GAGASAN HOMILI HR TUHAN YESUS KRISTUS RAJA
SEMESTA ALAM
Bacaan I: 2Sam 5:1-3; Bacaan II: Kol 1:12-20; Injil: Luk 23:35-43
Kepada jemaat di Korintus, Paulus memaparkan bahwa salib adalah hikmat Allah:
"Orang-orang Yahudi menghendaki tanda dan orang-orang Yunani mencari
hikmat, tetapi kami memberitakan Kristus yang disalibkan: untuk orang-orang
Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan,
tetapi untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi, maupun orang bukan
Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah. Sebab yang bodoh dari
Allah lebih besar hikmatnya dari pada manusia dan yang lemah dari Allah lebih
kuat dari pada manusia." (1Kor 1:22-25) Paulus begitu mengagumi hikmat
Allah yang dinyatakan dalam wafat Yesus disalib. Tak terbayangkan baginya bahwa
sebagai orang Yahudi dia akan tersandung oleh salib di jalan menuju Damsyik,
tetapi kemudian dibangkitkan untuk menjadi pewarta kebangkitan. Di dalam cahaya
kebangkitan, maka salib Yesus bagi-Nya mempunyai makna yang begitu dalam. Salib
menjadi ungkapan kasih Allah dalam Yesus yang rela mati agar manusia boleh
bangkit bersama-Nya. Dia tidak lagi malu untuk mewartakan misteri salib yang
menyimpan kekalahan sekaligus kemenangan, yang menyimpan penghinaan sekaligus
pemuliaan. Salib yang dulunya menjadi sandungan dan pangkal ketidakpercayaannya
pada Yesus, kini menjadi kebanggaannya. Ketika para musuh Paulus menghina dan
merendahkan dia di Galatia, Paulus menulis surat yang mengesankan. Dia memang
merasa diri rapuh dan lemah sehingga layak dihina oleh para musuhnya, tetapi
dia tidak kehilangan alasan untuk bermegah dan bangga atas kerapuhannya berkat
misteri kasih Allah dalam salib Yesus : "Aku sekali-kali tidak mau
bermegah, selain dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus, sebab olehnya dunia
telah disalibkan bagiku dan aku bagi dunia." (Gal 6:14) Paulus tidak
membalas penghinaan itu dengan menunjukkan kelebihan-kelebihannya, sebaliknya
dia mengakuinya dengan tulus dan jujur karena memang bukan kemegahan dirinya
yang dia cari. Justru di dalam kelemahan itu dia merasakan kekuatan Allah.
Salib menjadi satu-satunya alasannya untuk bermegah. Selemah dan serapuh apapun
umat manusia, dia boleh bermegah kerna Allah mengasihinya dalam Yesus sampai
dengan kematian-Nya di kayu salib.
Paulus mensharingkan hal ini dalam suratnya kepada jemaat di Korintus, ketika
pada suatu kali dia meminta tambahan rahmat agar boleh merasa diri kuat
menghadapi tantangan hidup. Dalam pengalaman rohaninya dia mendengar sabda
Yesus: "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah
kuasa-Ku menjadi sempurna." (2Kor 12:9). Paulus ungguh disadarkan berkat
pengalaman rohani itu. Menyusul kesaksiannya akan sabda Yesus itu, Paulus
mengatakan: "Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya
kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu aku senang dan rela di dalam
kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan
kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat." (2Kor
12:9b-10)
Bercermin pada kesaksian Paulus ini kita dapat memahami mengapa dalam HR
Kristus Raja Semesta Alam dipilih teks penyaliban Yesus. Tak lain karena di
dalam salib-Nya, Yesus menunjukkan diri-Nya sebagai Raja Cinta-kasih. Di atas
salib, seorang penjahat mengakui Yesus sebagai Raja dan Penyelamat. Yesus yang
tersalib baginya adalah harapan untuk keselamatan dalam hidup kekal. Kitapun
boleh berbangga bersama Paulus atas salib Cintakasih itu. Jika penjahat yang
disalib bersama Yesus dapat sampai pada keyakinan bahwa Dia adalah Raja yang
membawa keselamatan abadi, lebih-lebih kita sekalian yang telah dibaptis dalam
nama-Nya. Dengan salib suci-Nya Dia telah menebus dunia. Dialah Raja kita,
bahkan Dialah Raja semesta alam.
Pengangkatan Daud sebagai raja atas Israel bersatu
Bacaan pertama menggambarkan pengakuan dan pengangkatan suku-suku Utara
(Israel) terhadap Daud sebagai raja mereka. Peristiwa ini terjadi setelah
suku-suku Utara tidak dapat lagi mempercayakan pemerintahan atas mereka kepada
Isyboset dan keturunan Saul lainnya. Peristiwa ini dipandang penting karena dengan
pengakuan suku-suku Utara tersebut Daud berhasil menjadi raja atas Israel
bersatu (Israel dan Yehuda). Ia menjadi raja dan diakui oleh dua belas suku
Israel. Daud adalah figur raja yang nantinya melahirkan idealisme Yahudi
tentang Mesias. Bagi mereka, Mesias adalah keturunan Daud dan akan melanjutkan
tahta Daud.
Yesus Anak Allah yang meraja
Bacaan kedua merupakan uraian Paulus kepada jemaat di Kolose tentang Yesus
sebagai Anak Allah yang meraja, yang mengatasi dan menguasai segala ciptaan
serta kuasa di bumi. Segala ciptaan diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. Kuasa
duniawi dari Yesus disatukan dengan kuasa Ilahi sebagai gambar Allah, pendamai
antara bumi dan sorga, penebus dan pengampun atas dosa manusia. Kendati Paulus
memberi kesaksian tentang gambaran Kristus yang begitu mulia dan rajawi itu, ia
tetap menegaskan bahwa itu semua harus dicapai lewat salib. Antara salib dan
kemuliaan terjadi suatu paradoks ilahi yang merupakan misteri bagi umat
manusia. Paradoks ini semakin jelas kelihatan dalam kisah Injil Minggu ini.
Seorang Raja sejati yang dhukum salib
Yesus Sang Raja digambarkan sebagai pesakitan yang dibawa menuju bukit
Tengkorak (Aram: Gulguta) untuk disalibkan. Ia dibawa ke Golgota bersama dengan
dua penjahat yang akan mengalami hukuman yang sama. Ia terhitung di antara para
penjahat, disalibkan di antara dua penjahat. Lukas mengisahkan doa Yesus di
salib: "Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka
perbuat". Yesus memahami benar ketidaktahuan para musuh yang menyalibkan
Dia. Untuk itu Ia mohon pengampunan Bapa bagi mereka. Doa Yesus ini
dikontraskan dengan cemoohan para pemimpin. Dalam peristiwa penyaliban, Lukas
membedakan para audience Yesus: para pemimpin Yahudi, prajurit, orang banyak,
para pengikut Yesus (termasuk para perempuan dari Galilea), dan Yusuf dari
Arimatea (anggota majelis besar). Pada peristiwa penyaliban, "orang
banyak" hanya berdiri menonton, tidak ikut mengejek. Nanti pada ayat 48
dikatakan bahwa: "Dan sesudah seluruh orang banyak, yang datang berkerumun
di situ untuk tontonan itu, melihat apa yang terjadi itu, pulanglah mereka
sambil memukul-mukul diri". Seolah-olah mereka hadir sebagai saksi netral
yang menyaksikan Yesus sebagai orang benar yang dihukum dan para pemimpin
Yahudi sebagai penghukum yang tak henti-hentinya mengolok-olok Yesus. Pada
akhirnya, orang banyak itu tahu dan yakin bahwa Yesus adalah orang benar. Sikap
mereka dinyatakan lewat tokoh "kepala pasukan" yang melihat apa yang
terjadi lalu memuliakan Allah dengan berkata: "Sungguh, orang ini adalah
orang benar". Mereka yang tidak secara khusus beriman pada Yesus, hanya
sampai pada pengakuan bahwa Yesus adalah orang benar yang menderita (Bdk. Mzm
22). Namun, bagi penjahat yang bertobat dan para murid yang beriman pada Yesus,
kematian Yesus merupakan ungkapan kasih total dari Dia yang berkuasa atas hidup
dan mati.
Para prajurit membuang undi atas pakaianNya (bdk. Mzm 22:19). Tidak ada lagi
yang tertinggal pada Yesus ketika Ia disalib. PakaianNya yang sebenarnya sudah
berlepotan darah itupun diundi. Para pemimpin mengejek Yesus. Apa yang menjadi
ini ejekan mereka? Tak lain adalah soal keselamatan. Rupanya para pemimpin
bukan hanya tidak kenal siapa Yesus tetapi juga tidak mengerti makna
keselamatan yang diwartakanNya: "Orang lain Ia selamatkan, biarlah
sekarang Ia menyelamatkan diri-Nya sendiri, jika Ia adalah Mesias, orang yang
dipilih Allah" (bdk. Mzm 22:9). Para prajurit ikut mengolok Dia dan
menawarkan anggur asam pada-Nya. Dalam Mzm 69:22 anggur asam merupakan tanda
ejekan. Meskipun begitu, anggur asam dalam peristiwa penyaliban Yesus
dimaksudkan untuk membuat-Nya mabuk sehingga tidak merasakan sakitNya.
Antara penghinaan dan pemuliaan
Selain tentang "keselamatan", ejekan para pemimpin dan prajurit juga
mengarah pada tuduhan yang dikenakan pada Yesus, yaitu sebagai Mesias atau Raja
(bdk. frekwensi penggunaan kata-kata tersebut pada ay 35-38). Bahkan salah satu
penjahat yang ada disampingNya ikut mencemooh dengan sebutan Mesias (Raja)
mengulangi cemoohan para pemimpin pada ayat 35. Akan tetapi penjahat yang lain
justru membela Dia. Ia mengakui bahwa dirinya layak dihukum karena memang
bersalah. Akan tetapi Yesus tidak layak dihukum, karena Ia tidak bersalah, Ia
orang benar. Rupanya penjahat yang membela Yesus itu sudah sampai pada iman
akan Yesus sebagai Raja dalam arti sebenarnya, ketika berkata: "Yesus,
ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja". Ironi ini begitu
tajam. Yesus yang disalib dan sedang dicemooh itu disebut sebagai Raja oleh
penjahat yang bertobat. Dalam ayat berikutnya Yesus menanggapi permohonan penuh
iman itu dengan sabda keselamatan: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya
hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam
Firdaus".Yesus yang dianggap tidak dapat menyelamatkan diri-Nya sendiri itu
ternyata justru menawarkan keselamatan di firdaus bagi penjahat yang memohon
kepadaNya itu.
Peristiwa salib Yesus memang kaya dengan ironi, antara lain dengan adanya dua
pandangan kontras yang dibiarkan hadir bersama-sama. Mereka yang mencemooh
Yesus dan menganggapnya sebagai Mesias politik yang telah gagal dikontraskan
dengan mereka yang beriman padaNya dan memahamiNya sebagai Mesias sejati
(diwakili oleh salah satu penjahat, kepala pasukan, sejumlah orang yang
menyaksikan penyaliban, para murid perempuan, dan Yusuf dari Arimatea).
Salib tanda kemuliaan
Mengapa Gereja memilih teks penyaliban Yesus untuk dibaca pada hari raya
Kristus Raja semesta alam? Alasannya, justru dalam peristiwa yang begitu
menyedihkan dan menyakitkan itu, Yesus menunjukkan diri-Nya sebagai Raja yang
sejati. Apa yang terjadi sepertinya sungguh bertentangan dengan logika manusia.
Namun, penyaliban Yesus sesungguhNya telah menempatkan diriNya sebagai Raja
pengampunan, raja perdamaian, raja belas kasih. Dalam suasana yang penuh
kekerasan dan kekejaman itu Yesus justru berdoa: "Ya Bapa, ampunilah
mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat". Salib Yesus
meruntuhkan batas antara sorga dan dunia. Tabir Bait Suci terbelah menjadi dua,
berarti batas antara yang ilahi dan yang duniawi dipertemukan di dalam salib
Yesus. Sampai pada saat-saat terakhir hidupNya Yesus menunjukkan diri sebagai
Pengampun dan Penyelamat. Dengan cara itulah Allah Bapa menawarkan keselamatan
kepada umat manusia. Dalam melaksanakan misi keselamatan inilah Yesus layak
kita imani sebagai Raja alam semesta. Refleksi ini sebenarnya masih harus
dilengkapi lagi dengan refleksi mengenai kebangkitan.
Menggali pesan bacaan
- Gereja memilih teks penyaliban Yesus sebagai pendukung tema HR Kristus Raja
semesta alam. Pada saat Yesus disalib semakin tampaklah martabat-Nya sebagai
Raja Belas Kasih dan keselamatan. Kasih-Nya yang tulus dan total kepada umat
manusia menjadi kekuatan dalam menanggung segala derita dan olok-olok dari para
lawan-Nya.
- Bagaimana kita sekalian yang mengimani Yesus? Bukankah Dia adalah Raja kita?
Bukankah salib yang kita kenakan dan kita pasang di rumah menunjukkan keyakinan
itu?
- Yesus bukan hanya Raja umat manusia tetapi Raja semesta alam. Gelar yang
diberikan pada-Nya itu merupakan gelar yang diperoleh-Nya berkat
kebangkitan-Nya dari mati. Kita ingat tulisan Paulus dalam Flp 2:8-11:
"Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat
sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat
meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya
dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas
bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: "Yesus Kristus
adalah Tuhan," bagi kemuliaan Allah, Bapa! (Harikus Pr)
Hari Raya Yesus Kristus Raja Semesta Alam
Bacaan Injil: Yohanes 18, 33b - 37
Dialog dalam pertemuan antara Yesus dan Pilatus dapat disebut sebagai sebuah
dialog yang macet. Pertanyaan terakhir Pilatus « Apakah kebenaran itu ? »,
tidak memperoleh jawaban dari Yesus. Namun semua apa yang terjadi setelah
Pilatus cuci tangan dan menyerahkan Yesus untuk dihukum salib, tentunya
menjawab dengan lebih berlimpah pertanyaannya itu. Sebagai gambaran situasi,
saat itu Yesus berhadap-hadapan dengan Pilatus untuk diinterogasi di dalam
gedung pengadilan yang disebut litostrotos, sedang di luar ada kerumunan besar
orang banyak, yang kali ini berada di pihak sebagai musuh dan pendakwa Yesus.
Tentu ada pembesar-pembesar romawi dan pasukan tentaranya sedangkan Yesus,
seorang diri. Mari kita meditasikan dan refleksikan Kisah Injil pada hari Raya
Kristus Raja Semesta Alam ini.
Dialog dalam tiga tahap :
Tahap pertama (ayat 33-35), interogasi mengenai istilah Raja orang Yahudi.
Pertanyaan Pilatus kepada Yesus tampaknya menjadi sesuatu yang obsesif,
mewakili gejolak pada dirinya sendiri. Perwakilan Kaisar itu « takut » pada
orang Galilea, yang disebut sebagai raja orang Yahudi ini. Suatu kuasa yang
cemas pada kuasa-kontra, yang bisa mengancam sewaktu-waktu dominasi Romawi di
Palestina. Yesus mencoba menguji Pilatus yang memberikan pertanyaan sindiran «
Engkau inikah raja orang Yahudi ?» dengan balik mempertanyakan apakah itu
pengetahuan dan motif Pilatus sendiri tentang sebutan Raja orang Yahudi itu.
Pilatus sebetulnya mengakui ketidaktahuannya, karena sebetulnya maknanya bisa
berbeda antara apa yg dimaksud oleh Yesus dan apa yang dituduhkan oleh orang
Yahudi. Kemungkinan besar istilah raja orang Yahudi atau raja Israel itu
diambil Pilatus dari teriakan orang banyak saat Yesus masuk ke Yerusalem,
ketika mereka bersorak-sorai menyambut Yesus : « Hosana, terpujilah Dia yang
datang atas nama Tuhan. Terpujilah dia Raja Israel, Putra Raja Daud » ; walau
sekarang orang banyak yang sama itu pulalah yang ikut mengajukan Yesus ke
pengadilan Pilatus. Maka di tahap pertama ini, Pilatus tidak mendapatkan
jawaban dari Yesus dan juga tidak bisa menjawab pertanyaan Yesus. Dan untuk
melanjutkan penyelidikan ia bertanya « Apa yang telah Engkau buat, sehingga
bangsa-Mu sendiri dan orang-orang Yahudi menyerahkan Engkau untuk kuadili?
Tahap kedua (ayat 36), Yesus lalu menjelaskan sifat dan kodrat kerajaan-Nya.
Kerajaan yang tidak bertentara, yang tidak punya kekuatan militer, tidak
berwilayah dan tidak berpemerintahan dan tidak berasal dari dunia ini atau
tidak bersifat seperti kerajaan duniawi .
Tahap ketiga (ayat 37, 38), karena Yesus menyebut “kerajaan-Ku”, maka Pilatus
menyimpulkan dengan pertanyaan “jadi Engkau adalah Raja?” namun tidak lagi
mengatakan Raja orang Yahudi. Dan Yesus menjawab untuk menegaskan bahwa Pilatus
sebetulnya telah mengatakan Yesus adalah Raja dari hatinya sendiri: “Engkau
mengatakan bahwa Akulah Raja”. Di sini Pilatus mengasumsikan tanggungjawab dari
pengadilannya, sebagai penguasa romawi di sana, namun Yesus menjelaskan
duduk-perkara alasan dan tujuan atau misi-Nya, mengapa dan untuk apa Ia datang
membawa kerajaan-Nya itu. Yakni untuk bersaksi akan kebenaran dan membawa
setiap orang dengan kuasa otoritas-Nya kepada kebenaran, hal yang sama sekali
tidak mengancam eksistensi romawi. Dan dialog berakhir dengan pertanyaan
Pilatus tentang apakah kebenaran itu, yang tak memperoleh jawab dari Yesus.
Kerajaan Politis dan Kerajaan Spiritual
Monolog singkat Yesus di ayat 36 atau di tahap 2 dialog menegaskan transisi
antara dua elemen dialog. Pertama, yang berkaitan dengan konsep kerajaan yang
lebih bersifat politis (ayat 33-35), di mana Yesus diajukan oleh bangsa Yahudi
ke pengadilan dengan tuduhan mau menggalang kekuatan politis melawan penguasa
Romawi saat itu dengan ungkapan, “Siapa mengaku dirinya raja, melawan Kaisar (ayat
12) atau “Kami tidak punya raja, selain Kaisar (ayat 15). Hal mana, jika benar
berarti menjadi ancaman bagi regim romawi saat itu.
Kedua, yang sudah diberi tafsiran teologis yang lebih luas, yakni bahwa
Pilatus, figure dari dunia pagan ini mendapat penjelasan cukup dari Yesus dan
siap untuk mengakui pada diri Yesus, suatu kerajaan yang bersifat spiritual,
melalui pewahyuan mengenai kebenaran. Dalam Injil Yohanes, kebenaran ini tak
lain adalah pewahyuan rencana keselamatan Allah dalam diri Yesus sendiri. Kerajaan-Nya
ini tidak memiliki nasionalisme atau ambisi duniawi, karena Ia memang bukan
dari dunia ini dan ketika Ia mengumpulkan orang, mereka dipanggil tidak untuk
menjadi tentara yang siap berperang mempertahankan kekuasaan atau kedudukan,
namun menjadi murid-murid yang penuh perhatian pada suara Gurunya dan yang
musti mengaku diri sebagai saksi-saksi kebenaran dan yang nantinya tak kenal
lelah bersaksi tentang Dia. Bila kisah diteruskan, kita tahu bahwa setelah itu
Pilatus hendak membebaskan Yesus karena memang tidak menemukan kesalahan apapun
pada-Nya, dan lebih dari itu Yesus tidak membahayakan dirinya atau kekuasaan
romawi.
Rancangan Allah, bukan rancangan manusia.
Kisah Kerajaan ini menjadi makin ironis ketika Pilatus tak mampu menolak
keinginan orang banyak. Sebuah rencana akan berdirinya kerajaan yang bersifat
universal dan abadi sebagai perwujudan kasih Allah pada bangsa-manusia dengan
memberikan Putera-Nya yang tunggal dan terkasih, sepertinya dengan mudah
menjadi layu sebelum berkembang, ketika Pilatus akhirnya memilih cuci tangan,
dan menyerahkan Yesus untuk disalibkan. Namun cara inilah yang dipilih Allah,
karena memang Allahlah yang tahu jalan-jalan terbaik untuk mengasihi manusia.
Lewat jalan-jalan yang sulit dimengerti manusia itulah Ia menghadirkan
Kerajaan-Nya. Ia mempersiapkan kerajaannya hanya dengan 3 tahun masa bakti-Nya
di dunia. Ia memilih dan menempatkan orang-orang di kerajaannya, bukan dari
kaum cerdik-pandai, namun dari golongan marginal yang polos dan sederhana.
Mahkotanya adalah rangkaian duri dan tahta-Nya adalah kayu salib. Namun
kerajaannya itu, yang nota bene berdurasi sejak inkarnasi-Nya sampai parousia,
memang tidak dari dunia ini, atau lebih tepatnya mengatasi dunia ini. Ia
sendiri, merubuhkan kerajaan maut musuh abadinya,melalui sengsara dan
wafat-Nya, membangun Kerajaan Barunya hanya dalam 3 hari lewat misteri
kebangkitan-Nya. Dan melihat Dia berani mengaku diri sebagai Jalan, Kebenaran
dan Hidup, Akulah Alfa dan Omega, maka kita memahami bahwa kerajaan-Nya itu
bersifat dahulu, sekarang dan yang akan datang alias tanpa batas dan tanpa
akhir alias mengatasi segala ruang dan waktu alam semesta ini.
Apa yang bisa kita petik dari pemahaman akan Kerajaan Allah seperti ini?
Pertama, ketika Yesus diakui sebagai Raja dengan ciri-ciri tadi, berarti Ia
meraja tidak untuk menonjolkan kuasa-Nya, melainkan untuk memberi pada kita
kebebasan atau kemerdekaan sebagai anak-anak Allah. Yesus memberi kebebasan
kepada setiap orang dengan menawarkan jalan keselamatan dengan memberikan hukum
kasih: Kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama. Dan Kasih sebagai jalan
keselamatan itu diteladankan Allah dengan menyerahkan anak-Nya yang tunggal.
Oleh karena tak seorangpun mampu menjalankan hukum kasih dengan sempurna, maka
Allah, si pembuat hukum sendiri, yang menjelma menjadi manusia yang
melaksanakan hukum itu secara paripurna untuk memungkinkan penebusan dosa dalam
rencana keselamatan itu. Ya, itu karena hanya Allah sajalah yang dapat
mengasihi, mengampuni, menghapus dan menebus dosa manusia, secara penuh. Jadi
Allah memberi kebebasan kepada manusia untuk menerima pemberian kasih-Nya itu
atau sebaliknya menolaknya.
Kedua, untuk masuk ke dalam Kerajaan-Nya ini, yang diperlukan adalah
pertobatan. Karena soal keselamatan adalah soal terbebasnya manusia dari
belenggu dosa dan maut. Ketika Yohanes Pembaptis mengawali karyanya, ia
berseru-seru, bertobatlah karena Kerajaan Allah sudah dekat. Yesus juga
mengundang kepada pertobatan, kepercayaan kepada Injil dan pemberian diri untuk
dibaptis karena kerajaan Allah sudah dekat. Jadi untuk menyambut dan masuk ke
Kerajaan Allah ini, orang lebih dahulu harus menjadi pantas dan layak, bersih
dari dosa.
Ketiga, kita dalam kerajaan ini, tidak perlu mengandalkan apapun selain kasih
Allah. Karena ini adalah Kerajaan Allah, maka memang cara Allah yang musti
dipakai. Ya, walaupun cara Allah, yang meraja tanpa kuasa seperti ini, dapat
menjadi skandal: baik dahulu maupun sekarang. Bagi orang Yahudi ini batu
sandungan: sebab mesias haruslah jaya dan pemenang, pengusir penjajah romawi.
Jadi mesias yang tak berdaya di kayu salib, jelas-jelas skandal yang naif dan
tidak bisa diterima. Lalu bagi orang Yunani ini kebodohan : kebodohan salib.
Orang pandai tak mungkin melakukan kegilaan seperti ini. Kerajaan tanpa
tentara, tanpa senjata tanpa kuasa-kuasa yang membuat orang bergetar ketakutan,
dapat saja dan umumnya diragukan. Namun bagi kita, yang percaya, ini adalah
kebijaksanaan dari kehendak Allah. Mulai dari kesederhanaan dalam saat
kelahiran-Nya di Betlehem, hidup dalam kemiskinan di Nazareth yang jauh dari
gambaran jaya garis keturunan Daud, Bapa leluhurnya ; Raja yang « blusukan »
tanpa batas dengan mereka yang lepra, yang kumuh, yang dihindari masyarakat ;
Raja yang bergabung dengan para pendosa, yang berkelana dari desa ke desa ;
Raja yang dengan tangan kosong berhadapan dengan para penangkapnya di taman
zaitun dan sendirian di hadapan penguasa dunia saat itu dan puncak skandal Raja
ini adalah ketakberdayaan dalam penyiksaan dan hukuman di kayu salib, lalu
mati. Tak ada kuasa, tak ada wibawa, hanyalah kelemahlembutan dan
kerendahhatian yang ditunjukkannya pada mereka yang mencerca, menghina dan
memusuhinya, tatapan teduh pada setiap pengikutnya, hati yang berbelaskasih
pada mereka yang lapar, dan pengampunan bagi para pendosa yang bertobat dan
pada para pembunuh-Nya. Ia yang mahatinggi telah mengambil tempat terendah,
menjadi hamba dari para hamba, mengambil ras dari bumi, ras insani. Menjadi
Anak domba kelu yang digiring ke tempat pembantaian. Lahir dalam kerendahan dan
mati dalam kehinaan.
Pembalikan Radikal : Inti Iman Kita
Sekali lagi melihat itu semua mustinya tak ada alasan apapun yang bisa
mendukung kerajaannya akan bisa tumbuh dan berkembang. Waktu terlalu singkat,
sarana-prasarana tak memadai, dan infrastruktur tidak jelas dan berantakan.
Namun akan menjadi salahlah kalau kita hanya berhenti di situ, karena akan ada
pembalikan total yang mengubah segala skandal dan batu sandungan itu, yakni
kebangkitan-Nya. Pembalikan sempurna ini untuk membentuk keseluruhan ekstrim
yang serba gelap dan tanpa nilai positif itu menjadi ekstrim gemilang dan
terang-benderang. Lewat cahaya Paska, kebangkitan-Nya, kita dapat melihat bahwa
apa yang dilakukan-Nya adalah suatu bentuk konsekuensi dan konsistensi total
dengan seluruh sabda-Nya sendiri, karena Ia adalah pelaksana sempurna hukum
yang dibuat-Nya sendiri. “Barang siapa ingin menjadi yang terkemuka, hendaklah
ia menjadi pelayan bagi semua; yang meninggikan diri akan direndahkan, yang
terdepan akan menjadi yang terbelakang, barangsiapa ingin menjadi sempurna,
hendaklah ia melepaskan segala miliknya, barangsiapa ingin menjadi pembesar ia
harus menjadi seperti anak kecil, barangsiapa kehilangan nyawanya, akan
mendapatkannya kembali. »
Raja Semesta Alam
Pembalikan total inilah yang menjadi inti iman kita dan setelahnya kita tahu
bahwa Ia yang telah mengasihi tanpa batas dengan kasih agung pergurbanan diri,
menjadi sahaya dari para sahaya inilah yang kemudian memiliki Nama, yang
melebihi segala nama. Pada Dia yang dahulu menerima segala hojat dan hinaan
serta fitnah keji inilah, yang kelak segala lutut akan bertekuk dan bersujud,
serta segala lidah akan mengaku bahwa Ia adalah Tuhan dan Juru selamat. Dia
yang mengawali kerajaan-Nya tanpa wilayah dan zero-modal ini ternyata adalah
pemilik semesta alam, Raja segala raja. Berkuasa penuh atas segala milik-Nya,
sehingga bisa berkata dosamu sudah diampuni, bangkitlah dan berjalanlah!, Hai
anak muda bangkitlah!, hari ini juga engkau akan bersama-Ku di firdaus.. ;
sebab sebagai penguasa semesta alam Ia tahu di mana Dia dahulu berada, kini
berada dan akan berada; Ia tahu isi hati setiap manusia.
“Layaklah Anak domba yang disembelih itu, menerima kuasa, kemuliaan,
kebijaksanaan, kekuatan dan hormat. Bagi-Nya, yang telah membuat kita menjadi
suatu kerajaan, menjadi imam-imam bagi Allah, Bapa-Nya, bagi Dialah kemuliaan
dan kekuasaan sampai selama-lamanya. Amin.” (Wahyu 5, 12 dan 1,6). (Salam
Kompasiana).
BERKUASA ATAS SEMESTA ALAM?
Pada hari raya Kristus Raja Semesta Alam tahun B ini dibacakan Yoh 18:33b-37.
Petikan ini memperdengarkan pembicaraan antara Pilatus dan Yesus. Pilatus
menanyai Yesus apa betul ia itu raja orang Yahudi guna memeriksa kebenaran
tuduhan orang terhadap Yesus. Yesus menjelaskan bahwa keraja¬an¬nya bukan dari
dunia sini. Ia datang ke dunia untuk bersaksi akan kebenaran.
Injil mengajak kita mengenali Yesus yang sebenarnya, bukan seperti yang
dituduhkan orang-orang, bukan pula seperti Pilatus yang sebenarnya tidak begitu
peduli siapa Yesus itu. Hari Raya Kristus Raja Semesta Alam ini juga merayakan
kebesaran manusia di hadapan alam semesta. Itulah kebenaran yang dipersaksikan
Yesus dan yang dipertanyakan Pilatus.
RAJA DALAM PERJANJIAN LAMA
Dalam alam pikiran Perjanjian Lama, raja berperan sebagai wakil Tuhan di dunia.
Di Kerajaan Selatan, yakni Yudea, peran ini dipegang turun-temurun. Kepercayaan
ini terpantul dalam silsilah Yesus dalam Injil Matius yang melacak leluhur
Yesus, anak Daud, anak Abraham (Mat 1:1-17). Lukas menggarisbawahinya tapi
melacaknya lebih lanjut hingga ke Adam, anak Allah, yakni “gambar dan rupa”
sang Pencipta sendiri di dunia ini (Luk 4:23-27). Tetapi dalam menjalankan
peran ini, raja sering diingatkan para nabi agar tetap menyadari bahwa Tuhan
sendirilah yang menjadi penguasa umat.
Kehancuran politik yang berakibat dalam pembuangan di Babilonia (586-538 s.M.)
mengubah sama sekali keadaan ini. Raja ditawan dan dipenjarakan, kota Yerusalem
dan Bait Allah dijarah, negeri terlantar dan morat-marit hampir selama setengah
abad. Pengaturan kembali baru mulai setelah pembuangan, pada zaman Persia. Bait
Allah mulai dibangun kembali (baru selesai 515 s.M.), walau kemegahannya tidak
seperti sebelumnya. Tidak ada lagi raja seperti dulu walau ada penguasa
setempat yang berperan dengan cukup memiliki otonomi di dalam urusan keagamaan.
Pada zaman Yesus, keadaan ini tidak banyak berubah. Memang ada harapan dari
sementara kalangan orang-orang Yahudi bahwa kejayaan dulu akan terwujud
kembali. Maka itu, ada harapan akan Mesias Raja. Harapan ini mendasari pelbagai
gerakan untuk memerdekakan diri. Hal ini sering malah memperburuk keadaan.
Penguasa asing menumpas gerakan itu dan memperkecil ruang gerak orang Yahudi
sendiri. Maka itu, di kalangan pemimpin Yahudi ada kekhawatiran apakah Yesus
ini sedang membuat gerakan yang akan mengakibatkan makin kerasnya pengaturan
Romawi. Mereka mendahului menuduh Yesus di hadapan penguasa Romawi guna
mencegah memburuknya suasana politik.
PATUTKAH IA MENJADI RAJA?
Menurut Yohanes, memang orang pernah bermaksud mengangkat dia sebagai raja (Yoh
6:15, sehabis memberi makan 5.000 orang). Akan tetapi, tak sedikit dari mereka
itu nanti juga meneriakkan agar ia disalibkan. Bukannya mereka tak
berpendirian. Mereka itu seperti kebanyakan orang ingin hidup tenteram. Mereka
mendapatkan roti dan ingin terus, tetapi mereka juga berusaha menghindari
kemungkinan mengetatnya pengawasan dari penguasa Romawi. Di dalam kisah
sengsara memang tercermin anggapan yang beredar di kalangan umum bahwa Yesus
itu bermaksud menjadi raja orang Yahudi: olok-olok para serdadu (Mat 27:29; Mrk
15:9.18; Luk 23:37; Yoh 19:3), papan di kayu salib menyebut Yesus raja orang
Yahudi (Mat 27:37; Mrk 15:26; Luk 23:38; Yoh 19:19-21), olok-olok para pemimpin
Yahudi di muka salib (Mat 27:42; Mrk 15:32), kata-kata Pilatus di depan orang
Yahudi (Yoh 19:14-15).
Kisah kelahiran Yesus menurut Matius juga menceritakan kedatangan para orang
bijak dari Timur mencari raja orang Yahudi yang baru lahir (Mat 2:2). Namun
demikian, seluruh kisah itu justru menggambarkan kesederhanaannya. Gambaran
yang sejalan muncul dalam kisah Yesus dielu-elukan di Yerusalem (Mat 21:1-11;
Mrk 11:1-10; Luk 19:28-38; dan Yoh 12:12). Ia disambut sebagai tokoh yang amat
diharap-harapkan dan diterima sebagai raja, terutama dalam Yohanes. Jelas juga
bahwa tokoh ini ialah raja yang bisa merasakan kebutuhan orang banyak.
Menurut Markus, Matius, dan Lukas, di hadapan Pilatus Yesus tidak menyangkal
tuduhan orang Yahudi bahwa ia menampilkan diri sebagai raja, tetapi tidak juga
mengiakan (Mat 27:11; Mrk 15:2; Luk 23:2-3). Dalam Yoh 18:33-39, ia justru
menegaskan bahwa ia bukan raja dalam ukuran-ukuran duniawi.
Injil mewartakan Yesus sebagai Mesias dari Tuhan. Dalam arti itu, ia memiliki
martabat raja. Namun demikian, wujud martabat itu bukan kecemerlangan duniawi,
melainkan kelemahlembutan, kemampuan ikut merasakan penderitaan orang, dan
mengajarkan kepada orang banyak siapa Tuhan itu sesungguhnya.
RAJA SEMESTA ALAM
Guna mendalami Injil Yohanes mengenai Yesus, sang raja yang bukan dari dunia
ini meski dalam dunia ini, marilah kita tengok madah penciptaan Kej 1:1-2:4a.
Injil Yohanes, khususnya dalam bagian pembukaannya (Yoh 1:1-18), mengandaikan
pembaca tahu bahwa ada rujukan ke madah penciptaan itu.
Ciptaan terjadi dalam enam hari pertama (Kej 1:1-31) dan manusia sendiri baru
diciptakan pada hari keenam. Dalam enam hari itu, Tuhan mencipta dengan
bersabda. Sabda-Nya menjadi kenyataan. Diciptakan berturut-turut: waktu siang
dan malam (Kej 1:3-5), langit (ay. 6-8), bumi beserta tetumbuhan (ay. 9-12),
matahari, bulan, dan bintang-bintang (ay. 14-19), ikan di laut dan burung di
udara (ay. 20-23), hewan-hewan di bumi (ay. 24-25), dan akhirnya manusia.
Sesudah menciptakan hewan-hewan pada hari keenam itu, Tuhan bersabda, “Marilah
kita menciptakan manusia menurut gambar dan rupa kita!” (Kej 1:26). Ungkapan
“kita” memuat ajakan kepada seluruh alam ciptaan yang telah diciptakan-Nya itu
untuk ikut serta dalam pen-cipta¬an manusia. Seluruh alam semesta yang telah di¬ciptakan
kini “menantikan” puncaknya, yakni manusia. Dalam diri manusia terdapat peta
kehadiran Tuhan Pencipta yang dapat dikenali oleh alam semesta. Oleh karena
itu, manusia juga diserahi kuasa menjalankan pengaturan bumi dan isinya (Kej
1:29).
Manusia diciptakan “laki-laki dan perempuan” (Kej 1:27). Dalam cara bicara
Ibrani, ungkapan dengan dua bagian ini merujuk kepada keseluruhan manusia, jadi
seperti kata “kemanusiaan” atau “humankind” dalam bahasa Inggris. Bandingkan
dengan ungkapan “benar-salahnya”, maksudnya “kebenarannya”; “jauh-dekatnya”
maksudnya “jaraknya”.
Pada hari ketujuh (Kej 2:1-4a) sang Pencipta beristirahat dan memberkati hari
itu. Pekerjaan yang telah diawali-Nya itu kini dilanjutkan oleh manusia karena
manusia memetakan kehadiran-Nya. Hari ketujuh tak berakhir, inilah zaman alam
semesta yang diberkati Tuhan Pencipta.
Gambaran di atas menjadi gambaran ideal manusia sebagai raja yang mewakili
Tuhan di hadapan alam semesta. Kebesaran manusia sang “gambar dan rupa” Tuhan
dan alam semesta itu diterapkan Yohanes kepada Yesus. Dalam hubungan ini
Yohanes merujuk Yesus sebagai “Sabda”, yakni kata-kata “Terjadilah…!” dst. yang
diucapkan Tuhan dalam menciptakan alam semesta berikut isinya, termasuk manusia
sendiri.
Dengan latar di atas, makin jelas apa yang dimaksud Yesus ketika berkata kepada
Pilatus (Yoh 18:36) bahwa kerajaannya bukan dari dunia ini, bukan dari sini.
Yesus itu memang raja dalam arti puncak ciptaan sendiri, kemanusiaan yang
sejati seperti dulu dikehendaki sang Pencipta. Dalam ay. 37 Yesus menambahkan
bahwa untuk itulah ia lahir, untuk itulah ia datang. Seluruh kehidupannya
mempersaksikan kebenaran, yaitu manusia yang dikehendaki Pencipta sebagai
puncak ciptaan yang membadankan unsur-unsur ilahi dan ciptaan dalam dirinya.
Dengan demikian, dalam perayaan Kristus Raja Semesta Alam, dirayakan juga
kebesaran manusia, yakni manusia seperti dikehendaki Pencipta. Itulah kebesaran
martabat manusia sejati. Sesudah perayaan ini, orang Kristen menyongsong Masa
Adven untuk menantikan pesta kedatangan Yesus, Raja yang bakal lahir dalam
kemanusiaan yang sederhana tapi yang juga mendapat perkenan Yang Maha Kuasa.
Kembali ke dialog antara Pilatus dan Yesus. Dalam Yoh 18:37 disebutkan Yesus
datang ke dunia, ke tempat yang dalam alam pikiran Injil Yohanes dipenuhi
kekuatan-kekuatan yang melawan Allah Pencipta, untuk mempersaksikan
“kebenaran”. Apa kebenaran itu? Pertanyaan ini juga diucapkan oleh Pilatus. Ini
juga pertanyaan kita yang dalam banyak hal memeriksa Yesus. Menurut Injil
Yohanes, “kebenaran” yang dipersaksikan Yesus itu ialah kehadiran ilahi di
kawasan yang dipenuhi kekuatan gelap. Ia menerangi kawasan yang gelap. Inilah
yang dibawakan Yesus kepada umat manusia. Inilah yang membuatnya pantas jadi
Raja Semesta Alam. Orang yang mengikutinya akan menemukan jalan kembali ke
martabat manusia yang asali, yakni sebagai “gambar dan rupa” Allah sendiri.
Orang yang mendekat kepadanya dapat berpegang pada kebenaran ini. Masyarakat
manusia kini, di negeri kita, butuh cahaya itu juga. Dan kita-kita yang percaya
kepada terang itu diajak untuk ikut membawakannya kepada semua orang. Inilah
makna perayaan Kristus Raja Semesta Alam yang kita rajakan bersama Injil
Yohanes tahun ini. (A. Gianto SJ).
Jadikan Dia Raja di Hati
Injil Matius 25:31-46.
Hari Raya Yesus Kristus Raja Semesta Alam
Pada hari Minggu ini kita memperingati Hari Raya Kristus Raja Semesta Alam.
Minggu ini merupakan hari minggu terakhir dalam masa liturgi sebelum kita
memulai tahun liturgi yang baru dengan Masa Adven. Gereja mau menutup seluruh rangkaian
perjalanan tahun liturgi dengan suatu kesimpulan bahwa seluruh sejarah dan
waktu adalah milik Tuhan semata: Yesus Kristuslah Raja Semesta Alam.
Bacaan hari Minggu ini pun secara khusus mengajak kita untuk merenungkan
perihal raja. Dalam bagian pembukaan dikatakan bahwa Anak Manusia akan datang
dalam kemuliaan-Nya dan Ia akan bersemayam di atas tahta-Nya. Bagi kita orang
kristiani, sebutan Anak Manusia dalam Perjanjian Baru mengacu kepada diri Yesus
sendiri dan bahkan beberapa kali Yesus menyebut diri-Nya sendiri sebagai “Anak
Manusia”. Istilah tahta sendiri tentu tidak bisa dipisahkan dari seorang raja.
Jadi Yesuslah yang akan duduk di atas tahta sebagai Raja.
Jika Yesus memang sungguh adalah raja semesta alam berarti Dia juga seharusnya
merajai kita. Nah, sudahkan Yesus meraja di hati kita? Bagaimana aku bisa
mengetahuinya?
Injil memberikan jawaban bahwa caranya adalah lewat kepedulian dan tindakan
kasih kepada sesama yang menderita. Penderitaan orang-orang kecil adalah
masalah yang serius di mata Tuhan. Sejak dari Perjanjian Lama, Allah telah
bersabda agar orang-orang kecil senantiasa mendapat perhatian. Bahkan dalam
Perjanjian Baru, Yesus menyamakan diri dengan orang-orang kecil, malahan justru
Yesus hadir secara nyata dalam diri mereka. Orang-orang kecil dan menderita
memang perlu mendapat perhatian khusus sebab justru merekalah yang terkadang
terlupakan. Padahal penderitaan yang mereka alami kadang begitu berat. Justru
Tuhan mau mengajak kita semua untuk memberi perhatian kepada mereka. Kita diajak
sedikitnya membantu meringankan penderitaan mereka. Jika sesamanya manusia saja
tidak memperhatikan mereka, siapa lagi yang akan mereka harapkan? Kepedulian
dan tindakan kasih bagi mereka yang menderita akan menentukan bagaimana keadaan
kita kelak. Apakah akan ditempatkan sebagai domba yang akan menikmati Kerajaan
atau ditempatkan sebagai Kambing yang akan menerima kecelakaan.
Dalam Injil telah disebutkan 6 contoh tindakan kasih kepada sesama. Tentu saja
masih banyak contoh lainnya yang bisa kita lakukan sesuai dengan kemampuan dan
kondisi kita masing-masing.
Jadi menerima Yesus sebagai raja berarti mau melayani Yesus yang hadir dalam
diri mereka yang miskin dan menderita. Mungkin kita belum bisa melihat Yesus
yang sungguh hadir dalam diri mereka namun yakinlah bahwa semua yang kita
lakukan untuk mereka kita lakukan juga untuk Tuhan Yesus. (Fr. Yonas,SX)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar