Ads 468x60px

Kita Bhinneka, Kita Indonesia 29



MERAH DARAHKU. PUTIH TULANGKU. KATOLIK IMANKU.
PROF. DR. IR. HERMAN JOHANNES
Aku Indonesia
Aku Pancasila
Aku Bersaudara
Aku Kerja Bersama
Kita Bhinneka, Kita Indonesia.
Dalam NKRI, tak ada orang KAFIR.
Yang ada warga Muslim, Katholik, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu
Karena patokan NKRI bukan Islam, Kristen atau agama lainnya tapi PANCASILA!
Dalam NKRI, tak ada orang kafir
Yang ada warga FAKIR dari agama macam macam, karena maraknya praktek korup di negeri ini
YES RASA
NO SARA
A.
Orang Katolik di Indonesia memang bukan bagian yang lebih besar / pars major,
tetapi orang Katolik di Indonesia harus berusaha menjadi bagian yang lebih baik / pars sanior (Mgr. Soegija)
B.
“Sedjak kita dipermandikan, berkat kemurahan Tuhan, kita merasa senang dan tenang, merasa selamat bahagia, sedjahtera dan sentosa dalam iman kita...maka dengan sendirinja kita merasa terdorong tuk berdoa, berkorban dan berusaha supaja sesama kita pun ambil bagian dalam kesedjahteraan dan kebahagiaan jang kita alami dalam djiwa kita dari anugerah Tuhan jang berupa iman dan kepertjayaan itu.”
(Mgr. Soegija)
C.
“Sebagai makluk sosial kita ta’ mampu hidup tiada dengan sesama kita. Sepandjang hidup kita harus pergaulan dengan orang lain. Banjaklah keuntungan jang kita terima dari masjarakat jang kita duduki, banjak pulalah djasa jang harus kita lakukan kepada chalajak ramai sekitar kita...”
(Mgr. Soegija)
PROF. DR. IR. HERMAN JOHANNES.
Prof. Dr. Ir. Herman Johannes, sering juga ditulis sebagai Herman Yohannes atau Herman Yohanes (lahir di Rote, NTT, 28 Mei 1912 – meninggal di Yogyakarta, 17 Oktober 1992 pada umur 80 tahun) adalah cendekiawan, politikus, ilmuwan Indonesia, guru besar Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Pahlawan Nasional Indonesia.
Ia pernah menjabat Rektor UGM (1961-1966), Koordinator Perguruan Tinggi (Koperti) tahun 1966-1979, anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) RI (1968-1978), dan Menteri Pekerjaan Umum (1950-1951).
KARIER
Setelah lulus dari AMS Salemba di Jakarta tahun 1934, Herman Johannes melanjutkan pendidikannya ke Technische Hoogeschool te Bandoeng (THS) pada tahun akademik 1934-1935.
Pada bulan Juni 1939, ia sudah lulus tahap candidaat-ingenieur (lulus tingkat III)[1] dan tinggal menyelesaikan tingkat IV - tahap keinsinyurannya, yang jika lancar dapat ditempuh dalam satu tahun untuk mencapai gelar civiel-ingenieur - insinyur sipil, namun dengan jatuhnya Hindia Belanda pada tanggal 8 Maret 1942 THS Bandung ditutup, sehingga studinya terpaksa terhenti.
Tahun 1944 Jepang membuka kembali sekolah ini dengan nama Bandung Kogyo Daigaku (BKD), setelah proklamasi kemerdekaan tahun 1945 BKD diubah menjadi Sekolah Tinggi Teknik (STT) Bandung yang kemudian hijrah ke Yogyakarta menjadi Sekolah Tinggi Teknik Bandung di Yogyakarta di awal tahun 1946. Sekitar bulan Oktober 1946 Herman Johannes menyelesaikan studinya di STT Bandung di Yogya yang kemudian menjadi cikal bakal Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada di mana dia termasuk salah satu perintisnya. Herman Johannes banyak mengabdikan dirinya kepada kepentingan negara dan bangsanya, terutama rakyat kecil. Hingga menjelang akhir hayatnya, ia masih melakukan penelitian yang menghasilkan kompor hemat energi dengan briket arang biomassa. Keprihatinannya akan tingginya harga minyak bumi, selalu mendorongnya untuk mencari bahan bakar alternatif yang bisa dipakai secara luas oleh masyarakat. Herman Johannes pernah meneliti kemungkinan penggunaan lamtoro gung, nipah, widuri, limbah pertanian, dan gambut sebagai bahan bakar.
Meski lebih banyak dikenal sebagai pendidik dan ilmuwan, Herman Johannes tercatat pernah berkarier di bidang militer.[2]. Tanggal 4 November 1946 Herman Johannes menerima Surat Perintah yang ditadatangani Kapten (Kavaleri) Soerjosoemarno (kemudian menjadi ayah dari Yapto Soerjosoemarno) yang mengatasnamakan Kepala Staf Umum Kementerian Keamanan Rakyat Letjen Urip Sumohardjo, yang isinya agar segera hadir dan melapor ke Markas Tertinggi Tentara di Yogyakarta. Ternyata Herman Johannes diminta membangun sebuah laboratorium persenjataan bagi TNI, karena pemerintah Indonesia saat itu sedang mengalami krisis persenjataan. Permintaan ini diterimanya dengan satu syarat, yakni jika laboratorium itu sudah bisa berdiri dan berproduksi, maka penanganannya harus dilanjutkan orang lain sebab Herman Johannes ingin melanjutkan kariernya di bidang pendidikan. Di bawah pimpinan Herman Johannes, Laboratorium Persenjataan yang terletak di bangunan Sekolah Menengah Tinggi (SMT) Kotabaru ini selama perang kemerdekaan berhasil memproduksi bemacam bahan peledak, seperti bom asap dan granat tangan.
Keahlian Herman Johannes sebagai fisikawan dan kimiawan ternyata berguna untuk memblokade gerak pasukan Belanda selama clash I dan II. Bulan Desember 1948, Letkol Soeharto sebagai Komandan Resimen XXII TNI yang membawahi daerah Yogyakarta meminta Herman Johannes memasang bom di jembatan kereta api Sungai Progo. Karena ia menguasai teori jembatan saat bersekolah di THS Bandung, Johannes bisa membantu pasukan Resimen XXII membom jembatan tersebut. Januari 1949, Kolonel GPH Djatikoesoemo meminta Herman Johannes bergabung dengan pasukan Akademi Militer di sektor Sub-Wehrkreise 104 Yogyakarta. Dengan markas komando di Desa Kringinan dekat Candi Kalasan, lagi-lagi Herman Johannes diminta meledakkan Jembatan Bogem yang membentang di atas Sungai Opak. Jembatan akhirnya hancur dan satu persatu jembatan antara Yogya-Solo dan Yogya-Kaliurang berhasil dihancurkan Johannes bersama para taruna Akademi Militer. Aksi gerilya ini melumpuhkan aktivitas pasukan Belanda sebab mereka harus memutar jauh mengelilingi Gunung Merapi dan Gunung Merbabu melewati Magelang dan Salatiga untuk bisa masuk ke wilayah Yogyakarta.
Pengalamannya bergerilya membuat Herman Johannes juga ikut serta dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 yang menyerbu kota Yogyakarta di pagi buta dan bisa menduduki ibukota Republik selama enam jam. Herman Johannes juga menjadi saksi sumbangan Sri Sultan Hamengkubuwono IX kepada perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Letnan Soesilo Soedarman dan Letnan Djajadi, Mayor Johannes pernah bertugas ke Wedi, Klaten, untuk melakukan koordinasi perjuangan. Mereka bertiga berangkat memakai seragam baru hadiah dari Sultan Yogya. Sultan pun memberi gaji seratus rupiah Oeang Republik Indonesia (ORI) setiap bulan kepada para taruna Akademi Militer.
Dalam sebuah makalahnya Herman Johannes pernah mengemukakan bahwa Sri Sultan dan Paku Alam bersama Komisi PBB menjemput para gerilyawan masuk kota Yogyakarta pada 29 Juni 1949. Pasukan Akademi Militer masuk kota dari arah Pengok dan dijemput langsung Paku Alam VIII, dan Herman Johannes kemudian harus berpisah dengan teman-teman seperjuangannya utuk kembali ke dunia pendidikan. Jasanya di dalam perang kemerdekaan membuat Herman Johannes dianugerahi Bintang Gerilya pada tahun 1958 oleh Pemerintah RI. Almarhum Herman Johannes mendapat anugerah gelar Pahlawan Nasional dari Presiden Yudhoyono dalam rangka peringatan Hari Pahlawan 2009.[3][4]
RIWAYAT HIDUP
Herman Johannes menikah tahun 1955 dengan Annie Marie Gilbertine Amalo (lahir 18 Juni 1927), seorang putri raja dari wilayah Leli[butuh rujukan] di Pulau Rote. Mereka dikaruniai empat anak: Christine yang menikah dengan Dr. Wisnu Susetyo, seorang Wakil Presiden Freeport Indonesia; Henriette yang menikah dengan Robby Mekka, seorang musikus dan dosen musik di Institut Seni Indonesia; Daniel Johannes yang bekerja di Schlumberger Information Solutions; dan Helmi Johannes, seorang presenter berita televisi di VOA. Herman Johannes adalah sepupu Pahlawan Nasional Dr. Wilhelmus Zakaria Johannes. Herman Johannes meninggal dunia pada 17 Oktober 1992 karena kanker prostat. Meski sebagai pemegang Bintang Gerilya dan Bintang Mahaputra almarhum berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, namun sesuai amanatnya sebelum meninggal, maka keluarganya memakamkannya di Pemakaman Keluarga UGM di Sawitsari, Yogyakarta, bersama dengan para koleganya sesama pendidik bangsa. Pada tahun 2003, nama Herman Johannes diabadikan oleh Keluarga Alumni Teknik Universitas Gadjah Mada (KATGAMA), atas prakarsa Ketua Katgama saat itu, Airlangga Hartarto, menjadi sebuah penghargaan bagi karya utama penelitian bidang ilmu dan teknologi: Herman Johannes Award. Sesuai Keputusan Presiden RI (Keppres) No. 80 Tahun 1996, nama Herman Johannes diabadikan sebagai nama Taman Hutan Raya bagi kelompok hutan Sisinemi-Sanam seluas 1.900 hektare di Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Nama Prof Herman Johannes juga diabadikan menjadi nama jalan yang menghubungkan Kampus UGM dengan Jalan Solo dan Jalan Jenderal Sudirman di kota Yogyakarta.
PENDIDIKAN
Sekolah Melayu, Baa, Rote, NTT, 1921
Europesche Lagere School (ELS), Kupang, NTT, 1922
Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), Makassar, Sulawesi Selatan, 1928
Algemene Middelbare School (AMS), Batavia, 1931
Technische Hogeschool (THS), Bandung, 1934
PEKERJAAN
Guru, Cursus tot Opleiding van Middelbare Bouwkundingen (COMB), Bandung, 1940
Guru, Sekolah Menengah Tinggi (SMT), Jakarta, 1942
Dosen Fisika, Sekolah Tinggi Kedokteran, Salemba, Jakarta, 1943
Lektor, Sekolah Tinggi Teknik (STT) Bandung di Yogyakarta, 1946–1948
Mahaguru, STT Bandung di Yogyakarta, Juni 1948
Dekan Fakultas Teknik UGM, Yogyakarta, 1951–1956
Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam (FIPA) UGM, Yogyakarta , 1955–1962
Rektor, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1961–1966[5]
Koordinator Perguruan Tinggi (Koperti), DIJ-Jateng, 1966–1979
Ketua, Regional Science and Development Center (RSDC), Yogyakarta, 1969
KARIER (lain-lain)
Anggota, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), 1945–1946
Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga RI, 1950–1951
Anggota Executive Board UNESCO, Paris, 1954-1957
Anggota Dewan Nasional, 1957–1958
Anggota Dewan Perancang Nasional (Deppernas), 1958–1962
Anggota, Dewan Pertimbangan Agung RI (DPA RI), 1968–1978
Anggota Komisi Empat (Tim Pemberantasan Korupsi), 1970
Anggota, Panitia Istilah Teknik, Departemen Pekerjaan Umum RI, 1969–1975
Anggota, Majelis Bahasa Indonesia-Malaysia (MABIM), 1972–1976
Anggota Pepunas Ristek, Jakarta, 1980–1985
Anggota Dewan Riset Nasional, 1985–1992
Karier Militer
Kepala Laboratorium Persenjataan, Markas Tertinggi Tentara, Yogyakarta, 1946
Anggota Pasukan Akademi Militer Yogyakarta, Sektor Sub-Wehrkreise 104, Desember 1948–Juni 1949
Dosen, Akademi Militer Yogyakarta, 1946–1948
Pangkat terakhir: Mayor TNI, 1949
Komandan Resimen Mahakarta, 1962–1965
ORGANISASI
Christen Studenten Vereniging (CSV), Bandung, 1934
Indonesische Studenten Vereniging (ISV), Bandung, 1934
Timorese Jongeren/Ketua Perkumpulan Kebangsaan Timor (PKT), Bandung, 1934
Anggota, Angkatan Muda Pegawai Republik Indonesia (AMPRI), Jakarta, 1945
Ketua, Gerakan Rakyat Indonesia Sunda Kecil (GRISK), 1947
Partai Indonesia Raya (PIR) 1948
Ketua, Yayasan Hatta, 1950–1992
Pernah menjadi Ketua Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (KAGAMA), 1958-1961, 1973-1981[6]
Pernah menjadi Ketua Legiun Veteran Yogyakarta
Pernah menjadi pengurus Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Pusat
Anggota Persatuan Insinyur Indonesia (PII)
PENGHARGAAN
Pada tanggal 19 Desember 2016, atas jasa jasanya, Pemerintah Republik Indonesia, mengabadikan beliau di pecahan uang logam rupiah baru, pecahan Rp. 100,-[7]
Bintang Gerilya, 1958
Satya Lencana Perjuangan Kemerdekaan, 1961
Satya Lencana Wirakarya, 1971
Bintang Mahaputra, 1973
Doktor Honoris Causa, UGM, 1975
Bintang Legiun Veteran RI, 1981
Anugerah Sri Sultan Hamengkubuwono IX, 1991
Pahlawan Nasional, 2009
KARYA TULIS (sebagian)
Zarrah-zarrah Fisika Modern, (Jajasan Fonds Universitit Negeri Gadjah Mada, 1953)
Pantjasila Seichtisar dalam Kata-Kata Bung Karno, (Universitas Gadjah Mada, 1963)
Teknik Squeeze dalam Bridge, (PT Indira, Jakarta, 1970)
Pengantar Matematika untuk Ekonomi, (bersama Budiono Sri Handoko; Pustaka LP3ES, Jakarta 1974)
Gaya Bahasa Keilmuan, (Universitas Gadjah Mada, 1979)
Membina Bahasa Indonesia Menjadi Bahasa yang Ilmiah, Indah dan Lincah, (Universitas Gadjah Mada, 1980)
Kamus Istilah Ilmu dan Teknologi, (PT Indira, Jakarta, 1981)
Aneka Teknik Sepit, (Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1989)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar