Ads 468x60px

APOGHTEMATA PATRUM EDISI MARET.



APOGHTEMATA PATRUM EDISI MARET.
(RJK. 2018).
01 Maret
Abas Agaton dan seorang rahib lainnya jatuh sakit. Sementara mereka berbaring dalam sel mereka, saudara yang membacakan kitab kejadian untuk mereka, sampai pada bab di mana Yakub berkata: “Yusuf tidak ada lagi, dan Simeon tidak ada lagi, sekarang Benyamin pun hendak kamu bawa juga; kamu akan menyebabkan aku yang ubanan ini turun ke dunia orang mati karena dukacita” (Kej 42,36.38).
Rahib itu mulai berkata: “Apakah sepuluh tidak cukup untukmu, Abas Yakub?”
Abas Agaton menjawab: “Biarlah saja, saudara, jikalau Allah adalah Allah orang-orang benar, siapa yang dapat mengutuk Yakub?”
02 Maret
Abas Agaton berkata: “Kalau seseorang yang secara khusus sangat dekat denganku, tetapi kusadari bahwa ia mengajak aku untuk melakukan sesuatu yang kurang baik, aku harus menyingkirkan dia dari diriku”.
Ia juga berkata: “Seorang rahib di segala waktu harus sadar akan pengadilan Allah”.
03 Maret
Pada suatu hari ketika para saudara bertukar pikiran tentang cintakasih, Abas Yusuf berkata: “Apakah kita sungguh-sungguh mengerti apa itu cintakasih?”
Kemudian ia menceriterakan bagaimana ketika seorang saudara datang mengunjungi Abas Agaton, ia menyalami saudara itu dan tidak membiarkan dia pulang sampai ia membawa sebuah pisau kecil yang dimiliki sang penatua itu.
Abas Agaton berkata: “Kalau aku dapat bertemu dengan seorang kusta, aku akan memberikan tubuhku kepadanya dan mengambil tubuhnya untukku, maka aku akan sangat bahagia”.
Itulah sungguh-sungguh cinta kasih sempurna.
04 Maret
Dikatakan tentang Abas Agaton bahwa ketika ia datang ke kota untuk menjual barang-barang tembikar yang dibuatnya, ia bertemu dengan seorang pengembara yang sakit dan terbaring ditempat umum tanpa seorang pun mengurusnya.
Sang penatua menyewa sebuah sel dan tinggal bersamanya di situ, bekerja dengan tangannya sendiri untuk membayar uang sewa dan menyimpan sisa uangnya untuk keperluan si sakit.
Ia tinggal disana selama 4 bulan sampai si sakit pulih kembali kesehatannya. Kemudian ia pulang ke sel-nya dengan damai.
05 Maret
Abas Daniel berkata:
Sebelum Abas Arsenius datang untuk tinggal bersama para Bapa rohaniku, mereka tinggal bersama Abas Agaton. Abas Agaton mengasihi Abas Alexander karena ia seorang asket dan teliti
Lalu ada peristiwa, semua murid mencuci tikar-tikar mereka di sungai, tetapi Abas Alexander mencuci miliknya dengan teliti. Saudara-saudara lainnya berkata kepada sang penatua: “Saudara Alexander tidak menyelesaikan apa pun”.
Karena ingin memperbaiki meraka Abas Agaton berkata kepadanya: “Saudara Alexander, tolong cuci semua tikar ini sampai bersih betul karena mereka terbuat dari rami halus”.
Saudara itu sakit hati karena kata-kata itu.
Sesudah itu sang penatua menghibur dia sambil berkata: “Aku kan tahu bahwa engkau bekerja dengan baik. Tetapi aku katakan hal itu di depan mereka dengan maksud untuk memperbaiki mereka melalui ketaatanmu”.
06 Maret
Di katakan tentang Abas Agaton bahwa ia memaksa dirinya sendiri untuk memenuhi semua perintah. Kalau ia berlayar dengan perahu ialah yang pertama-tama memegang dayungnya dan kalau saudara-saudara datang mengunjunginya ia menyiapkan meja dengan tangannya sendiri, segera sesudah mereka selesai berdoa, karena ia penuh dengan kasih Allah.
Ketika ia hampir meninggal, selama tiga hari matanya tetap terbuka lebar tanpa bergerak. Para saudara membangunkan dia sambil berkata: “Abas Agaton, ada di mana engkau?”
Ia menjawab: “Aku sedang berdiri di hadapan tahta pengadilan Allah”.
Mereka berkata: “Apakah Bapa tidak takut?”
Ia menjawab: “Sampai saat ini aku berusaha sekuat tenagaku untuk melaksanakan perintah-perintah Allah; tetapi aku seorang manusia; bagaimana aku tahu kalau perbuatan-perbuatanku berkenan kepada Allah?”
Para saudara berkata kepadanya: “Apakah engkau tidak yakin akan semua yang telah kaulakukan sesuai dengan hukum Allah?”
Sang penatua menjawab: “Aku tidak yakin sampai aku bertemu dengan Allah. Sungguh pengadilan Allah tidak sama dengan pengadilan manusia”.
Ketika mereka ingin bertanya lebih lanjut kepadanya, ia berkata kepada mereka: “Demi kemurahan hatimu, jangan berbicara lagi kepadaku karena aku tidak punya waktu lagi”.
Begitulah ia meninggal dengan gembira. Mereka melihat keberangkatannya seperti orang menyalami teman-temannya yang paling dekat. Ia tetap membina sikap berjaga-jaga dalam arti paling sempit, dalam arti segala hal, dengan berkata: “tanpa berjaga batin yang sungguh-sungguh seorang rahib tidak akan maju dalam suatu keutamaan pun.
07 Maret
Pada suatu hari ketika pergi ke kota untuk menjual beberapa barang kecil, Abas Agaton bertemu dengan seorang lumpuh di pinggir jalan. Si lumpuh bertanya kepadanya
mau pergi kemana.
Abas Agaton menjawab : "Ke kota, untuk: menjual beberapa barang."
Si lumpuh berkata: "Tolong gendong saya ke sana."
Maka ia menggendongnya ke kota.
Si lumpuh berkata: "Turunkan saya di tempat engkau menjual barang-barangmu."
Ia melakukannya demikian.
Ketika ia sudah menjualnya satu barang, si lumpuh bertaya: "Engkau menjualnya dengan harga berapa?"
Dan ia mengatakan harganya.
Si lumpuh berkata lagi : "Belikan ,aku sepotong kue."
Dan ia membelikannya.
Ketika Abas Agaton telah menjual barang yang kedua, si sakit itu bertanya: "Engkau menjualnya dengan harga berapa?"
Dan ia memberitahukan kepadanya harga jual dari barangnya.
Kemudian si lumpuh berkata: "Belikan aku ini",
Dan ia membelikannya.
Ketika Agaton, sesudah menjual semua barangnya, ingin pulang, ia berkata kepadanya: "Apakah engkau mau kembali?"
Dan ia menjawab: "Ya".
Kemudian ia berkata: "Gendonglah aku kembali ke tempat di mana engkau menemukan aku."
Sekali lagi sesudah mengangkat dia, ia menggendongnya kembali ke tempat itu.
Kemudian si lumpuh berkata: "Agaton, engkau penuh dengan berkat ilahi, di surga maupun di dunia."
Ketika ia mengangkat matanya, Agaton tidak melihat seorang pun juga; itu adalah malaikat Tuhan yang datang untuk mencobai dia.
08 Maret
Seorang saudara berkata kepada Abas Amonas: "Katakan­lah sepatah kata bagiku."
Sang penatua menjawab: "Pergi dan hendaklah engkau menganggap dirimu seperti orang orang jahat yang dipenjara. Karena mereka selalu ber­tanya kapan hakim datang, dan mereka menunggunya dalam kecemasan. Begitulah rahib harus menuduh jiwanya sen­diri setiap saat sambil berkata:' Aku ini manusia celakaka dan tidak bahagia. Bagaimana aku dapat berdiri di hadapan tahta Kristus? Apa yang dapat kukatakan kepada Nya sebagai kata pembelaanku?' Kalau engkau berbuat demikian terus-menerus, engkau akan selamat."
09 Maret
Salah seorang dari para Bapa bercerita tentang Cellia. Ia berkata bahwa suatu ketika di sana ada seorang rahib; ia pekerja keras yang menggunakan lapik tidur. Ia pergi menemui Abas Amonas, yang ketika mengetahui bahwa ia menggunakan lapik tidur, berkata kepadanya: “Tidak ada gunanya engkau memakai itu”.
Lalu rahib itu bertanya kepadanya demikian: “Ada tiga pikiran yang mengganggu saya, apakah saya harus mengembara di gurun, ataukah saya harus pergi ke tanah asing dimana tidak ada seorangpun yang mengenal saya, ataukah saya harus menutup diri dalam sebuah sel tanpa membuka pintu bagi seorang pun, hanya makan setiap dua hari sekali”.
Abas Amonas menjawab: “Tidak benar bagimu untuk melakukan ketiganya. Lebih baik, diamlah di sel-mu dan makanlah sedikit tiap hari, sambil terus-menerus mengatakan dalam hatimu perkataan sang pemungut cukai, dan engkau akan selamat”.
10 Maret
Pada suatu hari ketika Abas Amonas ingin menyeberangi sungai, ia menemukan kapalnya sudah siap akan berangkat maka ia duduk di dalamnya.
Kemudian ada kapal lain tiba di tempat itu mengangkut rahib-rahib yang ada disitu. Mereka berkata kepadanya: “Kesini, Bapa, menyeberanglah bersama kami”.
Tetapi ia menjawab: “Aku tidak akan berangkat kecuali menggunakan kapal umum”.
Sambil duduk ia menganyam segenggam ranting palma yang dibawanya, kemudian melepaskannya lagi, sampai kapal itu tiba di seberang. Begitulah ia menghabiskan waktu penyeberangannya.
Kemudian para saudara memberikan salam hormat kepadanya sambil berkata: “Mengapa Bapa melakukan hal itu?”
Sang penatua berkata kepada mereka: “Supaya mengadakan perjalanan tanpa rasa cemas apa pun”.
Itulah sebuah telada, bagaimana kita harus berjalan di jalan Allah dalam damai.
11 Maret
Pada suatu hari Abas Amonas bermaksud mengunjungi Abas Antonius tetapi ia tersesat. Maka ia duduk dan jatuh tertidur sebentar. Ketika bangun, ia berdoa kepada Allah demikian: “Kumohon kepada-Mu, ya Tuhan Allahku, jangan biarkan makhluk ciptaan-Mu binasa”.
Kemudian tanpak kepadanya seperti sebuah tangan manusia di langit yang menunjukkan jalan kepadanya, sampai ia tiba di gua Abas Antonius.
12 Maret
Ketika Abas Amonas mengunjungi Abas Antonius, ia meramalkan bahwa Abas Amonas akan membuat kemajuan dalam hal takut akan Allah.
Kemudian ia mengajak Amonas keluar selnya dan menunjukkan sebuah batu kepadanya, sambil berkata: “Sakiti dan pukullah batu ini”.
Ia melakukannya.
Lalu Antonius bertanya: “Apakah batu itu mengatakan sesuatu?”
Ia menjawab: “Tidak”.
Lalu Antonius berkata lagi: “Engkau juga bisa melakukan seperti itu”.
Dan itu memang terjadi. Abas Amonas maju sedemikian besar dalam kebaikannya sehingga ia tidak memperhatikan kejahatan orang lain.
Demikianlah, ketika ia menjadi uskup, seseorang membawa seorang gadis muda yang sedang hamil ke hadapannya dan berkata: “Lihat apa yang telah dilakukan oleh gadis sial yang malang ini; beri dia hukuman”.
Akan tetapi Amonas, sesudah memberi tanda salib pada kandungan gadis itu, menyuruh memberi dia 6 pasang kain lenan halus sambil berkata: “Ini untuk jaga-jaga, kalau dia melahirkan, barangkali ia meninggal, dia atau anaknya, padahal mereka tidak punya apa-apa untuk upacara pemakaman”.
Akan tetapi para penuduh gadis itu berkata: “Mengapa engkau melakukan itu? Beri dia hukuman”.
Lalu ia berkata kepada mereka: “Lihat, saudara-saudara, ia ini dekat dengan maut; apa yang harus kulakukan?” Kemudian ia menyuruh gadis itu pergi dan setelah itu tak ada lagi rahib yang berani menuduh seorang pun.
13 Maret
Pada suatu hari Abas Amonas datang untuk makan di suatu tempat di mana ada seorang rahib yang punya nama buruk.
Lalu ada kejadian, seorang wanita datang dan masuk kedalan sel rahib yang ber-reputasi buruk itu.
Para penghuni tempat itu, ketika mengetahui hal tersebut, menjadi susah dan berkumpul bersama untuk mengusir saudara itu dari dalam selnya.
Ketika mereka mengetahui bahwa Abas Amonas ada ditempat itu, mereka meminta kepadanya untuk ikut bergabung bersama mereka.
Ketika saudara bermasalah itu mengetahui hal itu, ia menyembunyikan si wanita ke dalam sebuah tong besar.
Kerumunan rahib tiba di tempat itu. Abas Amonas mengetahui keadaannya dengan jelas tetapi demi Allah ia tetap menyimpan rahasia itu; ia masuk, duduk di atas tong itu dan menyuruh sel itu di geledah.
Kemudian ketika para rahib sudah mencari kemana-mana tanpa menemukan si wanita itu, Abas Amonas berkata: “Apa ini? Semoga Allah mengampuni kalian !”
Sesudah berdoa, ia menyuruh semua orang keluar, kemudian ia memegang tangan saudara itu dan berkata: “Saudara, waspadalah”.
Dengan kata-kata itu ia pergi.
14 Maret
Abas Amonas berkata: “Aku telah tinggal 14 tahun di Scetis sambil mohon kepada Allah siang dan malam untuk menganugerahi aku menguasai amarah”.
Ia di tanya: “Apakah itu ‘jalan sempit yang sulit’?” (Mat 7,14).
Ia menjawab: “Jalan sempit yang sulit ialah ini: menguasai pikiran-pikiranmu dan menyangkal kehendak sendiri demi Allah. Itulah juga arti dari kalimat, ‘kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dalam mengikut Engkau’.“ (Mat 19,27)
15 Maret
Pada suatu hari tiga orang rahib, yang seorang mempunyai nama buruk, mengunjungi Abas Akiles.
Rahib pertama minta kepadanya: “Bapa, buatkan saya sebuah jaring ikan”.
“Aku tidak mau membuatkannya untukmu”, jawabnya.
Kemudian rahib kedua berkata: “Demi kasihmu ya Bapa, buatkanlah saya sebuah jaring ikan supaya kami memiliki suatu kenang-kenangan darimu dalam biara kami”.
Tetapi ia berkata : “Aku tidak punya waktu”.
Kemudian rahib ketiga, yang punya nama buruk itu, berkata: “Bapa, buatkan saya sebuah jaring ikan supaya saya memiliki sesuatu hasil buah tangn Bapa”.
Abas Akiles langsung menjawab: “Untukmu akan kubuatkan”.
Kemudian kedua rahib yang lain bertanya kepadanya secara pribadi : "Mengapa Bapa tidak mau membuatkan apa yang kami minta sedangkan untuk dia Bapa berjanji membuatkannya ?"
Sang penatua memberi mereka jawaban ini : "Aku katakan kepada kalian tidak mau membuatkan jaring itu dan kalian tidak kecewa, karena kalian berpikir bahwa aku tidak punya waktu. Tetapi kalau aku tidak membuatkan untuk dia, ia akan berkata, 'Sang penatua telah mendengar tentang dosaku, itulah sebabnya mengapa ia tidak mau membuatkan apa-apa untukku,' lalu hubungan kami akan rusak.
Tetapi sekarang aku telah menggembirakan jiwanya sehingga ia tidak akan dikuasai oleh perasaan duka."
16 Maret.
Abas Bitimus berkata : “Pada suatu hari ketika aku turun ke Scetis, seseorang memberiku buah-buahan untuk dibagikan kepada para rahib. Maka aku mengetuk pintu sel Abas Akiles dan memberinya beberapa.
Tetapi ia berkata kepadaku : ‘Saudara, mulai sekarang dan untuk seterusnya aku tidak mau engkau mengetuk pintuku dengan membawa makanan jenis apa pun saja dan juga jangan mengetuk pintu sel rahib-rahib lainnya untuk itu.’
Maka aku pulang ke sel-ku dan memberikan buah-buahan itu ke gereja.”
17 Maret.
Pada suatu hari Abas Akiles datang ke sel Abas Yesaya di Scetis dan mendapatkan dia sedang makan sesuatu. Ia mencampur makanan itu dengan garam dan air di atas sebuah piring.
Sang Penatua, ketika melihat bahwa ia menyembunyikannya di belakang jalinan gelagah, berkata kepadanya: “Katakan kepadaku, apa yang sedang kau makan ?”
Ia menjawab : “Maafkan saya, Bapa, saya memotong daun-daun palma lalu keluar ke terik matahari; kemudian saya meletakkan sedikit makanan ke dalam mulut saya, dengan sedikit garam, tetapi teriknya matahari membakar tenggorokan saya sehingga makanan itu tidak bisa turun. Maka saya terpaksa menambahkan sedikit air pada garam supaya saya dapat menelannya. Maafkan saya, Bapa.”
Sang Penatua berkata : “Mari, kalian semua, dan lihatlah Yesaya makan saus di Scetis. Kalau engkau ingin makan saus, pergilah ke Mesir.”
18 Maret
Seorang rahib yang datang mengunjungi Abas Akiles mendapatkan dia sedang meludahkan darah dari mulutnya. Ia berkata kepadanya : “Apa yang terjadi, Bapa ?”
Sang Penatua menjawab : “Perkataan seorang saudara telah menyusahkan daku. Aku berusaha keras untuk tidak memberitahukan kepadanya bahwa aku jadi susah. Lalu aku berdoa kepada Allah supaya membebaskan daku dari perkataan itu. Maka perkataan itu menjadi seperti darah dalam mulutku dan aku meludahkannya. Sekarang aku tenang dan telah lupa akan masalahnya.”
19 Maret
Dikatakan tentang Abas Ammoes bahwa ketika ia pergi ke Gereja, ia tidak mengizinkan muridnya untuk berjalan di sampingnya tetapi harus berjalan dengan mengambil jarak tertentu dari dia.
Dan kalau si murid menanyakan pikiran-pikirannya kepadanya, ia akan segera pergi menghindarinya begitu ia selesai menjawabnya, sambil berkata kepada si murid : “Aku tidak menahan engkau bersamaku terus, karena khawatir jangan-jangan sesudah kata-kata yang membangun lalu percakapan yang tidak perlu menyelinap masuk.”
20 Maret
Dikatakan tentang Abas Ammoes bahwa ketika ia harus tetap berbaring di tempat tidur bertahun-tahun lamanya karena sakit, ia tidak pernah mengizinkan dirinya untuk memikirkan selnya atau untuk melihat-lihat apa saja isi selnya. Karena orang-orang telah membawakan banyak barang untuknya, sehubungan dengan sakitnya itu.
Ketika Yohanes, muridnya, masuk atau keluar, ia akan menutup matanya supaya tidak melihat apa yang sedang dikerjakan olehnya.
Karena ia tahu bahwa muridnya itu adalah seorang rahib yang setia.
21Maret
Dikatakan tentang Abas Ammoes bahwa ia mempunyai 50 takar gandum untuk kebutuhannya dan menjemurnya di bawah matahari.
Sebelum gandum itu kering betul, ia melihat sesuatu di tempat itu yang nampaknya berbahaya, maka ia berkata kepada para hambanya : “Mari kita pergi dari sini.”
Lalu mereka menjadi sedih karenanya.
Ketika melihat kesusahan mereka, ia berkata : “Apakah karena roti kalian menjadi susah ? Sungguh, aku pernah melihat para rahib lari meninggalkan sel-sel mereka yang putih bersih dan juga perkamen-perkamen mereka, bahkan mereka tidak menutup pintu dan membiarkannya terbuka ketika mereka pergi.”
22 Maret
Abas Amoun dari Nitria datang mengunjungi Abas Antonius dan berkata kepadanya : “Meskipun peraturanku lebih ketat daripada peraturanmu, namun bagaimana mungkin bahwa namamu lebih terkenal di antara para rahib daripada namaku ?”
Abas Antonius menjawab : “Itu karena aku mencintai Allah lebih daripada engkau mencintaiNya.”
23 Maret
Dikatakan tentang Abas Amoun bahwa mempunyai gandum dalam jumlah yang sangat sedikit untuk tiap dua bulan sudah cukup baginya.
Suatu ketika ia pergi menemui Abas Poemen dan berkata kepadanya : “Kalau aku mengunjungi sel sesama rahib atau kalau ia mengunjungi aku untuk suatu keperluan atau lainnya, kami takut untuk masuk ke dalam pembicaraan, karena khawatir jangan-jangan tergelincir ke dalam masalah-masalah duniawi.”
Sang penatua menjawab : ”Engkau benar. Karena para rahib muda perlu waspada.”
Kemudian Abas Amoun melanjutkan : “Tetapi para rahib tua, apa yang mereka lakukan ?”
Ia menjawab : “Para rahib tua, yang telah maju dalam keutamaan, tidak punya apa-apa yang berbau duniawi; tidak ada sesuatu pun yang bersifat duniawi di dalam mulut mereka yang dapat mereka bicarakan.”
Kemudian Amoun berkata lagi : “Kalau aku dipaksa untuk berbicara kepada sesama rahib, mana yang lebih kau anjurkan, bicara tentang Kitab Suci atau tentang sabda para Bapa ?”
Sang penatua menjawab : “Kalau engkau tidak dapat diam, lebih baik engkau membicarakan Sabda Para Bapa daripada Kitab Suci, karena, itu tidak begitu berbahaya.”
24 Maret
Seorang saudara datang ke Scetis untuk menemui Abas Amoun dan berkata kepadanya : “Abas saya menyuruh saya keluar untuk suatu urusan tetapi saya takut jatuh ke dalam dosa percabulan.”
Sang penatua menjawab : “Kapan saja kalau godaan itu datang padamu, katakan, Ya Allah segala keutamaan, berkat doa-doa Abasku, selamatkan daku dari godaan ini.”
Pada suatu hari ketika seorang gadis muda mengajak dia masuk ke dalam kamarnya, ia mulai berteriak sekuat tenaganya : “Ya Allah Bapaku, selamatkan daku.”
Dan langsung ia menemukan dirinya berada di jalan ke Scetis.
25 Maret
Abas Yohanes menceritakan tentang Abas Anoub dan Abas Poemen serta saudara-saudara mereka yang lain yang berasal dari satu ibu dan yang semuanya menjadi rahib di Scetis.
Ketika orang-orang Barbar datang dan memporak-porandakan daerah itu untuk pertama kalinya, mereka tinggal di suatu tempat yang disebut Terenutis sampai mereka memutuskan akan menetap dimana.
Mereka tinggal di sebuah kuil tua untuk beberapa hari.
Kemudian Abas Anoub berkata kepada Abas Poemen : “Demi cinta kasih, mari kita berbuat begini : masing-masing dari kita tinggal dalam keheningan, setiap orang sendirian, tanpa bertemu satu sama lain selama satu minggu penuh.”
Abas Poemen menjawab : “Kami akan melakukan seperti yang kau inginkan.”
Maka mereka melakukannya.
Di kuil itu ada sebuah patung batu. Ketika ia bangun pagi, Abas Anoub melempari batu ke wajah patung itu dan waktu sore ia berkata kepada sang patung : “Maafkan daku.”
Selama satu minggu ia melakukan yang demikian.
Pada hari Sabtu mereka berkumpul bersama dan Abas Poemen berkata kepada Abas Anoub : “Bapa, aku melihat engkau selama satu minggu ini melempari batu ke wajah patung itu lalu berlutut meminta maaf kepadanya. Apakah seorang beriman bertindak seperti itu ?”
Sang penatua menjawab : “Aku melakukan hal itu justru demi engkau. Ketika melihat aku melempari batu ke wajah patung itu apakah ia berbicara atau menjadi marah ?”
Abas Poemen berkata : “Tidak.”
“Atau lagi, ketika aku berbuat silih, apakah ia bergerak dan berkata, Aku tidak akan mengampunimu ?’
Abas Poemen menjawab lagi : “Tidak.”
Lalu sang penatua melanjutkan : “Nah sekarang kita tujuh bersaudara, kalau engkau ingin supaya kita hidup bersama, marilah kita berlaku seperti patung itu, yang tidak bergerak, entah ia dipukul entah ia dipuji. Kalau engkau tidak ingin menjadi seperti itu, di kuil ini ada 4 pintu, silahkan siapa saja dari antara kita yang mau pergi, pergilah ke tempat yang ia inginkan.”
Kemudian para saudara itu meniarap dan berkata kepada Abas Anoub : “Kami akan melakukan seperti yang Bapa harapkan, dan kami akan mendengarkan apa yang Bapa katakan kepada kami.”
Abas Poemen menambahkan : “Marilah kita hidup bersama selama sisa hidup kita, sambil berusaha, sesuai dengan apa yang telah dikatakan oleh sang penatua kepada kita.”
Lalu ia mengangkat seorang dari antara mereka menjadi pengurus rumah tangga dan semuanya saja yang ia sediakan bagi mereka, mereka makan dan tak ada seorang pun dari mereka yang mempunyai kekuasaan untuk berkata : “Sediakan bagi kami sesuatu yang lain untuk lain kali’, atau mungkin berkata : “Kami tidak mau makan ini.”
Demikianlah mereka melewati seluruh hidup mereka dengan tenang dan damai.
26 Maret
Abas Anoub berkata : “Sejak hari ketika nama Kristus diucapkan di atas diriku, tidak pernah ada kebohongan yang keluar dari mulutku.”
27 Maret
Dikatakan bahwa ada seorang rahib yang selama 50 tahun tidak makan roti atau minum anggur dengan mudah. Ia bahkan berkata : “Aku telah memusnahkan nafsu percabulan, keserakahan dan keangkuhan dari dalam diriku.”
Mengetahui bahwa ia telah mengatakan demikian, Abas Abraham datang dan berkata kepadanya : “Apakah engkau sungguh-sungguh mengatakan itu ?”
Ia menjawab : “Ya.”
Kemudian Abas Abraham berkata lagi : “Kalau engkau menemukan ada seorang wanita terbaring di atas tempat tidurmu ketika engkau masuk ke dalam sel-mu apakah engkau akan berpikir bahwa itu bukan seorang wanita ?”
“Tidak”, jawabnya, “Tapi aku akan berjuang melawan pikiran-pikiranku supaya aku tidak menyentuh dia.”
Kemudian Abas Abraham berkata : “Kalau begitu engkau belum memusnahkan nafsu yang tetap ada dalam dirimu, hanya saja itu dikuasai. Lagi, kalau engkau sedang berjalan dan melihat ada beberapa potong emas di antara batu-batu dan kulit-kulit kerang, dapatkah rohmu menganggap mereka semua punya nilai yang sama ?”
“Tidak”, jawabnya, “Tetapi aku akan berjuang melawan pikiran-pikiranku supaya aku tidak mengambil emasnya.”
Sang penatua berkata kepadanya : “Jadi, nafsu serakah masih ada pada dirimu, memang dikuasai.”
Abas Abraham melanjutkan : “Misalnya ada dua saudara, yang satu mengasihimu sedangkan yang lain membencimu dan bicara buruk tentang engkau; kalau mereka datang mengunjungimu, apakah engkau akan menerima mereka berdua dengan kasih yang sama ?”
“Tidak”, jawabnya, “Tetapi aku akan berjuang melawan pikiran-pikiranku supaya sama-sama baik terhadap saudara yang membenciku seperti terhadap yang mengasihiku.”
Abas Abraham berkata kepadanya : “Kalau begitu, nafsu-nafsu tetap akan terus ada; hanya saja nafsu-nafsu itu dikuasai oleh orang-orang suci.”
28 Maret
Abas Abraham menceritakan tentang seorang rahib Scetis yang merupakan seorang penulis dan yang tidak makan roti.
Seorang saudara datang memohon kepadanya untuk menyalin sebuah buku. Rahib itu yang rohnya terserap dalam kontemplasi, menulis sambil menghilangkan beberapa bagian dan tanpa memberi tanda baca sama sekali.
Saudara itu, ketika mengambil buku itu dan ingin memberikan tanda-tanda baca, memperhatikan bahwa banyak kata-kata yang hilang. Maka ia berkata kepada si rahib : “Bapa, ada beberapa bagian yang hilang.”
Rahib itu berkata kepadanya : “Pergilah dan praktekkan dulu apa yang tertulis, kemudian kembali ke sini dan aku akan menyalin yang hilang.”
29 Maret
Abas Abraham datang mengunjungi Abas Ares. Mereka sedang duduk bersama ketika seorang saudara datang kepada sang penatua dan berkata kepadanya : “Katakanlah kepada saya, apa yang harus saya lakukan supaya selamat ?”
Ia menjawab : “Pergilah dan sepanjang seluruh tahun ini hendaknya engkau hanya makan roti dan garam pada waktu sore. Kemudian kembalilah ke sini dan aku akan berbicara kepadamu lagi.”
Rahib itu pergi dan melakukan hal itu.
Ketika tahun itu berakhir ia kembali ke Abas Ares. Kebetulan waktu itu Abas Abraham ada di sana lagi.
Sekali lagi sang penatua berkata kepada saudara itu : “Pergilah dan sepanjang seluruh tahun ini berpuasalah dua hari sekaligus.”
Ketika saudara itu pergi, Abas Abraham berkata kepada Abas Ares : “Mengapa untuk semua saudara engkau memberikan beban yang ringan sedangkan untuk saudara yang itu engkau menaruhkan beban yang sedemikian berat ?”
Sang penatua menjawab : “Bagaimana caranya aku menyuruh mereka pergi tergantung dari apa yang mereka cari ke sini. Nah, demi Tuhanlah saudara itu datang kemari untuk mendengarkan perkataanku. Karena ia seorang pekerja keras maka apa yang kukatakan kepadanya akan ia laksanakan dengan penuh semangat. Karena alasan inilah aku mengatakan sabda Allah kepadanya.”
30 Maret
Abas Alonius berkata : “Jikalau seorang rahib tidak berkata dalam hatinya, di dunia ini hanya ada diriku dan Allah saja, ia tidak akan memperoleh kedamaian.”
Ia juga berkata : “Jikalau aku tidak memusnahkan diriku sama sekali, aku tidak akan dapat membangun dan membentuknya lagi.”
31 Maret
Pada suatu hari Abas Agaton bertanya kepada Abas Alonius : “Bagaimana aku dapat menguasai lidahku supaya tidak lagi mengatakan dusta ?”
Abas Alonius menjawab : “Kalau engkau tidak berdusta, berarti engkau sedang mempersiapkan diri untuk berbuat banyak dosa.”
“Bagaimana itu ?” katanya.
Sang penatua berkata lagi : “Misalnya ada dua orang yang melakukan pembunuhan di muka matamu dan salah seorang dari mereka lari ke selmu. Lalu hakim yang mencari dia, bertanya kepadamu. ‘Engkau melihat si pembunuh ?’ Kalau engkau tidak berdusta, engkau akan mengirim orang itu ke kematian. Lebih baik bagimu untuk menyerahkan dia tanpa syarat kepada Allah karena Dia tahu segala-galanya.”
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar