Pages

St. Bernard dari Clairvaux 2


HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
Suatu perjalanan kembali ke Allah:
"Saint Bernard, Un itine'raire de retour, a Dieu"
BAGIAN II (A)
AJARAN AJARAN SANTO BERNARDUS (1 - 4)
Seluruh pengajaran Santo Bernardus dikuasai oleh ide Kristen tentang keselamatan. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa pengajaran Santo Bernardus merupakan komentar pewartaan Kristus semata mata.
Meskipun begitu ada juga cirinya yang khusus, yaitu Santo Bernardus mengalami kerinduan besar sekali untuk mendahului mengalami kebahagiaan akhir selagi masih hidup di dunia ini.
Ia mempunyai keinginan kuat sekali untuk menikmati prarasa kebahagiaan akhir dalam kegembiraan ekstasis sekarang ini juga. Justru tujuan mistik Sistersiensis ialah memastikan kemungkinan adanya pengalaman adikodrati seperti itu, menentukan syarat-syaratnya dan membangkitkan keinginan kepadanya.
1. TUJUANNYA: MENJADI MIRIP DENGAN ALLAH.
Pengalaman adikodrati yang dibicarakan di atas memang tidak bisa dilukiskan. Meskipun begitu sekurang-kurangnya hakikatnya dapat kita ketahui. Keselamatan manusia terletak dalam menikmati Allah selama-lamanya dengan mengenal dan mengasihi-Nya dalam kebahagiaan surgawi.
Kebahagiaan ini mengandaikan adanya suatu "deifikasi" (pengilahian), artinya suatu transformasi adikodrati yang membuat manusia menjadi Allah, sekurang-kurangnya dalam arti tertentu yang masih perlu diperincikan lebih lanjut.
Istilah "deifikasi” sudah dipakai oleh Gregorius Nyssa, Dionysius Ariopagit dan Maximus Pengaku Iman.
Dengan menggunakan istilah itu, Santo Bernardus tidak bermaksud mengatakan bahwa substansi: manusia yang mengalami kebahagiaan akhir luluh dengan substansi ilahi. Percampuran manusia dan Allah seperti itu tidak mungkin sama sekali, sebab sungguh kontradiktoris jika suatu ciptaan menjadi Pencipta.
Seperti dapat dibaca dalam "De Consideratione”, pada hakikatnya Allah adalah Yang Ada, artinya Ia tidak dapat tidak ada. Ia ada seperti adanya berkat diri-Nya sendiri dan tiada lain dapat ada tanpa Dia. Allah mencukupi diri dalam hal ada-Nya. Hal ini menyebabkan Dia memiliki keluhuran yang luar biasa.
Hal ini juga menyebabkan Dia seperti diliputi oleh kesunyian yang tak terbatas, yang tidak dapat ditembus oleh ciptaan manapun juga. Ada Bapa. Ia adalah Allah. Ada Putera. Ia adalah Allah. Ada Roh Kudus. Ia adalah Allah. Kesatuan mutlak ketiga pribadi ilahi tak terpisahkan dengan keilahian mereka. Karena mereka adalah satu Allah, mereka sungguh satu. Barangsiapa tidak termasuk dalam keilahian dengan sendirinya juga harus tidak termasuk dalam kesatuan ilahi. Ciptaan hanya memiliki ada berkat Yang Ada. Maka ciptaan adalah secara radikal lain dengan Yang Ada. Oleh sebab itu kesatuan substansiil antara manusia dan Allah adalah kontradiktoris dan mustahil.
Kemustahilan ini sebenarnya sudah terungkap di dalam istilah "deifikasi” itu sendiri. Kalau dimengerti menurut arti yang kita kritik, “deifikasi” berarti membuat manusia menjadi Allah, artinya membuat seseorang yang dari dirinya sendiri bukan Allah menjadi Allah. Padahal tidak mungkin Allah dibuat, sebab Ia tidak dapat tidak ada.
Untuk dapat diilahikan (dideifikasikan), manusia harus diciptakan dulu, supaya sekurang-kurangnya ia ada sehingga juga bisa diilahikan, bisa ditransformasikan dengan jalan deifikasi untuk menjadi Allah yang tidak mungkin diciptakan karena Ia secara kekal dan mutlak tidak dapat tidak ada. Kalau dimengerti begitu, istilah "deifikasi” tidak dapat dianalisa tanpa bunuh diri. Jelas bahwa kalau dimengerti begitu, istilah itu tidak ada artinya sama sekali.
Kalau begitu istilah tersebut harus diartikan lain.
"Kesatuan" dalam arti yang sesungguhnya antara manusia dan Allah tidaklah mungkin. Hal ini sudah.kita lihat. Tetapi sekurang-kurangnya kita dapat memikirkan adanya semacam “persatuan”. Bahkan juga tidak ada larangan untuk mengunakan kata "kesatuan”, asal kita ingat bahwa yang dimaksud hanyalah kesatuan paling mesra yang dapat digambarkan antara dua diri yang saling distinks (berbeda) secara radikal “similitudo”
Tiap orang mengerti arti istilah "kemiripan”. Tetapi kenyataan yang diartikan oleh istilah tersebut sungguh merupakan suatu misteri. Seorang pribadi yang mau menjadi mirip dengan.pribadi lain harus menjadi seperti pribadi lain itu dengan tetap mempertahankan kepribadiannya sendiri.
Di sini ada sesuatu yang bersifat mendua. Hal ini tampak juga dalam cara orang membicarakan hal seperti itu. Kalau ada dua hal yang mirip, orang sering berkata begini "Keduanya itu sama". Memang harus ada dua, sebab kalau tidak, tidak bisa dikatakan mirip satu sama lain. Tetapi sejauh keduanya itu mirip, harus ada yang sama. Harus ada yang tidak dibedakan. Kalau kemiripannya itu ditingkatkan sampai titik akhir keduanya tidak lagi dapat dibedakan satu sama lain. Kalau tidak ada lagi perbedaan sama sekali, keduanya tidak lagi dua melainkan satu.
Persatuan dengan Allah yang menjadi sasaran mistik Sistersiensis adalah justru kemiripan yang dilukiskan di atas. Kemiripan itu mencapai titik dalam “visio beatifica". Di situ tidak ada sesuatupun lagi di dalam manusia yang membedakannya dengan Allah selain substansi manusia itu sendiri yang ditransfigurasikan menjadi mirip dengan penciptanya. Di sini ada kesatuan namun bukannya kesatuan suatu essensi dengan dirinya sendiri, melainkan kesatuan dua essensi distinkt.
Deifikasi yang dijanjikan bagi manusia dalam kehidupan yang akan datang dapat dilihat sebagai kemiripan sempurna antara dua diri yang distinkt sepenuhnya satu sama lain. Ekstasis yang merupakan prefigurasi (prarupa) deifikasi di dunia ini juga dapat dilihat demikian. Sungguh suatu kesatuan yang membahagiakan bagi yang mengalaminya, tetapi bukan apa-apa bagi yang membandingkannya, demikianlah kata Santo Bernardus, dalam salah satu antitesis yang menyimpulkan pandangannya.
Memang, kesatuan paling erat yang dapat dibayangkan antara Allah dan manusia bukanlah apa-apa jika dibandingkan dengan kesatuan Allah sendiri dengan Allah.
Batas tertinggi kesempurnaan yang dapat dicapai manusia terletak dalam kemiripan sempurna dengan Allah. Tetapi kemiripan sempurna ini tidak mungkin terlaksana sekiranya.Allah tidak membagikannya dalam diri kita semenjak kita diciptakan. Dalam kitab suci memang ada tertulis bahwa “Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya”(Kej 1,27).
Atau lebih tepat lagi, Allah “menjadikan manusia menurut gambar dan rupa (kemiripan) –Nya (Kej 1,26). Kalau diterjemahkan ke dalam bahasa filsafat, kalimat di atas berarti bahwa di antara semua makhluk yang hidup hanya manusialah yang menerima dari Allah pikiran (Latin: ”mens”), artinya hanya manusia yang menerima daya pikir yang menyebabkan dia mampu mengenal kebenaran dengan pikirannya dan kebebasan yang menyebabkan dia mampu mengejar kebaikan dengan kehendaknya.
Jadi kemiripan manusia dengan Allah terletak dalam pikirannya. Tetapi manusia hanya bisa menghendaki yang baik kalau ia mengenal.yang benar. Oleh sebab itu pengenalan akan yang benar sudah termasuk di dalam penghendakan akan yang baik Maka dapat juga dikatakan bahwa gambar Allah terletak terutama dalam kemampuan manusia untuk menghendaki kebaikan yang dikenal oleh daya pikirnya, dengan kata lain: dalam kehendaknya yang bebas. Memang sudah menurut kodratnya bahwa manusia mempunyai kehendak bebas. Memang sudah menurut kodratnya juga bahwa gambar Allah terletak pertama-tama dalam kehendak bebas manusia. Oleh sebab itu memang sudah menurut kodratnyalah bahwa manusia adalah gambaran yang mirip dengan Allah.
Mengingat itu semua,maka dapatlah dimengerti bahwa ekstasis mistik itu mungkin terjadi di dunia ini dan bahwa “visio beatifica'' juga mungkin terjadi dalam kehidupan yang akan datang. Kedua status itu tidak memperkosa kodrat manusia. Memang, keduanya mengangkat kodrat manusia ke atas dirinya sendiri.
Tetapi dalam pengangkatan ini ekstasis dan “visio beatifica” itu hanyalah menyempurnakan kodrat manusia menurut garisnya sendiri yang memang sudah ada. Karena diciptakan menurut gambar Allah, manusia memang mempunyai hak untuk menjadi mirip dengan Allah. Hak ini diterimanya sebagai hak kelahiran. Oleh ekstasis dan “visio beatifica’ kemiripan yang sudah menjadi hak manusia itu ditingkatkan mencapai kesempurnaannya yang paling tinggi. Hal ini harus kita perhatikan sungguh-sungguh kalau kita mau memahami pengajaran rohani Santo Bernardus dengan tepat.
Hidup mistik dan ekstasis tidak boleh dipandang sebagai suatu embel-embel yang tidak ada sangkut pautnya dengan kodrat manusia. Sesungguhmya hidup mistik dan ekstasis mengaktualisasikan secara adikodrati virtualitas (daya kemampuan) yang konstitutif (menjadi bagian yang mutlak membentuk) bagi kodrat manusia. Hidup mistik tidak menyeleweng, tetapi memenuhi dan menyempurnakan kodrat manusia yang diciptakan menurut gambar Allah. Manusia menjadi diri sendiri secara penuh sejauh ia makin mirip dengan Allah.
Dalam rangka pengajaran seperti ini, bukanlah orang mistik yang abnormal, melainkan orang berdosa. Sebab orang berdosa tidak menyempurnakan diri dengan memenuhi kemiripannya dengan Allah. Ia membinasakan diri dengan menghilangkan kemiripan tersebut.
2. DALAM KEADAAN BEBAS.
Pengertian dosa, atau lebih tepat fakta konkrit yang diartikan oleh pengertian tersebut, mendatangkan suatu komplikasi dalam kehidupan manusia.
Ada baiknya kita mempunyai pandangan yang tepat tentang hakikat dosa. Sebab kalau tidak begitu kita tidak dapat memahami "hak hidup" kehidupan monastik pada umumnya dan kehidupan Sistersiensis pada khususnya.
Menurut kodratnya, manusia adalah gambar Allah. Gambar ini terletak dalam kehendaknya yang bebas. Oleh sebab itu kehendak bebas merupakan privilesi manusia yang tak dapat diambil dari adanya. Kehendak bebas tidak terpisahkan dengan pikiran (Latin: “mens”) yang juga tidak terpisahkan dengan manusia. Ada tiga pengertian, manusia, kehendak bebas dan kemiripan ilahi. Ketiganya saling berkaitan dan tak terpisahkan yang satu dengan yang lain.
Apakah arti kehendak bebas?
Kehendak bebas berarti kemampuan untuk menyetujui atau tidak menyetujui. Kemampuan ini tidak terpisahkan dengan.kehendak. Hal ini menjadi lebih jelas kalau kita perhatikan juga kebalikannya, yaitu keharusan. Kita dapat membayangkan makhluk-makhluk hidup, yang mempunyai daya untuk mengenal tetapi yang pengamatannya menentukan reaksinya sebagai suatu keharusan. Hal ini terjadi pada binatang. Binatang tidak bisa tidak mengadakan reaksi sesuai dengan sifat obyek yang diamatinya. Pengamatan obyeknyalah yang menentukan reaksinya.
Di lain segi, manusia tidak begitu. Manusia bisa menyetujui atau menolak obyek yang dikemukakan oleh daya pikirnya. Kemampuan untuk berkata ya atau tidak dan untuk menyetujui atau menolak membebaskan manusia dari keharusan yang menentukan naluri dalam tindakannya. Jadi manusia adalah bebas dari keharusan. Inilah yang disebut libertas a necessitate (kebebasan dari keharusan). Kebebasan ini menjadi hak bagi Allah dan bagi semua makhluk yang berdaya pikiran, baik malaikat maupun manusia. Kebebasan ini tidak bisa hilang, tidak bisa berkurang, dalam status manapun makhluk itu berada.
Dalam traktatnya “Hal rahmat dan kehendak bebas” Santo Bernardus menulis begini: “Orang tidak dapat kehilangan kehendak bebas, baik karena dosa maupun karena kemalangan. Kehendak bebas di dalam orang benar tidak lebih besar dari pada.di dalam orang berdosa. Kehendak bebas di dalam malaikat tidak lebih penuh dari pada di dalam manusia. Kalau kehendak bebas manusia menyetujui rahmat, yang mengarahkannya kepada kebaikan, ia menjadi baik secara bebas.
Dengan demikian, manusia menjadi bebas untuk kebaikan, artinya persetujuan itu mendorong manusia untuk menghendaki kebaikan itu dan tidak menariknya secara paksa. Sebaliknya kalau kehendak bebas menyetujui kejahatan ia menjerumuskan manusia secara spontan ke alam kejahatan.
Manusia berada di dalam kejahatan secara spontan dan bebas, sebab yang menjerumuskan dia ke situ adalah kehendaknya sendiri dan bukan suatu paksaan dari luar. Demikianpun malaikat di surga dan juga Allah sendiri tetap baik secara bebas artinya oleh kehendak sendiri dan bukan oleh paksaan dari luar. Sebaliknya setan juga bebas menceburkan diri dalam kejahatan dan tetap tinggal di situ, sebab yang menceburkannya adalah gerakan yang bebas dan bukannya paksaan dari luar.
Oleh sebab itu kebebasan tetap ada, juga bila daya pikirnya mengalami perbudakan, kebebasan tetap penuh pada orang jahat maupun pada orang baik, tetapi pada orang baik kebebasan lebih tunduk terhadap tata tertib, kebebasan sama 1engkapnya pada ciptaan dan pada pencipta, meskipun pada pencipta ia lebih kuat”.
Kehendak bebas dalam arti yang diuraikan di atas merupakan privilesi manusia yang tak dapat dirusak dan tetap utuh bahkan pada yang dihukum selamanya. Demikianpun kemiripan ilahi yang asli tetap utuh dalam diri kita juga bila kita berada dalam status berdosa, sekurang-kurangnya jika pengertian kebebasan sama dengan pengertian kehendak bebas. Tetapi kita akan melihat bahwa kemiripan ilahi itu lebih berada dalam kebebasan dari pada dalam kehendak bebas.
Mempunyai kehendak bebas berarti mempunyai kemampuan untuk secara spontan.memilih yang baik dan menolak yang jahat. Tetapi privilesi ini juga mencakup kemampuan untuk memilih yang jahat dan menolak yang baik.
Untuk dapat memahami sepenuhnya suatu tindakan yang bebas secara sempurna, kita tidak cukup hanya memperhatikan kehendak bebas, tetapi juga harus memperhatikan semua syarat yang harus dipenuhi supaya kehendak bebas sungguh bekerja seperti semestinya.
Adapun jumlah syaratnya ada dua, yaitu: mengetahui hal yang harus dilakukan dan mampu melakukannya. Sebab kehendak kita hanya sungguh bebas sejauh ia memang bebas sebagai kehendak dan diterangi oleh daya pikiran.
Untuk mempunyai kemampuan memilih yang baik atas yang jahat, diperlukan bahwa daya pikiran sungguh ada dan juga menunjukkan dengan tepat mana yang baik dan mana yang jahat. Selain itu sesudah kehendak mendapatkan penerangan dan tahu mana yang baik, harus masih diketahui juga apakah kehendak mempunyai kekuatan.untuk memilih yang baik itu atas yang jahat.
Dalam keadaannya yang asli waktu diciptakan oleh Allah, manusia mempunyai kemampuan untuk menghendaki secara bebas seperti yang dipunyainya sampai sekarang; tetapi di samping itu dalam keadaannya yang semula manusia juga mempunyai kemampuan untuk selalu mengetahui hal yang harus dikehendakinya dan untuk melaksanakan hal yang sudah dikehendakinya itu.
Santo Bernardus menghubungkan analisa ini dengan teks Kitab Kejadian yang mengatakan bahwa Allah menciptakan nanusia menurut gambar dan kemiripan-Nya (Kej 1926).
Pertama-tama ia menempatkan "gambar" dalam arti yang sesungguhnya.di dalam kebebasan dari keharusan (libertas a necessitate) seperti yang sudah kita lukiskan di atas.
Kemudian, ia membedakan dua buah kemiripan:
Kemiripan pertama terletak dalam kebebasan untuk menilai dengan tepat hal yang harus dilakukan (liberum consilium = pertimbangan bebas).
Kemiripan kedua terletak dalam kebebasan untuk menghendaki kebaikan yang diperintahkan oleh pikiran (liberum complacitum = persetujuan bebas).
Jadi dengan ringkas dapat dikatakan, bebas sepenuhnya tidak hanya mencakup kehendak, tetapi juga pengetahuan dan kemampuan.
Jadi dalam kebebasan yang lengkap ada tiga unsur.
Unsur yang mewujudkan gambar tidak dapat hilang. Hal ini sudah kita katakan. Tetapi unsur-unsur yang mewujudkan kemiripan tidaklah demikian. Tidak hanya ada kemungkinan bahwa kedua unsur itu hilang, tetapi dalam kenyataannya keduanya menghilang karena dosa asal. Kita memang tetap mampu menghendaki, sebab kita tidak bisa kehilangan kemampuan ini tanpa kehilangan kodrat kita sebagai manusia. Tetapi kita tidak lagi mempunyai kemampuan untuk selalu menilai dengan tepat mana yang baik dan mana yang jahat.
Dan kalau kita sudah tahu mana yang baik, kita juga tidak mempunyai kemampuan untuk melaksanakan kebaikan yang disetujui oleh pikiran tetapi pelaksanaannya berada di atas batas kekuatan kita. Oleh sebab itu kita adalah gambar Allah yang kehilangan kemiripan ilahi.
Peranan rahmat dalam jiwa kita ialah memberi kita kemungkinan untuk mengusahakan kembali kemiripan itu. Kehidupan Kristen, dan terutama kehidupan monastik yang merupakan perwujudannya yang sempurna, bertujuan pertama-tama untuk mengusahakan kembalinya kemiripan ilahi.
Pengalaman mistik yang kadang-kadang dianugerahkan Allah kepada jiwa Kristen adalah hadiah gratuit kehidupan tersebut, sedangkan “visio beatifica” adalah mahkotanya.
3. MENGENAL DIRI SENDIRI.
Hidup kristiani dalam segala tingkatnya merupakan usaha terus menerus untuk memulihkan kepada manusia sebagai gambar ilahi kemiripan yang telah hilang. Sebagai titik tolak dari usaha ini kita masing-masing harus menyadari keadaan kita yang diakibatkan oleh dosa asal.
Yang dimaksud di sini bukan hanya semacam pemeriksaan batin yang diadakan secara perorangan untuk diri masing-masing, tetapi juga “consideratio”.
Istilah ini dipakai oleh Santo Bernardus untuk mengartikan suatu usaha penuh perhatian yang dilakukan oleh roh untuk mencari suatu tata kebenaran tertentu.
Sebenarnya kata “consideration” berarti pertimbangan. Dalam tata kebenaran itu yang harus kita perhatikan pertama-tama adalah kebenaran yang menyangkut diri kita sebagai manusia. Memang tidak bisa lain, sebab pengajaran Santo Bernardus, sebagai pengajaran kristiani, memang dikuasai sepenuhnya oleh ide penyelamatan.
“Pertimbangan anda harus dimulai dengan diri anda”, kata Santo Bernardus dalam traktatnya “Hal pertimbangan”. “Sebab kalau tidak begitu ada bahaya bahwa anda mempertimbangkan lain-lainnya dengan.sia-sia. Apa gunanya anda memperoleh seluruh dunia, kalau anda kehilangan diri anda sendiri? Anda kehilangan hikmat, kalau meskipun memiliki hikmat anda tidak berhikmat terhadap diri anda sendiri. Kehilangan berapa?
Menurut saya, anda kehilangan seluruh hikmat anda. Sekalipun anda mengetahui semua misteri, mengenal luasnya bumi, tingginya langit dan dalamnya laut, namun anda tidak mengenal diri sendiri, anda dapat disamakan dengan orang yang membangun tanpa pondamen. Bukannya bangunan yang disediakannya, melainkan puing-puing.
Segala sesuatu yang anda bangun di samping anda, hanya akan merupakan debu yang menjadi mangsa angin. Memang tidak berhikmat orang yang tidak mengetrapkan hikmatnya terhadap diri sendiri. Orang berhikmat harus berhikmat terhadap diri sendiri. Ia sendirilah yang pertama-tama harus minum air dari sumurnya sendiri. Oleh sebab itu pertimbangan anda harus dimulai pada diri.anda sendiri.
Tidak hanya itu. Hikmat anda juga harus berakhir pada diri anda sendiri. Ke manapun hikmat anda menyimpang, anda harus mengembalikannya pada diri anda. Keselamatan anda akan beruntung karenanya. Bagi anda sendiri anda adalah yang pertama, anda adalah yang terakhir.
Ambillah contoh Bapa yang mahatinggi. Ia mengutus SabdaNya dan menyimpan-Nya. Sabda anda ialah pertimbangan anda. Hendaknya pertimbangan anda terbit dari anda, tetapi janganlah ia menjauh dari anda".
Yang menjadi sebabnya ialah, demikianlah kesimpulan Santo Bernardus, “karena dalam usaha memperoleh keselamatan bagi anda tidak ada keluarga yang lebih dekat dari pada putera tunggal ibu anda. Jangan memikirkan sesuatupun melawan keselamatan anda.
Bagaimana kata saya? Melawan? Sebenarnya saya harus berkata: di luar keselamatan anda. Barang apapun yang muncul dihadapan pertimbangan anda, kalau tidak ada sangkut pautnya dengan keselamatan anda, harus anda usir”.
Masalah sangat pribadi tentang keselamatan memang mendapatkan tempat pertama. Tidak mengherankan bahwa dalam spiritualitas Sistersiensis pertimbangan-pertimbangan psikologi sangat dipentingkan dan masalah manusia mendapatkan tempat sentral. Dalam hal ini cara berpikir Santo Bernardus berlainan dengan para ahli metafisika. Seorang ahli metafisika akan menaruh manusia pada tempatnya di dalam keseluruhan realitas.
Dari situ, ia akan menarik kesimpulan tentang hakikat hubungannya dengan Allah. Santo Bernardus tidak begitu. Ia mulai dengan menempatkan diri dalam problem keselamatan sendiri yang sangat individual dan konkrit.
Lalu ia mengundang kita untuk melakukan hal yang sama dan menunjukkan kepada kita, bagaimana kita dapat berharap keluar dari kemalangan untuk mencapai kebahagiaan menurut urutan pertimbangan tentang kodrat kita dan menurut urutan usaha-usaha terhadap diri kita sendiri yang dituntut oleh situasi kita sendiri. Apakah saya ini: Siapakah saya ini? Manakah asal saya? Manakah tujuan saya? Adakah saya masih berada dalam status di mana Allah menciptakan manusia? Adakah saya berada dalam jalan yang mengantar saya kepada tujuan yang ditentukan oleh kehendak Allah bagi kita?
Di jalan kehidupan manusia yang merupakan ziarah ini tiap orang harus tiap saat menentukan arahnya dan menentukannya kembali. Orang yang melakukannya lebih baik untuk diri sendiri juga akan lebih mampu menolong teman-teman senasib dan seharapan yang bergulat dengan kesulitan yang sama dan harus memecahkan problem yang sama.
Hal ini disebabkan karena pada hakikatnya situasi semua orang adalah kurang lebih sama. Jika kita memeriksa diri kita kita masing-masing akan segera mendapatkan dalam dirinya sendiri keagungaan yang tercampur dengan kemalangan yang disebabkan karena di satu pihak kita masing-masing adalah gambar Pencipta yang tak terhapuskan, tetapi di lain pihak kita sudah kehilangan kemiripan karena dosa.
Untuk dapat memahami akibat-akibat dosa asal, kita harus ingat bahwa kemiripan ilahi jiwa dengan Allah berada dalam jiwa seperti semacam rupa yang ditambahkan secara cuma-cuma pada substansinya.
Kehormatan ini dulu merupakan kebahagiaan jiwa dan sekarangpun masih dapat menjadi kehormatannya. Inti kehormatan ini terletak dalam keagungan dan kelurusan. Tatkala diciptakan oleh Allah, manusia adalah agung, artinya ia luhur mengatasi segala makhluk lainnya, sebab ia mampu mengambil bagian dalam kehidupan ilahi dengan pengenalan dan cintakasih. Kecuali itu ia juga lurus sebab kehendaknya memang menginginkan mengambil bagian dalam kehidupan ilahi.
Padahal kehidupan ilahi sendiri adalah pada hakikatnya pengenalan kekal. Yang dimiliki Allah akan dirinya sendiri dalam Sabda-Nya dan cinta kasih kekal Allah kepada dirinya yang ada dalam Roh kudus.
Jadi kehidupan ilahi adalah pengenalan dan cinta kasih sempurna dari kebaikan sempurna yang merupakan kebahagiaan kekal. Tatkala menciptakan manusia, Allah menciptakan pikiran manusiawi yang merupakan pengenalan akan Penciptanya dan kehendak manusiawi yang diikutsertakan dalam kehendak ilahi yang menghendaki diri ilahi sendiri.
Dengan demikian Allah sungguh menciptakan makhluk hidup yang sungguh mirip dengan diri-Nya sendiri, dengan kehidupan dan kebahagiaan-Nya sendiri. Dosa asal manusia justru disebabkan karena ia membelokkan diri dari pengenalan dan cinta kasih akan Allah yang merupakan inti kemiripannya dengan Allah. Manusia membelokkan diri dari pengenalan dan cinta kasih akan Allah untuk mengarahkan diri kepada pengenalan dan cinta akan hal-hal duniawi.
Dengan demikian ia tidak lagi terarah kepada Penciptanya, melainkan kepada dirinya sendiri. Selama kehendaknya diikutsertakan dalam kehendak ilahi dan tetap mengasihi segala sesuatu demi Allah, manusia memang mirip dengan Allah.Tetapi bila ia mulai mencintai barang-barang demi dirinya sendiri akhirnya hanya dirinya sendirilah yang dicintainya.
Dengan demikian ia sekaligus kehilangan keagungan dan kelurusan yang merupakan inti kemiripannya dengan Allah. Ia mendatangkan keruntuhannya sendiri. "Di dalam kehormatannya, manusia tidak paham; ia meniru hewan yang tak berakal dan menjadi mirip dengannya” (Mz 48,13).
Oleh sebab itu mengenal diri sendiri adalah pertama-tama mengenal keagungan dan kemalangan manusia, keagungannya yang dulu dan kemalangannya yang sekarang. Tetapi mengenal diri sendiri juga berarti mengenal keagungan yang meski bagaimanapun juga sekarang masih tersisa dalam dirinya, untuk mengembalikannya dalam keagungannya yang sudah hilang.
Kalau tidak mengetahui keagungannya sebagai gambar Allah, manusia memerosotkan dirinya secara definitif kepada tingkat hewan dan untuk selamanya menutup segala harapan akan pengangkatan kembali. Tetapi bahaya yang sama juga mengancam dia kalau ia tidak menyadari kemalangan yang disebabkan oleh hilangnya kemiripannya dengan Allah. Bahayanya juga tetap sama kalau ia mengira bahwa keagungannya yang masih tersisa berada di tangannya sendiri dan bahwa ia mampu bangkit dengan kekuatannya sendiri.
Manusia memang bukan Allah dan juga bukan hewan. Kepastian tentang dua hal inilah yang menjadi dasar bagi pengangkatannya kembali.
Inti dosa terletak dalam penolakan akan Allah. Kalau dirumuskan dengan istilah teknis inti dosa. terletak dalam “kehendak sendiri”, artinya suatu tindakan makhluk berakal budi yang seharusnya menghendaki Allah demi Allah tetapi kenyataannya menghendaki diri sendiri dan semua lainnya demi diri sendiri.
Dengan demikian ia mendahulukan diri sendiri atas Allah. Jadi pertama-tama dosa merupakan suatu penyelewengan cintakasih. Oleh sebab itu spiritualitas Sistersiensis pertama-tama menampilkan diri sebagai suatu pendidikan kembali dalam cintakasih, atau dapat juga disebut: suatu latihan pemulihan cintakasih.
Yang harus diusahakan ialah pertama-tama meluruskan suatu penyelewengan yang sudah menjadi bawaan cintakasih manusiawi.
Teori penyembuhan ini dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan Santo Bernardus, tetapi penerapannya dalam praktik dilakukan di biara-biara Sistersiensis.
Pengingkaran akan dunia bukan hanya merupakan suatu syarat abstrak bagi pemulihan cinta kasih Allah dalam diri manusia melainkan juga merupakan langkahnya yang pertama. Orang tidak bisa berkata: kita harus mengingkari dunia supaya dapat mencintai Allah demi Allah. Cinta kasih akan Allah demi Allah sendirilah yang sudah aktif, di dalam hati manusia dengan bantuan rahmat menarik manusia dari dunia untuk mengantarnya ke dalam biara.
Tidak ada cara lain untuk memahami bagaimana usaha seperti itu bisa terjadi. Tetapi sekurang-kurangnya orang dapat melihat mana pertimbangan pertimbangan yang menujukkan bahwa manusia yang ditolong o1eh rahmat mendapatkan dalam kesadaran akan kemalangaanya sendiri suatu undangan akan pengingkaran tersebut.
4. MENGARAHKAN DIRI KEPADA ALLAH.
Manusia mempunya keinginan yang tidak mungkin dipuaskan. Tiap kali manusia menginginkan sesuatu lain lagi. Hal ini diketahui setiap orang. Tak seorangpun menyangkalnya. Segala makhluk yang mempunyai kemampuan mengerti selalu menginginkan hal lebih baik lagi yang dapat dipikirkannya.
Tidak ada sesuatupun yang kalau dilihat sebagai sesuatu yang baik tidak diingininya. Orang yang miskin menginginkan kekayaan. Tetapi orang yang memiliki kekayaan menginginkan kekayaan yang lebih besar lagi. Yang berdiam di dalam sebuah rumah ingin mempunyai istana. Sekali menetap dalam istana ia masih membeli banyak rumah lagi. Kehausan manusia akan yang baik dan keinginannya akan yang lebih baik tidak mengenal batas atau ukuran.
Apa sebabnya?
Sebab tidak ada sesuatu-pun yang merupakan kebaikan mutlak, artinya, di antara hal-hal yang dapat dialami oleh manusia, tidak ada sesuatupun yang merupakan total dan tertinggi, yang memenuhi keinginan demikian rupa sehingga kalau dimiliki menyebabkan orang tidak lagi menginginkan sesuatu yang lain. Karena tidak ada obyek seperti itu, tidak ada sesuatupun yang memuaskan kita secara penuh. Perjalanan kita ke kebahagiaan selalu dihadapkan dengan tangga baru yang harus dinaiki, dan tangga itu tidak pernah merupakan tangga yang terakhir.
Di sini letak peranan gerakan tobat yang membuat manusia. memalingkan diri dari dunia. Kalau memang tidak ada sesuatupun yang mampu memuaskan kita, kalau pada hakikatnya keinginan kita lebih luas dari segala sesuatu, maka lebih baik kita melepaskannya segera.
Manusia dihadapkan dengan suatu dilema. Ada dua pilihan.
Pertama: mencari pemuasan diri dengan kepuasan-kepuasan yang tidak mengakibatkan perubahan apa-apa dalam keinginannya itu sendiri dan juga tidak menberikan kekuatan-kekuatan baru kepadanya.
Kedua: melepaskan pengejaran usaha yang mustahil dengan melepaskan keinginan itu sendiri satu kali untuk selamanya. Pilihan ini memang tidak mudah.
Di satu pihak sungguh gila kalau kita mau meredakan rasa lapar yang justru malahan meningkat jika kita redakan.
Di lain pihak bagaimana mungkin kita melepaskan keinginan yang tak terpisahkan dengan kehendak kita sendiri?
Kecuali itu, mengapa kita harus melepaskannya, kalau sebagai ganti pemuasan yang tidak memuaskan itu kita hanya dapat memberikan ketiadaan belaka?
Bagaimana menggerakkan manusia supaya memilih pelepasan yang menyelamatkan itu? Kita harus memahami pengajaran positif yang terkandung di dalam kegagalan kita.
Banyak kehidupan manusia menjadi bangkrut hanya karena salah urus. Kalau mau mengubah kegagalannya menjadi sukses cukuplah kalau tiap manusia melihat bahwa keinginannya yang tak terpuaskan itu mempunyai arti, mempunyai alasan untuk adanya, lalu tiap manusia harus mencari obyek satu-satunya yang akhirnya dapat memuaskannya secara penuh.
Kemudian menyusullah dilema yang kedua. Kemungkinan pertama adalah sebagai berikut: keinginan kita yang. mengarah kepada yang mutlak itu hanya mempunyai hal-hal relatif untuk memuaskan diri. Kalau begitu ia harus melepaskan segala harapan tentang kebahagiaan dan kehidupan.
Kecuali itu ia juga harus melepaskan kemungkinan menerangkan ketidak- terbatasan keinginannya. Kemungkinan kedua: kita bertitik tolak dari kenyataan bahwa keinginan kita tak terpuaskan.
Kenyataan ini kita terima sebagai suatu kenyataan yang dapat diterangkan secara positif. Keinginan kita tidak bisa dipuaskan oleh kebaikan yang disajikan kepadanya. Kasih kita mempunyai kecenderungan untuk melampaui batas kebaikan-kebaikan itu.
Apa sebabnya?
Hanya ada satu keterangan yang dapat dipikirkan. Yaitu: kita ditarik oleh Kebaikan yang tak terbatas. Kita memang mual terhadap tiap kebaikan khusus yang disajikan kepada kita. Ini tidak disebabkan semata-mata karena kita malas dan berat hati.
Kemualan ini tidak hanya mengungkapkan putus asa. Ia mengungkapkan juga adanya jarak tak terbatas yang dialami oleh kehendak kita, yaitu jarak yang memisahkan kebaikan khusus yang dimilikinya dan kebaikan mutlak yang diinginkannya.
Kalau begitu, tidak dapat dikatakan bahwa problem kasih tidak dapat dipecahkan. Asal problemnya diutarakan dengan tepat, pemecahannya dapat ditemukan.
Kalau kita mau mencari pemecahan.dengan tetap berada di lingkungan dunia ini, kita akan berusaha meredakan keinginan itu dengan mengantarnya dari kekecewaan yang satu kepada kekecewaan yang lain, yang diakibatkan oleh kesadaran akan jarak tak terbatas yang memisahkan kebaikan mutlak dengan tiap kebaikan terbatas. Kalau diutarakan begitu, problemnya tidak dapat dipecahkan.
Sebaliknya kalau kita meninggalkan dunia ini dan mengandaikan bahwa kemualan kita akan dunia sebenarnya adalah kasih akan Allah yang tersembunyi maka problemnya sudah dipecahkan.
Sebab kalau di dalam hati kita memang ada kehausan tak terpuaskan akan kebaikan yang sebenarnya merupakan kehausan tak terpuaskan akan Allah, tentunya Allah sendirilah yang menaruhkan kehausan itu dan memeliharanya.
Maka keputusasaan yang disebabkan oleh kemualan terhadap barang-barang terbatas merupakan segi negatif yang berada di balik segi positif harapan akan kebaikan tertinggi yang menjiwai dan menggerakkan kita dari dalam menuju kepadanya. Allah sendirilah yang mendahului, menopang dan memenuhi kita dengan kehadiranNya. Dialah yang membuat kita menginginkanNya, Dia sendirilah yang sesungguhnya kita inginkan.
Kalau begitu, mengapa masih ragu-ragu tentang penggerak kita untuk mengasihi.Allah? Mengapa masih bimbang tentang sasaran (Obyek) khusus kasih yang ditimbulkan oleh Dia sendiri?
Yang menggerakkan-kita untuk mengasihi Allah. ialah Allah sendiri. Menurut istilah filsafat, Allah sendirilah yang menjadi “causa eifficiens” (sebab yang mengadakan) dan “causa finalis” (sebab yang dituju) kasih kita. Dialah yang memberi kita kesempatan, Dialah yang memberi kita keinginan, akhirnya Dia jugalah yang akan menjamin dan menjadi kepuasan kita.
Oleh sebab itu tidaklah berlebih-lebihan kalau dikatakan bahwa asal problemnya dirumuskan dengan tepat pemecahannya pasti ditemukan, seperti diungkapkan dalam kalimat yang ditujukan oleh Santo Bernardus kepada Allah dalam traktatnya “Hal mengasihi Allah": “Tidak seorangpun dapat mencari Engkau selain yang sudah menemukan Dikau. Engkau mau ditemukan supaya orang mencari-Mu. Engkau mau dicari supaya orang menemukan Dikau. Orang memang dapat mencarimu dan menemukan Dikau, tetapi orang tidak dapat mendahului Dikau”.
Kalimat ini merupakan sumber gagasan Pascal yang paling terkenal: “Engkau tidak akan mencari Aku sekiranya engkau tidak memiliki Daku”, dan lagi: "Hiburkan dirimu, engkau tidak akan mencari Aku sekiranya engkau belum menemukan Daku”.
Di atas telah dikatakan, bahwa Allah adalah sebab yang mengadakan maupun yang dituju. Oleh sebab itu Dia adalah satu-satunya pahala yang dapat dipikirkan bagi kasih akan Allah. Memang dapat ditanyakan apakah kasih yang pantas disebut kasih dapat mengharapkan atau bahkan menerima pahala.
Santo Bernardus membicarakan hal ini panjang lebar dan kerap kali ia kembali pada persoalan ini, yaitu apakah satu-satunya kasih yang mampu memuaskan kita tidak kontradiktoris dan mustahil karena tak dapat didamaikan dengan hakikat kasih sendiri. Kalau benar bahwa pada hakikatnya kasih adalah tanpa pamrih, kalau kasih tidak mengharapkan pahala, bagaimana mungkin.kasih insani dapat melepaskan segala sesuatu untuk memiliki Allah semata-mata, tanpa terjerumus dalam tingkat pamrih.
Jawaban Santo Bernardus terhadap masalah ini sangat tegas. Kasih tidak dapat mengharapkan ganjaran tanpa. merusak diri sendiri. Tetapi orang yang sungguh mengasihi dengan sendirinya tidak bisa tidak diganjar.
Tentu saja, kasih puas akan dirinya dan mencukupi diri. Orang yang sungguh mengasihi melakukan itu bukannya demi ganjaran. Meskipun begitu ia menerima ganjarannya, yaitu justru mengasihi itu sendiri, dan dalam kasih itu ia menikmati kasihnya. Mana ibu yang memerlukan janji ganjaran untuk mengasihi anaknya? Namun begitu ia mengasihihya, dan justru dalam kasihnya akan anaknya itulah ia menikmati kegembiraan kasih keibuan; inilah ganjarannya yang paling berharga.
Singkatnya, baik pengertian kasih berpamrih maupun pengertian kasih tanpa ganjaran adalah kotradiktoris dan mustahil: “Kasih sejati tidak mengejar untung, tetapi mendapatkannya”, kata Santo Bernardus.
Dengan demikian pertanyaan yang tiap kali diajukan semenjak quietisme diajukan keliru, sebab kalau kasih mencari ganjaran, ia kehilangan justru karena kalau begitu ia bukan lagi kasih. Sebaliknya jika ia mengasihi, meskipun tidak bermaksud mengharapkan ganjaran, atau justru karena tidak mengharapkannya, ia pasti akan mendapatkannya.
Kalau pada kasih manusiawi saja halnya sudah demikian, betapa lebihnya hal itu berlaku bagi kasih adikodrati manusia akan Allah! Ada orang yang berpendapat bahwa kasih Allah kehilangan haknya atas sebutan tersebut kalau ia mengharapkah suatu ganjaran. Memang begitu, tetapi ada ganjaran yang tidak dapat direbut oleh siapapun, yaitu: menjadi kasih akan kebaikan tertinggi dan kegembiraan tanpa tara yang pasti dialaminya dalam mengasihi kebaikan tertinggi itu.
Jika kita meninggalkan segala sesuatu untuk mengasihi Allah semata-mata seperti Ia mengasihi diriNya sendiri, kita membangun kembali dalam diri kita kemiripan yang dirusak oleh dosa dan kita mengambil bagian lagi dalam kebahagiaan kehidupan ilahi, sejauh hal itu mungkin bagi manusia. Dengan demikian, karena kasih tersebut adalah yang paling tanpa pamrih, maka ia juga yang paling diganjar.
Kita melihat bahwa ada sesuatu amat positif yang tersembunyi dibalik sikap penghinaan akan dunia yang tampaknya serba negatif itu. Kemualan akan dunia dan akan segala sesuatu dari dunia adalah nama lain bagi kasih akan Allah yang mau bersifat mutlak. Bahkan bagi orang yang mengingkari dunia, masih ada banyak tingkat yang harus dinaiki kalau ia mau mencapai puncak.
Atau lebih tepat: ia tidak akan mencapainya secara sempurna di dalam kehidupan ini, sebab mencapainya berarti sudah menetap dalam kegembiraan sempurna yang disediakan oleh Allah untuk kelak bagi orang yang mengasihi-Nya. Tetapi yang kelak akan mencapainya hanyalah orang yang semenjak sekarang sudah mengarah kepada-Nya, dengan tiap hari berusaha mempelajari kasih sempurna.
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar