Ads 468x60px

Kita Bhinneka, Kita Indonesia 14



SENSUS HISTORICUS:
Kita Bhinneka, Kita Indonesia".
WAGE RUDOLF SUPRATMAN.
Hiduplah "Indonesia Raya".
Mulai awal tahun ini, seluruh Gereja Katolik di KAJ konon memulai pastoral evangelisasi 2018 yang bertajuk "TAHUN PERSATUAN".
Fokus tema yang akan dihayati dan disuarakan terinspirasi dari Sila Ketiga Pancasila: Persatuan Indonesia. Seluruh nilai-nilainya akan diamalkan sepanjang 2018 ini dengan tema "Amalkan Pancasila: Kita Bhinneka, Kita Indonesia".
Dari sinilah, ditampil-kenangkan beberapa tokoh kebangsaan yang saya repost dari grup "dialog katolik islam", yang tentunya bersemangat dasar "Amalkan Pancasila: Kita Bhinneka, Kita Indonesia" dengan mengingat sebuah pesan Founding Father, Bung Karno yang kembali terbaca ketika saya berkunjung ke rumah pembuangannya yang kini disebut "Taman Pancasila" di kota Ende: "Bersatu karena kuat. Kuat karena bersatu."
Ya. Semangat persatuan dalam keberagaman Inilah juga yang saya rasakan ketika "napak tilas": berkunjung ke rumah pembuangan Bung Karno dan sekaligus "Taman Pancasila", tempat dia dulu menemukan inspirasi soal Pancasila di bawah pohon sukun, di dekat biara para pastor SVD di Ende.
Kita sendiri jelas diajak menjadi orang yang bercahaya karena hidupnya penuh dengan pelbagai keutamaan. Ia tidak menjadi "batu sandungan" tapi terus berjuang menjadi "batu loncatan" bagi bangsa dan rakyatnya dengan cucuran airmata-darah dan keringat, menjadi orang yang benar-benar bercahaya dengan "pancasila" keutamaan iman setiap harinya, antara lain:
1."Ketuhanan":
Kita diajak menjadi orang yang selalu menekankan dimensi keberimanan secara utuh-penuh dan menyeluruh.
2."Kemanusiaan":
Kita diajak sadar bahwa kita hidup di dunia real jadi tetap menjadi orang beriman yang sesuai konteksnya, karena bukankah menjadi suci juga berarti menjadi manusiawi? Beriman lewat dan bersama hal-hal insani setiap hari.
3."Persatuan":
Kita diajak untuk hidup rukun dan bersatu dengan semua orang yang berkehendak baik, demi suatu kosmos/keteraturan yang lebih bermutu, tidak mudah terpecah oleh gosipan/"adu domba".
4."Keterbukaan":
Inilah sebuah semangat demokrasi, berani menuntut hak juga berani untuk melaksanakan tanggung jawab sebagai orang beriman sekaligus warga bangsa.
5."Keadilan":
Kita diajak untuk hidup "jurdil-jujurd dan adil", mentaati pelbagai aturan hukum yang berlaku dan tidak menjadi "parasit" bagi gereja dan bangsa, sesama dan dunia.
"Cari arang di Gunung Kelimutu - Jadilah orang yang benar-benar bermutu."
Merah darahku
Putih tulangku
Katolik imanku
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
====
WAGE RUDOLF SUPRATMAN
DAN INDONESIA RAYA - NYA
Wartawan senior KOMPAS, St. Sularto dalam “Wage Rudolf Supratman Menunggu Pelurusan Fakta Sejarah” di Majalah Prisma pernah menulis, "WR Supratman, sang pencipta lagu 'Indonesia Raya', memang sangat yakin bahwa untuk dapat menciptakan lagu kebangsaan, ia harus terlibat dan melebur ke dalam perjuangan, serta bersentuhan dengan tokoh-tokoh pergerakan."
Supratman mengalami transformasi dalam hidupnya. Ia yang semula sering berkencan dan berfoya-foya bersama sinyo-sinyo Belanda karena ketenarannya sebagai pemain biola Black White Jazz Band, berubah menjadi sosok yang tertarik dalam bidang politik. Ia pun gemar mengikuti pelbagai pidato dan bacaan politik, terutama koranPemberita Makasar Makasar Makasar.
Hasratnya menciptakan lagu kebangsaan mulai tumbuh. Konsep lagu mulai dibuat. Sayang, meski sudah berjam-jam mengerjakannya, konsep lagu tak kunjung selesai. Sampai akhirnya ia sadar bahwa untuk bisa menciptakan lagu kebangsaan, ia harus melibatkan diri di dalam perjuangan. Lagu kebangsaan mustahil dibuat tanpa bersentuhan dengan tokoh-tokoh pergerakan.
Berbekal sebuah biola, ia merantau ke tanah Pulau Jawa. Tujuannya ke Bandung, pusat pergerakan tokoh-tokoh muda. Namun, ketika memasuki kota Surabaya, ia segera memutuskan tinggal sementara. Supratman kemudian bergaul akrab dengan anggota Kelompok Studi Indonesia dan terpengaruh dengan semangat kemerdekaan para tokohnya.
Akhir 1924, ia pergi menuju Cihami. Di sana ia sangat mengagumi koran Kaoem Moeda, yang membuatnya tertarik menjadi reporter. Sambil menunggu lamarannya di Kaoem Moeda, Supratman mengikuti kursus kader politik Kelompok Studi Umum yang didirikan olehSukarno. Cita-citanya terpenuhi. Supratman diterima sebagai reporter Kaoem Moeda.
Kariernya di Kaoem Moeda tak berlangsung lama. Gaji yang diterimanya tak cukup buat biaya hidup. Ia memutuskan hijrah ke Biro Pers Alpena (Algemene Pers Niews Agency) sebagai reporter dan editor. Pekerjaannya di Alpena tak berlangsung lama. Kondisi ekonomi perusahaan yang seret membuatnya harus hengkang.
Ia lantas bergabung di surat kabar Sin Po. Di sini, kehidupannya jauh lebih membaik. Keuntungan lain: ia bisa dekat dengan tokoh-tokoh pergerakan seperti M. Tabrani, Sugondo Djojopuspito, dan Sumarso.
Supratman mendapat penugasan untuk meliput Kongres Pemuda Indonesia Pertama pada 30 April–2 Mei 1926. Dari sinilah keinginannya untuk membuat lagu perjuangan kembali muncul, terutama setelah mendengarkan pidato tokoh-tokoh muda seperti M. Tabrani, Sumarno, Sumarto, Paul Pinontoan, dan Bahder Djohan.
Supratman bahkan mengakui hal itu secara langsung kepada M. Tabrani. Ia berkata: “Mas Tabrani, saya terharu kepada semua pidato yang diucapkan dalam Kongres Pemuda Indonesia Pertama. Terutama Pidato Mas Tabrani dan Sumarto. Cita-cita satu nusa, satu bangsa yang digelari Indonesia Raya itu saya akan buat. Namanya Indonesia Raya.”
Selesai kongres, Supratman membuat konsep lagu kebangsaan yang ditulisnya dalam not balok dan not angka, terdiri dari tiga kuplet dengan bait ulangan dan irama lagu 6/8. Lagu ini selesai dengan judul 'Indonesia Raya'.
Menjelang Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928, di Batavia, ia kembali ditugaskan untuk meliput. Kali ini keinginannya tak cuma menulis berita, tetapi ingin membawakan lagu 'Indonesia Raya'. Atas inisiatifnya sendiri, ia menyebarkan salinan lagu itu kepada para pimpinan organisasi pemuda. Gayung bersambut. Lagu tersebut mendapat sambutan hangat.
Sugondo, yang waktu itu memimpin Kongres Pemuda Indonesia Kedua, awalnya mengizinkan Supratman membawakan lagu tersebut pada jam istirahat. Namun, ketika Sugondo membaca lebih teliti lirik lagu itu, ia menjadi ragu. Ia takut pemerintah memboikot acara Kongres. Akhirnya Sugondo meminta Supratman membawakan lagu tersebut dengan instrumen biola saja.
Ketika jam istirahat tiba, Supratman maju, membawakan lagu 'Indonesia Raya' versi instumental. Semua peserta kongres tercengang. Mereka terharu mendengar gesekan biolanya. Itulah kali pertama lagu 'Indonesia Raya' berkumandang.
Lagu itu kembali berkumandang di akhir bulan Desember 1928 saat pembubaran panitia kongres kedua. Pada kesempatan itu, untuk kali pertama, lagu tersebut dinyanyikan dengan iringan paduan suara. Ketiga kalinya, lagu 'Indonesia Raya' dinyanyikan saat pembukaan Kongres PNI 18-20 Desember 1929. Para peserta berdiri dan bernyanyi mengikuti kur dan iringan biola Supratman sebagai tanda penghormatan kepada Indonesia Raya.
Lagu 'Indonesia Raya' semakin populer. Ini membuat resah pihak Belanda. Mereka takut jika lagu tersebut mampu membangkitkan semangat kemerdekaan. Karena itu, pada 1930, lagu itu dilarang dan tak boleh dinyanyikan dalam kesempatan apa pun, Alasan pemerintah kolonial: lagu tersebut dapat "mengganggu ketertiban dan keamanan."
Selaku pencipta, Supratman tak luput dari ancaman. Ia sempat ditahan dan diinterogasi soal maksud lirik “merdeka, merdeka, merdeka”. Tetapi kekangan itu cuma sebentar. Setelah diprotes dari pelbagai kalangan, pemerintah Hindia Belanda mencabutnya dengan syarat hanya boleh dinyanyikan di ruang tertutup.
Supratman kemudian menciptakan lagu Matahari Terbit. Lagu ini membuatnya kembali merasakan tahanan pemerintah Hindia Belanda. Otoritas kolonial menafsirkan bahwa Supratman ikut memuji Dai Nippon. Berkat bantuan van Eldik, Supratman dibebaskan dari tuduhan tersebut.
Keluar dari masa tahanan, Supratman jatuh sakit. Di masa itu ia berkenalan akrab dengan kakak iparnya, Oerip Kasansengari. Supratman berkata, “Mas, nasibku sudah begini. Inilah yang disukai oleh pemerintah Hindia Belanda. Biarlah saya meninggal, saya ikhlas. Saya sudah beramal, berjuang dengan caraku, dengan biolaku. Saya yakin Indonesia pasti merdeka.”
Pada 17 Agustus 1938, Supratman tutup usia setelah jatuh sakit. Jenazahnya dikebumikan di Kuburan Umum di Jalan Kejeran Surabaya, dengan jumlah pelayat tak lebih dari 40 orang.
Supratman telah tiada. Tapi fobia terhadap lagu 'Indonesia Raya' tak kunjung reda. Maka ketika Jepang menduduki kawasan Hindia Belanda pada Maret 1942, lagu tersebut kembali dilarang. Lagu itu baru bebas dicekal di ambang kejatuhan pendudukan Jepang pada medio 1945.
Lagu 'Indonesia Raya' kembali bergema setelah Sukarno membacakan teks Proklamasi kemerdekaan, 17 Agustus 1945.
Sebagai bentuk penghormatan, pada 16 November 1948, dibentuklah Panitia Indonesia Raya. Hasilnya adalah Peraturan Pemerintah RI tentang Lagu Kebangsaan Indonesia Raya pada 26 Juni 1958. Peraturan yang berisikan 6 bab ini mengatur tata tertib dalam penggunaan lagu 'Indonesia Raya' dilengkapi pasal-pasal penjelasan.
Tentang penting dan nilai luhur 'Indonesia Raya', Presiden Sukarno pernah mengatakan “... Setia kepada Indonesia Raya, setia kepada lagu Indonesia Raya yang telah kita ikrarkan bukan saja menjadi lagu perjuangan, tetapi menjadi lagu kebangsaan. Bukan saja lagu kebangsaan, tetapi pula menjadi lagu Negara kita. Permintaan batin kita ialah Allah S.W.T. menjadikan lagu Indonesia menjadi lagu Kebangsaan, lagu bangsa kita sampai akhir zaman pula. Jangan ada sesuatu golongan memilih lagu baru, setialah kepada lagu Indonesia Raya, setialah kepada Pancasila.”
=====
Wage Rudolf Soepratman atau dikenal dengan W. R Soepratman dilahirkan di Somongari, pada tanggal 9 Maret 1903. Ayahnya bernama Joemeno Kartodikromo, seorang tentara KNIL Belanda, dan ibunya bernama Siti Senen.
Wage Rudolf Soepratman adalah anak ketujuh dari sembilan bersaudara. Roekijem adalah kakak sulung Soepratman. Konon kabarnya, ia adalah seorang penganut agama Katolik yang taat dan tidak menikah. Pada tahun 1914, W.Soepratman ikut serta bersama Roekijem ke Makassar. Di sana ia disekolahkan dan dibiayai oleh suami Roekijem yang bernama Willem van Eldik.
Wage Rudolf Soepratman belajar bahasa Belanda di sekolah malam selama 3 tahun. Kemudian beliau melanjutkan ke Normaalschool di Makassar sampai selesai. Ketika berumur 20 tahun, lalu dijadikan guru di Sekolah Angka 2. Dua tahun selanjutnya ia mendapat ijazah Klein Ambtenaar, dan menjadi seorang guru.
Setelah beberapa saat menjadi guru, Wage Rudolf Soepratman pindah kerja di sebuah perusahaan dagang. Setelah beberapa waktu lamanya Wage Rudolf Soepratman memutuskan pindah ke Bandung menjadi wartawan harian Kaoem Moeda dan Kaoem Kita. Pekerjaan itu sendiri tetap dilakukannya meskipun pada akhirnya tinggal di Jakarta.
Ketika di Jakarta inilah, Wage Rudolf Soepratman mulai tertarik dengan organisasi pergerakan nasional. Beliau akhirnya bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan.
Rasa tidak senangnya terhadap penjajahan Belanda mulai tumbuh dan akhirnya dituangkan dalam buku Perawan Desa. Buku itu disita dan dilarang beredar oleh pemerintah Belanda.
Rasa cintanya terhadap Indonesia semakin hari semakin besar sehingga membuatnya ingin menyumbangkan sesuatu bagi perjuangan bangsanya. Tetapi, ia tidak tahu bagaimana caranya, karena ia hanya seorang wartawan dan pemain musik hingga suatu hari, secara kebetulan WR Soepratman membaca artikel berjudul "Manakah Komponis Indonesia yang Bisa Menciptakan Lagu Kebangsaan Indonesia yang Dapat Membangkitkan Semangat Rakyat" dalam majalah Timboel terbitan Solo. Membaca artikel ini, hati Soepratman tergerak. Dan merasa tulisan itu seolah ditujukan kepada dirinya.
Wage Rudolf Soepratman dipindahkan ke kota Sengkang, tidak lama kemudian minta berhenti dan pulang ke Makassar. Roekijem sendiri sangat gemar akan sandiwara dan musik. Banyak karangannya yang dipertunjukkan di mes militer. Selain itu Roekijem juga senang bermain biola, kegemarannya ini yang membuat Soepratman juga senang main musik dan membaca-baca buku musik. Wage Rudolf Supratman juga merasa tertantang ketika melihat kemahiran kakak iparnya, Willem Van Eldik.
Teringat bahwa pada saat tinggal di Jakarta Wage Rudolf Supratman membaca sebuah karangan dalam majalah Timbul, dimana penulis karangan itu menantang ahli-ahli musik Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan. Wage Rudolf Soepratman juga sungguh tertantang, lalu mulai menggubah lagu. Ketika beliau di Bandung pada tahun 1924 lahirlah lagu Indonesia Raya.
Wage Rudolf Soepratman adalah komponis Indonesia pertama yang menciptakan lagu-lagu pujian untuk perjuangan. Selain Indonesia Raya, ia mengarang lagu Dari Barat Sampai ke Timur (1925), Bendera Kita (1927), Ibu Kita Kartini (1931) yang semula berjudul Raden Ajeng Kartini, Bangunlah Hai Kawan (1931), Indonesia Hai Ibuku (1927); dan tiga lagu lain yang dia ciptakan di Surabaya: Mars Parindra (1937), Mars Surya Wirawan (1937), dan Matahari Terbit (1938).
Pada tanggal 28 Oktober 1928 diadakan Kongres Pemuda II dimana para tokoh pergerakan nasional dan perwakilan para pemuda berkumpul untuk menyatukan visi mencapai Indonesia Merdeka. W.R. Soepratman juga hadir dan pertama kalinya beliau memperdengarkan lagu Indonesia Raya secara instrumental dengan biola (tanpa syair). Mengapa dikumandangkan lagu Indonesia Raya itu secara instrumental? Atas usulan Soegondo Djojopuspito, dengan alasan menjaga situasai politik dan kondisi saat itu.
Banyak hadirin terpukau dengan lagu itu. Lagu tersebut telah berhasil mewakili keinginan rakyat Indonesia untuk segera merdeka dari Belanda.
Lagu Indonesia Raya pertama kali dikumandangkan di depan umum pada saat itu. Semua yang hadir terpukau mendengarnya. Dengan cepat lagu itu terkenal di kalangan pergerakan nasional. Apabila partai-partai politik mengadakan kongres, maka lagu Indonesia Raya selalu dinyanyikan terlebih dahulu. Lagu itu merupakan perwujudan rasa persatuan dan kehendak untuk merdeka.
Sesudah Indonesia merdeka, lagu Indonesia Raya dijadikan lagu kebangsaan, lambang persatuan bangsa.
Wage Rudolf Supratman diburu oleh Polisi Hindia belanda akibat menciptakan lagu Indonesia Raya. Pada awal Agustus 1938 Wage Rudolf Supratman menciptakan lagu “Matahari Terbit”, kemudian beliau menyiarkannya bersama pandu-pandu di NIROM, jalan Embong Malang, Surabaya. Wage Rudolf Supratman akhirnya ditangkap oleh Belanda dan ditahan di penjara Kalisosok, Surabaya.
Wage Rudolf Supratman meninggal di Surabaya pada tanggal 17 Agustus 1938 pada umur 35 tahun. Hari kelahiran Wage Rudof Soepratman, 9 Maret, oleh Megawati Soekarnoputri saat menjadi presiden RI, diresmikan sebagai Hari Musik Nasional.
NB:
A.
Bangsa yang besar adalah yang mengingat jasa para pahlawannya. Supaya kamu lebih kenal dan ingat dengan sosok pahlawan ini, berikut beberapa fakta tambahan tentangnya:
1. Anak Laki-Laki Satu-Satunya di Keluarga.
Wage Rudolf Supratman atau yang lebih kita kenal dengan nama WR Supratman adalah putra pasangan Djoemeno Senen dan Siti Senen.
Djoemeno Senen pernah bergabung dengan tentara KNIL (kesatuan tentara Hindia Belanda). Wage ini anak kelima mereka, tapi satu-satunya yang laki-laki. Semua kakak adik Wage berjenis kelamin perempuan.
Sebenarnya sempat ada dua anak laki-laki yang menjadi pendahulu Wage, yakni Slamet dan Rebo. Tapi kedua abang Wage itu meninggal sewaktu masih kecil.
2. Asal Usul Sisipan Nama Belanda.
Kedua orangtua WR Supratman kan orang Jawa, tapi kenapa mereka memberikan putranya itu nama tengah Rudolf yang terasa agak kebarat-baratan? Untuk gaya-gayaan kah?
Jangan salah sangka dulu.
Nama Rudolf itu punya tujuan khusus. Sesudah ibu Wage meninggal dunia, Wage diboyong oleh keluarga kakaknya ke Makassar. Nama Rudolf itu diberikan oleh abang iparnya, W.M van Eldik, sebagai siasat supaya Wage bisa sekolah di Europese Lagere School (ELS). Dengan memakai nama seperti itu, Wage bisa bersekolah di tempat yang hanya menerima orang-orang Eropa dan Belanda tersebut.
Tapi tidak berapa lama modus tersebut ketahuan. Wage dikeluarkan dari ELS dan pindah ke Sekolah Melayu.

3. Jadi Anak Band.
Kemampuan WR Supratman memainkan biola juga adalah hasil berguru pada kakak iparnya tersebut. Van Eldik memang mahir memainkan alat musik seperti biola dan gitar.
Sewaktu Wage berusia 17 tahun, sekitar tahun 1920, van Eldik malahan mengajaknya untuk main musik bareng. Mereka membentuk band bernama Black & White Jazz Band. Kelompok musik ini sering tampil di pesta-pesta di Makassar.
4. Membuat Indonesia Raya Tergugah dari artikel majalah.
Indonesianis yang beberapa waktu lalu telah berpulang, Benedict Anderson, dalam bukunya "Imagined Communities" menyebutkan bahwa nasionalisme perjuangan Indonesia di masa pergerakan terbangun lewat berita-berita yang dimuat di media cetak. Pengalaman WR Supratman ini sepertinya adalah salah satu buktinya.
Wage terpicu untuk membuat lagu Indonesia Raya setelah membaca salah satu artikel yang dimuat di surat kabar Fajar Asia terbitan Jakarta. Artikel tersebut aslinya dimuat di majalah Timboel terbitan Solo.
Salah satu petikan artikel tersebut: Mana komponis kita yang dapat mencipta lagu kebangsaan Indonesia yang dapat membangkitkan semangat rakyat?
5. Tudingan Indonesia Raya Jiplakan Lagu Lain.
Ini sebenarnya polemik sekitar tahun 1990-an. Waktu itu Remy Sylado, seorang novelis, pengamat musik, dan juga munsyi berpendapat bahwa Indonesia Raya gubahan WR Supratman berasal dari lagu jazz klasik.
Judul lagu tersebut adalah Pinda Pinda Lekka Lekka. Wage kemungkinan familiar dengan lagu tersebut mengingat sejak muda ia sudah memainkan musik jazz mengiringi orang Belanda dansa-dansi.
Tidak lama berselang, pendapat Remy Sylado tersebut disanggah oleh Kaye Solapung, seorang pengamat musik. Ia mengatakan pendapat Remy tersebut hanya mengulang tuduhan Amir Pasaribu pada era 1950-an. Kalau dibandingkan antara Indonesia Raya dengan Pinda Pinda Lekka Lekka atau dalam versi Amerikanya, Boola Boola, yang sama cuma delapan ketuk. Jadi tidak bisa disebut sebagai menjiplak.
6. Pernah Menciptakan Satu Permainan Kartu.
Selain menggubah lagu, menurut buku WR Supratman: Meluruskan Sejarah Riwayat Hidup karangan Anthony C Hutabarat, ia juga pernah membuat mainan kartu yang diberi nama Kartu Indonesia. Kartu bergambar macam-macam hewan Indonesia itu jumlahnya kurang lebih 20 lembar. Tujuannya supaya orang Indonesia bisa punya permainan di waktu senggang, jadi tidak kecanduan main kartu domino atau remi.
Sayangnya, karena Wage masih trauma sewaktu polisi Belanda menyita dan melarang terbit roman Perawan Desa karangannya, Kartu Indonesia ini pun tidak jadi ia edarkan.
7. Buruan Intel Belanda.
Meski WR Supratman tidak pernah angkat senjata melawan Belanda, tapi gara-gara beberapa karyanya seperti roman Perawan Desa dan lagu Indonesia Raya, ia terus menerus diintai Politieke Inlichtingendienst, dinas keamanan Hindia Belanda.
Stres karena terus diintai itu juga yang akhirnya membuat WR Supratman sakit-sakitan. Malahan beberapa hari sebelum ia meninggal tanggal 17 Agustus 1938, ia sempat ditangkap dan dipenjarakan di Penjara Kalisosok Surabaya.

8. Tanggal Lahirnya Bukan Tanggal Lahirnya.
Hampir semua buku sejarah mencantumkan keterangan bahwa WR Supratman lahir di Meester Cornelis Jatinegara, Jakarta, tanggal 9 Maret 1903.
Tanggal ini didasarkan pada keterangan kakak-kakak Wage dalam amar putusan Pengadilan Negeri Surabaya ketika tahun 1971 muncul sengketa soal penetapan ahli waris Wage.
Versi lain menyebutkan tanggal lahir Wage adalah 19 Maret 1903. Versi ini muncul ketika sejumlah saksi mengungkapkan bahwa Siti Senen, ibu kandung Wage dalam keadaan hamil tua pulang ke desa asalnya di Somongari, Purworejo, dan kemudian melahirkan bayi laki-laki.
Versi ini bahkan sudah dikuatkan lewat Keputusan Pengadilan Negeri Purworejo tanggal 29 Maret 2007 lalu, yang juga sekaligus menganulir tanggal lahir 9 Maret 1903.
Yang jelas, baik 9 Maret ataupun 19 Maret 1903, keduanya jatuh pada hari pasaran Wage.
Pertanyaannya kemudian, apakah pemerintah akan memindahkan tanggal Hari Musik Nasional?
B.
Film "Wage"
1928 lalu, 'Indonesia Raya' pertama kali berkumandang. Di hadapan peserta Kongres Pemuda II, seorang pemuda 25 tahun memainkan lagu ini dengan biola di tangannya. Ruangan menjadi khidmat, mendengarkan gelora yang terkandung dalam lirik dan biola yang mengalun bersamanya.
Setelah kejadian itu, situasi tidak lagi sama. 'Indonesia Raya' menjadi pemicu lahirnya gerakan nasionalisme seluruh nusantara, tidak lagi koloni, dan menjadi satu suara.
90 tahun berselang, riwayat pemuda itu dikisahkan dalam film yang membuka mata kita tentang seorang sosok penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia yang, saya yakin, tidak banyak orang tahu bahwa Wage ternyata bukan ‘hanya’ pengarang lagu Indonesia Raya.
Film ini menyadarkan kita bahwa lagu yang sangat indah itu dibuat oleh seorang pejuang yang tak pernah gentar memperjuangan cita-cita Indonesia.
Dia sebenarnya bisa hidup nyaman sebagai musisi yang menghibur orang-orang kaya borjuis, bule dan pribumi, yang diuntungkan penjajahan Belanda. Tapi dia memilih jalan hidup yang sulit.
Karena uang yang diperolehnya dari bermusik di klub-klub borjuis dia sumbangkan buat pergerakan, dia dipecat dari tempat dia bekerja.
Dia menjadi jurnalis. Dia menulis novel yang menyerang penjajahan Belanda. Dan dia menulis lagu-lagu untuk membangkitkan semangat pergerakan bangsa.
Untuk itu dia menjadi sasaran buronan pemerintah Belanda. Dia diancam, dikejar-kejar, dicabut haknya untuk bersuara. Wage tidak mundur sedikit pun. Sampai akhir khayatnya.
Bagi saya, ini adalah karya penting di saat kita kembali berusaha menyelamatkan Indonesia.
Kita harus sadar, Indonesia bukanlah sesuatu yang lahir begitu saja. Indonesia lahir melalui perjuangan bersama dan harus terus diperjuangkan bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar