Ads 468x60px

Remi Silado



HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
"23761":
Kaitan Meriam dan Bunda Maria
(Meriam-Maryam-Maria)
Tak sengaja, sebuah perjumpaan sederhana dengan "23761" di Jembatan Serong, ketika saya hendak mengunjungi para narapidana di penjara Salemba dan mampir ke kampus filsafat Driyarkara.
Dari perjumpaan di depan warung gudeg Adem Ayem Jembatan Serong inilah, terkenang lagi cerita utak atik gathuk "23761" seputar kaitan "Meriam" dan "Bunda Maria" bahwasannya meriam yang identik dengan senjata ini mempunyai sejarah sendiri dalam penamaannya.
Meriam sendiri dibawa ke Indonesia dari beberapa bangsa antara lain Portugis, Belanda, dan Inggris. Tercandra, kisah etimologis "Meriam-Maryam-Maria" ini direkam dalam novel monumental Pramoedya Ananta Toer "Arus Balik":
Konon, Adipati Tuban yang daerah kekuasaannya digerogoti Pati Unus, mendapat kabar dari patihnya yang berasal dari negeri seberang bahwa Malaka jatuh ke tangan Perugi (Portugis) dibawah pimpinan Kongsi Dalbi (Alfonso d'Albuquerque) dengan senjata andalannya "Maryam".
Waktu itu, memang tersebarlah "sassus" (desas-desus) yang menyebutkan benda yang bisa menghancurkan musuh itu bernama: "meriam", dimana nama ini disebarkan oleh pribumi yang dibayar oleh para serdadu Eropa itu untuk membantu menarik senjata ini kemana-mana ketika perang berlangsung.
"Dari mana Anda tahu namanya meriam?" "Mereka menyebutkannya ketika akan menyulutnya!"
Ketika ditelisik lebih jauh, rupanya, yang diucapkan oleh para serdadu ini adalah "Salam Maria" - sebuah doa khas dalam Gereja Katolik. Orang pribumi itu mendengarnya sebagai meriam, dan mengabarkannya kepada orang lain. Sejak itu, karena terus diulang-ulang, maka diterimalah sebagai kebenaran, bahwa senjata yang sejatinya bernama canon itu sebagai: meriam.
Ya, memang menurut "23761" lebih lanjut, saat meriam dibawa oleh orang-orang Portugis ke wilayah Nusantara pada sekitar 1500-an, tak satu pun orang Melayu tahu nama senjata yang mengeluarkan suara menggelegar tersebut. Sampailah saat akan menembakan kanon itu, mereka mendengar orang-orang kulit putih tersebut menyebut nama Bunda "Mariyam" sambil membentuk tanda salib di dada. “Sejak itulah orang menyebut "meriam" untuk senjata kanon,” ujar Remy.
Adapun salah satu meriam diberi nama “Si Jagur”. Ini adalah nama sebuah meriam peninggalan Portugis, seberat 3,5 ton dengan panjang 3,85 meter dan diameter laras 25 sentimeter.
Konon, meriam yang sekarang ada di halaman Museum Fatahillah Kota Tua Jakarta ini khas lantaran di pangkal meriam tersebut terdapat kepalan seperti "kepalan Bima": kepalan tangan kanan dengan jempol dijepit oleh jari telunjuk dan jari tengah. Selain itu, di bagian punggung meriam ini terdapat tulisan latin “EX ME IPSA RENATA SUM”—yang kurang lebih berarti: “Dari diriku sendiri, aku dilahirkan lagi”.
Darimana datangnya meriam itu? Konon, meriam itu dibuat di Macau (dulu koloni Portugis lalu menjadi jajahan Inggris dan sekarang menjadi bagian dari China) pada abad ke-16 oleh orang Portugis bernama N.T. Bocarro. Nama "Si Jagur" kemungkinan karena dulu meriam itu pertama kali diletakkan di benteng Santo Jago de Barra sebelum dipindahkan ke Kota Malaka oleh Portugis.
=====
Yapi Panda Abdiel Tambayong atau lebih dikenal dengan nama pena "Remy Sylado" /
23761 (lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Juli 1945; umur 72 tahun) adalah salah satu sastrawan Indonesia.
Ia mengalami masa kecil dan remaja di Semarang dan Solo. Sejak kecil hobi bertanya tentang banyak hal terkait dengan urusan agama. Latar belakang agama kristianinya yang kuat konon pernah membuat orangtuanya mengirim dirinya sekolah ke seminari, "pesantrennya Katolik", sekolah calon pastor.
Adapun, nama "23761" ini dibuat berdasarkan pengalaman romantisnya pada "tanggal 23 bulan 7 tahun 1961", yakni pertama kali ia mencium seorang wanita. Nama ini kemudian dipakai pula untuk kelompok teater yang ia bentuk di Bandung, Dapur Teater 23761.
Sejak usia 18 tahun, dia sudah menulis kritik, puisi, cerpen, novel, drama, kolom, esai, sajak, roman popular, juga buku-buku musikologi, dramaturgi, bahasa, dan teologi. Dibalik kegiatannya dibidang musik, seni rupa, teater, dan film, dia juga menguasai sejumlah bahasa.
Remy Sylado adalah seorang seniman dan sastrawan Indonesia yang serba bisa dan beliau dapat menghasilkan berbagai karya seni dalam bebagai bidang, seperti seni drama, lewat pertunjukan teaternya, seni sastra lewat novel, cerpen, puisi, dan karya skenarionya.
Selain itu, beliau adalah seorang pelukis, dan kritikus musik, sehingga beliau terpilih sebagai satu-satunya kritikus musik yang mendapatkan penghargaan dari istana wakil presiden dan beliau juga mendapatkan penghargaan Anugerah Satya Lencana Kebudayaan.
Salah satu kehebatan Remy Sylado dibanding dengan para penyair /sastrawan lainnya, yakni dalam karya sastranya beliau dapat menghidupkan kata-kata Arkai, dengan menciptakan kata-kata baru, atau memberdayakan kata-kata lama yang selama ini tidak pernah dipakai. Resikonya bagi para pembaca kadang-kadang tidak segera menangkap maksud dari pemakaian istilah kata yang digunakan beliau, bahkan pengunaan kata istilah yang ada dalam karya tulis beliau belum tentu ada di kamus bahasa Indonesia, sebab beliau menggunakan istilah kata dari beragam bahasa, seperti Bahasa Sanskerta, Jawa, Sunda, Manado, Betawi, Ambon, dan beberapa bahasa asing lainnya.
Salah satu karya Remy Sylado saat ini adalah buku yang diberi judul "Kamus Bahasa dan Budaya Manado", yang diterbitkan oleh PT Gramedia. Dalam buku ini, Remy Sylado mengangkat arti dari ribuan fam yang digunakan oleh orang-orang Manado dan ragam budaya bahasa pengantar sehari-hari di lingkup orang-orang Manado, terutama bagi mereka yang berada di kalangan etnis Minahasa.
Pastinya, Remy Sylado merupakan seorang seniman dan sastrawan yang andal. Semua itu dapat diketahui lewat riwayat hidupnya. Selain sebagai penulis drama, pria yang dilahirkan di Makasar, 12 Juni 1945 merupakan seniman yang serba bisa. Bakat seninya berasal dari kakek dan ibunya. Kakeknya merupakan seorang tentara yang menyukai seni, terutama seni musik.
Kesukaan itu menurun kepada ibunya yang bernama Caterina. Walaupun sebagai seorang ibu rumah tangga yang hanya mengenyam sekolah desa selama tiga tahun, ia yakin bahwa ibunya mempunyai jiwa seni. Buktinya, istri Johannes Hendrikus Tambajong ini dapat menyanyikan lagu-lagu klasik, seperti The Messiah karya Handel, Ave Maria, dan masih banyak lagi.
Remy sejak duduk di bangku sekolah dasar memang sudah berprestasi di bidang seni. Waktu duduk di sekolah dasar (SD), juara lomba seni lukis tingkat SD se-Semarang pun pernah disandangnya.
Kecintaannya kepada seni lukis berlanjut hingga perguruan tinggi. Selepas menamatkan pendidikan di sekolah menengah atas (SMA), pria yang bernama asli Japi Panda Abdiel Tambayong ini kemudian mendaftar di Akademi Kesenian Surakarta Jurusan Seni Rupa untuk memperdalam bakatnya di seni lukis.
Di dunia sastra dan pertunjukan, pendiri kelompok teater 23761 ini sangat terampil, baik sebagai pemain drama maupun sebagai penulis cerita. Ia sudah bermain drama sejak berusia empat tahunan. Perannya menjadi domba di kandang natal sangat berkesan hingga sekarang. Saat tubuhnya bertambah besar, peran yang dimainkannya pun berubah, yaitu menjadi anak sapi. Ketertarikannya pada dunia seni peran menuntunnya untuk melanjutkan sekolah di Akademi Teater Nasional Indonesia.
Bakat kepengarangan Remy memang sudah terlihat sejak duduk di bangku SMP. Yang kala itu ikut andil mengasah kemampuannya mengarang adalah guru bahasanya. Ketika sang guru menugaskan murid-muridnya mengarang sepanjang satu halaman, penulis novel Ca-bau-kan ini mampu mengarang hingga empat halaman. Bahkan, hasil karangannya dibacakan di kelas-kelas lain.
Kualitas kepenulisan mantan Ketua Pusat Kebudayaan Bandung ini semakin terasah ketika dia berkarier sebagai wartawan. Pada 1965, Remy pernah menjadi wartawan di majalah Tempo di Semarang. Setelah itu, ia kemudian menjadi redaktur di majalah Aktuil Bandung dari 1972 sampai 1975.
Disana, dia sekaligus menjadi redaktur pertama rubrik “Puisi Mbeling”. Baginya, sastra harus bisa memberikan penghiburan dan pengharapan kepada pembacanya. Karya sastra tersebut dapat dibuang ke tempat sampah apabila tidak memuat keduanya.
Tugas seorang penulis sastra bukanlah sekadar membuat cerita, melainkan membuat dan menghadirkan gagasan pemikirannya.
Baginya, pengarang tidak dapat menghadirkan gagasan pemikiran secara asal-asalan kepada pembaca. Untuk menghasilkan sebuah karya sastra, perlu dilakukan riset terlebih dahulu. Alasannya, jika ditulis tanpa riset, novel tersebut cenderung akan kering. Salah satu novelnya yang terkenal dan sempat difilmkan adalah Ca-baukan (Hanya Sebuah Dosa).
Remy telah menghasilkan beberapa novel yang lain, seperti: Kembang Jepun, Parijs van Java: Darah, Keringat, Airmata, Kerudung Merah Kirmizi, Menunggu Matahari Melbourne, dan Sam Po Kong.
Selain itu, Remy menulis drama, seperti Siau Ling dan 9 Oktober 1740. Keduanya memiliki latar belakang sejarah yang kuat. Teks drama "9 Oktober 1740" bercerita tentang kisah percintaan antara Hein de Wit dan Hien Nio yang di dalamnya terdapat intrik politik, pengkhianatan, dan sentimen kebangsaan.
Keistimewaan drama ini terletak pada penjelasan yang detail tentang tokoh dan tempat melalui catatan kaki, misalnya karakter Adriaan Valckenier dan tempat Zeedijk. Selain itu, Remy Sylado juga menggunakan banyak bahasa dalam teks drama ini. Bahasa yang digunakan antara lain, bahasa Indonesia, Cina, Belanda, dan Jawa.
Tanggapan terhadap drama ini beragam. Di Fakultas Ilmu Budaya UGM, terdapat sebuah tesis yang membahas tentang teks drama 9 Oktober 1740 yang ditulis oleh Else Liliani. Ia menyimpulkan bahwa naskah drama ini berusaha menyajikan wacana antikolonial. Akan tetapi, wacana tersebut masih terhegemoni oleh wacana kolonial yang menekankan pada pejabat kolonial yang koruplah yang harus dipersalahkan, bukan setiap orang Belanda yang identik dengan penjajah.
Selain itu, teks ini juga dianggap merefleksikan proses hibridisasi yang tidak mungkin ditolak. Remy memang sering menulis cerita dengan menggunakan latar belakang sejarah. Kritik terhadap kebenaran sejarah dalam karyanya sering muncul. Akan tetapi, ia mempunyai jawaban sendiri tentang hal tersebut.
Pastinya seniman yang low profile ini juga rajin ke Perpustakaan Nasional untuk membongkar arsip tua, dan gandrung menelusuri pasar buku tua atau makan di warung warung sederhana di pinggir jalan. Indahnya, pengarang yang masih menulis karyanya dengan mesin ketik ini juga banyak melahirkan karya berlatar budaya di luar budayanya, dan di luar kegiatan penulisan kreatif, ia juga kerap diundang berceramah seputar filsafat dan pastinya teologi......
Salute for "23761"
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar