Pages

In Memoriam Romo FX. Satiman & Romo JB. Prennthaler.



HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
In Memoriam
Romo FX. Satiman & Romo JB. Prennthaler.
Cinta Bersemi di "Bukit Menoreh".
PROLOG.
Romo FX. Satiman SJ bersama dengan Romo JB. Prennthaler SJ adalah dua sosok imam perintis yang mulai mewartakan bahwa pada dasarnya keberadaan paroki merupakan kumpulan pribadi-pribadi dalam keluarga yang berada dalam teritorial lingkungan.
Istilah "lingkungan" inilah yang pertama kali dipakai pada tahun 1931, saat Romo JB. Prennthaler SJ dan Romo FX. Satiman SJ (yang konon juga kerabat dekat pendiri Partai Katolik, IJ. Kasimo, dimana adiknya Romo FX.Satiman yakni Moedjirah menjadi istri IJ.Kasimo), mulai berkarya di Boro, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tepat 24 April 1930, Romo JB. Prennthaler mulai tinggal menetap di Pastoran Boro bersama dengan Romo F.X. Satiman, imam Jesuit pertama dari orang asli Indonesia.
Beberapa bulan setelahnya yakni pada November 1930 mulai dibangun Gereja Boro yang bangunannya tetap menjulang hingga kini dengan nama Pelindung "Santa Theresia Lisieux". Tak lama berselang, gereja dan pastoran Boro diberkati oleh Superior Misi, Jos van Baal SJ pada 31 Agustus 1931.
Ya, bermula dari pembaptisan yang dilakukan Romo van Lith SJ terhadap 4 orang dari wilayah Kalibawang yakni Yokanan Soerawidjaja (Promasan), Loekas Soeratirto (Kajoran), Markoes Soekadrana (Boro) dan Barnabas Sarikrama (Jomblangan-Samigaluh), iman Katolik diwartakan hingga ke Perbukitan Menoreh di wilayah Kalibawang ini di bawah komando Romo Prennthaler dan Romo Satiman.
Seperti halnya Romo van Lith, mereka berdua melakukan stategi misi dengan membangun sekolah sebagai media pewartaan iman. Mereka juga melibatkan para suster Fransiskanes (OSF) supaya berkarya dalam bidang pendidikan (sekolah), kesehatan (rumah sakit), maupun sosial karitatif (panti asuhan). Para bruder FIC-pun dalam perkembangannya turut dalam penyelenggaraan pendidikan, karya sosial dan pabrik tenun.
Wilayah pelayanan Gereja Boro sendiri saat itu sangat luas, mencakup Kalibawang, Samigaluh, Plasa dan Nanggulan. Konon Romo Prennthaler dan Romo Satiman 'blusukan', menjelajah desa demi desa serta bercengkerama dengan penduduk setempat untuk mengetahui keluh kesah setiap warga yang mayoritas berasal dari kalangan petani.
Membayangkan beratnya medan dan tebalnya vegetasi di sekitar Boro, Kalibawang, Kulon Progo, tahun 1920 an, bisa jadi menjadi salah satu pancingan munculnya kesadaran akan pentingnya pemberdayaan umat berbasis lingkungan yang tidak lepas dari kehidupan sosial budaya masyarakat aktual pada waktu itu.
Kedua romo Jesuit ini-pun mulai membentuk “Pamomong Umat”, untuk membantu tugas para romo dalam reksa penggembalaan umat yang tersebar pencar, menginformasikan baptisan bayi dan pengurapan orang sakit, melayani penguburan secara Katolik, mengajar agama bagi calon baptis dan baptisan baru, serta memimpin ibadat harian atau mingguan di desanya.
Selanjutnya, istilah khas Romo Prennthaler dan Romo Satiman di Boro ini secara eksplisit digunakan oleh Romo Albertus Soegijapranata SJ saat berkarya di Bintaran Yogyakarta, tahun 1934 dan menjadi Uskup Agung Semarang sekaligus Uskup Agung Pribumi pertama di Indonesia.
Indahnya, kedua romo Jesuit ini juga dekat dengan kehidupan di Rawaseneng. Kalau Romo Satiman akhirnya malah meninggal di tengah para rahib Rawaseneng dan disemayamkan di Pertapaan St Maria Rawaseneng, maka Romo Prennthaler dulunya juga sempat berpindah tugas ke Rawaseneng (cikal bakal Pertapaan Trappist - St Maria Rawaseneng), sejak 1 Agustus 1936 dan menjadi pembimbing rohani di Rawaseneng sampai 1942, ketika Perang Dunia II meletus dimana Jepang kemudian berkuasa atas Indonesia.
Kembali ke profil Gereja Boro yang berlindung pada nama Santa Theresia Lisieux dimana terdapat juga susteran OSF Boro yang berjarak sekitar 200 meter dari gereja, disanalah rutin terdengar lonceng angelus yang disebut juga "Lonceng Prennthaler", yang mengingatkan kita pada sosok Romo JB Prennthaler SJ dan FX Satiman SJ yang berkarya di Gereja Boro.
Hal ini dikarenakan bahwasannya salah satu karya pastoral yang terkenang ialah ketika kedua pastor ini terlebih Romo Prennthaler mendatangkan lonceng-lonceng dari Eropa ke Paroki Boro. Lonceng gereja itu sengaja didatangkan untuk mengingatkan umat berdoa ‘Malaikat Tuhan’, tiga kali sehari pada pukul 06.00, 12.00, dan 18.00.
Konon, pada awal Juli 1930, Romo Prennthaler dan Romo Satiman memasang 8 lonceng angelus yang digantungkan di bambu betung dimana lonceng-lonceng itu untuk menandai waktu berdoa. Ketika lonceng berbunyi pukul 6 pagi, 12 siang, dan 6 sore, saat itulah orang-orang Katolik di tempat itu diajak berada dalam kekudusan, "odor sanctitas".
Disinilah, para romo itu berhasil membangun keluarga-keluarga di lingkungan menjadi sungguh Katolik, melalui "sensus catholicus", kebiasaan-kebiasan khas Katolik, seperti doa angelus dan rosario bersama; ziarah dan prosesi Maria sehingga benih panggilan itu tumbuh mekar dalam hati anak-anak keluarga di banyak lingkungan di Boro.
Sampai saat ini, Gereja Boro masih berdiri dengan josss dan kokoh meski sudah mengalami berbagai perbaikan dan menginjak usia 90 tahun, dimana di sekeliling gereja terdapat rumah sakit, sekolah, panti asuhan maupun pabrik tenun. Nuansa kekudusan yang diwariskan sampai sekarang juga masih terasa dimana Paroki Boro terkenal dengan jumlah umatnya yang terpanggil menjadi imam, suster ataupun bruder. Di tiap lingkungan ada umat yang menjadi imam, suster atau bruder.
A.
Romo FX. Satiman.
Tahun 2017 ini adalah "Golden Jubilee",
50 tahun meninggalnya Romo FX. Satiman SJ / Rm Antonius Satiman, yang adalah imam pribumi pertama di Indonesia. Tepatnya tanggal meninggalnya adalah 11 Juli, yang merupakan Pesta Nama St Benediktus Abas, yang "PSB" (Peraturan St Benediktus)-nya selalu dibacakan oleh para rahib trappist setiap makan siang dan malam di refter/ruang makan pertapaan.
Romo Satiman sendiri ditahbiskan sebagai Jesuit tapi dimakamkan sebagai "Trappist". Ia ditahbiskan dengan nama baptis "FX", Fransiskus Xaverius, seorang kudus, misionaris aktif tapi disemayamkan dengan nama baptis Antonius, seorang kudus, mistik kontemplatif.
Romo Satiman, "SAtu haTI dalam iMAN" sendiri yang adalah asli Pakualaman Jogja dan kakak kelas dari Mgr Soegijapranata SJ adalah lulusan Kweekschool di Muntilan, yakni Sekolah Pendidikan Guru yang didirikan oleh Rm van Lith SJ pada tahun 1904 (sedangkan Normaalschool didirikan pada tahun 1900). Beberapa alumni yang lain al: Soegijapranata, Djajaseputra, IJ Kasimo, Frans Seda, Cornel Simanjuntak, dan beberapa tokoh Katolik lainnya, termasuk Yos Sudarso walaupun tidak sampai selesai).
Pada tahun 1911, FX.Satiman bersama dengan Petrus Darmaseputro menyatakan niatnya menjadi imam kepada Pastor van Lith SJ dan mereka pun diutus belajar di Belanda. Ya, indahnya bahwa para imam dan uskup pertama di Indonesia adalah bekas siswa Muntilan rintisan Romo van Lith dan tiga dari enam calon generasi pertama dari tahun 1911-1914 ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1926 dan 1928, yaitu Romo F.X.Satiman, SJ, Romo A. Djajasepoetra, SJ (Uskup KAJ), dan Romo Alb. Soegijapranata, SJ (Uskup KAS).
B.
Romo JB. Prennthaler.
Suatu hari seorang romo bule menapaki jalanan terjal menuju Sendangsono, Kalibawang, Kulonprogo, Yogyakarta sembari mendaraskan brevir/doa offisi. Tiba-tiba terdengar teriakan dari salah satu rumah yang ia lalui. Ia bergegas ke rumah itu dan mendapati seorang perempuan sedang mengusir orang gila yang menyelonong ke rumahnya. Lalu sang romo bule membantu si perempuan mengusir orang gila itu. Ia pun menenangkan si perempuan sebelum melanjutkan perjalanan.
Romo ini ialah Johannes Baptist Prennthaler SJ; dan perempuan itu ialah Soekarti, ibu dari Uskup Agung Semarang, Mgr JM. Trilaksyanta Pujasumarta dan Romo Ismartono SJ. Menurut kesaksian Mgr Pujasumarta, Romo Prennthaler juga kerap menghadiahkan patung Tyas Dalem dan patung Bunda Maria kepada pasangan yang hendak menikah.
Misionaris kelahiran Tirol, Austria, 18 April 1885 ini sendiri bergabung dengan Ordo Serikat Yesus Provinsi Perancis di Lyon pada 20 September 1904. Awalnya, Prennthaler direncanakan untuk bermisi ke Siria tapi suatu hari ia membaca artikel tentang misi di Jawa.
Sejak itu, panggilan menjadi misionaris di Jawa memikat di hati Jesuit muda yang menjalani Tahun Orientasi Kerasulannya di Beirut, Lebanon (1914) dan ditahbiskan pada 27 Juni 1917. Tekadnya bermisi di Jawa mendorongnya untuk meminta izin Jenderal Jesuit kala itu, Wlodomir Ledochowsky SJ. Gayung bersambut. Prennthaler diizinkan bergabung dengan Provinsi Belanda yang menangani misi Jawa.
Pada 25 September 1920, ia berangkat ke Jawa usai singgah sebentar di Novisiat SJ Mariendaal, Belanda. Prennthaler memulai karyanya di Mendut, daerah sekitar Kalibawang, dan Samigaluh. Awalnya, ia merasa asing dengan budaya, orang-orang, makanan, serta alam di ladang misi baru.
Dalam proses adaptasi, ia mulai memetakan medan karyanya. Jelajah kerasulannya sekitar 11,5 kilometer dari Timur ke Barat, dan 10 kilometer dari Utara ke Selatan. Rute jalan sekitar 22,5 kilometer dari Mendut, hingga 32 kilometer hingga Kalibawang. Ia butuh 4,5 jam berjalan kaki melewati pasar-pasar besar di Muntilan dan Tempel.
Perbukitan Menoreh segera akrab baginya, karena medan seperti itu mirip dengan daerah jelajah asalnya di pegunungan Alpen. Mimpinya hanya satu, merasul demi kemuliaan Tuhan yang makin besar ("Ad Maiorem Dei Gloriam").
Selama dua tahunan pertama, ia menyambangi desa di seputar Mendut, Kalibawang dan Samigaluh, dan perjuangan Prennthaler mulai membuahkan hasil. Tahun 1923, kurang lebih 5 kali dalam satu bulan, Prennthaler mulai menyampaikan kotbah, (4 khotbah dalam Bahasa Jawa dan 1 khotbah dalam Bahasa Belanda).
Selama seminggu, ia juga menyediakan waktu 16 jam untuk mengajar katekismus dan melayani sekitar 170 orang yang berniat melayangkan pengakuan dosa per-minggu. Selain itu, ia masih juga menyempatkan diri menjadi perawat mengingat saat itu sarana kesehatan sangat tidak memadai.
Kemudian pada tahun 1927 dalam pelayanannya di Kalibawang, ia berhasil mengadakan perayaan Ekaristi di Desa Jurang, Banjarasri, meskipun hanya diikuti 5 orang. Diantaranya Sokrama, Ronontani, Wongsoredjo, Jojoduryo dan Cokroredjo. Lima orang ini menjadi pioner misionaris awam di Boro.
Di lain segi, sekian lama bergaul dengan masyarakat Kalibawang, Prennthaler merasakan sesungguhnya warga begitu jujur dan baik. Kemiskinanlah yang menjadi penghalang kesejahteraan mereka. Sarana pendidikan dan kesehatan sangat minim. Ditambah kondisi lahan pertanian gersang sehingga tidak memungkinkan bagi mereka untuk bertani atau berladang dengan maksimal.
Awal Februari 1927, terjadi kejadian luar biasa. Di kelurahan Tanjung, 30 orang meninggal akibat disentri yang mewabah. Prennthaler dengan pengalamannya menjadi perawat di Libanon membagikan obat disentri. Obat kimia masih menjadi benda asing bagi warga Kalibawang saat itu. Pelan namun pasti, beliau berkeliling membagikan obat-obatan.
Suatu ketika muncul gagasan membangun Goa Maria yang berlokasi di Semagung, mengingat di daerah ini 25 tahun sebelumnya menjadi titik dimana Romo van Lith SJ (Franciscus Georgius Josephus van Lith) melakukan baptisan Katolik pertama di Kalibawang.
Lama dibangun, akhirnya 8 Desember 1929, Goa Maria Lourdes Sendangsono diresmikan dengan pemberkatan oleh Vikaris Apostolik Batavia, Mgr Anton Pieter Franz van Velsen SJ (1924-1933) dan dinyatakan resmi menjadi tempat peziarahan oleh Romo JB.Prennthaler SJ.
Patung Bunda Maria di Sendangsono sendiri dipersembahkan oleh Ratu Spanyol yang begitu susahnya diangkat beramai-ramai naik dari bawah Desa Sentolo oleh umat Kalibawang. Cerita yang begitu fenomenal adalah ketika patung Bunda Perawan Maria yang baru sampai di Sentolo 16 September 1929, diangkat menuju Semagung. Prennthaler bersama rombongan pergi ke Sentolo untuk menjemputnya. Menggunakan gerobak peti berisi patung dibawa dari Sentolo menuju Slanden. Sesampainya di Slanden, peti berisi patung Maria dipikul 8 orang dewasa menuju Semagung selama 5,5 jam.
Pada 1945, Pemuda Katolik Indonesia berkesempatan berziarah ke Lourdes, darisana mereka membawa batu tempat penampakan Bunda Maria untuk ditanamkan di bawah kaki Bunda Maria Sendangsono sebagai reliqui sehingga Sendangsono disebut "Gua Maria Lourdes Sendangsono".
Goa Maria Sendangsono sendiri dibangun secara bertahap sejak tahun 1974 hanya dengan mengandalkan sumbangan umat. Budayawan dan rohaniwan, Romo YB. Mangunwijaya memberikan sentuhan arsitektur, dimana konsep pembangunan kompleks Sendangsono ini bernuansa Jawa yang ramah lingkungan dan banyak bahan bangunannya yang memanfaatkan hasil alam.
Tentunya, untuk memberikan yang terbaik bagi masyarakat, ide-ide cemerlang terus digulirkan oleh Romo Preenthaler kala itu seperti membangun biara dan rumah sakit.
Sebenarnya, sejak September 1929 ide ini mulai diajukan ke Gubernur di Yogyakarta, apalagi rakyat sekitar tidak keberatan terhadap inisiasi untuk membangun biara dan rumah sakit sehingga proses pembangunannya berjalan lancar. Peletakan batu pertama pembangunan tertanggal 14 Mei 1930 dan pada 3 Januari 1931 Rumah Sakit Santo Yusup Boro diberkati Romo A. Van Kalken.
Ada cerita unik setelah pembangunan Rumah Sakit Santo Yusup. Satu minggu setelah dibuka, rumah sakit langsung penuh pasien. Dari 30 tempat tidur yang disediakan, 25 diantaranya sudah menampung pasien rawat inap. Pasien hilir mudik setiap hari. Untuk itu seminggu sekali seorang dokter datang dari pusat kota Yogyakarta. Dua kali seminggu mobil berangkat ke Yogyakarta untuk mengambil perlengkapan mulai dari pakaian, makanan, obat dan alat rumah sakit.
Selain rumah sakit dan biara, diwacanakan pula oleh Romo Prennthaler membangun sekolah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat Boro dan sekitarnya, seperti yang dilakukan Romo van Lith di Muntilan. Akhirnya beberapa sekolah berhasil didirikan, antara lain di Suwelo, Kerug, Hargogondo, Promasan, Sumoroto, Klangon dan Balong. Tidak berhenti disitu, para suster terlibat dalam pembangunan panti asuhan.
Di balik itu, RomobPrennthaler juga pernah diserang seseorang dengan menggunakan kapak. Kejadian ini terekam pada surat kabar berjudul "Het Nieuws Van Den Dag Vor Nederlandsch-Indie" terbitan 27 September 1934. Pada salah satu lembar koran diberitakan bahwa terjadi upaya pembunuhan menggunakan kapak kecil. Bagian hidung, bawah telinga, bagian bawah hidung dan bagian klavikula terluka. Darah mengucur dari tubuh Prennthaller namun segera dibawa ke rumah sakit Santo Yusup dengan mendatangkan dokter dari Wates.
Masih dari koran yang sama, pelaku penyerangan diidentifikasi bernama Djodirio, yang kemudian ditahan lalu dipindahkan ke barak polisi di Wates.
Setelah lama tinggal dan berkarya di Rawaseneng (1936-1942), Romo Prennthaler kembali menggeliatkan pelayanan di Kalibawang. Tapi pada 13 Oktober 1945, tiba-tiba muncul pengumuman bahwa setiap orang Eropa harus ditahan atas perintah Pemerintah Republik Indonesia. Orang-orang Eropa akan ditahan di kamp interniran tapi beruntung bagi Prennthaler, ia luput dari penangkapan.
Di akhir masa tuanya ia masih menyempatkan diri untuk memimpin ekaristi. Seminggu sebelum meninggal, konon aktifitasnya masih begitu padat. Sempat terjatuh dalam perjalanan menuju gereja tapi semangatnya tak luluh. Pada akhir pekan, dirinya dirawat di Rumah Sakit Santo Yusup.
Keesokan harinya, hari Minggu ia tetap bersikeras untuk memimpin ekaristi. Ia rindu untuk selalu tampil di depan ratusan umat yang telah berjalan begitu jauh untuk sampai di Gereja Boro. Saat itu malam menginjak 28 April 1946. Tubuhnya melemah dan Prennthaler dinyatakan meninggal. Ia dimakamkan lima hari setelahnya yakni pada 2 Mei 1946, di samping gereja yang begitu ia cintai.
Selain tradisi lonceng angelus dan pelbagai karya nyata lainnya, tercandra salah satu warisan karya pastoral sosial aktual-nya adalah Panti Asuhan St Maria Boro, yang kini dikelola oleh para bruder FIC dimana pada awalnya, dikelola oleh seorang rasul awam bernama Martodiharjo. Identik dengan Sendangsono, dimana Barnabas Sarikrama menjadi rasul awam yang merintis katekisasi iman untuk masyarakat sekitar.
Adapun pada Medio 1936, Pastor J.B. Prenthaler SJ mengajukan permohonan kepada Pemimpin Umum Kongregasi Santa Perawan Maria yang Terkandung Tak Bernoda (FIC) di Belanda. Permohonan itu diterima para pembesar FIC. Tak berselang lama, beberapa bruder FIC datang di Boro, Kalibawang, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, untuk mengelola panti asuhan putra tersebut sampai sekarang.
Karya:
* Belajar Bahasa Indonesia dan Jawa di Muntilan, Jawa Tengah (1921)
* Pastor di Gereja Bunda Maria Sapta Duka Mendut (kini termasuk salah satu Stasi dari Paroki St Yusuf Pekerja Mertoyudan), Magelang, Jawa Tengah, 1922-1930
* Pastor di Gereja St Theresia Lisieux Boro, Jawa Tengah, 1930-1936
* Berpastoral, mengajar, dan menjadi Pembimbing Rohani siswa Sekolah Pertanian/Perkebunan, tinggal di Bruderan Budi Mulia Rawaseneng (sekarang menjadi kompleks Pertapaan St. Maria Rawaseneng), 1936-1942
* Pastor di Gereja St Theresia Lisieux Boro, Jawa Tengah, 1943-1946.
EPILOG
Sejarah mencatat bahwa perjalanan paroki St. Theresia Lisieux di Boro memang tidak pernah lepas dari kehadiran seorang sosok asal Austria, Romo JB. Prennthaler SJ dan juga mitranya, Romo FX. Satiman SJ yang dianggap sebagai perintis yang menumbuh-kembangkan iman dan menyebarkan kabar gembira di wilayah pegunungan Menoreh dengan semangat "Mengasihi Allah - Melayani umatNya".
Selain dengan terus bertambahnya umat dengan pewartaan iman pada waktu itu, lewat karya misi khas pastoral kontekstual, Romo JB Prennthaler SJ yang dibantu Romo FX.Satiman SJ ini juga mendirikan sekolah-sekolah, biara dan rumah sakit yang masih dapat kita jumpai hingga kini.
Kini (tahun 2017) usia tak lagi muda, Paroki St. Theresia Lisieux Boro telah berumur 90 tahun.
Untuk menghidupi semangat "founding fathers", paroki Boro juga kerap menggelar novena Romo Prennthaler di makamnya Pangaritan, Boro Kulon setiap malam Jumat Kliwon. Bahkan Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Agung Semarang pun pernah memproduksi film yang berkisah mengenai Romo Prennthaler itu dengan judul "Pedibus Apostolorum" (Tapak Kerasulan).
Selain dengan mengadakan novena, sebagai petilasan sejarah, ada juga dibangun sebuah prasasti kecil, monumen tanda pengingat dimana Misa pertama kali dipersembahkan oleh Rm. Prennthaler di Jurang Depok. Prasasti ini diberkati dan diresmikan langsung oleh Mgr. Johannes Pujasumarta Pr pada rangkaian puncak acara HUT 85 tahun Paroki St. Theresia Boro pada hari Kamis, 25 Oktober 2012 yang lalu dan teryata disana sekarang juga ada Taman Doa "BUNDA MARIA PELINDUNG KELUARGA KRISTIANI", yang akan diberkati dan diresmikan dalam misa syukur bersama Uskup KAS, Mgr Rubyatmoko pada tanggal 7 Januari 2018, jam 14.00.
"Santa Theresia, ingkang kajumenengaken dados pangayomaning umat paroki Boro. Pengetan tanggap warsa punika dadosa kesempatan kangge umat mbangun niat “Manunggal Urip Sarukun, Andum Mring Pepadha”.
"Mugi sih Dalem Gusti dados kekiyatan kita amrih sangsaya kiyat iman kapitayan kita, lan kanthi mekaten kita saged dados berkah, amargi sampun kinembengan ing berkah Dalem Gusti."
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar