Ads 468x60px

IN MEMORIAM : 2 TAHUN "SANG BURUNG PELIKAN" MGR. JM.PUJASUMARTA 'SOWAN GUSTI'



IN MEMORIAM :
2 TAHUN "SANG BURUNG PELIKAN"
MGR. JM.PUJASUMARTA 'SOWAN GUSTI':
"MAN OF DIA.LO.GUE" : JADILAH BERKAT !!!!
(Bagi Siapapun dan Apapun)
Rabu, 18 Okt 2017
@ Gereja Katedral Semarang.
In paradisum deducant te angeli
Ad vitam aeternam..
Misa mengenang dua tahun kepergian Mgr Pujo ini dipimpin oleh Mgr Rubiyatmoko, didampingi oleh para romo Kuria KAS (Rm Sukendar, Rm Triatmoko, Rm Aria Dewanto, Rm Luhur) dan masih banyak lagi para romo lainnya.
Umat yang hadir hampir memenuhi gereja Katedral. Sebelum kotbah, ditayangkan lewat LCD saat Mgr Pujo menerima tongkat gembala sebagai Uskup KAS, diiringi dengan lagu "Kunang-kunang" ciptaannya sendiri.
Gambar- gambar yang ditayangkan itu mewakili wujud semangat karyanya yang penuh suka cita , yang membawa terang dan benderang. Dalam kotbahnya, Mgr Rubi mengungkapkan tentang pengalaman beliau bekerja sama dengan Mgr Pujo selama hidupnya, selalu gembira dan dikatakannya bahwa Mgr Pujo adalah gembala yang sungguh gembala, yang bisa dan biasa menyapa setiap dombanya.
Mgr Rubi juga mengatakan bahwa setiap hari beliau selalu berdoa dengan perantaraan Mgr Pujo dan juga sempat mengatakan bahwa sewaktu makan siang di rumah uskup bersama para romo Kuria KAS, sempat mengenang Mgr Pujo dengan cerita-cerita yang ringan tapi sungguh menggembirakan, 'evangelii gaudium'.
Lagu "Pie Pellicane" juga dinyanyikan oleh koor dan umat. Tak lupa lirik "Ndherek Dewi Maria" sebagai lagu penutup misa juga berkumandang. Sesudah misa, dilanjutkan ramah tamah di Sukasari, aula samping Gereja Katedral.
===
"Semoga keindahan yang menyatukan dan sekaligus mempersatukan itu dapat diwujudkan oleh para seniman Indonesia melalui karyanya."
Inilah salah satu pernyataan khas dari Uskup Agung Keuskupan Agung Semarang (KAS), Mgr. J.M Pujasumarta yang dulu hobi berkebun dan memelihara burung merpati plus ayam kate, dalam peluncuran sayembara cipta rupa patung, lukisan dan fotografi Bunda Maria bertema "Maria Bunda Segala Suku' di Gereja Hati Kudus Yesus, Ganjuran, Bantul, Jogyakarta, Sabtu (30/5/2015) lalu.
Inilah uskup yang suka kerja tapi tetap bersahaja dengan semboyan, "Duc In Altum" (Lukas 5:4) dan yang indahnya ternyata "dilindungi" oleh dua pribadi yang sangat disayang Yesus, yakni Yohanes dan Bunda Maria. Nama lengkapnya: Johannes Maria Trilaksyanta Pujasumarta. Ia lahir di Kalitan - Solo, "Spirit Of Loving Others" pada 27 Desember 1949 sebagai anak ke-3 dari pasangan lulusan "Mendut - Muntilan" yakni: Hubertus 'Soekarto' Pudjasumarto dan Agnes 'Soekarti' Pudjasumarto.
Mgr Pujo yang meninggal di Semarang, Jawa Tengah, persis di "Hari Pahlawan", 10 November 2015 pada umur 65 tahun ini sendiri ditahbiskan menjadi Imam pada tanggal 25 Juni 1977 dan terpilih menjadi Uskup Agung di Keuskupan Agung Semarang pada tanggal 12 November 2010.
Kembali ke soal sayembara yang diselenggarakan oleh "Paguyuban Maria Indonesia" dan ditutup di Katedral Jakarta beberapa waktu lalu itu, terkenanglah pesan lugas Mgr Pujo: "Saya mengatakan bahwa keindahan itu mempersatukan dan kita akan mencoba mengungkapkan keindahan seorang Bunda Maria yang memancarkan kasih Allah. Semoga misi ini yakni "Maria-Bunda segala Suku", mampu menghadirkan Bunda Maria versi Indonesia, yang melukiskan sesuai dengan budaya masing-masing agar ada perasaan hangat dan dekat."
Di lain matra, terinspirasi dari komunitas Taize di Prancis, Mgr Pujo juga pernah mengatakan:
"Saya senang nanti kalau ada teman-teman yang terlibat untuk secara kreatif mengungkapkan pengalaman batin dicintai Tuhan. Dan itu, kita ungkapkan cinta itu di dalam berbagai macam bentuk di antara lagu-lagu meditatif,” katanya di GMKA (Goa Maria Kerep Ambarawa). “Kalau di Taize itu mungkin, saya harap juga dari Ambarawa mungkin, lagu-lagu yang bisa mengantar umat supaya bisa mengalami Allah sendiri di dalam Yesus Kristus,” pungkasnya.
Tercandra dari 2 kisah kecil di atas nyatalah bahwa lewat figur dan tutur
seorang gembala/romo kanjeng yang adalah lulusan teologi spiritual dari Santo Thomas Aquinas, Roma, Italia (Licentiate, 1983–1985 & Doctorate,1985–1987) ini, sebuah keindahan itu bisa menjadi ruang dialog, mengatasi segala perbedaan yang substantif, karena sejatinya kehancuran dunia dalam segala bentuk itu dimungkinkan terjadi karena manusia tidak dapat lagi berdialog dan menghargai keindahan serta keberagaman.
Bisa jadi, itulah juga sebabnya Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo mengatakan bahwa Mgr Puja dikenal tak hanya sebagai Eyang dan Bapak, tetapi juga rekan seperjuangan dalam membangun kerjasama dan saling keterbukaan menuju suatu persaudaraan sejati: "Hatinya sangat terbuka. Banyak pintu bisa dimasuki dan semua diterima dengan hati yang penuh cinta."
Tentu saja kita merasa kehilangan. Mgr Pujo itu sejuk. Kalau ketemu bikin adem."
Menurut Ganjar, Mgr Pujo merupakan tokoh yang memiliki rasa toleransi yang sangat besar. Jika diundang untuk acara keagamaan lain, Mgr Pujo datang dan ikut berdoa bersama.
"Kalau bicara antara golongan antar agama, Mgr Pujo ini yang berkontribusi. Setiap diundang event, meskipun event umat muslim, seperti doa bersama, beliau hadir," tambahnya.
Gubernur yang adalah Politisi PDIP itu juga menceritakan ketika dirinya menjenguk Mgr Pujo di Anna 402 RS Elisabeth Semarang. Saat itu tidak ada yang menjaga Mgr Pujo. Tapi ketika Ganjar tiba, Mgr Pujo bangkit dari tidurnya dan menyapa Ganjar: "Waktu beliau sakit di Elisabeth saya datang. Waktu itu tidak ada yang menunggu, tiba-tiba beliau bangun dan bilang, 'saya tidak apa-apa'. Terus beliau mengajak selfie, itu tumben-tumbenan sekali," ujarnya he5x...
Karakter yang hangat dan terbuka untuk terus berdialog ini juga tampak lewat "warisan" Mgr. Puja dalam bentuk "RIKAS", yakni Rencana Induk Keuskupan Agung Semarang 20 tahun ke depan, (terhitung tahun 2016 hingga 2035 dalam rangka menyambut Yubelium Agung Kelahiran Yesus Kristus pada tahun 2033), dimana Mgr Pujo bercita-cita melalui RIKAS untuk mengajak umat menjadi umat beriman yang "BBS": Bermartabat, Bersaudara dan Sejahtera melalui peradaban kasih yang inklusif, dimana ada keseimbangan iman antara yang diungkapkan dengan yang diwujudkan seperti kepak dua sayap kupu-kupu, kiri dan kanan.
Jelasnya, Mgr Pujo sangat concern pada pembangunan budaya dan dialog kehidupan yang bermuara pada peradaban kasih sebagai "komunitas kontras" yang hadir di tengah maraknya budaya kematian yang mewujud pada teror, perang, pembunuhan, kekerasan, perdagangan senjata, human trafficking, bahaya narkotika atau obat bius, bahkan kerusakan lingkungan hidup.
Terkait dengan persaudaraan dan dialog yang disampaikannya dalam beberapa kesempatan, Mgr Pujo kerap mengajak umat supaya menjadi orang yang bukan saja penuh HARAPAN dan IMAN, tapi juga penuh KASIH, karena dengan demikian, “mereka menjadi anak-anak Bapa yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar” (Mat. 5:44-45).
Hal ini sangat mewarnai cara Mgr Puja dalam membangun dialog lintas iman. Terinspirasi dengan narasi Kain dan Habel, Mgr Puja juga mengajak umat supaya bersama-sama menjadi penjaga satu dengan yang lainnya. Dengan saling menjaga relasi maka persaudaraan akan makin erat terjalin, termasuk dalam menjaga alam ciptaan. Disinilah, Mgr Puja yang kerap "mempromosikan" pohon kelor ini melihat celah bahwa persoalan lingkungan hidup juga bisa menjadi pintu masuk dialog antar iman.
De facto, banyak tokoh lintas iman mengakui keterbukaan dan ketulusan Mgr Puja terhadap siapapun dari berbagai latar belakang. Bahkan dalam hal kerjasama, secara tegas dan eksplisit, Mgr Puja yang juga cukup pernah aktif dalam dunia medsos dengan blog dan facebooknya menandaskan pentingnya menjalin relasi dan jaringan tidak hanya dengan orang yang berkehendak baik, namun juga dengan mereka yang tidak berkehendak baik. Harapannya agar mereka yang tak berkehendak baik, pada akhirnya pun akan berubah menjadi baik.
Bagi banyak netizen, Mgr Pujo memang adalah Uskup Indonesia yang mengawali langkah baru yang belum lazim. Ia berdialog dan mengakrabi gadget / internet sebagai media pewartaan. Ini terbukti bahwa gadget dan internet di tangan Mgr. Pujo menjadi media pewartaan efektif dan afektif.
Sebuah cerita lain, pada masa masa akhir hidupnya di dunia, Mgr. Puja yang menderita sakit kanker paru-paru stadium empat—dan diketahui telah menjalar ke ginjalnya—sehingga harus keluar-masuk rumah sakit ini tetap melayani umatnya di Keuskupan Agung Semarang dengan gembira. Pencetus komunitas "GARAM" dan JARINGAN KODOK" ini juga gandrung menghadiri berbagai acara silaturahmi ke Pondok Pesantren Al Islah dan aula Masjid Agung Jawa Tengah saat Hari Raya Idul Fitri dan tempat tempat agama lainnya: "exist is co-exist", ada adalah ada bersama dengan yang lainnya.
Bahkan, sambil tetap berjuang menghadapi penyakitnya, pada medio September 2015, ia ikut menyanyikan lagu Indonesia Pusaka dengan saksofon di Auditorium RRI Semarang saat peringatan hari jadi Lindu Aji, suatu acara yang juga dihadiri tokoh Muslim KH Mustofa Bisri (Gus Mus), pengusaha Irwan Hidayat, dan dipandu oleh budayawan Prie GS.
Indahnya, ketika meninggal, pemberangkatan jenazah Mgr Pujo dari Gereja Katedral Semarang menuju Seminari Tinggi Santo Paulus Yogyakarta pun diiringi dengan lagu “Ndherek Dewi Maria” dan tarian sufi dari Kiai Budi Hardjana, pengasuh Pondok Pesantren Al Islah Meteseh, Tembalang.
Sesudah lagu “Ndherek Dewi Maria” dan tarian sufi dari Kiai Budi Hardjana, jenazah langsung diberangkatkan menuju Yogyakarta diiringi dentang lonceng Katedral dan isak tangis umat serta imam yang masih dirundung duka.
Adapun, perjalanan menuju Yogya ditempuh melalui jalan biasa, tidak melalui jalan tol atau pun jalan lingkar. Mgr Pujo seakan terus hadir sebagai Uskup, Gembala dan Pemimpin yang mengumat dan merakyat. Hal ini tampak dari sikap kebapakan dan kebaikan hati dalam kesederhanaan dan rasa cinta kepada umatnya. Bahkan beliau menghayati sakitnya sebagai bagian dari kecintaan kepada umat dan masyarakat. Mungkin itu juga sebabnya, beliau memilih dirawat dengan cara seperti umat dan meninggal juga seperti umat, dengan tidak mau dirawat di ICU apalagi berobat ke luar negeri.”
Pastinya......bersama dengan kenangan dua tahun Mgr Pujo "sowan Gusti", ruang dialog lewat perjumpaan harian atau cipta rupa lintas agama & budaya lewat pelbagai orang yang kadang berbeda "radar" dan "kadar", dalam bentuk sharing, seni patung ataupun lukisan maupun juga beberapa lagu yang diciptakan Mgr Pujo sendiri sama saja dengan menghadirkan Tuhan dalam keindahan atau menghadirkan yang tiada menjadi ada dalam dialog dengan yang lainnnya.
Ya, perdamaian ataupun kedamaian hanya bisa terwujud jika keindahan itu bisa hadir dalam kehidupan sehari-hari dan Mgr Pujo telah menunjukkan jalannya, sesuai dengan pesan "MAN OF DIA.LO.GUE yang meninggalkan kita persis dua tahunnya hari ini: "Jadilah berkat, bagi siapapun dan apapun."
Berkah Dalem.
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
NB:
Pie Pellicane, Iesu Domine, Meimmundum munda tuo sanguine. Cuius una stilla salvum facere, totum mundum quit ab omni scelere.
O Pelikan, Yesus Kristus Tuhan dengan DarahMu bersihkanlah aku. Setetes DarahMu selamatkanlah sluruh muka bumi dari dosa”.
=====
Mgr Pujo suka membuat nyanyian, renungan. Ada satu lagu dan renungan berjudul Pie Pellicane. Dalam perenungan itu, Mgr Pujo mengibaratkan umat Katolik haruslah dapat menjadi seperti induk pelikan.
Induk pelikan rela mencucuk badannya sendiri hingga mengeluarkan darah demi hidup anak-anaknya. Karena pujian dan renungan itupula, ia dijuluki umat Katolik sebagai "Si Burung Pelikan".
"Itulah juga merupakan gambaran Yesus sendiri yang berkorban demi umat manusia. Dan simbol pelikan itu dipakai keuskupan Agung Semarang," tuturnya.
Sebelum meninggal, Mgr Pujo terlihat masih sangat bersemangat dalam melayani. Bahkan pada 12 Oktober 2015, ia bersekiras mentasbihkan imam di Kentungan. Didera rasa sakit, ia datang dengan dihantar ambulance, dan memimpin pentasbihan itu sendiri di depan banyak umat. Saat itu kondisinya sudah lemah, tetapi beliau masih mampu mengucapkan doa yang panjang dengan jelas walaupun sesekali terbatuk. Selama prosesi ia masih bisa berjalan, dan tidak mau duduk di kursi roda. Baru setelah selesai dan menuju ke kamar ia mau dihantarkan dengan kursi roda
Kembalu ke soal Burung Pelikan, dalam tradisi Gereja Katolik, Burung Pelikan bukan barang yang asing. Thomas Aquinas, dalam "Adoro Te Devote", mengisahkan Yesus, Sang Pelikan yang baik. Ada sekian banyak lukisan atau ornamen burung ini. Pelikan dihubungkan dengan Ekaristi.
Kisah Pelikan dalam tradisi Katolik dikaitkan dengan cerita kuno mengenai burung ini. Kisah itu diceritakan secara singkat dalam Surat Gembala HPS tahun 2011 oleh Mgr Puja:
“Di kalangan bangsa burung ada kisah tentang keluarga burung Pelikan di hutan yang subur. Konon, ketika musim kemarau tiba, kekeringanlah terjadi. Makhluk-makhluk hutan menderita, tidak terkecuali keluarga burung Pelikan.
Bencana kelaparan melanda hutan tersebut. Induk Pelikan tidak diam saja menyaksikan anak-anaknya hampir mati kelaparan dan kehausan.
Ada suara lirih namun jelas terdengar oleh Induk Pelikan, “Kamu harus memberi mereka makan!” Namun, tidak tersedia makan dan minum lagi untuk mereka. Induk Pelikan tidak kehilangan akal. Ia sorongkan temboloknya, seakan berkata kepada anak-anaknya, “Makanlah tubuhku, minumlah darahku!”
Gambaran Burung Pelikan ini juga dapat dilihat dalam tongkat uskup Keuskupan Agung Semarang. Indahnya, Mgr Puja juga membuat sebuah lagu berjudul Pie Pellicane. Lagu ini merupakan pengembangan dari bait keenam lagu “Adoro te devote” ciptaan Santo Thomas Aquinas: “Pie pellicane, Iesu Domine, me immundum munda tuo sanguine; cuius una stilla salvum facere totum mundum quit ab omni scelere.”
Ketertarikan Mgr Puja pada burung ini, menginspirasi beliau untuk membuat kolam bagi spesies burung ini:
“Saya mendengar ada rencana untuk membuat kolam air di kawasan Pusat Pastoral Sanjaya Muntilan (PPSM). Sebagai sarana animasi yang hidup saya berpikir, sangatlah baik bila kolam tersebut dirancang untuk menjadi habitat yang nyaman bagi burung pelikan. Pemeliharaan dan pengamatan langsung mengenai kehidupan pelikan dapat menjadi bahan pembelajaran bagi hidup beriman kita. Ayo kita bermimpi dapat berternak burung pelikan di PPSM. Siapa mau membantu untuk mewujudkan mimpi itu? May the dreams come true.”
Mimpi beliau disampaikan pada 20 September 2014 dan kini mimpi itu telah terwujud. Sebuah warisan, bukan hanya kolam dan burung Pelikannya, renungan yang dalam mengenai burung ini telah diberikan kepada umat Keuskupan Agung Semarang.
Kisah burung Pelikan yang adalah gambaran Kristus sendiri. Memberi diri, bahkan ketika harus mengurbankan diri sendiri, demi nilai yang lebih tinggi, menjadi sebuah ajakan yang harus dihidupi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, cita-cita Keuskupan Agung Semarang akan pribadi yang beriman, bermartabat, dan sejatera akan menjadi semakin nyata dalam hidup umat.
Selamat Jalan Gembala Kami
(11 November 2015)
Slamat jalan gembala kami. Slamat jalan gembala kami.
Slamat jalan slamat berpulang dalam hidup damai abadi.
Trima kasih gembala kami. Trima kasih gembala kami.
Trima kasih atas cintamu melayani kami dombamu.
Bahagialah, berbahagialah dalam kasih kerahimanNya.
Semoga cinta yang tlah kami trima, teguhkan iman kami.
Doakanlah kami dombamu, makin setia dalam ziarah agar saat Tuhan memanggil, jiwa kami dislamatkan.
====
Utinam artifices fidei pulchritudinem lustrent et creationis Dei magnitudinem proclament eiusque infinitum amorem erga omnes.
May artists spread the beauty of the faith and proclaim the grandeur of God’s creation and His boundless love for all.
Semoga para seniman menyebarkan keindahan iman dan mewartakan keagungan ciptaan Allah dan kasih-Nya yang tak terbatas untuk semua orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar