dan Nyala Api sedang mengadakan perjalanan
bersama-sama. Di suatu tempat, perjalanan mereka terhenti karena terdapat
sepotong besi baja yang tergeletak menghalangi jalanan. Mereka berusaha
menyingkirkan baja tersebut dengan kekuatan yang mereka miliki masing-masing.
"Itu bisa aku singkirkan," kata Kapak. Pukulan-pukulannya keras
sekali menghantam baja yang kuat dan keras juga itu. Tapi tiap bacokan hanya
membuat kapak itu lebih tumpul sendiri sampai ia berhenti. "Sini, biar aku
yang urus," kata Gergaji. Dengan gigi-gigi yang tajam tanpa perasaan,
iapun mulai menggergaji. Tapi kaget dan kecewa ia, semua giginya jadi tumpul
dan rontok. "Apa kubilang," kata Palu, "Kan aku sudah omong,
kalian tak bisa. Sini, sini aku tunjukkan caranya." Tapi baru sekali ia
memukul, kepalanya terpental sendiri, dan baja tetap tak berubah. "Boleh
aku coba?" tanya Nyala Api. Dan iapun melingkarkan diri, dengan lembut
menggeluti, memeluk, dan mendekapnya erat-erat tanpa mau melepaskannya. Baja
yang keras itupun perlahan meleleh cair..Indah, ya indah ketika kita mengenakan
kasih dan ketulusan dengan lembut dan tanpa henti, bukan?
“Dari Kota ke Lebak Bulus-Milikilah cinta yang
benar-benar tulus.”
Tuhan memberkati dan Bunda merestui.
Fiat Lux!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar