Ads 468x60px

Kita Bhinneka, Kita Indonesia 19



SENSUS HISTORICUS:
Kita Bhinneka, Kita Indonesia".
ROMO VAN LITH.
"4 GO" : "GOlek seGo. GOlek swarGO"
Mulai awal tahun ini, seluruh Gereja Katolik di KAJ konon memulai pastoral evangelisasi 2018 yang bertajuk "TAHUN PERSATUAN".
Fokus tema yang akan dihayati dan disuarakan terinspirasi dari Sila Ketiga Pancasila: Persatuan Indonesia. Seluruh nilai-nilainya akan diamalkan sepanjang 2018 ini dengan tema "Amalkan Pancasila: Kita Bhinneka, Kita Indonesia".
Dari sinilah, ditampil-kenangkan beberapa tokoh kebangsaan yang saya repost dari grup "dialog katolik islam", yang tentunya bersemangat dasar "Amalkan Pancasila: Kita Bhinneka, Kita Indonesia" dengan mengingat sebuah pesan Founding Father, Bung Karno yang kembali terbaca ketika saya berkunjung ke rumah pembuangannya yang kini disebut "Taman Pancasila" di kota Ende: "Bersatu karena kuat. Kuat karena bersatu."
Ya. Semangat persatuan dalam keberagaman Inilah juga yang saya rasakan ketika "napak tilas": berkunjung ke rumah pembuangan Bung Karno dan sekaligus "Taman Pancasila", tempat dia dulu menemukan inspirasi soal Pancasila di bawah pohon sukun, di dekat biara para pastor SVD di Ende.
Kita sendiri jelas diajak menjadi orang yang bercahaya karena hidupnya penuh dengan pelbagai keutamaan. Ia tidak menjadi "batu sandungan" tapi terus berjuang menjadi "batu loncatan" bagi bangsa dan rakyatnya dengan cucuran airmata-darah dan keringat, menjadi orang yang benar-benar bercahaya dengan "pancasila" keutamaan iman setiap harinya, antara lain:
1."Ketuhanan":
Kita diajak menjadi orang yang selalu menekankan dimensi keberimanan secara utuh-penuh dan menyeluruh.
2."Kemanusiaan":
Kita diajak sadar bahwa kita hidup di dunia real jadi tetap menjadi orang beriman yang sesuai konteksnya, karena bukankah menjadi suci juga berarti menjadi manusiawi? Beriman lewat dan bersama hal-hal insani setiap hari.
3."Persatuan":
Kita diajak untuk hidup rukun dan bersatu dengan semua orang yang berkehendak baik, demi suatu kosmos/keteraturan yang lebih bermutu, tidak mudah terpecah oleh gosipan/"adu domba".
4."Keterbukaan":
Inilah sebuah semangat demokrasi, berani menuntut hak juga berani untuk melaksanakan tanggung jawab sebagai orang beriman sekaligus warga bangsa.
5."Keadilan":
Kita diajak untuk hidup "jurdil-jujurd dan adil", mentaati pelbagai aturan hukum yang berlaku dan tidak menjadi "parasit" bagi gereja dan bangsa, sesama dan dunia.
"Cari arang di Gunung Kelimutu - Jadilah orang yang benar-benar bermutu."
Merah darahku
Putih tulangku
Katolik imanku
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
====
ROMO VAN LITH
"4 GO" : "GOlek seGo. GOlek swarGO"
Romo Franciscus Georgius Josephus Van Lith SJ (Romo van Lith SJ: 17 Mei 1863 – 9 Januari 1926) mendapat penghargaan dari pemerintah RI di Jakarta, 23 September 2016 yang lalu.
Penghargaan dari Pemerintah RI itu diberikan atas jasa-jasa mendiang Romo van Lith SJ memajukan pendidikan bagi anak-anak pribumi di Indonesia, khususnya di Tanah Jawa.
Konon kabarnya, setelah K.H.A. Dahlan mengujungi Muntilan dan belajar dari Romo van Lith, beliau terinspirasi mendirikan sekolah guru sejenis khusus bagi orang Islam yaitu Muallimin yang didirikan di Yogyakarta tahun 1918.
Adapun, penghargaan Pemerintah RI melalui Kemendiknas kepada Romo van Lith SJ diberikan atas jasanya merintis ide besar pendidikan berasrama di Muntilan. Dari ide brilian inilah lahir tokoh-tokoh nasional Indonesia seperti Mgr. Albertus Soegijapranata, IJ Kasimo, Frans Seda, Yos (Yosafat) Sudarso, Cornelis Simandjuntak dkk.
Sepenggal kisah:
1922, Pastor van Lith, dialun-alun Mangkunegara Solo pada suatu pagi menyaksikan Padvinder Pribumi (Pramuka) sedang latihan. Pada saat itu, Pastor van Lith merenungkan (dari catatan harian beliau) sebagai berikut :
"Pada saat ini anak-anak pribumi tampak jinak bagi Pemerintah Hindia Belanda, akan tetapi besok bila mereka telah dewasa pasti datang saatnya mereka akan menjadi musuh Pemerintah Belanda. Dan jika hal itu terjadi, saya akan memihak bangsa Indonesia."
Dari tangan dinginnya lahir para tokoh gereja: Sang Pemuda IJ. Kasimo (Ketua Partai Katolik, Menteri pada beberapa periode, Pahlawan Nasional),
Mgr Soegijapranata SJ (Uskup pribumi pertama, Pahlawan Nasional),
Komodor Laut Yosafat Soedarso (Pahlawan Nasional),
Cornelis Simanjuntak (Pahlawan Nasional), Frans Seda (Menteri pada beberapa periode), Sartono Kartodirdjo (Sejarawan, Pendiri Angkatan Muda Katolik Republik Indonesia), Moenadjat Danoesapoetra (Pendiri Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia),
Lo Siang Hien Ginting (Pendiri Ikatan Sarjana Katolik Indonesia dan Universitas Atmajaya Jakarta juga bersama Frans Seda),
WJS Poerwadarminta (Pakar Bahasa Indonesia).
RM FX Satiman (Romo pribumi pertama)
Yustinus Kardinal Darmoyuwono Pr (Kardinal pertama di Indonesia)
Mgr A. Djojoseputra SJ (Uskup Agung KAJ).
Dan yang tidak pernah tercatat dalam sejarah namun secara nyata memberikan sumbangsihnya untuk gereja dan negara adalah guru guru dan rasul awam hasil dari didikan SPG Van Lith, tentunya yang dalam bahasa St Yoh Paulus II :
"Dalam Gereja Katolik di Indonesia, kaum intelektual sejak semula memainkan peranan yang mengagumkan. Di banyak daerah, tulang punggung perkembangan umat adalah guru-guru." (Paus Yohanes Paulus II, Unika Atmajaya Jakarta, 12 Oktober 1989).
Adapun, Sekolah Muntilan dan Sekolah Mendut, sejatinya karya sekeping mata uang. Dialektika Rm Van Lith dan Rm Hoevenaars adalah formatio yg saling melengkapi dan mengukuhkan konsepsi perubahan Indonesia (Jawa) melalui Katolik.
Dari rahim Muntilan dan Mendut inilah lahir organisasi penopang keberadaan gereja dan bangsa seperti:
Pakempalan Politik Djawi (1923)
Wanita Katolik (1924),
Moeda Katolik dan Moeda Wanita Katolik (1929),
Angkatan Muda Katolik Republik Indonesia (1945),
Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (1947),
Bahkan selanjutnya Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (1952), juga Universitas Atma Jaya Jakarta (1960).
Pastinya; Inilah sebuah mahakarya luar biasa, yang tersusun dan tertata rapi sebagai sebuah konsepsi dan aktualisasi iman yang nyata untuk keagungan pertiwi.
Tercandra, dalam film Soegija besutan Garin Nugroho dkk dapat kita saksikan dilema situasi dan pilihan keberpihakan Mgr Soegijapranata SJ yang notabene adalah murid Romo van Lith. Menempatkan Katolik (yang dianggap Londo) dalam konstelasi perjuangan Republik (Indonesia). Dukungan Nuntio Tahta Suci Vatikan terhadap Republik Indonesia dan Soekarno.
Lewat figur merekalah, terpastikan bahwa Katolik dan Republik (Indonesia) hadir sebagai dualitas yg tidak dipertentangkan. Keyakinan yang hingga saat ini dipegang teguh oleh seluruh umat Katolik bahwa mendahulukan negara tidak serta merta meninggalkan atau menutup rapat identitas kekatolikan kita. Sebaliknya memperjuangkan kekatolikan tidaklah bertentangan dengan semangat kebangsaan kita dalam bernegara: "Pro Patria et Ecclesia", yang dalam bahasa khas Mgr Soegij: "100% Katolik. 100 % Indonesia"
Ya, kita besyukur Rm van Lith dan para kadernya mewariskan sedemikian rupa tatanan kehidupan beriman dan bernegara yg nyata, hidup dan selalu menggairahkan dalam proses kehidupan kita. Dari pusara Betlehem van Java (Muntilan) jiwamu membimbing kami meneruskan inspirasimu.
Nasib bangsa Indonesia yang akan datang terletak pada pemuda-pemudanya. Demikian pula nasib Gereja di Indonesia ini, terletak pada pemuda-pemuda Katolik-nya bukan? YES KADER. NO KEDER!
NB:
Pada tahun 1897, Rama van Lith mulai berkarya di Muntilan, yang dia sebut sebagai "Bethlehem van Java". Ia menetap di Desa Semampir di pinggir Kali Lamat.
Di desa kecil itu, ia mendirikan sebuah sekolah desa dan sebuah bangunan gereja yang sederhana. Gereja kecil dan sekolah desa itu kemudian berkembang menjadi sebuah kompleks gedung-gedung yang dinamai Kolese St.Fransiskus Xaverius, Muntilan.
Salah satu kompleks yang kemudian dikenal sebagai trade mark dari sekolah Muntilan adalah sekolah guru yang didirikan tahun 1906, dan bisa dimasuki oleh kaum pribumi darimanapun dan dari agama apapun. Sekolah guru berbahasa Belanda ini (Kweekschool) mula-mula mempunyai murid 107 orang, 32 di antaranya bukan Katolik.
Di tahun 1911, dibuka secara resmi juga seminari (sekolah calon pastor) pertama di Indonesia karena sebagian di antara lulusannya ingin menjadi pastor. Satu di antaranya adalah Mgr Soegijapranata (1896 - 1963).
Adapun waktu itu, semua siswa Muntilan diupayakan untuk tinggal di asrama yang disiplin. Salah satu strategi van Lith yakni agar para alumni nantinya bisa hadir sebagai ”kader” yang berperan ganda: katekis dan guru (garda depan “evangelisasi”).
Sekolah Muntilan sendiri eksis sebagai ‘kota di tengah desa’ dengan fasilitas lengkap untuk ukuran saat itu: gereja, lapangan luas dengan listrik, air minum, taman, mesin cuci raksasa, periuk yang dapat menanak nasi untuk banyak orang sekaligus, dll.
Muntilan juga menjadi tempat berkumpulnya para putera dari seluruh Indonesia. Mereka datang dari Sumatera, Flores, Makasar, Ambon Menado, Sunda, dan daerah lainnya.
Pada awalnya, kurangnya pengetahuan para misionaris akan bahasa lokal, seperti Rama Palincks yang melayani Yogyakarta (1865-1899) dan tak pernah mempelajari bahasa Jawa, menciptakan jarak dengan pribumi. Disinilah Rama van Lith hadir dan mempertobatkan orang dengan ikatan sosial-budaya. Ia mempelajari budaya dan bahasa Jawa serta mendorong orang-orang Katolik Jawa untuk ikut slametan dan terlibat dengan masyarakat sekitarnya.
Di Muntilan, Rama van Lith adalah pastor pertama yang dapat berkomunikasi dengan masyarakat Jawa dalam bahasa Jawa. Ia juga menterjemahkan pelbagai doa dasar Katolik (termasuk Doa Bapa Kami) dalam bahasa Jawa.
Pada tahun 1903, seorang guru agama dengan 4 orang kepala dusun dari pegunungan wilayah Kalibawang berkunjung ke rumah Rama van Lith. Empat orang dibaptis pada tanggal 20 Mei 1904. Dan kemudian, 171 orang menyusul dibaptis oleh Rama van Lith pada bulan Desember 1904 di Sendangsono.
Lebih lanjut, Rama van Lith berhasrat menyediakan suatu sistem pendidikan yang bermutu tinggi bagi para pemuda dan pemudi di tanah Jawa, yang membuat mereka mampu memiliki posisi penting dalam masyarakat. Maka diselenggarakan pendidikan Kristiani, agar mereka menjadi benih-benih kerasulan yang dapat tumbuh dan berbuah di kemudian hari.
Rama van Lith sendiri wafat pada 9 Januari 1926, beberapa bulan sebelum berlangsungnya tahbisan imam pertama Indonesia, F.X. Satiman SJ di Maastricht 15 Agustus 1926. Imam baru ini kemudian berkarya sebagai pastor paroki di antara mantan anggota Jemaat Kijahi Sadrach Suryapranata di Kalibawang. Sayangnya, Satiman meninggalkan Serikat pada 7 September 1940 dan tinggal di pertapaan Trappist Rawaseneng, setelah ditempatkan di Kolese Santo Ignatius (Jogjakarta), sejak 1936.
Nama Rama van Lith sendiri dikenang banyak orang. Mgr Soegijapranata, salah seorang muridnya mencatat di tahun 1950, "adalah seorang imam Belanda yang oleh orang Jawa, baik Katolik maupun bukan Katolik sampai hari ini dihormati sebagai Bapak Orang Jawa...."
Ia pun diusulkan sebagai anggota Volksraad (Dewan Rakyat) Partai Sarikat Islam, pimpinan KH Agus Salim. Memang ia tidak pernah menjadi anggota Dewan Rakyat. Tetapi, atas kegiatannya di bidang pendidikan, ia juga ditunjuk menjadi anggota Dewan Pendidikan Hindia Belanda dan anggota Komisi Peninjauan Kembali Ketatanegaraan Hindia Belanda.
Di kedua lembaga itulah, Rama van Lith memperjuangkan kepentingan pribumi. Pada tahun 1922, ia pernah meramalkan bahwa pada suatu hari orang-orang Belanda akan diusir dari wilayah kepulauan ini. Ia juga menegaskan, banyak orang di Belanda tidak mengerti situasi nyata wilayah kepulauan ini. Mereka percaya bahwa semua akan tetap lestari seperti sekarang ini. Mereka semua keliru, mengingat suatu zaman dan dunia yang baru sedang menantikan kelahiran. Siapa yang arif bestari akan harus berbenah diri dan siap menerima perubahan yang merupakan keniscayaan.
Menurut Rama van Lith lebih lanjut, kepentingan utama orang Katolik adalah tidak membebani diri sendiri sebagai pihak yang bertanggungjawab atas lahirnya sistem pemerintahan yang menindas dan merendahkan orang-orang pribumi.
Dalam bulan Februari 1923, di Jogjakarta berkumpullah F.S. Harjadi (kepala sekolah), Raden Mas Jakobus Soejadi Djajasepoetra (seorang dokter hewan di Purwokerto), dan Ignatius Joseph Kasimo Endrawahjana (konsultan pertanian di Tegalgondo, Surakarta) bersama dengan sekitar empatpuluh orang muda Katolik alumni Sekolah Muntilan, seperti C. Pranoto dan F. Soetrisno.
Pertemuan ini menjadi ancangan bagi lahirnya Partai Katolik yang baru yakni: Pakempalan Politik Katolik Djawi pada 5 Agustus 1923. Dua Minggu berikutnya statuta paguyuban tersebut diserahkan kepada pemerintah untuk disahkan. Pada mulanya organisasi yang baru ini berkonfederasi dengan Indische Katholieke Partij, tetapi kemudian orang-orang Katolik Jawa memisahkan diri dan menjadi otonom.
Pada tahun ini jugalah, Rama Strater SJ mendirikan Perhimpunan Wanita Katolik pada tanggal 9 September 1923. Dalam perjalanan waktu, sebagaimana setiap krisis yang terjadi dapat menciptakan kehancuran, tetapi dapat pula mendewasakan, demikian pula orang-orang Katolik di Indonesia. Eksistensi ‘keindonesiaan’ pada kurun waktu ini menepati apa yang digarisbawahi dalam Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes, art. 1.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar