Dan. 1:1-6,8-20; MT Dan. 3:52,53,54,55,56; Luk. 21:1-4.
Bacaan
Injil: Luk. 21:1-4.
1 Ketika Yesus mengangkat muka-Nya, Ia melihat orang-orang kaya memasukkan
persembahan mereka ke dalam peti persembahan. 2 Ia melihat juga seorang janda
miskin memasukkan dua peser ke dalam peti itu. 3 Lalu Ia berkata: "Aku
berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada
semua orang itu. 4 Sebab mereka semua memberi persembahannya dari
kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, bahkan ia memberi
seluruh nafkahnya."
Inspirasi HIK :
"Non
multa sed multum - Bukan banyaknya tapi mutunya"
Inilah
yang diwartakan Yesus ketika memuji janda miskin di Bait Allah:
"Sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak daripada semua orang
itu. Sebab mereka semua memberi persembahannya dari kelimpahannya tapi janda
ini memberi dari kekurangannya, bahkan ia memberi seluruh nafkahnya!"
Ya,
memberikan persembahan bisa dilakukan oleh semua orang, tak usah menunggu
tua-kaya atau jaya. Tuhan melihat bukan pertama-tama berapa
"kuantitas" jumlah yang dipersembahkan tetapi "kualitas" ketulusan
pemberiannya dengan "dua tas" yang melengkapi, antara lain:
A.
Totalitas-Keseluruhan:
Pemberian seseorang ditentukan bukan oleh jumlah yang ia berikan tetapi oleh jumlah pengorbanan yang terlibat dalam pemberian itu. Seringkali kita hanya memberi dari kekayaan kita dan hal ini tidak meminta pengorbanan. Sebaliknya, pemberian janda ini menuntut segalanya: Ia memberi sebanyak-banyaknya yang dapat diberikannya.
Pemberian seseorang ditentukan bukan oleh jumlah yang ia berikan tetapi oleh jumlah pengorbanan yang terlibat dalam pemberian itu. Seringkali kita hanya memberi dari kekayaan kita dan hal ini tidak meminta pengorbanan. Sebaliknya, pemberian janda ini menuntut segalanya: Ia memberi sebanyak-banyaknya yang dapat diberikannya.
B.
Loyalitas-Pengabdian:
Ia menilai pekerjaan/pelayanan kita tidak berdasarkan ukuran atau pengaruh atau keberhasilannya, tetapi berdasarkan kadar pengabdian, iman dan kasih yang tulus yang terlibat di dalamnya (Luk 22:24-30; Mat 20:26;Mrk 12:42)
Ia menilai pekerjaan/pelayanan kita tidak berdasarkan ukuran atau pengaruh atau keberhasilannya, tetapi berdasarkan kadar pengabdian, iman dan kasih yang tulus yang terlibat di dalamnya (Luk 22:24-30; Mat 20:26;Mrk 12:42)
Dari
Kediri ke Kramat Jati - Berikanlah diri sepenuh hati."
Salam
HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux!@RmJostKokoh
Pin HIK: 7EDF44CE/ 54E255C0.
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux!@RmJostKokoh
Pin HIK: 7EDF44CE/ 54E255C0.
NB:
1.
Inspirasi tambahan:
"Intentio
pura - Maksud yang murni."
Inilah salah satu ciri orang beriman, hidupnya penuh kebaikan dan bukan kejahatan, penuh ketulusan dan bukan kepalsuan. Sebaliknya para ahli Taurat yang notabene adalah tokoh agama malahan kerap ber-"intentio pura pura."
Inilah salah satu ciri orang beriman, hidupnya penuh kebaikan dan bukan kejahatan, penuh ketulusan dan bukan kepalsuan. Sebaliknya para ahli Taurat yang notabene adalah tokoh agama malahan kerap ber-"intentio pura pura."
Disinilah,
Yesus mengingatkan kita agar hati-hati terhadap sikap hidup palsu dan munafik
(Mat 23:13-15,23,25,29) yang mengutamakan kebenaran lahiriah semata (Mat 23:25-28).
Orang semacam ini tidak didiami oleh Roh Kudus dan kasih karunia-Nya (Rom
8:5-14). Lebih lanjut, Yesus secara tulus memberi perHATIan bagi wanita yang
hidup sendirian yang tetap bermurah hati.
Adapun,
di daerah Bait Suci yang dinamakan Pelataran untuk perempuan, terdapat peti
persembahan yang berisi tiga betas peti berbentuk nafiri untuk memasukkan
persembahan. Rupanya Yesus terus mengawasi org-orang yang memberikan
persembahan untuk beberapa waktu dan Ia melihat sejumlah orang kaya memberikan
persembahan sebaliknya janda tersebut mempersembahkan uang seharga dua
peser/satu duit (satu peser/lepton adalah kepingan mata uang terkecil senilai
seperdelapan sen; Duit/kodrantēs adalah kepingan mata uang Romawi senilai
seperempat sen).
Jelasnya,
Yesus mengukur persembahan bukan dari jumlah yang dipersembahkan tapi dari
kasih, pengabdian dan pengorbanan yang terkandung di dalamnya (Luk 21:1-4).
Janda ini telah mempersembahkan jumlah yang paling kecil, tapi justru lebih berharga daripada semua persembahan lainnya, sebab dia mempersembahkan semua yang ada padanya.
Janda ini telah mempersembahkan jumlah yang paling kecil, tapi justru lebih berharga daripada semua persembahan lainnya, sebab dia mempersembahkan semua yang ada padanya.
"Dari
Kramat Jati ke Kalisari-
Jadilah orang yang murah hati setiap hari." (RJK)
Jadilah orang yang murah hati setiap hari." (RJK)
2.
Catatan Mengenai Perpuluhan dalam Iman Katolik
Pertama:
Hukum persepuluhan seperti yang dipraktekkan banyak (tidak semua) Gereja Kristen berarti bahwa setiap anggota jemaat yang mempunyai penghasilan, wajib memberikan sepersepuluh (10 persen) dari penghasilan bulanan/mingguan mereka kepada Gereja.
Hukum persepuluhan seperti yang dipraktekkan banyak (tidak semua) Gereja Kristen berarti bahwa setiap anggota jemaat yang mempunyai penghasilan, wajib memberikan sepersepuluh (10 persen) dari penghasilan bulanan/mingguan mereka kepada Gereja.
Praksis
ini didasarkan pada tindakan Abraham setelah menang perang, yaitu memberikan
sepersepuluh dari hasil rampasan perang itu kepada Melkisedek, Imam Agung (Kej
14:17-24). Tindakan Abraham ini dipandang sebagai kewajiban yang harus
dijalankan oleh umat Israel sebagai keturunan Abraham dalam tradisi mereka (Ul
14:22-23; 26:12-15; Bil 18:20-22; Neh 10:37-38; Im 27:32-33).
Karena
orang-orang Kristiani adalah keturunan Abraham (Gal 3:7), maka mereka juga
wajib membayar sepersepuluh dari penghasilan mereka kepada penerus imam
Melkisedek, yaitu Yesus Kristus (bdk Ibr 7:1-28). Dalam hal ini, Kristus
diwakili Gereja atau pemimpin Gereja. Praksis dalam kebanyakan Gereja Kristen
ini dipandang sesuai dengan ungkapan Yesus berkaitan dengan persepuluhan (Mat
23:23), yaitu bahwa Yesus tetap menyetujui praksis persepuluhan itu.
Kedua:
Gereja Katolik tidak mempraktekkan persepuluhan, artinya umat Katolik tidak dikenakan kewajiban membayar persepuluhan kepada Gereja.
Gereja Katolik tidak mempraktekkan persepuluhan, artinya umat Katolik tidak dikenakan kewajiban membayar persepuluhan kepada Gereja.
Namun
demikian, dalam Konsili Trente, Gereja Katolik pernah mewajibkan umat Katolik
untuk membayar persepuluhan. Tetapi, praksis membayar persepuluhan itu lenyap
pelan-pelan, yaitu sejak Revolusi Perancis pada abad ke-XVIII, meskipun
peraturan itu sendiri belum pernah dicabut. Keputusan Konsili Trente itu
bukanlah keputusan dogmatis, karena itu bisa saja diubah oleh pemimpin Gereja berikutnya
bila dipandang kurang tepat.
Lenyapnya
praksis membayar pesepuluhan dalam Gereja Katolik ini sebenarnya sangat sesuai
dengan catatan sejarah Gereja bahwa praksis persepuluhan itu tidak tampak dalam
Perjanjian Baru dan tidak dilakukan pada Gereja apostolis.
Ada
juga catatan dari bapa-bapa Gereja bahwa praksis persepuluhan itu kurang sesuai
dengan semangat Perjanjian Baru, yaitu memberi secara sukarela seperti yang
dikatakan Paulus: "Hendaknya masing-masing memberikan menurut kerelaan
hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi
orang yang memberi dengan sukacita" (2 Kor 9:7).
Ketiga:
Adalah sangat baik memberikan sumbangan kepada Gereja karena selama Gereja masih hidup di dunia ini, tetap akan dibutuhkan dana untuk mendukung kehidupan dan pelayanan Gereja. Demikian pula tetap dibutuhkan bantuan untuk orang-orang miskin.
Adalah sangat baik memberikan sumbangan kepada Gereja karena selama Gereja masih hidup di dunia ini, tetap akan dibutuhkan dana untuk mendukung kehidupan dan pelayanan Gereja. Demikian pula tetap dibutuhkan bantuan untuk orang-orang miskin.
Gereja
mengajarkan dengan tegas bahwa membantu Gereja dan membantu orang miskin bukan
bersifat manasuka tetapi suatu "kewajiban" (KHK Kan 222 # 1 dan 2;
bdk Kan 1260-1266).
Namun
demikian, pelaksanaan kewajiban ini tidak ditentukan dengan jumlah tertentu,
misalnya sepersepuluh, tetapi diserahkan kepada kerelaan hati umat.
Keempat:
Perubahan penting yang hendak ditegaskan di balik "lenyapnya praksis persepuluhan" dalam Gereja Katolik ini ialah perubahan semangat dasar yang harus menggerakkan umat untuk memberikan sumbangan, yaitu dari semangat berdasarkan hukum (sebagai kewajiban) ke semangat cinta kasih kepada Allah dan sesama.
Perubahan penting yang hendak ditegaskan di balik "lenyapnya praksis persepuluhan" dalam Gereja Katolik ini ialah perubahan semangat dasar yang harus menggerakkan umat untuk memberikan sumbangan, yaitu dari semangat berdasarkan hukum (sebagai kewajiban) ke semangat cinta kasih kepada Allah dan sesama.
Janda
miskin yang memberikan persembahan seluruh miliknya menjadi contoh cinta kasih
yang memberikan diri tanpa batas (Luk 21:1-5). Cinta kasih ini bebas dari
pamrih, yaitu memberi untuk menerima (do ut des). Cinta kasih ini yang
menggerakkan kita untuk mengakui karunia kesejahteraan yang telah dilimpahkan
Tuhan kepada kita, suatu ungkapan syukur atas berkat Tuhan disertai keinginan
untuk membalas kasih-Nya. Cinta kasih inilah yang menggerakkan kita menyadari
diri sebagai bagian dari Gereja, dan karena itu selalu bersedia untuk saling
mendukung dalam karya pelayanan. Cinta kasih inilah yang menggerakkan kita
membagikan harta milik kita kepada orang miskin (KGK 2443-2447).
Dengan
ini menjadi nyata bahwa Yesus datang bukan untuk meniadakan hukum Taurat,
tetapi untuk menggenapinya (Mat 5:17). Juga menjadi nyata bahwa semua hukum
dirangkum dalam perintah cinta kasih kepada Allah dan sesama krn sbenarnya hukum
punya arti yg indah, "Hadir Untuk Kselamatan Umat Manusia."
Nah,
itu dari perspektif historis dan teologis kristiani yg coba dimaknai dlm grj
katolik, pastinya kita ingat sebuah kalimat dari St Ignatius Loyola,
"Tujuan setiap manusia diciptakan adalah utk memuji dan memuliakan Tuhan,
dan setiap benda yang ada di muka bumi ini ada untuk membantu manusia mencapai
tujuan ia diciptakan itu."
Salam
HiKers!
Tuhan memberkati dan Bunda merestui.
Fiat Lux! (RJK)
Tuhan memberkati dan Bunda merestui.
Fiat Lux! (RJK)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar