HIK – HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
FIDES ET RATIO: WHO WAS JESUS?
(Sebuah Pertautan Iman dan Akal Budi).
1. Prolog
Adalah merupakan sebuah keharusan di zaman modern ini, bahwa iman akan Yesus perlu mendapat ruang dialog dengan ilmu-ilmu positif. Sumbangan khas para ilmuwan berdasarkan obyektifitas dan pelbagai data ilmiah, kekokohan analisis, kompetensi terhadap fakta-fakta, kedalaman intuisi, semangat tanpa pamrih dalam mengabdi kebenaran menjadi faktor penting untuk memperkuat, memperkaya sekaligus mengkritisi iman kita. Atau bahasanya Paus (John Paul II on Science and Religion: Reflections on the New View from Rome). “….Ilmu dapat memurnikan agama dari kekeliruan dan takhayul, agama dapat memurnikan ilmu dari pemujaan dan kemutlakan yang palsu. Keduanya dapat saling menarik satu sama lain kepada suatu dunia yang lebih luas, suatu dunia dimana kedua-duanya dapat berkembang…”.
Dialog antara iman (kristologi) dan ilmu-ilmu sosial (secara khusus, bidang ilmu sejarah) terletak pada usaha untuk merumuskan hubungan antara Yesus yang dibaca secara historis dan Kristus yang dibaca secara teologis. Melalui bantuan ilmu, perangkat iman diharapkan tidak terasing dari pengalaman manusia modern. Iman, dalam hal ini kristologi, haruslah suatu komunikasi yang sedemikian rupa hingga ‘masuk akal’ bagi pendengarnya.
II. Rekonstruksi, sebuah proyek historis
Ilmu sejarah kerap mengklaim bahwa ia mampu menghadirkan kembali suatu peristiwa di masa lampau secara obyektif, persis dan tunggal. Tapi, sebetulnya, studi sejarah bukanlah tindakan mengamati dan menemukan fakta semata, tapi lebih pada tindakan merekonstruksi (Philip Abrahms, Historical Sociology). Proses rekonstruksi adalah sebuah proses ilmiah yang mengikuti pelbagai kaidah keilmuan yang obyektif dan terbuka pada suatu perkembangan. Jelasnya, suatu peristiwa di masa lampau menjadi sejarah ketika sejarawan mencari dan memperlihatkan hubungan
sebab akibat antara pelbagai aspeknya.
Wajar, jika kemudian banyak muncul rekonstruksi yang ber-aneka ragam tentang historisitas Yesus. Hal ini tidak berarti bahwa semua orang bisa seenaknya melakukan rekonstruksi. Proses rekonstruksi Yesus tetaplah sebuah proses yang rumit dengan mengikuti pelbagai kaidah keilmuan yang terbuka pada pelbagai informasi.
Di sinilah kita dapat menyitir Carlson dalam “Crossan’s Jesus and Christian Identity”, yang menyatakan bahwa ada banyak jenis rekonstruksi, banyak macam Yesus historis (Historical Jesues). Karena itu, seluruh proyek Yesus historis memang sebuah proyek teoretis, hipotesis dan mengandung banyak probabilitas. Tapi, bukankah probabilitas adalah persis penuntun kehidupan ini?
III. Yesus dalam Aneka Ria Gambaran
Merupakan kenyataan bahwa setiap dari kita mempunyai banyak gambaran terhadap Yesus (Anak Allah, Anak Manusia, Tuhan, Gembala, Rabi, Guru, Tabib, Nabi, Juruselamat, Mesias, Kristus, Raja Damai, Jalan Kebenaran dan Hidup). De facto, gambaran dan gelar itu kerap mengalami divinisasi berlebihan. Padahal Konsili Konstantinopel (381) mengutuk kecenderungan tersebut. Menurut Konsili, inkarnasi terjadi secara penuh dan Yesus adalah manusia sejati dan integral. Khalkedon (451) juga menjelaskan ini dengan sebuah sintesa bahwa Yesus bersatu ada dengan Bapa dan bersatu ada dengan kita (manusia).
Syukurlah, John McIntyre (“The Shape of Christology” 1996) menyatakan bahwa pelbagai penemuan arkeologi penting kini menyediakan banyak informasi baru yang berguna untuk mengetahui apa yang terjadi pada masa hidup Yesus. Inilah yang disebut dengan metode sosio geografis dalam kristologi. Sekalipun demikian, perlu ditegaskan sekali lagi bahwa hasil akhir dari pelbagai bukti historis tersebut pada akhirnya tidak lebih dari penggambaran yang bersifat kurang lebih dan tidak langsung (circumstantial).
Beberapa penggambaran dari perspektif lain tentang Yesus historis, misalnya: Wright dalam “Who Was Jesus?” memberi dua contoh:
Pertama, Yesus adalah manusia biasa yang menikah dengan Maria Magdalena, dan mempunyai dua anak laki-laki dan seorang anak perempuan (Bdk. Film The Last Temptation Of The Christ). Ia lalu bercerai dan kawin lagi. Yesuslah yang membentuk kaum Esseni. Hal ini mengacu pada pendapat Barbara Thiening dalam “Jesus the Man: A New Interpretation from the Dead Sea”
Kedua, Yesus sebagai orang suci dan pemerhati sosial, yang tidak pernah berpikir bahwa dirinya adalah seorang Mesias. Dalam tugasnya, Ia berusaha mengangkat derajat kaum wanita dan orang marginal. Ia memperingati para pemimpin agama akan tingkah laku mereka. Tindakan revolusioner Yesus ini gagal dan ia dihukum salib. Hal ini berdasarkan pendapat A.N. Wilson dalam bukunya, “A Moderately Pale Galilean”.
Sedangkan Prof. Geza Vermes (Direktur forum studi tentang penelitian Qumran di Oxford Centre for Hebrew and Jewish Studies) lewat pendekatan ganda ilmu eksegesis dan sejarah dalam “The Changing Faces of Jesus”, melukiskan Yesus sebagai sosok yang suci, menyerupai para nabi, berkuasa atas perkataan dan tindakan. Yesus mengikuti jejak yang ditinggalkan oleh tokoh-tokoh karismatis Yahudi. Ada beberapa hal yang menjadi ciri khas Yesus, yakni: hidup selibat, karakter yang keras, tidak kenal takut, tidak ekslusif Yahudi, dan mengajarkan Kerajaan Allah yang hadir secara aktual hic et nunc.
Masalah muncul ketika Vermez tidak menemukan afirmasi apapun terhadap keilahian Yesus. Memang Yesus adalah sosok yang luar biasa dan dalam banyak hal memang sangat mengagumkan. Namun Yesus tetaplah manusia Yahudi, yang paling-paling bisa dijadikan sebagai simbol kehadiran Allah di dunia (Bdk: Roger Haight, “Jesus: A Symbol of God”).
Yang mungkin lebih mengejutkan adalah temuan Prof. John Dominic Crossan dalam “A Revolutionary Biography” tentang peristiwa penyaliban. Berdasarkan kebiasaan penyaliban Romawi, Crossan kuat menduga bahwa mayat Yesus sebenarnya tidak dikubur tapi dibiarkan menjadi mangsa anjing liar dan burung pemakan bangkai. Bahkan dalam The Muslim Jesus, dikatakan bahwa Yesus bisa berbicara dengan sapi, babi dan juga bisa mengembalikan kehalusan wajah perempuan. Pelbagai temuan tersebut membuat banyak orang bertanya dan meragukan niat baik para ahli tersebut.
IV. Yesus Historis, Berkat atau Malapetaka?
Yesus historis, sendiri berarti Dia pernah ada sebagai pribadi yang sungguh terkena situasi manusiawi: lahir, tumbuh-berkembang, bergaul, bekerja-berdoa, sakit dan mati. Dia ada dalam ruang dan waktu tertentu dengan segala kemungkinan dalam konteks jaman dan budaya tertentu (Dunia Yunani-Romawi, Budaya Yahudi, Partai Yudaisme dan jemaat perdana). Selain dari Kitab Suci, kita juga dibantu oleh dogma-dogma, ajaran Gereja dan pelbagai penelitian historis untuk mendapatkan gambaran tentang Yesus. Bahwa Yesus sungguh hidup di tengah orang Israel pada jaman Romawi dan mewartakan Kerajaan Allah (Markus 1:14-15).
John Meier (A Marginal Jew: Rethinking of The Historical Jesus”), menyatakan bahwa pada masa kini, ada beberapa kelompok fundamentalis dan kelompok umat Kristen saleh lainnya (Committed Christians) yang menganggap bahwa usaha rekonstruksi Yesus historis itu sebagai sebuah usaha yang sia-sia, karena terbukti tidak pernah sampai pada penggambaran yang sempurna, dan yang lebih serius lagi karena usaha tersebut sangat mungkin mengancam kebenaran iman Kristen.
Lebih rinci, Crossan (“The Historical Jesus in Earliest Christianity”), mengidentifikasikan adanya beberapa kelompok yang mempunyai kecenderungan untuk mengabaikan Yesus historis. Misalnya: Komunitas Kristen Thomas, sebagai salah satu kelompok yang mempunyai kecenderungan untuk mengabaikan Yesus historis tersebut. Bagi mereka, kemanusiaan Yesus tidak terlalu relevan dengan iman mereka akan Yesus yang telah bangkit dan mulia.
Namun menurut Meier, penolakan karena ketakutan ini tidak beralasan. Menurutnya, obyek yang benar dari iman Kristiani bukanlah sebuah ide atau sebuah rekonstruksi saintifik mengenai Yesus historis, tapi sebuah figur pribadi Yesus yang secara penuh masuk ke dalam sebuah eksistensi manusia yang benar di dunia pada abad pertama masehi ini, tetapi yang sekarang hidup, telah bangkit dan dimuliakan selama-lamanya.
Menyitir Meier, usaha pengenalan akan Yesus historis ini dapat menjadi sesuatu yang bermanfaat bila seseorang hendak berbicara tentang iman yang mencari pengertian (Anselmus dari Cantenbury: fides quaerens intellectum)
Di lain segi, menceruatnya wacana tentang Yesus historis memunculkan masalah yakni, ketika pelbagai rekonstruksi historis dan pendekatan literer di atas membuat goyah iman kita, karena menyibakkan beberapa sisi gelap atau skandal orang Kristen. Maka, seperti judul buku Jacques Dupuis dan Elisabeth A.Johnson cs, kiranya di tengah zaman kontemporer ini, masih tepatlah pertanyaan Yesus kepada para murid bagi kita hic et nunc: “menurut kamu, siapakah Aku ini…?” (Luk 9:20).
Di sinilah, lewat pendekatan ilmu sejarah, terdapat sebuah peluang sekaligus tantangan untuk semakin menanamkan sensus catholicus’, akar iman kita. Beranikah kita bertolak ke tempat yang lebih dalam (Duc in Altum) dalam mengenal dan mengimani Yesus? Mengapa tidak?
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
============
Kepustakaan:
1. Abrahms, Philips, Historical Sociology, New York, Cornel University Press, 1982.
2. Carlson, Jeffrey, “Crossan’s Jesus and Christian Identity”, dalam “Jesus and Faith”, Marryknoll: Orbis Books, 1994, hal. 31-43
3. Crossan, John D, Jesus: “A Revolutionary Biography” San Fransisco, HarperCollins, 1994
4. Crossan, John D, 1994a, “The Historical Jesus in Earliest Christianity”, dalam “Jesus and Faith” Marryknoll: Orbis Books, 1994, hal. 1-21.
5. McIntyre, John, “The Shape of Christology” , London: SCM Press, 1996
6. Meier, John, P, “A Marginal Jew: Rethinking of The Historical Jesus”, New York: Doubleday, 1991
7. Vermes, Geza, “The Changing Faces of Jesus”, London: Penguin, 2002
8. Wright, N.T, “Who Was Jesus?”, Michigan, Wm.B.Eerdmans Pub.Co, 1992
NB:
Antologi Nasehat Para Bapa Gereja Seputar Prapaskah
A.
Lima Jalan Cinta Prapaskah
(St.Paus Yohanes Paulus II).
1. Masa Prapaskah merupakan masa yang dikhususkan untuk berdoa, berpuasa dan memberi perhatian kepada mereka yang membutuhkan. Masa Prapaskah menawarkan kesempatan kepada orang-orang Kristiani untuk mempersiapkan Paska dengan merenungkan hidupnya, secara khusus dengan memperhatikan Sabda Allah, yang menerangi perjalanan sehari-hari umat beriman. Tahun ini, sebagai pengarahan renungan Prapaskah, saya menawarkan sebuah naskah yang diambil dari Kisah Para Rasul, "Adalah lebih berbahagia memberi daripada menerima" (Kis 20: 35). Yang terkandung di dalamnya bukan hanya suatu pesan moral biasa, atau suatu perintah yang muncul tanpa alasan. Pengarahan yang mau disampaikan berakar dalam kedalaman hati manusia: setiap orang memiliki kesadaran untuk menjalin hubungan dengan orang lain dan setiap orang menemukan kepenuhan dalam saling memberikan diri secara bebas kepada sesamanya.
2. Pantas disayangkan bahwa zaman kita ini, secara jelas ditandai dengan godaan untuk mementingkan diri sendiri yang bersembunyi di dalam hati umat manusia. Dalam masyarakat pada umumnya, dan secara khusus melalui media, orang terus-menerus dibom dengan pesan-pesan yang kurang lebih secara terang-terangan menumbuhkan sikap dangkal dan hedonistik. Memang, kepedulian akan sesama tampak nyata ketika terjadi bencana alam, perang atau ancaman bahaya lainnya, tetapi pada umumnya, masih sulit untuk membangun budaya solidaritas. Semangat zaman ini telah mengubah sikap hati kita dari berani memberikan diri tanpa pamrih bagi sesama menjadi dorongan untuk memuaskan kepentingan diri sendiri. Nafsu untuk memiliki terus dipicu. Memang merupakan hal yang alamiah dan benar bahwa manusia, karena bakat serta pekerjaannya, berusaha mencukupi kebutuhan hidupnya. Namun nafsu yang berlebihan akan harta milik menghambat umat manusia untuk memiliki sikap terbuka kepada Pencipta dan sesamanya. Kata-kata Santo Paulus kepada Timotius tetap berlaku untuk zaman ini, "Akar segala kejahatan adalah cinta akan uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka" (1 Tim 6: 10).
Memeras orang lain, sikap tak peduli akan penderitaan sesama dan pelanggaran hukum dasar moralitas merupakan beberapa akibat keserakahan itu. Menghadapi situasi pelik kemiskinan yang semakin parah yang menimpa semakin banyak orang di bumi ini, bagaimana kita dapat menutup mata akan kenyataan bahwa usaha keras untuk cari untung dan lemahnya efektivitas serta rasa tanggung-jawab akan kesejahteraan umum telah memusatkan sumber-sumber ekonomi di tangan beberapa orang saja, sementara sebagian terbesar umat manusia menderita dalam kemiskinan dan diabaikan?
Dengan menyapa umat beriman dan semua orang yang berkehendak baik, saya ingin menegaskan kembali prinsip yang jelas tetapi sering diabaikan: tujuan kita bukan demi keuntungan kalangan kecil, tetapi perbaikan kondisi hidup semua umat manusia. Hanya dengan dasar ini kita dapat membangun tata internasional yang secara nyata ditandai dengan keadilan dan solidaritas yang menjadi harapan semua orang.
3. "Adalah lebih berbahagia memberi daripada menerima". Ketika umat beriman menanggapi panggilan hati untuk memberikan diri bagi sesama tanpa mengharap balas jasa, mereka mengalami suatu kebahagiaan serta kepuasan hati yang mendalam. Usaha orang-orang Kristiani dalam memperjuangkan keadilan, kepedulian mereka dalam membela mereka yang tak berdaya, karya kemanusiaan dalam membagi rejeki untuk mereka yang lapar serta merawat mereka yang sakit dengan memenuhi setiap kebutuhan mendesak, menimba kekuatan dari cinta satu-satunya dan tak pernah habis, yang merupakan persembahan utuh dari Yesus kepada Bapa.
Umat beriman dipanggil untuk mengikuti jejak Yesus Kristus, yang sungguh Allah sungguh manusia, dalam ketaatan sempurna akan kehendak Bapa, telah mengosongkan diri (lih Fil 2: 6 dst), dan dengan rendah hati menyerahkan diri-Nya kepada kita dalam cinta yang tak mementingkan diri sendiri dan sepenuhnya, bahkan sampai mati di salib. Secara jelas dan nyata Golgota menyatakan pesan cinta Allah Tritunggal kepada umat manusia sepanjang zaman dan di mana pun juga.
Santo Augustinus menunjukkan bahwa hanya Allah, sebagai Kebaikan Tertinggi, yang mampu mengatasi segala bentuk kemiskinan yang ada di dunia kita ini. Maka belaskasihan dan cinta kepada sesama harus menjadi hasil dari hubungan yang hidup dengan Allah dan Allah-lah yang menjadi acuan dasar sikap mereka, karena hanya dalam kedekatan dengan Kristus, kita menemukan kegembiraan. (Bdk. De Civitate Dei, X, 6;CCL 39:1351 dstnya.)
4. Putera Allah lebih dahulu mencintai kita, "ketika kita masih berdosa" (Rom 5: 8), dengan cinta yang tanpa syarat, yang tak mengharap balasan. Maka bila memang demikian, bagaimana mungkin kita tak mampu melihat bahwa Prapaskah merupakan kesempatan khusus untuk berani membuat pilihan, yang diilhami oleh peduli akan sesama dan kemurahan hati? Bagi kita Masa Prapaskah menjadi sarana praktis dan efektif untuk berpuasa dan beramal sebagai sarana untuk melawan rasa lekat berlebihan akan uang. Memberi tidak hanya dari kelebihan kita, tetapi sebagai korban untuk mereka yang membutuhkan, memajukan sikap penyangkalan diri, yang merupakan sesuatu yang mendasar dalam kehidupan kristiani. Dikuatkan dengan doa tanpa henti, umat yang telah dipermandikan mengungkapkan prioritas yang mereka berikan kepada Tuhan dalam hidupnya.
Cinta Tuhan yang telah tercurah secara berlimpah kedalam hati kita hendaknya menjadi inspirasi dan mengubah diri kita dan menentukan apa yang kita lakukan. Jangan sampai umat Kristiani berpendapat bahwa mereka dapat menemukan kebaikan sejati sesamanya tanpa menghayati kasih Kristus. Bahkan dalam berbagai peristiwa, di mana mereka berhasil memperbaiki segi penting kehidupan sosial dan politik, bila tanpa kasih, setiap perubahan itu hanyalah akan berumur pendek saja. Kesediaan untuk memberikan diri bagi sesama sudah dengan sendirinya merupakan pemberian yang datang dari rahmat Allah, sebagaimana Santo Paulus mengajarkan, "Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu, baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya" (Fil 2: 13).
5. Bagi umat manusia dewasa ini, pria dan wanita, yang sering mengalami ketidakpuasan karena kehidupan ini dangkal dan sementara, dalam upaya menemukan kebagiaan dan cinta sejati, Kristus memberikan teladan-Nya dan menyampaikan undangan untuk mengikuti-Nya. Dia meminta semua yang mendengarkan suara-Nya untuk memberikan hidupnya bagi sesama. Pengorbanan ini merupakan sumber pemenuhan diri dan kegembiraan, sebagaimana telah diperlihatkan oleh banyak orang, yang dengan meninggalkan rasa amannya, tanpa ragu mengorbankan hidupnya sebagai misionaris di berbagai belahan dunia. Itu dapat juga dilihat dari tanggapan orang-orang muda, yang didorong oleh imannya, menyediakan diri bagi panggilan imamat dan hidup membiara, untuk melayani rencana keselamatan Allah. Hal serupa terjadi pula dalam pengalaman banyak relawan yang menyediakan dirinya sendiri membantu orang-orang miskin, orang lanjut usia dan mereka semua yang membutuhkan.
Akhir-akhir ini kita mendapatkan kesaksian yang mengagumkan yang diperlihatkan dalam wujud solidaritas pada para korban banjir di Eropa, gempa bumi di Amerika Latin dan Italia, dan wabah penyakit di Afrika, gunung meletus di Philipina, demikian juga di belahan dunia lain yang terluka oleh kebencian, kekerasan dan perang.
Di tengah situasi tersebut, media komunikasi memainkan peran yang penting dengan memungkinkan kita merasa senasib dengan para korban dan menawarkan bantuan bagi mereka yang menderita dan dalam bahaya. Sepertinya itu bukan terjadi karena perintah kasih kristiani, tetapi lebih merupakan suatu dorongan bawaan manusia akan belas kasih yang mendasari tindakan untuk membantu sesama. Namun meskipun demikian, setiap orang yang membantu mereka yang membutuhkan senantiasa menikmati kebaikan hati Allah. Dalam Kisah Para Rasul kita membaca bahwa murid perempuan bernama Tabitha diselamatkan karena telah banyak berbuat baik bagi sesamanya (bdk Kis 9: 36 dst). Perwira yang bernama Kornelius mendapatkan kehidupan kekal berkat kemurahan hatinya (Bdk Kis 10: 2-31).
Bagi mereka yang "berada jauh sekali", pelayanan pada mereka yang membutuhkan dapat dengan tepat mengantar orang untuk sampai pada perjumpaan dengan Kristus, karena Tuhan secara melimpah mengganjar perbuatan baik yang dilakukan bagi salah seorang sesamanya (lih Mat 25: 40).
Saya berpengharapan besar bahwa dalam masa Prapaskah ini umat beriman dapat menemukan saat yang baik untuk menjadi saksi Injili untuk mencinta di mana pun juga, karena panggilan cinta kasih merupakan jantung pewartaan Injil yang sejati.
Akhirnya, saya mohon perantaraan Maria, Bunda Gereja dan berdoa agar Maria akan mendampingi kita selama perjalanan Masa Prapaskah ini. Dengan harapan ini, secara tulus, saya sampaikan berkat saya kepada semua.
B.
Masa Prapaskah: Sermo 6 de Quadragesima
(St. Leo Agung)
Sahabat-sahabat terkasih, setiap saat bumi penuh dengan belas kasih Tuhan, dan alam raya sendiri merupakan suatu pengajaran bagi segenap umat beriman dalam menyembah Tuhan. Langit, laut serta segala isinya memberi kesaksian atas kebaikan dan kemahakuasaan Penciptanya; dan semarak keindahan dari kekuatan alam semesta sementara mereka mentaati perintah Penciptanya merupakan suatu ungkapan yang serasi atas ucapan syukurnya.
Dengan datangnya kembali masa yang ditandai secara istimewa oleh misteri penebusan kita, dan sementara hari-hari menghantar kita menyongsong Hari Raya Paskah, kita dipanggil secara lebih mendesak untuk mempersiapkan diri dengan pemurnian roh.
Makna istimewa dari perayaan Paskah adalah ini: segenap Gereja bersukacita atas pengampunan dosa. Gereja bersukacita atas pengampunan dosa, bukan saja atas mereka yang saat itu dilahirkan kembali dalam pembaptisan yang kudus, melainkan juga atas mereka yang telah diangkat sebagai anak-anak Allah.
Pada awalnya, manusia diperbaharui dengan kelahiran kembali dalam pembaptisan. Namun demikian, masih diperlukan pembaharuan setiap hari guna memperbaiki kelemahan-kelemahan dari kodrat fana kita, dan entah berapa jauh tingkat kemajuan yang telah dicapai, tak seorang pun diharapkan untuk tidak lebih maju. Sebab itu, semuanya harus berjuang untuk memastikan bahwa pada hari penebusan, tak seorang pun didapati ada dalam dosa-dosa dari manusia lamanya.
Sahabat-sahabat terkasih, apa yang harus dilakukan umat Kristiani sepanjang waktu, sekarang harus dilakukan dengan perhatian dan pembaktian diri yang lebih besar, sehingga puasa Masa Prapaskah yang diserukan oleh para rasul dapat digenapi, bukan hanya dengan berpantang makanan, melainkan, lebih dari segalanya, dengan penolakan terhadap dosa.
Tak ada praktek yang lebih bermanfaat yang dapat dilakukan seiring dengan puasa rohani yang kudus, selain dari tindakan amal kasih. Tercakup dalam tindakan belas kasih ini, begitu banyak karya-karya bakti diri yang mengagumkan, sehingga maksud-maksud baik dari segenap umat beriman dapat sama nilainya, sekalipun sarana mereka tidak sama. Kasih yang kita miliki bagi Tuhan maupun sesama haruslah senantiasa bebas dari segala bentuk hambatan yang menghalangi kita dari maksud baik. Para malaikat bernyanyi: Kemuliaan kepada Allah di tempat yang mahatinggi, dan damai di bumi kepada orang yang berkenan kepadanya. Orang yang memberikan cinta dan belas kasihan kepada mereka yang dalam kemalangan, diberkati Tuhan, bukan hanya dengan keutamaan kehendak baik, melainkan juga dengan karunia damai.
Karya belas kasih sungguh tak terhitung banyaknya. Keanekaragamannya mendatangkan keuntungan bagi mereka yang adalah umat Kristiani sejati, bahwa dalam hal amal kasih, bukan hanya mereka yang kaya dan berlimpah, melainkan juga mereka yang dari kalangan menengah maupun kalangan miskin dapat pula ambil bagian di dalamnya. Mereka yang tidak sama dalam hal kemampuan memberi, dapat sama dalam hal mengasihi dari lubuk hati mereka.
C. “Lima Cara Tobat Sejati”
(St. Yohanes Krisostomus)
Apakah engkau ingin aku menyebutkan juga cara-cara tobat sejati? Ada banyak cara dan variasi, dan semuanya menghantarmu ke surga.
Cara tobat pertama adalah menggugat dosa-dosamu sendiri: Jadilah yang pertama mengakui dosa-dosamu, maka engkau akan dibenarkan. Karena alasan ini juga, pemazmur menulis: “aku berkata: `Aku akan mengaku kepada TUHAN pelanggaran-pelanggaranku,' dan Engkau mengampuni kesalahan karena dosaku.” Sebab itu, engkau juga patut mengakui dosa-dosamu sendiri; hal itu akan menjadikan cukup alasan bagi Tuhan untuk mengampunimu, sebab orang yang menggugat dosa-dosanya sendiri lebih lambat dalam melakukan dosa-dosa itu lagi. Bangkitkanlah nuranimu untuk menggugatmu dalam rumahmu sendiri, agar ia tidak menjadi pendakwamu di hadapan tahta pengadilan Tuhan. Jadi, itu adalah suatu cara tobat yang sangat baik.
Cara tobat yang lain, yang tak kalah pentingnya, adalah mengenyahkan dari benak kita rasa sakit yang diakibatkan oleh para musuh kita, agar kita dapat menguasai amarah kita, dan agar kita dapat mengampuni kesalahan sesama hamba dosa terhadap kita. Maka, dosa-dosa kita terhadap Tuhan juga akan diampuni. Dengan demikian, engkau mendapatkan suatu cara untuk menebus dosa-dosamu: Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga.
Apakah engkau ingin tahu cara yang ketiga? Cara yang ketiga menyangkut doa yang tekun, sungguh dan keluar dari dalam lubuk hati.
Jika engkau ingin mendengar yang keempat, aku akan menyebutkan amal kasih, yang sungguh besar kuasanya dan luas jangkauannya.
Jika, terlebih lagi, orang hidup bersahaja dan rendah hati, tak kurang dari hal-hal yang telah aku sebutkan di atas, maka dosa-dosa diampuni. Bukti akan hal ini adalah pemungut cukai yang tak ada perbuatan baiknya yang pantas disebutkan, tetapi ia justru mempersembahkan kerendahan hatinya dan dibebaskan dari beban dosa yang berat.
Demikianlah, telah aku tunjukkan kepadamu lima cara tobat sejati:
1. menggugat dosa-dosamu sendiri,
2. mengampuni kesalahan sesama yang bersalah kepada kita,
3. doa,
4. amal kasih
5. kerendahan hati.
Jadi, janganlah engkau berpangku tangan, melainkan berjalanlah setiap hari di kelima jalan di atas; kelima cara tersebut mudah dilakukan dan kalian tak dapat berdalih kalian tak mampu. Sebab, meskipun engkau hidup berkekurangan, engkau senantiasa dapat memadamkan amarahmu, rendah hati, berdoa dengan tekun dan menggugat dosa-dosamu sendiri; kemiskinan bukanlah halangan. Kemiskinan bukanlah suatu rintangan dalam melaksanakan perintah Tuhan, meskipun ketika hal itu sampai pada cara tobat yang berhubungan dengan memberikan uang (amal kasih, maksudku). Janda miskin itu membuktikannya ketika ia memasukkan dua pesernya ke dalam kotak!
Sekarang, setelah kita tahu bagaimana menyembuhkan luka-luka kita ini, marilah kita menggunakan obatnya. Lalu, ketika kita telah memperoleh kembali kesehatan kita yang sempurna, kita dapat datang ke meja perjamuan yang kudus dengan penuh keyakinan, pergi dengan gemilang menghadap Kristus, raja kemuliaan, dan memperoleh berkat-berkat abadi melalui rahmat, belas kasihan dan kebaikan hati Yesus Kristus, Tuhan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar