SENSUS HISTORICUS:
Kita Bhinneka, Kita Indonesia".
IGNATIUS JOSEPH KASIMO.
"Salus Populi Suprema Lex"
Mulai awal tahun ini, seluruh Gereja Katolik di KAJ konon memulai pastoral evangelisasi 2018 yang bertajuk "TAHUN PERSATUAN".
Fokus tema yang akan dihayati dan disuarakan terinspirasi dari Sila Ketiga Pancasila: Persatuan Indonesia. Seluruh nilai-nilainya akan diamalkan sepanjang 2018 ini dengan tema "Amalkan Pancasila: Kita Bhinneka, Kita Indonesia".
Dari sinilah, ditampil-kenangkan beberapa tokoh kebangsaan yang saya repost dari grup "dialog katolik islam", yang tentunya bersemangat dasar "Amalkan Pancasila: Kita Bhinneka, Kita Indonesia" dengan mengingat sebuah pesan Founding Father, Bung Karno yang kembali terbaca ketika saya berkunjung ke rumah pembuangannya yang kini disebut "Taman Pancasila" di kota Ende: "Bersatu karena kuat. Kuat karena bersatu."
Ya. Semangat persatuan dalam keberagaman Inilah juga yang saya rasakan ketika "napak tilas": berkunjung ke rumah pembuangan Bung Karno dan sekaligus "Taman Pancasila", tempat dia dulu menemukan inspirasi soal Pancasila di bawah pohon sukun, di dekat biara para pastor SVD di Ende.
Kita sendiri jelas diajak menjadi orang yang bercahaya karena hidupnya penuh dengan pelbagai keutamaan. Ia tidak menjadi "batu sandungan" tapi terus berjuang menjadi "batu loncatan" bagi bangsa dan rakyatnya dengan cucuran airmata-darah dan keringat, menjadi orang yang benar-benar bercahaya dengan "pancasila" keutamaan iman setiap harinya, antara lain:
1."Ketuhanan":
Kita diajak menjadi orang yang selalu menekankan dimensi keberimanan secara utuh-penuh dan menyeluruh.
2."Kemanusiaan":
Kita diajak sadar bahwa kita hidup di dunia real jadi tetap menjadi orang beriman yang sesuai konteksnya, karena bukankah menjadi suci juga berarti menjadi manusiawi? Beriman lewat dan bersama hal-hal insani setiap hari.
3."Persatuan":
Kita diajak untuk hidup rukun dan bersatu dengan semua orang yang berkehendak baik, demi suatu kosmos/keteraturan yang lebih bermutu, tidak mudah terpecah oleh gosipan/"adu domba".
4."Keterbukaan":
Inilah sebuah semangat demokrasi, berani menuntut hak juga berani untuk melaksanakan tanggung jawab sebagai orang beriman sekaligus warga bangsa.
5."Keadilan":
Kita diajak untuk hidup "jurdil-jujurd dan adil", mentaati pelbagai aturan hukum yang berlaku dan tidak menjadi "parasit" bagi gereja dan bangsa, sesama dan dunia.
"Cari arang di Gunung Kelimutu - Jadilah orang yang benar-benar bermutu."
Merah darahku
Putih tulangku
Katolik imanku
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
====
IGNATIUS JOSEPH KASIMO.
"Salus Populi Suprema Lex"
Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono (lahir di Yogyakarta, Hindia Belanda, 10 April 1900 – meninggal di Jakarta, 1 Agustus 1986 pada umur 86 tahun) adalah salah seorang pelopor kemerdekaan Indonesia. Ia juga merupakan salah seorang pendiri Partai Katolik Indonesia.
Selain itu ia juga pernah menjabat sebagai beberapa Menteri setelah Indonesia merdeka. Ia jugalah yang memberi teladan bahwa berpolitik itu adalah pengorbanan tanpa pamrih. Berpolitik selalu memakai beginsel atau prinsip yang harus dipegang teguh.
Seperti yang disampaikan oleh pemimpin umum harian Kompas, Jakob Oetama, ia adalah salah satu tokoh yang menjunjung tinggi moto "salus populi suprema lex", yang berarti kepentingan rakyat, hukum tertinggi, yang merupakan cermin etika berpolitik yang nyaris klasik dari tangan dirinya ...
Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono yang dilahirkan di Yogyakarta adalah anak kedua dari sebelas bersaudara. Orangtuanya adalah Dalikem dan Ronosentika, seorang prajurit Keraton Yogyakarta, dan seorang tokoh yang memperjuangkan hak-hak anak jajahan. Maka sejak kecil IJ Kasimo dididik sesuai dengan tradisi keraton. Dengan demikian, ia merasakan dan paham benar dengan cara hidup keraton yang semuanya berpusat pada Sultan.
Ketika kakak tertuanya dipersiapkan mengganti ayahnya, maka Kasimo menggantikan posisi dan sekaligus bertanggung jawab sebagai anak laki-laki tertua. Ia harus bekerja keras membantu ibunya mengurus rumah tangga.
Setelah lulus dari Bumi Putra Gading, Kasimo masuk sekolah di Muntilan yang didirikan oleh Romo van Lith. Kasimo saat itu tinggal di asrama, dan dia kemudian tertarik untuk belajar agama Katolik dan pada hari raya Paskah pada bulan April 1913 pada usia 13 tahun, Kasimo dibaptis secara Katolik dan mendapat nama baptis Ignatius Joseph.
Setelah dewasa, ia menjadi guru pertanian sekaligus mengajar agama di Tegal dan Surakarta dan juga getol terlibat aktif dalam dunia sosial politik kebangsaan.
Sesudah proklamasi kemerdekaan NKRI dan kalahnya Jepang oleh sekutu, Ignatius Joseph Kasimo menjadi anggota Komite Nasional Pusat yang bertugas sebagai organ konsultatif dari Presiden dan wakilnya.
Adapun sebagai ganti Partai Politik Katolik Indonesia, didirikanlah Partai Katolik Republik Indonesia pada 8 Desember 1945 (Hari Raya Maria Immaculata). Program utama partai ini adalah membela Republik Indonesia dan memperkuat keberadaan negara yang baru lahir ini.
Kasimo pastinya adalah salah satu tokoh founding fathers Indonesia, dimana dia pernah menjabat sebagai Menteri Perdagangan dan Menteri Pertanian di era awal berdirinya Indonesia di bawah kepemimpinan Soekarno.
“Kasimo telah memimpin Nusantara menjadi bangsa yang merdeka. Setelah kemerdekaan, ia membina nasionalisme dan patriotisme Indonesia. Kasimo juga memberi ‘tenaga keindonesiaan’ bagi umat Katolik di Nusantara ini." (Hary Tjan Silalahi, CSIS).
Lebih lanjut, Hary Tjan Silalahi mengatakan bahwa Kasimo dalam memimpin perjuangan politik melalui Partai Katolik Republik Indonesia tidak menampilkan sikap sektarianisme Katolik, melainkan berdasar platform kebangsaan, yaitu Pancasila. Partai Katolik tidak menjadi partai konvensional, melainkan mendasarkan atas ajaran dan moralitas (Katolik). Bahkan, sejak awal kekatolikan Kasimo di dalam masalah-masalah sosial politik sungguh progresif revolusioner dan tidak konservatif.
Kehadiran kepemimpinan Kasimo secara aktif di dalam revolusi kemerdekaan Indonesia sungguh turut ‘menguntungkan’ RI merdeka di mata internasional. Sebagai pemeluk agama Katolik, ia dipandang turut membentuk bangsa Indonesia yang majemuk, multikultural berdasarkan Pancasila, lanjutnya.
Kedudukan Kasimo sebagai penjabat Komisariat Pemerintah Pusat di Djawa (KPPD) sehari-hari yang melakukan kerjasama dengan Markas Komando di Jawa di bawah AH Nasution, yang memiliki arti penting dalam penyelenggaraan pemerintahan selama presiden dan wakil presiden ditawan Belanda. Kedua tokoh itu banyak membuat keputusan-keputusan bersama sebagai legalitas formal dari pemerintah pusat RI di Jawa dalam masa gerilya Clash II dengan Belanda.
Sementara itu Sabam Siarait (PDI) mengatakan bahwa Indonesia kini dan pada masa-masa mendatang membutuhkan politikus dan pejabat model IJ Kasimo, atau yang dikenal dengan Kasimo, salah satu tokoh pelopor Kemerdekaan Indonesia dan Pendiri Partai Katolik.
“Kasimo adalah sosok bersahaja yang baik, jujur, sederhana, dan pekerja keras. Kita membutuhkan orang yang kayak begitu pada waktu yang akan datang,” kata Sabam.
Menurut Sabam, bila saja pemimpin Indonesia seperti para pendiri bangsa, dan di antaranya meneladani IJ Kasimo maka Indonesia akan maju dan sejahtera. “Indonesia pasti bisa mengimbangi negara-negara kuat di Asia Tenggara seperti Malaysia dan Taiwan,” kata Sabam.
Sabam pun menjelaskan, di antara pelajaran yang bisa diambil dari IJ Kasimo adalah selalu menjadikan kepentingan rakyat sebagai titik pijak perjuangan dan politik. “Politik itu harus berkorban tanpa pamrih. Politik itu sebagaimana disampaikan Bung Karno. Bahwa memperjuangkan, mempertahakan dan mengisi kemerdekaan itu adalah politik,” jelas Sabam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar