Ads 468x60px

WARISAN KETERLIBATAN
Fenomen Prof Dr Mgr NJC GEISE, OFM

Mgr. Geise adalah sosok pribadi historik yang menjalani hidup dan bertugas sebagai pimpinan tertinggi gereja keuskupan Bogor yang pertama. Selain sebagai gembala utama Mgr. Geise pun adalah pengikut dan pengagum Fransiskus Assisi, tokoh spiritual Gereja Katolik, Abad Pertengahan. Mgr. Geise adalah tokoh masyarakat, tokoh hidup rohani, tokoh intelektual dan pemikir. Ketokohan ini, ia jalani bukan dalam keterkungkungan pilar-pilar gereja yang kokoh. Sebaliknya, kekokohan sang pendekar OFM ini lahir karena keterbukaannya kepada dan interaksi serta interelasinya dengan liyan (yang lain). Dalam rangka itu, ia selalu berusaha hadir sebagai pribadi, bersama yang lain (agama dan budaya). Ia juga manusia berjiwa besar, karena walaupun sesama saudara OFM dalam sejarah lebih memilih Jakarta, Yogyakarta sebagai tempat pendidikan calon imam dan bukan Bandung, ia tetap memilih Bandung. Dan sebagai Fransiskan sejati, ia dapat menemukan di mana-mana saudara dan sesama pekerja yang dapat diajak bekerja sama dalam membangun dan mencerdaskan kehidupan bangsa lewat keterlibatan di dunia pendidikan (baik menengah maupun tinggi).

Menilik dengan saksama eksistensi Paternus Nicholas Joannes Cornelius Geise OFM  akhirnya mengantar kita sampai pada beberapa keniscayaan yang terkait dengan satu, Ordo Fratrum Minorum (Saudara-Saudara Dina); dua, citranya sebagai pimpinan tertinggi Gereja lokal, i.e. Keuskupan Bogor dan segala bentuk pergumulannya; tiga, pendidikan tinggi Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.

Mgr. Geise dan Ordo Fratrum Minorum
Kata kunci untuk memahami Mgr. Geise sebagai peristiwa yang fenomenal adalah keterlibatan. Signifikansi kata “keterlibatan” ini dapat kita jabarkan seraya memerhatikan sejumlah pokok yang satu sama lain dihubungkan oleh benang merah yang pada akhirnya berujung dan bermuara di dalam sebuah kedalaman dan kematangan pribadi manusia religius Geise.
Seorang Geise Senior (merupakan eufemisme dari “tua”) memiliki keterkaitan yang tidak terceraikan dengan latar belakang pribadi dan momen-momen yang signifikan. Menilik data pribadi dalam kearsipan Provinsi Fransiskan, saya menarik kesimpulan tentatif bahwasanya Mgr. Geise merupakan hasil sintesis dan perpaduan alami antara spiritualitas Ignatian dan Spiritualitas Fransiskan.
Spiritualitas Ignatian merujuk pada lingkungan di mana Geise Muda diformat di Kolese Kanisius (dari SD sampai dengan SMU) di Nijmegen.  Usia muda merupakan periode yang paling tepat untuk membekali seseorang dengan kemungkinan-kemungkinan alternatif bagi pengisian masa depan. Di Kolese Kanisius Nijmegen inilah para padri Jesuit mengasah kemampuan-kemampuan seorang Geise. Beliau mengagumi para padri Jesuit yang menonjol dalam dedikasi yang tinggi pada dunia ilmu. Para padri Jesuit juga memiliki daya jelajah yang luas, semangat yang tangguh berapi-api yang difasilitasi oleh sikap penyerahan diri yang total. Pokoknya, semuanya demi kemuliaan Allah yang lebih besar (Ad Maiorem Dei Gloriam) dengan disertai pula kaul ke-4, yakni ketaatan kepada Gereja (Sri Paus) demi melaksanakan evangelisasi di mana pun Gereja membutuhkan mereka. Kita dapat merasakan khazanah religius bermutu tinggi pada Latihan Rohani yang ditulis oleh Ignatius Loyola dan dijunjung tinggi oleh para Jesuit dan mitra mereka.
Akan tetapi – dan inilah titik krusial bagi Geise Muda - ketika beliau harus memilih untuk menghayati hidup ini, ia kemudian melakukan loncatan intelligensia. Pilihan untuk masa depannya dijatuhkan pada OFM (atau Fransiskan) dan bukan pada Serikat Jesus.
Beberapa kali ia mengatakan kepada saya –dalam dialog lepas di ruang pengakuan pribadi- perihal mengapa beliau memilih Sekolah rohani Fransiskan. Sebab beliau melihat pribadi yang memukau dalam diri seorang miskin dan bersahaja, Fransiskus dari Assisi yang merupakan “sisi lain dari Dia yang tersalib”.  Dia tahu bagaimana memberikan semangat, dorongan dan motivasi pada orang-orang yang ada di hadapannya.  “Lihatlah Fransiskus! Jangan jij terkungkung pada fransiskan-fransiskan tertentu yang cara hidupnya kurang terpuji.”
Pada dasarnya perihidup Mgr. Geise merupakan seni perpaduan yang asri dan harmonis antara mistik Kerubin dan mistik Serafin. Dalam tradisi ilmu spiritualitas, mistik Kerubin dipahami sebagai ketercengkaman seseorang pada keluhuran akal budi dan segala dayanya (sebagaimana beberapa Jesuit dianugerahi previlese ini), yang berasal dari Hyang Ilahi. Sedangkan mistik Serafin merupakan persatuan istimewa antara manusia dengan Hyang Ilahi yang mewujud dalam kemuliaan unsur-unsur hati, kalbu berikut semua keistimewaannya (tidak sedikit Fransiskan yang mendapatkannya seperti Petrus Alcantara, Didakus, Ramon Lull, Paskalis Baylon, Margaretha Cortona, Klara, Padre Pio).
Dampak langsung dari perpaduan kedua aliran ini adalah tampilnya karakter dan kepribadian yang dinamis dan seimbang. Dengan kata-kata lain, implikasi langsung dari ketercengkaman dan persatuan itu berfungsinya nalar, cerahnya budi, munculnya kesanggupan untuk berdiskresi,  tetapi juga membuahkan sikap murah hati, rendah hati, empati, pengampun, toleran, baik hati, pendekatan pada wong cilik karena merasa bersama dan dari mereka. Pengalaman kita memperlihatan bahwa ada banyak orang berbudi luhur, pintar, tetapi tidak memiliki kepedulian, cuek, tidak berperikemanusiaan, tidak berkeadaban. Meski demikian ada orang yang sederhana dan bodoh, keras kepala, fanatik dan tidak bersedia berdialog. Tegasnya, Mgr. Geise menjadi pribadi yang berhasil membuat sintesis antara ilmu dan laku. Atau ilmu dan iman, dua wilayah yang terkadang sulit dijembatani karena “disiplin” yang berbeda.  Singkatnya, beliau menampilkan figur mistik keseharian a la heideggerian yang mengejawantahkan nilai-nilai luhur dalam peristiwa-peristiwa sederhana dan lumrah.  Selain itu, sebagai religius ia “bertapa”, beraskese di kota, tidak di tempat yang sunyi sepi. Mgr. Geise tapa ngrame. Sebagai ilmuwan, ia “mesu budhi” (meminjam istilah Surat Centhini): beraskese secara intelektual. Ia berlatih bermatiraga secara intelektual.
Salah satu hal yang sangat mengesankan pada Fransiskus dan pada Mgr. Geise sebagai Fransiskan adalah sikap serta kepeduliaannya pada Islam dan orang Islam.  Dalam Regula Non Bullata, Pasal XVI (tahun 1221), Fransiskus Assisi menulis secara khusus bagi para Saudara yang hendak bepergian di antara orang muslim dan berkepercayaan lain. “Hendaklah para saudara mengedepankan sikap bersaudara, tidak bersilat lidah, menghormati sesama, mengalah.” Dan ketika sedang berkecamuk Perang Salib, Fransiskus Assisi pergi ke kantong pasukan muslim di Damietta (Mesir Utara) tidak dengan senjata untuk menghabisi orang-orang Saracens, melainkan datang tanpa apa-apa, dengan kehendak baik, berbicara dengan mereka. Alih-alih Fransiskus dimusuhi, tetapi ia diterima dengan hormat bahkan oleh Sultan Malek-il-Kamil.
Persaudaraan, ukhuwah itu yang mau dilestarikan oleh Fransiskus dan kemudian diabadikan yang sangat tepat oleh Mgr. Geise, terutama kalau kita berbicara tentang relasi Mgr. Geise dengan masyarakat warga Badui dan jemaat Muslim pada umumnya di tatar Sunda. Di sinilah Mgr. Geise menjadi pewaris tulen spiritualitas Fransiskus.  Tanpa penghayatan tuntas spiritualitas ini, niscaya Universitas Katolik Parahyangan punya cerita lain.

Mgr. Geise dan Keuskupan Bogor
Persaudaraan sebagaimana telah disebutkan tadi senantiasa merindu untuk berjumpa. Mgr. Geise mewujudkan perjumpaan itu sejak dia memperkuat barisan kehadiran para Fransiskan di Parahyangan Barat (Cianjur, Cipanas, Rangkasbitung dan Soekabumi). Ini wilayah yang nota bene “Islam”. Di sanalah Mgr. Geise merintis peletakan dasar-dasar toleransi hidup beragama.
Ketika diangkat menjadi perfek apostolik Sukabumi pada tahun 1948, Mgr. Geise menciptakan sesanti Laudate montes, yang berarti “Hai gunung-gemunung, Pujilah (Tuhan)!”. Umat Katolik saat itu berjumlah tidak genap dari 700 jiwa. Karena jumlah yang relatif kecil ini, maka biarlah gunung-gemunung yang menghiasi tatar Sunda ini sajalah yang memuji Tuhan.
Pada 16 Oktober 1961 Mgr. Geise diangkat sebagai Uskup Bogor. Sesanti beliau pun diganti menjadi In Occorsum Domini (Dalam Pertolongan Tuhan). Saat itu, bukan lagi gunung-gemunung yang memuji Tuhan, melainkan umat. Semua ini berkat pertolongan Tuhan sendiri.
Sejak awal Mgr. Geise bersahabat dengan orang-orang Sunda, bahkan Badui. Persahabatan itu dinyatakan dalam kesediaan dan keterbukaannya untuk memahami serta mendalami budaya serta bahasa setempat. Pada gilirannya persahabatan itu diperteguh dalam karya konkret. Melalui kebijakan kepemimpinannya, Mgr. Geise berikhtiar mencerdaskan begitu banyak anak di wilayah keuskupan Bogor. Untuk itu didirikan sekolah-sekolah dari tingkat rendah sampai menengah, yang menjangkau daerah pelosok.
Jiwa besar Mgr. Geise juga terlihat ketika beliau setia pada komitmen awal, yakni diutus ke tatar Pasundan berikut menyelami khazanah kulturalnya. Kesetiaan pada komitmen tersebut tidak populer di kalangan mayoritas Fransiskan saat itu yang lebih berkiblat keluar Pasundan. “Hadir di daerah Sunda yang kental dengan Islam”, yang sebenarnya sejalan dengan semangat Fransiskus Assisi kini tinggal menjadi legenda, bahkan mitos. Sekali lagi, Mgr. Geise menjadi eksistensi alternatif di tengah arus mayoritas.
Dalam benak Mgr. Geise, karya pendidikan yang menyentuh lapisan bawah masyarakat bukan upaya kristenisasi, melainkan penanaman nilai-nilai dasariah dan universal. Inilah yang disebut pendidikan yang berfokus pada martabat manusia.  Ini merupakan salah satu sisi otentik evangelisasi Fransiskan. Naga-naganya, hal ini sejalan dengan gagasan K. Rahner tentang Kristen anonim dalam kemajemukan masyarakat. Apa yang didahulukan adalah penghayatan nilai secara konsisten dan berani, bukan penampilan bentuk-bentuk formal. Memberi perhatian kepada yang miskin, terpojok, tidak berkesempatan merupakan bentuk konkret dari preferential option for the poor.  Pembebasan masyarakat dari keterbelakangan dan kebodohan perlu ditempuh melalui jalur pendidikan yang bermakna. Dengan demikian bagi Mgr. Geise, pendidikan merupakan sarana perjuangan melawan pemiskinan. Ia membebaskan, mencerahi dan membuat insan menjadi pribadi yang memiliki konsientisasi kekeh.
Sikap bersahabat dan kepribadian yang hangat Mgr. Geise teruji ketika beliau melakukan tindakan politis-diplomatis. Coba simak catatan berikut ini:
Akan tetapi pada akhir tahun 1957 terjadi suatu kejutan di wisma keuskupan Jakarta. Pada waktu pimpinan vikariat apostolik memikirkan dan merencanakan pembentukan sebuah seminari di daerah Bogor untuk mendidik pemuda-pemuda Jakarta yang mengidamkan menjadi imam, justru pada saat itu datanglah berita bahwa Kongregasi Propaganda Fide di Roma telah mengambil keputusan memisahkan kabupaten Bogor dari vikariat Jakarta dan menggabungkannya dengan prefektur apostolik Sukabumi. Alangkah kagetnya para imam di Jakarta dan alangkah terkejutnya Monseigneur Djajasepoetra; ya, beliau bukan hanya terkejut, beliau sungguh marah! Mengapa tidak! Ternyata beberapa misionaris dari Sukabumi berhasil membujuk ‘Roma’, lalu tanpa konsultasi dengan vikaris apostolik Jakarta, sebagian dari daerahnya – lagi justru wilayah yang paling santai – diambil dari padanya! Demikianlah kentara bahwa di Gereja Katolik pun bisa terjadi manipulasi, akan tetapi sekaligus tampak juga kebesaran jiwa Monseigneur Djajasepoetra, yang, sekalipun marah, bersedia mengalah”.
Interpretasi atas peristiwa tersebut (post-factum) dan fenomen Mgr. Geise adalah visi dan misi kepemimpinan Mgr. Geise ternyata sangat konkret, taktis, jauh ke depan, tajam-terarah, tanpa kehilangan roh (atau jiwa). Ini semua dikarenakan oleh ikhtiar dia bersama dengan ‘orang-orang yang berkehendak baik’, yang adalah saudaranya, untuk memaklumkan nilai-nilai manusia, yang dicintai Hyang Ilahi secara pribadi.
Dengan rumusan lain, yang mendorong dan memotivasi kiprah Mgr. Geise, dan yang kemudian dihayati dengan jujur adalah pribadi ilahi, bukan ide atau gagasan. Mengepa? Justru karena Mgr. Geise pertama-tama adalah insan religius. Dalam konteks ini “Menjadi Geise”: Being Geise means to be pluralistic one. Ini point yang masih sangat relevan di sini dan saat ini. Yang pasti, kehadiran, keterlibatan Mgr. Geise di lingkungan Fransiskan (OFM) dan Keuskupan Bogor serta Universitas Katolik Parahyangan telah mengasah dan mempertajam kemanusiaan kita semua. Beliau telah membuktikan kebenaran kidung rohani ini, “Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya” (Ams 27:17). Sekarang tinggallah giliran kita untuk mengasah dan mempertajam kemanusiaan kita dalam perjumpaan dengan sesama!

CATATAN:
  Cfr. Dra Ottih Rostoyati, “Calon Paus yang Cinta Badui”, dalam Juragan Visioner, hlm. 151-170.
  Lihat artikel Prof. Arief Sidharta, “Geise dan Fungsi Universitas Katolik”, dalam Juragan Visioner, hlm. 123.
  Lihat St. Ignatius Loyola. Latihan Rohani (Seri Ignasiana 5. Terjemahan dan Pengantar oleh: J. Darminta, SJ, Pusat Spiritualitas Girisonta). Penerbit Kanisius: Yogyakarta, 1993.
  Cfr., Zakary Hayes, The Hidden Center. Spirituality and Speculative Christology in St. Bonaventure, New York: Paulist Press, 1981.
  Sekali  lagi Ibu Dra Ottih Rostoyati menarik kesimpulan-kesimpulan logis dan empatis mengenai “perjumpaan”-nya dengan Mgr. Geise. Lihat “Calon Paus yang Cinta Badui”, dalam Juragan Visioner, terutama hlm. 162-168.
  Penelitian Psikologis yang dilakukan oleh Daniel Goldman. Emotional Intelligence (Kecerdasan Emosi). Gramedia: Jakarta, 1996 telah membuktian bahwa sebagian terbesar orang yang sukses dalam hidup adalah mereka yang berhasil mengatur dengan tepat kemampuan-kemampuan emosinya. Dengan rumusan saya, inilah kemampuan-kemampuan serafin.
  Dalam terminologi hidup kerohanian hal itu dinyatakan dengan Discretio spirituum, yakni suatu kemampuan insani untuk memilah-milah, membeda-bedakan roh-roh atau dorongan-dorongan yang baik dari yang buruk, untuk kemudian memilih, mengikuti dan berpegang teguh pada roh serta dorongan yang baik dan benar. Lihat Enzo Fortunato. Discernere con Francesco d’Assisi. Le scelte spirituali e vocazionali. Edizioni Messaggero: Padova, 1997.
  Cfr. Yohanes Paulus II, Fides et Ratio, 15 September 1998, lihat di www.vatican.va/holy_father/john_paul_ii/encyclicals/ documents/hf_jp-ii_enc_15101998_fides-et-ratio_en.html - 246k – diakses pada hari Jumat, 24 Maret 2006, pk. 09.53.
  Lihat Jan Hoeberichts. Francis and Islam. Franciscan Press: Quincy, IL, 1997. Lihat pula Andreas D. Bolo, “Man of Dialogue”, dalam Juragan Visioner, hlm. 97-121.
  Lihat karya saya, “Troubadour dan Kidungannya: Rahasia Mistik Sarwa Ciptaan” dalam Basis 7-8 (50, Juli-Agustus 2001): 18-23.
  NN. Menuju Sinode Keuskupan Bogor 2002. Membangun Komunitas Basis Menuju Gereja yang Merasul. Grafika Mardi Yuana, Bogor: Agustus 2001, hlm. 21
  Sejumlah Fransiskan pada zaman Mgr. Geise tidak sependapat dengan kebijakan ini, mengingat kebijakan ini adalah proyek rugi, menyerap begitu banyak tenaga. Sementara konsiderasi konkret ialah barisan Fransiskan yang bekerja di Keuskupan Bogor sangat terbatas dalam banyak hal. Lihat “Juragan yang Visioner”, hlm. 9-10.
  Pendidikan yang demikian itu pasti akan memberi tempat istimewa pada akal budi (rasionalitas), kebebasan (tanggungjawab), hati nurani, keterarahan, dan pluralitas. Pokok-pokok ini sejalan dengan visi dan praksis Uskup Ketteler (+ 1877). Lihat Eddy Kristiyanto. The Workers’ Bishop: W.E. von Ketteler (1811-1977). A Study of Ketteler’s Vision and Practice in Responding to the Labour Question in the Light of Christianity (Disertasi). PUG: Rome, 1996.
  Jauh sebelum Konsili Vatikan Kedua (1962-1965), dan terutama sebelum dipopulerkan oleh Teologi Pembebasan, menegaskan dalam dekrit-dekritnya, Mgr. Geise telah “mencuri start” (dalam arti positif). Inilah salah satu alasan mengapa ia sangat disegani di kalangan MAWI saat itu, dan memimpin Komisi HAK & Kerukunan. Baca Eddy Kristiyanto, “Introduksi Umum Ke Dalam Political Theologies”, dalam Teologi Politik (Editor V. Felly Kama). Yayasan Bhumiksara: Jakarta, 2003, hlm. 1-24.
  Lihat R. Kurris. Sejarah Seputar Katedral Jakarta. Penerbit OBOR: Jakarta, 2001, hlm. 202. Pandangan ini akan ditanggapi balik dalam buku ilmiah yang digali dari riset di pelbagai balai arsip. Lihat Eddy Kristiyanto. Khresna Mencari Raga. Mengenang Kehadiran 80 Tahun OFM di Bumi Nusantara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar