Pages

HUT JAKARTA 491 TAHUN



SPIRIT OF "JAKARTA"
..bekerJA dengan KARya nyaTA..
HUT JAKARTA 491 TAHUN
(22 Juni 1527)
Semoga semakin......
nyaman dan aman
hangat dan bersahabat
rupawan dan menawan
ber - tjahaja dengan bersih transparan dan profesional...
Jakarta...jutaan manusia hentakkan kaki
Jakarta...gempita terasa panasnya hari
Jajaran bangunan menjulang
Rumah rapuh beribu jua
Kendaraan tiada terbilang
Jadi satu dalam birama
Kau Jakarta, engkau kudamba
Lagumu membaur dalam irama
Duka dan derai tawa
Oh Jakarta engkau kupuja
Doaku semoga kau esok lusa kan bahagia".
(Damba di Dada)
====
Abad ke-14 bernama "Sunda Kelapa", sebagai kota pelabuhan dari Kerajaan Pajajaran, yang ibukotanya di Pakuan Pajajaran (sekarang: Bogor).
Maret 1512 Portugis mengirim seorang duta menemui Raja Pajajaran dan diizinkan untuk membangun sebuah benteng di Sunda Kelapa.
Menjelang akhir abad ke-16, kedudukan Portugis di Nusantara makin memburuk akibat munculnya berbagai perlawanan dari para penguasa pribumi.
Fatahilah berhasil mengusir Portugis dan nama kota berganti menjadi "Jayakarta" -- kota kemenangan (22 Juni 1527).
Abad ke-16 Belanda datang dan oleh J.P. Coen nama kota diubah menjadi "Batavia" (30 Mei 1610). Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), karena semua yang berbau Belanda dihapus, 8 Agustus 1942 namanya dikembalikan ke nama sebelumnya, dengan ejaan "Jakarta".
Di antara ketiga tanggal itu yang dipilih pemerintah Indonesia sebagai hari jadi adalah saat Fatahilah berhasil mengusir Portugis, tertuang dalam Keputusan DPR kota sementara No. 6/D/K/1956.
“Kota kemenangan” – terkandung rasa bangga dengan peristiwa keberhasilan mengusir Portugis. Atas landasan inilah disepakati pada tahun 1956 itu tanggal 22 Juni sebagai hari jadi kota Jakarta.
Rasa bangga dapat mewarnai semangat kebersamaan kita sebagai satu bangsa. Pertanyaannya: apakah rasa bangga juga dimiliki oleh generasi muda kita saat ini?
Bisa kita tanyakan kepada anak-anak kita dua hal ini:
(a) merasa banggakah mereka menjadi orang Indonesia (dan warga Jakarta) ?
(b) [kalau bangga] menurut mereka, apa yang mereka banggakan mengenai Indonesia (dan kota Jakarta) ?
Saya tidak tahu apa jawaban anak-anak kita terhadap dua pertanyaan itu. Jangan-jangan mereka tidak bangga. Kalau bangga pun jangan-jangan tidak tahu apa yang mereka banggakan? Semoga dugaan negatif saya ini tidak benar. Mari kita cari tahu dengan bertanya pada anak-anak kita......
NB:
Belajar dari Sebuah Kota….
Jakarta yang semu adalah bagian dari realitas
dan setiap orang mampu melahirkan Jakarta-nya sendiri...
A.
Suatu ketika di Bilangan Sudirman Thamrin……….
Pada suatu masa dan tempat bernama Jakarta, ada ratusan hotel-apartamen, shopping centre-plaza, bank, café-lounge fave yang ngetrend terilhami Orchard - Bugis Junction Singapura. Pelbagai fragmen ruang fisik tersebut menandai fisiogonomi metropolisnya. Di Jakarta bagian atas ini, massa dengan hand (smart) phone, farfume dan life style ala barat bisa menikmati Jakarta yang lain dalam ruang art-deco, sambil ber-enjoy ria dalam musik jazz, MTV sampai dangdut kontemporer.
Seperti kelakar Umberto Eco, “Aku berbicara melalui pakaianku”, mereka berpolah. Di tengah geliat multimedia, pop culture-indie labels, massa kelas menengah di Jakarta ini seakan menjadi agen pembiakan globalisasi budaya barat, metropolis made-in USA: kesan the west is the best semakin marak bergerak.
Ditemani pelbagai billboard iklan yang ngejreng di sentra jalan protokol, mereka seperti mesin hasrat yang selalu dahaga. Dari stiker di buskota sampai pintu warung tegal, kerap ditemui kata-kata wasiat ala Benjamin Franklin: Time is money. Uang dan waktu menjadi opium mereka, keduanya dapat dihitung dan sama-sama memacu eskalasi kegelisahan.
Jelaslah, di mana ada kota-di situ ada uang. Di mana ada uang-di situ ada barang. Di mana ada orang dan barang-di situ ada pasar. Bisa jadi di hadapan pasar itu, mereka menjadikan tubuhnya sebagai barang (fetish). Implikasinya, uang adalah panglima!!! Seperti kata Cicero, tak ada benteng yang demikian kuat, di mana uang tak dapat memasukinya.
B.
Suatu ketika di Terminal Pulogadung …….
Pada suatu masa dan tempat bernama Jakarta:
Ketika siang, matahari lurus-terik menjulurkan lidahnya, hiruk-pikuk berbaur-campur dengan kemacetan jalan.
Malamnya, aneka panorama nyata di Jakarta bagian bawah ini: seorang pelacur muda berbedak tergopoh-payah menawarkan diri pada setiap mobil yang lewat. Seorang mami germo duduk asyik merokok dalam malam sepi-seperti mandor yang mengawasi anak-buahnya. Belum lagi belasan waria, preman, calo dan pungli yang menambah rasa tidak nyaman.
Pelbagai fragmentasi sosial dengan alasan rust et orde kian memenuhi carut-marutnya wajah Jakarta bagian bawah ini.
Ya, di Jakarta, nyata jerit kaum tertindas yang tak bisa menjerit. Di Jakarta: siapa lemah-mudah disepak. Jakarta bagi pelacur kelas bawah ini adalah via dolorosa, jalan kesengsaraan-dukha.
Pertanyaannya bukan adakah atau siapakah yang bersalah dalam pelacuran ini? Tapi pertanyaan Jakarta adalah: siapa yang peduli, apa bedanya pelacur atau hewan? Apa bedanya sepuluh atau seratus pelacur mati atau sakit ketika digaruk, dipenjara atau terkena penyakit HIV di sebuah kota dan saat, bernama Jakarta, jika mereka kaum miskin? itu salah mereka sendiri!!! Hemang Ike Vikirin! Auk Ahh Elap!!!
C.
Berangkat dari Konteks...
Pada mulanya adalah gaya hidup. Lewat gaya hidup ini, Di Jakarta, ada semacam kondisi bahwa kita harus siap menghadapi kejutan karena begitu cepatnya perubahan.
Suatu waktu Jakarta mendadak menjadi amat peduli atau orang sekarang bilang: "KEPO" pada goyang sepasang pinggul empunya Inul atau Persik atau Trio Maca . Suatu lain-ketika banjir dan penggusuran melanda, tiba-tiba begitu hiruk-pikuk. Saat lain-ketika medio Mei 1998 atau isu teror bom di tahun tahun terakhir ini, Jakarta begitu lengang seperti kota mati. Saat lain-begitu biadab ketika banyak bom meledak di mall dan gereja-gereja juga perampokan disertai penembakan.
Di Jakarta nyata adanya benturan, hingga tercipta karakter masyarakat urban yaitu anonimitas dan mobilitas. Maka, wajarlah jika seseorang kerap hidup lewat pelbagai benturan, entah ekonomis, psikologis, etis, sosiologis.
Di lain segi, lewat perjumpaan keseharian dengan mobilitas dan anonimitas dikota bernamaJakarta ini, kita kerap melihat pelbagai manipulasi atas realitas; kegamangan masa depan dan kedangkalan hidup; maraknya sikap hedonisme, dan mudahnya mereka membuang segala sesuatu termasuk nilai-nilai.
Segala nilai dan otoritas telah di-demistifikasi-kan oleh mereka. Tak ada lagi nilai dan otoritas yang sungguh dianggap sakral. Modernitas dengan roh sekular, konsumerisme dan liberalismenya adalah sesuatu yang amat sulit dielakkan. Bukan karena ia merupakan roda raksasa yang otoriter menggilas segala pola kultural, tapi karena ia tampil justru sebagai ideal yang memikat, centil menggoda dan piawai menjanjikan ekstase kenikmatan di tengah arus dunia kontemporer.
Padahal kalau mau dilihat secara lebih mendalam, sebetulnya banyak diantara kita ada dalam ketidakpastian dan penantian, yang terpisah dari afeksi pun empati, yang terpinggir oleh ganasnya stigma masyarakat, yang terceraikan dari kerabat dan sahabat, yang tersingkirkan dari orangtua dan mertua.
D.
Sebuah Refleksi Tentatif..
Seperti ramalan Celestine, pelbagai kejadian hidup dan fakta realitas sosial bukanlah sekedar kebetulan belaka. Bila pelbagai kejadian itu dipertemukan, dirangkai menjadi sebuah untaian, maka akan lahirlah makna serta pesan yang berguna. Perjumpan dengan orang orang kecil pun bukanlah sesuatu yang kebetulan. Sayang, benar-benar sayang kalau makna perjumpaan ini betul-betul….nyaris tak terdengar.
Semua orang kecil (bahasanya Ellacuria: the crucified people) tak boleh dianggap in-absentia, sebab bisa jadi mereka adalah guru yang istimewa-teruji dalam membimbing kita untuk mengenal siapakah sesungguhnya Allah. Kita bisa belajar menghayati nilai Kerajaan Allah dari “rakyat yang tersalib”: yang kecil-lemah-miskin dan tersingkir, karena merekalah yang empunya Kerajaan Allah. (Mat 5:3). Sebetulnya, perjumpaan kerap berporos pada “to be sensitive to the reality”,
Di tengah adzan dan lonceng surau hidup ini, setiap komunitas agama dan kemanusiaan dipanggil untuk berani berjalan bersama dalam gerak ahimsa, terlebih berjalan bersama orang-orang yang tersingkirkan.
Pacem in Terris - Pacem in cordis !!!!
======
SEJARAH HARI JADI KOTA JAKARTA
Menurut sejarawan Adolf Heuken SJ, hari jadi Jakarta hanyalah sebuah dongeng. Karena tak ada dokumen yang menyebutkan nama Jayakarta. Bahkan 50 tahun sesudahnya (saat VOC berkuasa), tetap disebut Sunda Kelapa. Fatahillah tidak mungkin memberi nama dalam bahasa Sansekerta, karena ia sendiri seorang Arab. Maka Jayakarta adalah nama dari bahasa Sanskerta. Jadi, itu semua dongeng supaya Jakarta memiliki hari ulang tahun.
Penetapan hari jadi Jakarta adalah istilah yang merujuk kepada penetapan yang dikeluarkan oleh Sudiro, Wali kota Jakarta periode 1953-1958. Pada masa kolonial Belanda peringatan hari jadi Kota Batavia dilakukan setiap akhir Mei dengan dasar bahwa pada akhir Mei 1619, Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen menaklukkan Jayakarta. Pada tahun 1869, untuk memperingati 250 tahun usia Batavia, dibangun pula monument J. P. Coen – yang saat ini berada di halaman Departemen Keuangan, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Di atas fondasi beton yang kokoh, berdiri Coen yang dengan angkuhnya menunjuk kearah bawah menggambarkan dia berhasil menaklukkan Jayakarta. Namun, Patung yang menjadi simbol dimulainya penjajahan Belanda itu dihancurkan pada masa pendudukan Jepang (1941-1945).
Sudiro, menyadari perlunya peringatan ulang tahun untuk kota Jakarta yang berbeda dengan peringatan berdirinya Batavia. Maka, ia pun memanggil sejumlah ahli sejarah, seperti Mr. Mohamad Yamin dan Mr. Dr. Sukanto serta wartawan senior Sudarjo Tjokrosiswoyo untuk meneliti kapan Jakarta didirikan oleh Fatahillah. Kala itu, Sudiro berkeyakinan bahwa tahunnya adalah pasti, yaitu 1527. yang menjadi pertanyaan adalah hari, tanggal, dan bulan lahirnya Kota Jakarta. Mr. Dr. Sukanto menyerahkan naskah berjudul Dari Jayakarta ke Jakarta. Dia MENDUGA bahwa 22 Juni 1527 adalah hari yang paling dekat ketika Kota Jayakarta dibangun oleh Fatahillah.
Naskah tersebut kemudian diserahkan oleh Sudiro kepada Dewan Perwakilan Kota Sementara untuk dibahas, yang kemudian lmenetapkan bahwa 22 Juni 1527 sebagai berdirinya Kota Jakarta. Tepat pada 22 Juni 1956, Sudiro mengajukannya pada sidang pleno dan usulnya diterima dengan suara bulat. Selanjutnya, sejak saat itu, tiap 22 Juni diadakan sidang istimewa DPRD Kota Jakarta sebagai tradisi memperingati berdirinya Kota Jakarta. Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa dipilihnya 22 Juni 1527 karena saat itu merupakan Maulid Nabi Muhammad SAW. Setelah berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kalapa, Fatahillah sebagai panglima Kesultanan Demak mengubah Sunda Kelapa menjadi Jayakarta.
Apapun kisah sejarahnya:
SELAMAT HARI JADI KOTA JAKARTA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar