HIK – HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
LOCAL WISDOM
10 Jalan Cinta Orang Jawa
Dalam ber-filosofi, orang Jawa seringkali menggunakan unen-unen untuk menata hidup manusia. Makna dari ungkapan-ungkapan Jawa ini seringkali tidak dipahami oleh sebagian besar keturunan etnis Jawa di era modern ini. Maka tidak salah, jika muncul sebutan, "Wong Jowo sing ora njawani".
Filosofi Jawa kadang dinilai sebagai hal yang kuno dan ketinggalan jaman. Padahal, filosofi leluhur tersebut berlaku terus sepanjang hidup. Warisan budaya pemikiran orang Jawa ini bahkan mampu menambah wawasan kebijaksanaan.
Berikut 10 dari sekian banyak falsafah yang menjadi pedoman hidup orang Jawa.
1. Urip Iku Urup
Hidup itu Nyala, Hidup itu hendaknya memberi manfaat bagi orang lain disekitar kita, semakin besar manfaat yang bisa kita berikan tentu akan lebih baik.
2. Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara
Manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak.
3. Sura Dira Jaya Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti
segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati dan sabar.
4. Ngluruk Tanpa Bala, Menang Tanpa Ngasorake, Sekti Tanpa Aji-Aji, Sugih Tanpa Bandha
Berjuang tanpa perlu membawa massa. Menang tanpa merendahkan atau mempermalukan. Berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan, kekuatan,kekayaan atau keturunan. Kaya tanpa didasari kebendaan.
5. Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan
Jangan gampang sakit hati manakala musibah menimpa diri. Jangan sedih manakala kehilangan sesuatu.
6. Aja Gumunan, Aja Getunan, Aja Kagetan, Aja Aleman
Jangan mudah terheran-heran. Jangan mudah menyesal. Jangan mudah terkejut-kejut. Jangan mudah ngambeg, jangan manja.
7. Aja Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman
Janganlah terobsesi atau terkungkung oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan duniawi.
8. Aja Kuminter Mundak Keblinger, Aja Cidra Mundak Cilaka
Jangan merasa paling pandai agar tidak salah arah. Jangan suka berbuat curang agar tidak celaka.
9. Aja Milik Barang Kang Melok, Aja Mangro Mundak Kendo
Jangan tergiur oleh hal-hal yang tampak mewah, cantik, indah; Jangan berfikir mendua agar tidak kendor niat dan kendor semangat.
10. Aja Adigang, Adigung, Adiguna
Jangan sok kuasa, sok besar, sok sakti.
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
NB:
A.
SERI KEARIFAN LOKAL
• Alon-alon waton klakon
Filosofi ini sebenarnya berisikan pesan tentang safety. Padahal kandungan maknanya sangat dalam. Filosofi ini mengisyaratkan tentang kehati-hatian, waspada, istiqomah, keuletan, dan yang jelas tentang safety.
• Nrimo ing pandum
Arti yang mendalam menunjukan pada sikap Kejujuran, keiklasan, ringan dalam bekerja dan ketidakinginan untuk korupsi. Inti filosofi ini adalah Orang harus iklas menerima hasil dari usaha yang sudah dia kerjakan.
• Saiki jaman edan yen ora edan ora komanan, sing bejo sing eling lan waspodo.
Hanya orang yang ingat kepada Allah (disini saja juga tidak cukup) dan waspada terhadap duri-duri kehidupan yang setiap saat bisa datang dan menghujam kehidupan, sehingga bisa mengakibatkan musibah yang berkepanjangan.
• Mangan ora mangan sing penting ngumpul’
‘Makan tidak makan yang penting kumpul’. Filosofi ini adalah sebuah peribahasa. Kalimat peribahasa tidaklah tepat kalau diartikan secara aktual. Filosofi ini sangat penting bagi kehidupan berdemokrasi. Kalau bangsa kita mendasarkan demokrasi dengan falsafah diatas saya yakin negara kita pasti akan aman, tentram dan sejahtera.’Mangan ora mangan’ melambangkan eforia demokrasi, yang mungkin satu pihak mendapatkan sesuatu (kekuasaan) dan yang lain pihak tidak. Yg tdk dapat apa-apa tetap legowo. ‘Sing penting ngumpul’ melambangkan berpegang teguh pada persatuan, yang artinya bersatu untuk tujuan bersama. Saya pikir Filosofi ‘Mangan ora mangan sing penting kumpul’ adalah filosofi yang cocok yang bisa mendasari kehidupan demokrasi bangsa Indonesia agar tujuan bangsa ini tercapai.
• Wong jowo ki gampang di tekuk-tekuk.
Filosofi ini juga berupa ungkapan peribahasa yang dalam bahasa Indonesia adalah ‘Orang Jawa itu mudah ditekuk-tekuk’. Ungkapan ini menunjukan fleksibelitas dari orang jawa dalam kehidupan. Kemudahan bergaul dan kemampuan hidup di level manapun baik miskin, kaya, pejabat atau pesuruh sekali pun. Orang yang memegang filosofi ini akan selalu giat bekerja dan selalu ulet dalam meraih cita-citanya.
Tambahan:
1. Memayu hayuning bawana (melindungi bagi kehidupan dunia)
2. Sukeng tyas yen den hita (suka/bersedia menerima nasihat, kritik, tegoran)
3. Jer basuki mawa beya (keberhasilan seseorang diperoleh dengan pengorbanan)
4. Ajining dhiri dumunung ing kedhaling lathi (nilai diri seseorang terletak pada gerak lidahnya)
5. Ajining sarira dumunung ing busana (nilai badaniah seseorang terletak pada pakaiannya)
6. Amemangun karyenak tyasing sesama (membuat enaknya perasaan orang lain)
7. Kridhaning ati ora bisa mbedhah kuthaning pasthi (Gejolak jiwa tidak bisa merubah kepatian)
8. Budi dayane manungsa ora bisa ngungkuli garise Kang Kuwasa (Budi daya manusia tidak bisa mengatasi takdir Yang Maha Kuasa)
9. Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti (kemarahan dan kebencian akan terhapus/hilang oleh sikap lemah lembut)
10. Tan ngendhak gunaning janma (tidak merendahkan kepandaian manusia)
Sebenarnya, masih banyak filsafat-filsafat jawa yang lain. Satu hal yang harus diingat, mempelajari kebudayaan suatu daerah bukan berarti kita menjadi “rasis” atau fanatik kedaerahan, namun itu semua sebagai wujud pertanggung jawaban kita terhadap peninggalan nenek moyang bangsa kita. Dan juga melestarikan kebudayan daerah bukan hanya menjadi tanggung jawab warga daerah tersebut. Tetapi juga menjadi tanggung jawab kita semua.. (ingat semboyan bangsa kita “Bhineka Tunggal Ika”…..). Bangsa yang besar bukan hanya bangsa yang hidup modern, tetapi juga bangsa yang mampu hidup modern tanpa meninggalkan ajaran dan nilai luhur kebudayaannya.
B.
"Serat Wulangreh"
1). Mingkar mingkuring angkara,
Akarana karanan mardi siwi,
Sinawung resmining kidung,
Sinuba sinukarta,
Mrih kretarta pakartining ngelmu luhung
Kang tumrap neng tanah Jawa,
Agama ageming aji.
Menahan diri dari nafsu angkara,
karena berkenan mendidik putra
disertai indahnya tembang,
dihias penuh variasi,
agar menjiwai tujuan ilmu luhur,
yang berlaku di tanah Jawa (nusantara)
agama sebagai “pakaian”nya perbuatan.
2). Jinejer neng Wedatama
Mrih tan kemba kembenganing pambudi
Mangka nadyan tuwa pikun
Yen tan mikani rasa,
yekti sepi asepa lir sepah, samun,
Samangsane pasamuan
Gonyak ganyuk nglilingsemi.
Disajikan dalam serat Wedatama,
agar jangan miskin pengetahuan
walaupun tua pikun
jika tidak memahami rasa (sirullah)
niscaya sepi tanpa guna
bagai ampas, percuma,
pada tiap pertemuan
sering bertindak ceroboh, memalukan.
3). Nggugu karsaning priyangga,
Nora nganggo peparah lamun angling,
Lumuh ing ngaran balilu,
Uger guru aleman,
Nanging janma ingkang wus waspadeng semu
Sinamun ing samudana,
Sesadon ingadu manis
Mengikuti kemauan sendiri,
Bila berkata tanpa pertimbangan (asal bunyi),
Tak mau dianggap bodoh,
Asal gemar dipuji-puji.
(sebaliknya) Ciri orang yang sudah cermat akan ilmu
justru selalu merendah diri,
selalu berprasangka baik.
4). Si pengung nora nglegawa,
Sangsayarda deniro cacariwis,
Ngandhar-andhar angendhukur, Kandhane nora kaprah,
saya elok alangka longkanganipun,
Si wasis waskitha ngalah,
Ngalingi marang si pingging.
Si dungu tidak menyadari,
Bualannya semakin menjadi jadi,
ngelantur bicara yang tidak-tidak,
Bicaranya tidak masuk akal,
makin aneh tak ada jedanya.
Lain halnya, Si Pandai cermat dan mengalah,
Menutupi aib si bodoh.
5). Mangkono ngelmu kang nyata,
Sanyatane mung weh reseping ati,
Bungah ingaran cubluk,
Sukeng tyas yen denina,
Nora kaya si punggung anggung gumrunggung
Ugungan sadina dina
Aja mangkono wong urip.
Demikianlah ilmu yang nyata,
Senyatanya memberikan ketentraman hati,
Gembira dibilang bodoh,
Tetap gembira jika dihina
Tidak seperti si dungu yang selalu sombong,
Ingin dipuji setiap hari.
Janganlah begitu caranya orang hidup.
6). Urip sepisan rusak,
Nora mulur nalare ting saluwir,
Kadi ta guwa kang sirung,
Sinerang ing maruta,
Gumarenggeng anggereng
Anggung gumrunggung,
Pindha padhane si mudha,
Prandene paksa kumaki.
Hidup sekali saja berantakan,
Tidak berkembang nalarnya tercabik-cabik.
Umpama goa gelap menyeramkan,
Dihembus angin,
Suaranya gemuruh menggeram,
berdengung
Seperti halnya watak anak muda
Sedah begitu masih berlagak congkak.
7). Kikisane mung sapala,
Palayune ngendelken yayah wibi,
Bangkit tur bangsaning luhur,
Lha iya ingkang rama,
Balik sira sarawungan bae durung
Mring atining tata krama,
Nggon anggon agama suci.
Tujuan hidupnya tak berarti,
Maunya mengandalkan orang tuanya,
Yang terpandang serta bangsawan
Itu kan ayahmu !
Sedangkan kamu kenal saja belum,
akan hakikatnya tata krama
ajaran agama yang suci
8). Socaning jiwangganira,
Jer katara lamun pocapan pasthi,
Lumuh asor kudu unggul,
Semengah sesongaran,
Yen mangkono keno ingaran katungkul,
Karem ing reh kaprawiran,
Nora enak iku kaki.
Cerminan dari dalam jiwa raga mu,
Nampak jelas walau tutur kata halus,
Sifat pantang kalah maunya menang sendiri
Sombong besar mulut
Bila demikian itu, disebut orang yang terlena
Puas diri berlagak tinggi
Tidak baik itu nak !
9). Kekerane ngelmu karang,
Kekarangan saking bangsaning gaib,
Iku boreh paminipun,
Tan rumasuk ing jasad,
Amung aneng sajabaning daging kulup,
Yen kapengok pancabaya,
Ubayane mbalenjani.
Di dalam ilmu sihir
Rekayasa dari hal-hal gaib
Itu umpama bedak.
Tidak meresap ke dalam jasad,
Hanya ada di kulitnya saja nak
Bila terbentur marabahaya,
bisanya menghindari.
10). Marma ing sabisa-bisa,
Bebasane muriha tyas basuki,
Puruita-a kang patut,
Lan traping angganira,
Ana uga angger ugering kaprabun,
Abon aboning panembah,
Kang kambah ing siyang ratri.
Karena itu sebisa-bisanya,
Bahasanya, upayakan berhati baik
Bergurulah secara baik
Yang sesuai dengan dirimu
Ada juga peraturan dan pedoman bernegara,
Menjadi syarat bagi yang berbakti,
yang berlaku siang malam.
11). Iku kaki takok-eno,
marang para sarjana kang martapi
Mring tapaking tepa tulus,
Kawawa nahen hawa,
Wruhanira mungguh sanyataning ngelmu
Tan mesthi neng janma wredha
Tuwin mudha sudra kaki.
Itulah nak, tanyakan
Kepada para sarjana yang menimba ilmu
Kepada jejaknya para suri tauladan yang benar,
dapat menahan hawa nafsu
Pengetahuanmu adalah senyatanya ilmu,
Tidak mesti dikuasai orang tua,
Bisa juga bagi yang muda atau miskin, nak !
12). Sapantuk wahyuning Gusti Allah,
Gya dumilah mangulah ngelmu bangkit,
Bangkit mikat reh mangukut,
Kukutaning jiwangga,
Yen mengkono kena sinebut wong sepuh,
Lire sepuh sepi hawa,
Awas roroning atunggil
Siapapun yang menerima wahyu Tuhan,
Dengan cemerlang mencerna ilmu tinggi,
Mampu menguasai ilmu kasampurnan,
Kesempurnaan jiwa raga,
Bila demikian pantas disebut “orang tua”.
Arti “orang tua” adalah tidak dikuasai hawa nafsu
Paham akan dwi tunggal (menyatunya sukma dengan Tuhan)
13). Tan samar pamoring sukma,
Sinuksmaya winahya ing ngasepi,
Sinimpen telenging kalbu,
Pambukaning warana,
Tarlen saking liyep layaping aluyup,
Pindha pesating sumpena,
Sumusuping rasa jati.
Tidak lah samar menyatunya sukma,
Meresap terpatri dalam semadi,
Diendapkan dalam lubuk hati
menjadi pembuka tirai,
Tidak lain berawal dari keadaan antara sadar dan tiada
Seperti terlepasnya mimpi
Merasuknya rasa yang sejati.
14). Sejatine kang mangkana,
Wus kakenan nugrahaning Hyang Widhi,
Bali alaming ngasuwung,
Tan karem karameyan,
Ingkang sipat wisesa winisesa wus,
Mulih mula mulanira,
Mulane wong anom sami.
Sebenarnya yang demikian itu sudah mendapat anugrah Tuhan,
Kembali ke “alam kosong”,
tidak mengumbar nafsu duniawi,
yang bersifat kuasa menguasai. Kembali ke asal mula.
Oleh karena itu,
wahai anak muda sekalian…
Serat Wulangreh, Yasa Dalem KGPAA. Mangkunegara IV ing Puro Mangkunegoro Soerakarta.
C.
"Mater et Magistra - Bunda dan Guru".
Inilah salah satu gelar yang diberikan kepada Gereja karena kehadirannya selalu menjadi "bunda" yang menghangatkan dan "guru" yang mengajarkan banyak hal baik kepada semua org.
Hal ini juga didasarkan karena Yesus sebagai batu penjuru gereja juga selalu menjadi "magister". Ia banyak mengajar dan "menghajar", bahkan kadang ajarannya tegas dan pedas karena membutuhkan komitmen yang penuh utuh dan menyeluruh. Ketika para murid yang lain menjadi mundur karena pengajaran Yesus yang "keras dan tegas", Simon Petrus tetap maju dan "on track", ia berpegang padaNya dengan berkata: “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? PerkataanMu adalah perkataan hidup yang kekal. Kami telah percaya dan tahu bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah.”
Adapun tetralogi iman yang membuat Simon Petrus tetap "on track" menghadapi keras dan tegasnya pelbagai ajaran ilahi, antara lain:
1."Pemahaman akan Allah":
Ia mengajak kita untuk mempunyai "hidup iman", benar-benar tahu dan percaya akan Allah yang diikuti dan diimaniNya. Dalam bahasa Paulus, "scio cui credidi, aku tahu kepada siapa aku percaya."
2."Pengalaman akan Allah":
Ia mengajak kita mengalami Allah secara personal, lewat "hidup doa" yang terarah dan teratur, lewat pelbagai praktek kesalehan sehingga yang ilahi benar-benar dirasakan dan dialami secara nyata.
3."Pengamalan akan Allah":
Seperti Petrus yang mengamalkan kasih ilahi secara nyata lewat pewartaan dan kesaksiannya, kita juga diajak mempunyai "hidup karya", yang penuh kasih dan kerahiman, yang mempunyai keterlibatan sekaligus keberpihakan karena bukankah tepat bahwa iman kita tidak berjalan di atas awan? Bukankah iman yang kita yakini dan pahami juga harus kita bumikan secara real dan aktual dalam hidup nyata?
4."Penghayatan akan Allah":
Akhirnya semua pemahaman-pengalaman dan pengamalan mengantar kita untuk sampai kepada penghayatan akan Allah yang selalu hadir dan mengalir, yang bersolider dengan suka dan duka lara, tawa dan tangis dunia kita lewat "hidup harian".
"Dari Matraman sampai Kranji - Jadilah orang beriman yang tahan uji.".
D.
"Credo et fido - Aku percaya dan aku mengimani."
Inilah yang ditunjukkan oleh Petrus dkk ketika Yesus mengatakan hal-hal yang sulit untuk dimengerti. Dengan kepercayaan iman inilah, Petrus dkk menjadi gereja perdana yang selalu hadir sebagai umat pilihan Tuhan yang "dikhususkan-disatukan dan dikuduskan".
Adapun 3 kebiasaan dasar sebagai umat pilihan Tuhan, antara lain: "PIkirkan tujuan-LIbatkan iman dan ANdalkan Tuhan". Caranya? Belajarlah dari pilihan kita sebagai orang Katolik yang mempunyai 7 karakteristik iman, seperti yang saya tulis dalam buku "HERSTORY" (RJK, Kanisius), antara lain:
"Kristussentris"/belajar hidup berpusat pada Kristus-bukan lagi egosentris/pastorsentris;
"Apostolik"/belajar dari tradisi iman para rasul yang turun-menurun.
"Tujuh sakramen"/ belajar bersaksi - menjadi tanda hadirnya "Yang Kudus", citra Allah dinyatakan setiap hari.
"Orang kudus"/ belajar beriman dari teladan dan doa Bunda Maria dan santo santa.
"Liturgi ekaristi"/ belajar berdoa dan selalu bersyukur.
"Inkarnasi"/ Allah menjadi manusia-belajar terlibat dan turun tangan membuat interupsi di tengah jemaat dan masyarakat.
"Kitab suci"/ belajar untuk akrab dan selalu mencintai firmanNya.
Just do it!
“Dari Matraman ke Kroya – Mari beriman dan selalu berkarya.”
E.
Tafsir Biblis
01.
Sebagian besar ekseget (ahli tafsir Kitab Suci) berpendapat bahwa Yoh 6:51-59 (Injil Hari Minggu Biasa XX B) yang berisi sabda Yesus tentang Ekaristi yakni “makan daging-Ku” dan “minum darah-Ku” merupakan sisipan yang ditambahkan kemudian.
Pendapat itu disimpulkan berdasarkan alasan sebagai berikut :
(i) Bila kita membaca Yoh 6:35-50 dan langsung dilanjutkan dengan Yoh 6:60-71 alur gagasan dan ceritanya sangat runtut, lancar dan berkait erat.
(ii) Dalam ay. 60 dikisahkan bahwa banyak murid menganggap perkataan Yesus keras dan mereka tidak sanggup mendengarnya. “Keras” maksudnya kontroversial, sulit dipahami dan diterima. Dalam ayat-ayat berikutnya (ay. 64.65.69) yang dibahas adalah soal ketidakpercayaan bukan soal menolak “makan daging” atau “minum darah”. Maka yang dianggap sebagai Sabda yang kontroversial dan sulit diterima oleh sebagian murid itu adalah pewahyuan Yesus tentang Diri-Nya sebagai Roti Hidup yang turun dari surga (ay. 48-50).
(iii) Sabda Yesus dalam ay. 63 “daging sama sekali tidak berguna” kurang selaras dengan Sabda-Nya tentang Ekaristi yakni “makan daging-Ku” dalam ay. 53-55. Nampaknya yang dimaksud Yesus dalam ay. 63 adalah daging dalam arti umum, yakni kemanusiaan kita. Kemanusiaan dengan segala kelemahannya tidak mampu menyelamatkan diri dan bahkan tidak dapat menerima keselamatan yang ditawarkan Yesus (bdk. Mat 16:17).
(iv) Kalimat elips dalam ay. 62 (kalimat yang tidak lengkap, hanya bagian jikalau …) : Dan bagaimanakah, jikalau kamu melihat Anak Manusia naik ke tempat di mana Ia sebelumnya berada? berkaitan langsung dengan pewahyuan Yesus sebagai Roti Kehidupan yang turun dari surga (ay. 48-50) sehingga kalau kalimat itu dilanjutkan kiranya menjadi: “maka kamu akan memahami bahwa Akulah Roti Hidup yang turun dari surga”. Artinya para murid akan memahami jati diri Yesus yang sesungguhnya, yakni sebagai Roti Hidup yang berasal dari surga setelah kenaikan-Nya ke surga, ke tempat Ia sebelumnya berada. Pewahyuan ini menunjuk pada pre-eksistensi Sabda, “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah” (Yoh 1:1-2).
Sisipan itu nampaknya ditambahkan karena dalam Injil Keempat tidak ada kisah institusi Ekaristi.
02.
Umat Perjanjian Lama dibawah pimpinan Yosua (Yos 24:1-2a.15-17.18b, Bacaan I) memperbaharui janji setia mereka kepada Allah nenek moyang, Allah Abraham, Ishak dan Yakub yang telah membebaskan mereka dari penjajahan di Mesir dan menuntun menuju Tanah Terjanji, yang telah membuktikan kebaikan dan kuasa-Nya di sepanjang sejarah perjalanan bangsa.
Ketegasan sikap ini diperlukan karena mereka akan menjalani hidup bersama dengan suku asli Kanaan yaitu suku Amori yang mempunyai dewa-dewi dengan tradisi kultisnya sendiri. Semua itu bisa menjadi godaan serius bagi bangsa Israel untuk meninggalkan Allah dengan meniru cara ibadah orang-orang Kanaan jika mereka tidak mempunyai iman yang mendalam dan tangguh. Dalam perikop hari ini, setelah menerima pewahyuan, para murid pun harus mengambil keputusan iman. Namun berbeda dengan umat Perjanjian Lama yang bersedia untuk memperbaharui janji setia kepada Allah, dalam kisah Injil hari ini sebagian para murid justru meninggalkan Yesus karena ketidakpercayaan dan ketertutupan hati mereka.
03.
Tragis memang apa yang dilakukan oleh orang-orang Galilea itu. Mukjizat pergandaan roti membuat mereka begitu kagum dan terpesona terhadap pribadi Yesus sehingga dengan antusias ingin mengangkat-Nya sebagai raja. Namun keterpesonaan itu ternyata dengan mudah hilang tanpa bekas.
Pada mulanya mereka tertarik untuk mengikuti Yesus karena apa yang dilakukan-Nya. Namun ketika Yesus menjelaskan mukjizat itu dalam konteks perwahyuan diri-Nya, para murid mengalami kesulitan untuk memahami dan bahkan beberapa diantaranya meninggalkan-Nya. Kesulitan memahami Sabda Yesus yang mengakibatkan kesalahpahaman menjadi cara Yohanes untuk mewartakan pewahyuan yang penting (mis. Kisah perjumpaan Yesus dengan Nikodemus, Wanita Samaria dsb). Pemahaman yang utuh dan benar hanya dimiliki oleh orang yang beriman.
Pewahyuan diri sebagai Roti Hidup dan perlunya makan daging dan minum darah-Nya untuk memperoleh kehidupan kekal dianggap sebagai kata-kata yang "keras" maksudnya sulit dipahami, mustahil dan menimbulkan sandungan. Makan daging dan minum darah manusia bagi orang-orang Yahudi bukan hanya merupakan kekejaman tetapi juga pelanggaran berat terhadap hukum Taurat. Itulah sebabnya mereka bersungut-sungut dan akhirnya meninggalkan Dia. Mereka sangat mengagumi apa yang dilakukan Yesus, namun gagal untuk memahami pribadi atau jati diri Yesus. Mengapa? Karena mereka tidak mempunyai iman! Tanpa iman, semua tindakan yang berciri simbolik dan sakramental sulit dipahami.
04.
Dalam ay. 61 dan 64 diceritakan bahwa Yesus sudah tahu sejak semula para murid yang akan menolak-Nya dan bahkan yang akan mengkhianati-Nya. Keterangan ini mau menjelaskan bahwa peristiwa-peristiwa yang dialami Yesus sepenuhnya berada dalam kendali atau kuasa-Nya. Di hadapan Pilatus yang merasa berkuasa atas hidup-Nya, Yesus menjawab, “Engkau tidak mempunyai kuasa apapun terhadap Aku, jikalau kuasa itu tidak diberikan kepadamu dari atas” (Yoh 19:11).
Kemudian dalam ay. 65 Yesus menegaskan bahwa iman itu pertama-tama adalah anugerah dari Bapa. Namun anugerah itu harus ditanggapi dengan keterbukaan pikiran dan kebebasan hati. Kita harus selalu menyesuaikan pikiran, hati, kehendak dan tindakan dengan rancangan Allah.
05.
Dalam ay. 60 dan 66 dinyatakan bahwa “banyak” (Yun. polloi) murid Yesus yang mengundurkan diri dan tidak mengikuti Dia lagi. Kata “polloi” bisa berarti “banyak” tetapi juga bisa berarti “beberapa”. Tidak pernah dijelaskan oleh Yohanes berapa banyak murid Yesus. Yang pasti mereka yang mengundurkan diri itu tidak termasuk 12 murid utama yang disebut rasul (ay. 66-67).
Mewakili kedua belas rasul, Petrus menegaskan sikap dan pilihannya, “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Sabda-Mu adalah sabda yang hidup dan kekal. Kami telah percaya dan tahu bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah” (ay. 68). Petrus mengungkapkan keyakinan imannya dengan tegas bahwa Sabda-Nya memberikan atau membawa kepada kehidupan kekal. Dengan menyebut Yesus sebagai “Yang Kudus dari Allah”
Petrus mengakui bahwa Yesus itu berasal dari Allah, sumber segala kekudusan, sehingga Ia pun pasti kudus, bersatu dengan Roh Kudus Allah dan mampu memberikan hidup kekal. Gelar itu juga menunjuk pada penyerahan Diri Yesus yang total pada tugas perutusan-Nya sebagai Penyelamat yang diurapi, dikuduskan oleh Bapa (Yoh 10:36; 17:17-19; Why 3:7). Dalam Injil Yohanes kata “percaya” dan “tahu” merupakan ungkapan yang penting dan saling melengkapi. Sering kedua kata itu dipakai dalam urutan terbalik, “tahu” dan “percaya” (Yoh 16:30; 17:8; 1 Yoh 4:16). Iman menjadikan pemahaman dan pengenalan pribadi semakin mendalam dan utuh, sebaliknya pengenalan pribadi yang utuh membuat iman semakin mendalam dan tangguh.
06.
Dalam penyelidikan kanonik biasanya saya bertanya pada para calon mempelai, “Apakah kamu yakin bahwa calon pasangan hidupmu itu merupakan jodoh yang akan setia mendampingimu sampai akhir hidup? Darimana kamu mendapatkan keyakinan itu?”. Saya berharap mereka menjawab bahwa keyakinan itu muncul setelah mengenal secara mendalam pribadi calon pasangan hidupnya selama masa pacaran. Apakah keyakinan itu dapat menjamin bahwa perkawinan mereka bisa lestari, setia dan bahagia seumur hidup?
Tentu saja tidak ada kepastian mutlak matematis. Dalam pengenalan itu selalu tersisa ketidaktahuan, ketidakpastian. Dan itulah misteri kehidupan. Itulah hakekat iman. Iman selalu mempunyai sisi misteri yang berada di luar kemampuan kita untuk memahaminya. Iman membutuhkan penyerahan diri seutuhnya. Pengenalan akan Allah menjadi inti kekuatan Paulus dalam menghadapi berbagai macam kesulitan dan penderitaan.
Di tengah suasana yang sangat berat, di balik terali penjara, di waktu mengalami penganiayaan dan penyiksaan, saat ditinggalkan sahabat-sahabatnya, Paulus tetap tidak kehilangan pegangan dan arah hidup, tidak mengalami keputusasaan, bahkan tidak kehilangan keyakinan akan pertolongan dan pemeliharaan Allah. Paulus memiliki pengenalan yang baik akan Allahnya sehingga dengan penuh keyakinan ia berkata, “Aku tahu kepada siapa aku percaya.” (2 Tim 1:12 “Scio cui credidi“)
07.
Beberapa waktu lalu, di pusat kota metropolit Manila, ada seorang pemain sirkus yang menunjukkan kebolehannya naik sepeda berjalan di atas seutas tali yang direntangkan di antara dua gedung bertingkat. Di bagian depan sepeda ada sebuah keranjang dan di dalamnya diletakkan sebuah karung. Dengan ditonton oleh banyak orang, dia melintas dari satu ujung tali ke ujung yang lain. Semua orang berdecak kagum, memuji kehebatan pemain sirkus tersebut.
Kemudian pemain sirkus tadi mendekati para penonton dan bertanya, "Apakah Anda percaya bahwa saya dapat melintasi tali ini sekali lagi dan sampai ke seberang dengan selamat?" Spontan para penonton berteriak, "Percaya!" Kemudian pemain sirkus ini bertanya lagi, "Kalau anda sungguh percaya, siapa yang mau ikut dengan saya duduk di dalam keranjang yang ada di sebelah depan sepeda saya." Para penonton terdiam. Tidak ada satupun yang berani. Mereka takut, kalau jatuh bisa berakibat fatal.
Namun akhirnya ada seorang anak yang berani. Dia naik ke sepeda menggantikan beban karung dan ikut bersama pemain sirkus tadi melintasi tali. Dengan penuh ketegangan para penonton menyaksikan mereka melintas tali, dan akhirnya berhasil sampai di seberang dengan selamat. Dan siapakah anak itu? Ternyata dia adalah anak kandung dari pemain sirkus itu sendiri. Anak tadi percaya akan kemampuan ayahnya dan dia yakin ayahnya pasti tidak akan mencelakakannya.
Pengenalan akan ayahnya membuat dia percaya dan sebaliknya kepercayaan itu menjadikan pengenalan akan ayahnya semakin mendalam.
Iman berarti keberanian untuk berserah, mempertaruhkan diri sepenuhnya tanpa keraguan. Keraguan membuat kita tidak berani bertindak. Bagi orang yang beriman pengetahuan menjadi nyata dalam tindakan.
Berkah Dalem.
F.
"Evangelii Gaudium - Kegembiraan Injili."
Inilah ajakan iman supaya kita selalu bersyukur dan bergembira atas setiap "jalan hidup" yang akan kita hadapi termasuk "jalan kematian", seperti yang tampak pada bacaan hari ini ketika Yesus berkata: "Ke tempat Aku pergi, engkau tidak dapat mengikuti Aku sekarang, tapi kelak engkau akan mengikuti Aku."
Disinilah, ada 3 permenungan dasar yang bs kita maknai, antara lain:
."Penuh harapan": Kita diajak menjadi orang beriman yang optimis, dalam pepatah Cina kuno; “kematian adalah keberuntungan”, yah kita beruntung karena dengan kematian, orang dilepaskan dari segala derita dan berpulang menuju tanah air yang akan memuaskan segala kerinduannya.
."Penuh kesadaran": Filsuf Jerman, Martin Heidegger berkata “human life is being toward death”, hanya dengan berani menerima kematian maka kehidupan itu menjadi sungguh hidup. Itu sebabnya juga seorang filsuf Yunani, Epikuros berkata, “death concern us”. Ya, kematian itu berurusan dengan kita dan kita itu berurusan dengan kematian. Death lives on life, kematian itu sesungguhnya hidup dalam kehidupan bukan? Sadarilah itu!
."Penuh perjuangan": Kematian kerap datang dan pergi dalam kehidupan yang penuh perjuangan. Tentang hal ini, ajaran kejawen berkata: “pati sajroning urip, urip sajroning pati.” Hidup itu sudah menggendong kematian, hanya dengan demikian, orang boleh hidup dengan berjuang sungguh. Dalam bahasa Masao Abe, pakar Zen-Budhisme: “hidup kita sel menyentuh kematian”. Jadi kematian bukanlah sesuatu yang ada sebagai akhir dari kehidupan tapi datang menyapa kita setiap saat ketika kita mengalami "kehilangan kehilangan kecil".
Nah, dari tiga pemaknaan dasar inilah, kata "mati" bisa berarti "Mohonlah Allah Tambahkan Iman." Sudahkah kita selalu datang dan memohon kekuatan pada Allah?
"Ada taman di Pilangsari - Jadilah orang yang beriman setiap hari."
G.
“Sol lucet omnibus - Matahari menyinari semua orang”.
Kutipan dari karya Petronius Satiricon Liber inilah yg mewakili kehadiran Kristus+Stefanus sbg cahaya ilahi. Adapun perayaan Stefanus disebut-sebut dlm kidung Natal Good King Wenceslas yg merupakan hari libur nasional di Republika Srpska, Irlandia, Italia, Austria dan Finlandia.
Dari figur Kristus+Stefanus, terdapat tiga semangat dsrnya, al:
. Martiria (“kesaksian”):
Kristus berarti “yg diurapi” dan Stefanus berarti “yg dimahkotai” adl dua saksi iman yg sama-sama wafat sbg martir. Kristus disalib dan Stefanus dirajam. Bicara lbh lanjut soal Stefanus, ia digelari mahkota kemartiran dan dilukiskan dg tiga buah batu beserta dahan palma. Campur tangan Allah membuat ajarannya didengar+dipercaya oleh byk org. Karena itulah, ada sekelompok org yg mrasa tersaingi+terbutakan oleh rasa iri-dengki sehingga mrk merancang kejahatan+fitnah yg kejam bagi Stefanus. Bukankah itu juga yg dialami oleh Kristus?
Yg pasti, Kristus+Stefanus tdk takut terhadap “salib”: kesalahpahaman, fitnah, umpatan+caci-maki sepihak. Sebaliknya, mrk malahan setia bersaksi u/sll merangkul salib dg pengharapan+sukacita.
. Diakonia (“pelayanan’):
Stefanus adl slh satu dari tujuh org yg hidupnya saleh+terpandang yg dipilih oleh para rasul sbg diakon pada jaman gereja perdana u/mengurus para janda+org miskin. Begitu juga dg Kristus bukan? Mrk dtg bukan u/dilayani tp u/melayani!
. Koinonia (“kesatuan):
Hubungan mendalam dg Bapa membuat Stefanus begitu penuh dg kuasa Roh Kudus. Ia fasih dlm Kitab Suci dan krn kesalehannya, ia jg mengerjakan byk mujizat dan wajahnya nampak bagaikan seorang malaikat. Selain itu, walaupun byk difitnah+disakiti, ia menghadapi semuanya dg tenang. Ketika byk orang marah+melemparinya dg batu, Stefanus berdoa, “Ya Tuhan Yesus, terimalah rohku, Tuhan janganlah Kau tanggungkan dosa ini atas mereka, sebab mrk tidak tahu apa yg diperbuat”.
Menjelang ajalnya, Stefanus mengalami suatu teofani (penampakan Allah kepada manusia). Begitu juga yg dialami oleh Kristus bukan? Mrk jelas bersatu-padu dg Bapa.
“Pasang bendera di Jembatan Tiga - Berani sengsara demi kerajaan surga”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar