Pages

"DWITUNGGAL" TOKOH KATOLIK DALAM MUSIK PERJUANGAN INDONESIA


HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
"DWITUNGGAL" TOKOH KATOLIK DALAM MUSIK PERJUANGAN INDONESIA:
CORNEL SIMANJUNTAK
"SIAP BERIMAN BIAR MAJU SERENTAK"
&
W. R. SOEPRATMAN
"SUKACITA PRAKTEKKAN IMAN"
A.
WAGE RUDOLF (W. R.) SOEPRATMAN
Wage Rudolf Soepratman atau dikenal dengan W. R Soepratman dilahirkan di Somongari, pada tanggal 9 Maret 1903. Ayahnya bernama Joemeno Kartodikromo, seorang tentara KNIL Belanda, dan ibunya bernama Siti Senen.
Wage Rudolf Soepratman adalah anak ketujuh dari sembilan bersaudara. Roekijem adalah kakak sulung Soepratman. Ia adalah seorang penganut agama Katolik yang taat. Pada tahun 1914, W.Soepratman ikut serta bersama Roekijem ke Makassar. Di sana ia disekolahkan dan dibiayai oleh suami Roekijem yang bernama Willem van Eldik.
Wage Rudolf Soepratman belajar bahasa Belanda di sekolah malam selama 3 tahun. Kemudian beliau melanjutkan ke Normaalschool di Makassar sampai selesai. Ketika berumur 20 tahun, lalu dijadikan guru di Sekolah Angka 2. Dua tahun selanjutnya ia mendapat ijazah Klein Ambtenaar, dan menjadi seorang guru.
Setelah beberapa saat menjadi guru, Wage Rudolf Soepratman pindah kerja di sebuah perusahaan dagang. Setelah beberapa waktu lamanya Wage Rudolf Soepratman memutuskan pindah ke Bandung menjadi wartawan harian Kaoem Moeda dan Kaoem Kita. Pekerjaan itu sendiri tetap dilakukannya meskipun pada akhirnya tinggal di Jakarta.
Ketika di Jakarta inilah, Wage Rudolf Soepratman mulai tertarik dengan organisasi pergerakan nasional. Beliau akhirnya bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan.
Rasa tidak senangnya terhadap penjajahan Belanda mulai tumbuh dan akhirnya dituangkan dalam buku Perawan Desa. Buku itu disita dan dilarang beredar oleh pemerintah Belanda.
Rasa cintanya terhadap Indonesia semakin hari semakin besar sehingga membuatnya ingin menyumbangkan sesuatu bagi perjuangan bangsanya. Tetapi, ia tidak tahu bagaimana caranya, karena ia hanya seorang wartawan dan pemain musik hingga suatu hari, secara kebetulan WR Soepratman membaca artikel berjudul "Manakah Komponis Indonesia yang Bisa Menciptakan Lagu Kebangsaan Indonesia yang Dapat Membangkitkan Semangat Rakyat" dalam majalah Timboel terbitan Solo. Membaca artikel ini, hati Soepratman tergerak. Dan merasa tulisan itu seolah ditujukan kepada dirinya.
Wage Rudolf Soepratman dipindahkan ke kota Sengkang, tidak lama kemudian minta berhenti dan pulang ke Makassar. Roekijem sendiri sangat gemar akan sandiwara dan musik. Banyak karangannya yang dipertunjukkan di mes militer. Selain itu Roekijem juga senang bermain biola, kegemarannya ini yang membuat Soepratman juga senang main musik dan membaca-baca buku musik. Wage Rudolf Supratman juga merasa tertantang ketika melihat kemahiran kakak iparnya, Willem Van Eldik.
Teringat bahwa pada saat tinggal di Jakarta Wage Rudolf Supratman membaca sebuah karangan dalam majalah Timbul, dimana penulis karangan itu menantang ahli-ahli musik Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan. Wage Rudolf Soepratman juga sungguh tertantang, lalu mulai menggubah lagu. Ketika beliau di Bandung pada tahun 1924 lahirlah lagu Indonesia Raya.
Wage Rudolf Soepratman adalah komponis Indonesia pertama yang menciptakan lagu-lagu pujian untuk perjuangan. Selain Indonesia Raya, ia mengarang lagu Dari Barat Sampai ke Timur (1925), Bendera Kita (1927), Ibu Kita Kartini (1931) yang semula berjudul Raden Ajeng Kartini, Bangunlah Hai Kawan (1931), Indonesia Hai Ibuku (1927); dan tiga lagu lain yang dia ciptakan di Surabaya: Mars Parindra (1937), Mars Surya Wirawan (1937), dan Matahari Terbit (1938).
Pada tanggal 28 Oktober 1928 diadakan Kongres Pemuda II dimana para tokoh pergerakan nasional dan perwakilan para pemuda berkumpul untuk menyatukan visi mencapai Indonesia Merdeka. W.R. Soepratman juga hadir dan pertama kalinya beliau memperdengarkan lagu Indonesia Raya secara instrumental dengan biola (tanpa syair). Mengapa dikumandangkan lagu Indonesia Raya itu secara instrumental? Atas usulan Soegondo Djojopuspito, dengan alasan menjaga situasai politik dan kondisi saat itu.
Banyak hadirin terpukau dengan lagu itu. Lagu tersebut telah berhasil mewakili keinginan rakyat Indonesia untuk segera merdeka dari Belanda.
Lagu Indonesia Raya pertama kali dikumandangkan di depan umum pada saat itu. Semua yang hadir terpukau mendengarnya. Dengan cepat lagu itu terkenal di kalangan pergerakan nasional. Apabila partai-partai politik mengadakan kongres, maka lagu Indonesia Raya selalu dinyanyikan terlebih dahulu. Lagu itu merupakan perwujudan rasa persatuan dan kehendak untuk merdeka.
Sesudah Indonesia merdeka, lagu Indonesia Raya dijadikan lagu kebangsaan, lambang persatuan bangsa.
Wage Rudolf Supratman diburu oleh Polisi Hindia belanda akibat menciptakan lagu Indonesia Raya. Pada awal Agustus 1938 Wage Rudolf Supratman menciptakan lagu “Matahari Terbit”, kemudian beliau menyiarkannya bersama pandu-pandu di NIROM, jalan Embong Malang, Surabaya. Wage Rudolf Supratman akhirnya ditangkap oleh Belanda dan ditahan di penjara Kalisosok, Surabaya.
Wage Rudolf Supratman meninggal di Surabaya pada tanggal 17 Agustus 1938 pada umur 35 tahun. Hari kelahiran Wage Rudof Soepratman, 9 Maret, oleh Megawati Soekarnoputri saat menjadi presiden RI, diresmikan sebagai Hari Musik Nasional.
B.
CORNEL SIMANJUNTAK.
Siapa yang tak terbakar dengan lagu “Maju Tak Gentar”? Hampir setiap jiwa, apalagi pemuda, bisa terbakar oleh lagu itu. Pencipta lagu itu, Cornelis Simanjuntak, adalah seorang komponis yang memanggul senjata di medan perang untuk mempertahankan kemerdekaan negerinya.
Pada saat itu, semua orang memang bisa terbakar api revolusi. Cornel, yang saat itu masih seorang pemuda, termasuk golongan pemuda yang terbakar oleh semangat Revolusi Agustus. Soe Hok Gie menyebut Cornel sebagai tipe “pemuda revolusioner” saat itu.
Orang jaman sekarang lebih mengenal Cornel sebagai komponis lagu-lagu nasional. Sedangkan kontribusinya yang lebih besar, berkorban untuk kemerdekaan negerinya, hampir tidak ditulis dalam buku-buku sejarah di sekolah-sekolah kita.
Anak cerdas pencinta musik
Cornel lahir di Pematang Siantar pada tahun 1921. Ayahnya, Tolpus Simanjuntak, adalah seorang anggota polisi. Sedangkan ibunya bernama Rumina Siahaan. Dengan latar-belakang keluarganya, Cornel berkesempatan untuk berkenalan dengan dunia yang lebih luas.
Bakat musiknya sudah muncul saat ia bersekolah di HIS (Hollandsch-Inlandsche School). Saat itu, Cornel sudah pandai bermain gitar dan menyanyikan lagu-lagu barat yang didengarnya dari radio dan nonton film.
Kira-kira tahun 1937, Cornel dikirim orang tuanya bersekolah di HIK Xaverius College di Muntilan, Jogjakarta. Salah seorang sahabatnya di HIK Muntilan, Binsar Sitompul, menyebut Cornel sebagai murid yang cerdas, pemberani, jujur dan tidak pernah enggan membela pendiriannya.
Kebetulan, di HIK Muntilan saat itu ada seorang pengajar musik yang handal, J. Schouten. Berkat usaha Schouten, di sekolah itu terbentuk orkes simfoni yang beranggotakan 60 orang. Kelompok ini sering memainkan karya Beethoven, Bach, Haydn, Strauss (Johan) dan Wagner.
Cornel saat itu, kata Binsar Sitompul, segera menjadi perhatian Schouten berkat bakat musiknya yang menonjol dan suaranya yang bagus. Cornel pun terlibat dalam kelas musik Schouten. Di situlah Cornel kecil berkenalan dengan komposer-komposer besar dunia, termasuk Beethoven atau Franz Schubert. Salah satu lagu Franz Schubert, Ave Maria, menjadi lagu kesukaan Cornel.
Di sini pula Cornel mengarungi karya-karya pujangga Indonesia: Amir Hamzah, Sanusi Pane, JE Tatengkeng, dan Sutomo Djauhar Arifin. Cornel muda makin larut dalam kecintaan terhadap sastra. Ia mengakrabi karya-karya Goethe, Schiller, Heine, dan Shakespeare.
Pencipta lagu
Pada tahun 1942, menjelang akhir studinya di HIK Muntilan, pasukan fasis Jepang datang menyerang. Berbekal ijazah darurat, Cornel bisa menjadi guru di Magelang, Jawa Tengah. Lagu “Mekar Melatiku” dihasilkannya di sana.
Pada tahun 1943, Cornel pindah ke Jakarta. Di sana, ia bekerja di Kantor Kebudayaan Jepang (Keimin Bunka Shidosho). Di sini, ia bergaul dengan seorang komponis Jepang, Nobuo Lida. Di sana ia juga ditugasi membuat lagu-lagu propaganda. Banyak lagu diciptakannya: “Asia Sudah Bangun”, “Hancurkan Musuh Kita”, “Awaslah Inggeris dan Amerika”, dan “Mars Pasukan Sukarela”.
Masa 1943-1945, kata Asrul Sani, adalah puncak kreativitas dari Cornel Simanjuntak. Satu keunggulan Cornel dalam menciptakan lagu adalah lagunya sederhana, mudah dipahami, tetapi sangat agitatif. Dan, satu lagi, Cornel menganggap seorang komponis harus sanggup menangkap perasaan musik ke dalam dada rakyat.
Terjun dalam revolusi
Pada tahun 1945, saat api revolusi membakar dada pemuda dan rakyat di mana saja, Cornel memilih terjun langsung kepada revolusi.
Asrul Sani, yang sangat akrab dengan Cornel, pernah bertemu dengan dirinya pada masa revolusi itu. Saat itu, Cornel berucap kepada Asrul Sani: “Kalau Saudara hendak mencari saya, jangan cari di rumah. Saya ada di markas API, Menteng 31. Buat sementara waktu saya meninggalkan musik. Saya sekarang merasa bebas sebebas-bebasnya dan dengan kebebasan yang saya perdapat ini saya tentu akan dapat menghalang jiwa saya. Saya tidak ingin perasaan kebebasan itu hilang. Kalau kemerdekaan kita diambil orang, ia pun akan turut hilang. Sekarang ada pertempuran untuk kebebasan ini. Saya tersangkut dalamnya.”
Cornel terjun dalam revolusi. Ia memanggul senapan terlibat dalam pertempuran di daerah Karawang dan Jakarta. Hingga, dalam sebuah pertempuran di daerah Senen – Tangsi Penggorengan Jakarta, pahanya tertembak. Ia kemudian dirawat di CBZ—sekarang bernama Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Belum sembuh total, pasukan sekutu datang melakukan penyisiran di rumah sakit. Cornel pun dibopong pergi oleh kawan-kawan seperjuangannya dan dibawa keluar kota Jakarta.
Dari Karawang ia dikirim ke Yogyakarta. Di kota inilah kemudian lahir lagu-lagu yang heroik dan patriotik. Antara lain: Tanah Tumpah Darah, Maju Tak Gentar, Pada Pahlawan, Teguh Kukuh Berlapis Baja, Indonesia Tetap Merdeka.
Di jogja, batuk kering yang dideritanya tak berkesudahan. Badannya melemah dan tubuhnya terus menyusut. Ia pun dirawat di di Sanatorium Pakem, Jogjakarta. Sembari diopname, Cornel terus berkarya. Ia terus melahirkan lagu-lagu perjuangan untuk membakar semangat heroik kaum muda.
Pada 15 September 1946, Cornel—yang masih berusia 25 tahun—menghembuskan nafas yang terakhir. Ia dimakamkan di Pemakaman Kerkop Yogyakarta.
Cornel, pemuda yang sebetulnya sedang sakit itu, tidak mempedulikan dirinya asalkan bisa berkontribusi bagi pembebasan negerinya. Ia menyerahkan seluruh hidupnya kepada revolusi.
Cornel tidak mau melemah dalam semangat revolusi yang menggelora. Revolusi dan kemerdekaan adalah imannya.
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
NB:
Kita menyadari pentingnya keberadaan lagu pemersatu sampai diputar berulang-ulang di televisi, apalagi negara? Selain menyuntikkan semangat nasionalisme pada warga negara, rasanya juga agak janggal kalau suatu negara tidak punya lagu kebangsaan.
Mengingat pentingnya lagu pemersatu seperti itulah, pemerintah Indonesia menetapkan tanggal 9 Maret sebagai Hari Musik Nasional. Tanggal tersebut dipilih karena bertepatan dengan hari lahir pencipta lagu Indonesia Raya, WR Supratman.
Bangsa yang besar adalah yang mengingat jasa para pahlawannya. Supaya kamu lebih kenal dan ingat dengan sosok pahlawan ini, berikut beberapa fakta tambahan tentangnya:
1. Anak Laki-Laki Satu-Satunya di Keluarga.
Wage Rudolf Supratman atau yang lebih kita kenal dengan nama WR Supratman adalah putra pasangan Djoemeno Senen dan Siti Senen.
Djoemeno Senen pernah bergabung dengan tentara KNIL (kesatuan tentara Hindia Belanda). Wage ini anak kelima mereka, tapi satu-satunya yang laki-laki. Semua kakak adik Wage berjenis kelamin perempuan.
Sebenarnya sempat ada dua anak laki-laki yang menjadi pendahulu Wage, yakni Slamet dan Rebo. Tapi kedua abang Wage itu meninggal sewaktu masih kecil.
2. Asal Usul Sisipan Nama Belanda.
Kedua orangtua WR Supratman kan orang Jawa, tapi kenapa mereka memberikan putranya itu nama tengah Rudolf yang terasa agak kebarat-baratan? Untuk gaya-gayaan kah?
Jangan salah sangka dulu.
Nama Rudolf itu punya tujuan khusus. Sesudah ibu Wage meninggal dunia, Wage diboyong oleh keluarga kakaknya ke Makassar. Nama Rudolf itu diberikan oleh abang iparnya, W.M van Eldik, sebagai siasat supaya Wage bisa sekolah di Europese Lagere School (ELS). Dengan memakai nama seperti itu, Wage bisa bersekolah di tempat yang hanya menerima orang-orang Eropa dan Belanda tersebut.
Tapi tidak berapa lama modus tersebut ketahuan. Wage dikeluarkan dari ELS dan pindah ke Sekolah Melayu.

3. Jadi Anak Band.
Kemampuan WR Supratman memainkan biola juga adalah hasil berguru pada kakak iparnya tersebut. Van Eldik memang mahir memainkan alat musik seperti biola dan gitar.
Sewaktu Wage berusia 17 tahun, sekitar tahun 1920, van Eldik malahan mengajaknya untuk main musik bareng. Mereka membentuk band bernama Black & White Jazz Band. Kelompok musik ini sering tampil di pesta-pesta di Makassar.
4. Membuat Indonesia Raya Tergugah dari artikel majalah.
Indonesianis yang beberapa waktu lalu telah berpulang, Benedict Anderson, dalam bukunya "Imagined Communities" menyebutkan bahwa nasionalisme perjuangan Indonesia di masa pergerakan terbangun lewat berita-berita yang dimuat di media cetak. Pengalaman WR Supratman ini sepertinya adalah salah satu buktinya.
Wage terpicu untuk membuat lagu Indonesia Raya setelah membaca salah satu artikel yang dimuat di surat kabar Fajar Asia terbitan Jakarta. Artikel tersebut aslinya dimuat di majalah Timboel terbitan Solo.
Salah satu petikan artikel tersebut: Mana komponis kita yang dapat mencipta lagu kebangsaan Indonesia yang dapat membangkitkan semangat rakyat?
5. Tudingan Indonesia Raya Jiplakan Lagu Lain.
Ini sebenarnya polemik sekitar tahun 1990-an. Waktu itu Remy Sylado, seorang novelis, pengamat musik, dan juga munsyi berpendapat bahwa Indonesia Raya gubahan WR Supratman berasal dari lagu jazz klasik.
Judul lagu tersebut adalah Pinda Pinda Lekka Lekka. Wage kemungkinan familiar dengan lagu tersebut mengingat sejak muda ia sudah memainkan musik jazz mengiringi orang Belanda dansa-dansi.
Tidak lama berselang, pendapat Remy Sylado tersebut disanggah oleh Kaye Solapung, seorang pengamat musik. Ia mengatakan pendapat Remy tersebut hanya mengulang tuduhan Amir Pasaribu pada era 1950-an. Kalau dibandingkan antara Indonesia Raya dengan Pinda Pinda Lekka Lekka atau dalam versi Amerikanya, Boola Boola, yang sama cuma delapan ketuk. Jadi tidak bisa disebut sebagai menjiplak.
6. Pernah Menciptakan Satu Permainan Kartu.
Selain menggubah lagu, menurut buku WR Supratman: Meluruskan Sejarah Riwayat Hidup karangan Anthony C Hutabarat, ia juga pernah membuat mainan kartu yang diberi nama Kartu Indonesia. Kartu bergambar macam-macam hewan Indonesia itu jumlahnya kurang lebih 20 lembar. Tujuannya supaya orang Indonesia bisa punya permainan di waktu senggang, jadi tidak kecanduan main kartu domino atau remi.
Sayangnya, karena Wage masih trauma sewaktu polisi Belanda menyita dan melarang terbit roman Perawan Desa karangannya, Kartu Indonesia ini pun tidak jadi ia edarkan.
7. Buruan Intel Belanda.
Meski WR Supratman tidak pernah angkat senjata melawan Belanda, tapi gara-gara beberapa karyanya seperti roman Perawan Desa dan lagu Indonesia Raya, ia terus menerus diintai Politieke Inlichtingendienst, dinas keamanan Hindia Belanda.
Stres karena terus diintai itu juga yang akhirnya membuat WR Supratman sakit-sakitan. Malahan beberapa hari sebelum ia meninggal tanggal 17 Agustus 1938, ia sempat ditangkap dan dipenjarakan di Penjara Kalisosok Surabaya.

8. Tanggal Lahirnya Bukan Tanggal Lahirnya.
Hampir semua buku sejarah mencantumkan keterangan bahwa WR Supratman lahir di Meester Cornelis Jatinegara, Jakarta, tanggal 9 Maret 1903.
Tanggal ini didasarkan pada keterangan kakak-kakak Wage dalam amar putusan Pengadilan Negeri Surabaya ketika tahun 1971 muncul sengketa soal penetapan ahli waris Wage.
Versi lain menyebutkan tanggal lahir Wage adalah 19 Maret 1903. Versi ini muncul ketika sejumlah saksi mengungkapkan bahwa Siti Senen, ibu kandung Wage dalam keadaan hamil tua pulang ke desa asalnya di Somongari, Purworejo, dan kemudian melahirkan bayi laki-laki.
Versi ini bahkan sudah dikuatkan lewat Keputusan Pengadilan Negeri Purworejo tanggal 29 Maret 2007 lalu, yang juga sekaligus menganulir tanggal lahir 9 Maret 1903.
Yang jelas, baik 9 Maret ataupun 19 Maret 1903, keduanya jatuh pada hari pasaran Wage.
Pertanyaannya kemudian, apakah pemerintah akan memindahkan tanggal Hari Musik Nasional?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar