KUMPULAN BUKU KARYA ROMO JOST KOKOH PRIHATANTO, PR
KEBEBASAN (IAIN Press, 2006)
“..Di mana kebahagiaan sejati?
Tak jauh, tapi sukar untuk menemukan jalan ke sana, kita tak bisa berangkat
dengan trem, dengan kuda atau perahu, dan tak ada emas yang dapat membayar bea
perjalanan itu. Jalan itu susah ditemukan, dan kita harus membayar ongkosnya
dengan airmata dan darah di jantung serta meditasi. Di mana jalan itu? Dia ada
dalam diri kita sendiri…”.
Memang ada yang klise dalam
paragraf itu jika kita baca sekarang, namun jelas: Tuhan bukanlah sebuah jalan
lurus yang dibangun oleh akal budi melulu. Jalan itu tak henti-hentinya harus
dicari kembali, setiap hari, dalam setiap perjumpaan.
**********************************************************
MENGAPA SAYA MASIH TETAP
MENJADI SEORANG KRISTEN (Kanisius 2010)
Qui dormit non peccet/peccat
Barang siapa tidur, dia tidak
berdosa.
Qui habet aures audiendi
audiat
Barang siapa yang bertelinga,
hendaklah dia mendengar.
Qui rogat, non errat.
Barang siapa bertanya, dia
tidak akan melakukan kesalahan.
Qui tacet consentit
Barang siapa diam, berarti ia
setuju
Qui scribit, bis legit
Barang siapa menulis, ia
membaca dua kali
******************************************************
CARPE DIEM - Reguk Hari
Bersama Santo/a (Kanisius 2010)
fugit inreparabile
tempus
Sementara waktu yang tak
tergantikan lekas berlalu
(Kutipan dari karya Vergilius,
Georgicon III:284).
Suatu ketika, Dalai Lama
ditanya, “apa yang paling membingungkan di dunia ini?” Dia menjawab, ”manusia.”
Yah, karena ketika muda, manusia mengorbankan kesehatannya hanya demi uang.
Lalu ketika tua mengorbankan uangnya demi kesehatan, dan sangat kuatir akan
masa depannya, sampai tidak sempat menikmati masa kini.” Yah, kadang orang
kurang mensyukuri hari ini (hic) dan disini (nunc) bukan? Wajarlah, orang
Romawi kerap mengatakan, “Diem perdidi” - Saya telah kehilangan satu hari!
Kalimat ini diucapkan oleh Kaisar Titus, kala ia menyadari bahwa satu hari
terlewatkan tanpa kesempatan untuk melakukan hal-hal yang baik/berguna.
Disinilah, baik kita mengingat
slogan orang Romawi, “Carpe Diem”, yang dalam bahasa Inggris kerap diartikan,
“Seize the Day”, secara lugas berarti, “Reguklah Hari Ini”. Kalimat lengkapnya
adalah, “Carpe diem, quam minimum credula postero”, yang berarti,
"reguklah hari ini, dan percayalah sesedikit mungkin akan hari
esok."
Kutipan filosofi dari karya
Horatius Carminum ini dimaksudkan agar setiap orang belajar memaknai hidup
dengan arif, duc in altum - bertolak lebih dalam, untuk “hidup lebih hidup”
dari hari ke hari. Dalam kacamata iman yang lebih positif, seperti nats
pemazmur yang mendaraskan, “Tuhan ajarilah kami menghitung hari-hari kami
sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana.” (Mazmur 90:12)
Dalam edisi tetralogi “Carpe
Diem OBOR” ini, bersama dengan ulang tahun rahmat tahbisan imamat saya yang
kelima, ditampil-kenangkan secara terpisah “365 kata-kata wasiat Orang Kudus
setiap hari”, “365 kata-kata Bunda Maria dan nubuat santo/a dan Gereja tentang
Bunda Maria”, “365 Otak Atik Gathuk”, seperti: Bambang: Bersama Allah Makin
Berkembang, Sinaga: Siap Naik ke Surga, Astuti: Asal Tuhan ada di hati, Johan:
Jodohnya Tuhan, Wagiman: Wajah Giat Beriman, dsbnya. Dan terakhir, adalah “365
kata-kata seputar Requiem (kematian), dari para santo/a, satrawan, budayawan dan
ilmuwan.
Harapannya, semoga tetralogi
“Carpe Diem OBOR” ini, seperti namanya, “OBOR”, bisa juga menjadi obor, semacam
lentera atau pelita yang menyala, terus menerangi serpihan lika-liku hidup dan
carut-marut perguatan iman kita. Fiat Lux!
***********************************************************
XXI – INTERUPSI (Kanisius,
2010)
DR. George Junus
Aditjondro,
Dosen Neo-Marxisme, Penulis
buku Gurita Cikeas:
"Buku karangan Romo Jost
Kokoh ini menyajikan suatu who is who Gereja Katolik Roma di dunia. Ada kilas
balik dan sketsa sepuluh kongregasi bentukan para imam diosesan, yang
ditampilkan, yakni CICIM, MSC, SX, MSF, SDB, CM, SVD, CSsR, SCJ, Ordo
Dominikan, serta “super-ordo” Opus Dei. Namun, gereja ini tidak akan bertahan
apabila tidak ada figur pemimpin yang dapat diteladani. Oleh karena itu, buku
ini memperkenalkan sejumlah Kardinal karismatis dari Eropa, Amerika Latin, dan
Asia. Oleh karena itu, buku karangan Romo Jost Kokoh ini patut dibaca oleh
semua orang yang tertarik pada sejarah dan praksis Gereja Katolik Roma. Tolle
et legge! Ambil dan bacalah!"
*********************************************************
MIMBAR - ALTAR (Kanisius,
2009).
Ayu Utami, Novelis:
Sesungguhnya, buku kecil indah
ini adalah altar, yaitu tempat seorang pastor muda, Jost Kokoh Prihatanto,
mempersembahkan dirinya, dengan cerdik seperti ular dan tetap tulus seperti
merpati. Buku ini adalah sebuah altar, tempat pemikiran dan pengalaman
dipersembahkan bagi kita. Agar kita, gembala juga domba, imam juga awam,
menyediakan ruang jeda dalam diri untuk menyelami yang mudah dimengerti, maupun
yang sulit dimengerti, pencerahan maupun misteri. Dan, jelaslah lewat
yesus-yesus kecil inilah, , diantara pasar, mimbar dan altar. Tentulah altar
yang paling menakjubkan!
*********************************************************************
BBM-Beriman Bersama Maria
(Kanisius 2008)
“Apalah artinya sebuah nama?”
Sekadar nama, bagi sebagian orang memang tidak punya arti. Tetapi dalam buku
karya Romo Jost Kokoh ini, setiap nama mendapat artinya. Dan, buku kaya makna
karya Romo Jost Kokoh ini bukan sekadar othak-athik nama atau kata, tetapi
semuanya menuntun kita pada pribadi Maria yang tak asing lagi. Buku ini
menyajikan informasi dan refleksi tentang Mariologi dan teologi biblis.
Refleksi itu berbasis pada pengalaman rohani dan devosi pribadi kepada Maria.
Buku yang dikemas secara kreatif dan inspiratif untuk keperluan devotif. Baca
segera buku ini! Bacalah untuk menimba kekayaan rohani dalam berdevosi kepada
Maria! (DR. Surip Stanislaus OFMCap, Ketua LBI-Lembaga Biblika Indonesia)
O Sancta Simplicitas, melalui
buku kecil ini, Romo Jost Kokoh Pr berusaha memotivasi kaum muda untuk selalu
ingat peranan Bunda Maria dan para perempuan lain dalam karya penebusan
Kristus. Dengan demikian, mudah-mudahan buku kecil ini dapat menjadi antidote
terhadap godaan dunia gemerlap malam. Semoga buku Romo (Jost) Kokoh ini
mengokohkan kaum muda untuk menghormati teman dan kekasih perempuan,
sebagaimana Yesus menghormati para perempuan yang begitu jost andilnya dan
kokoh cintanya dalam karya penebusanNya. (DR. George Junus Aditjondro, Dosen
Neo-Marxisme dan Kiri Baru, Penulis Gurita Cikeas).
**********************************************************
CARPE DIEM - REQUIEM (Gn Sopai
Press, 2012).
Sebuah permenungan harian
tentang kematian slama 365 hari yang diangkat dari pandangan gereja, pujangga,
seniman, budayawan, ilmuwan.
Ada 7 edisi Carpe Diem:
Orangkudus, BundaMaria, Otakatikgatuk-Requiem (Tetralogi OBOR). Ada juga
TRILOGI (Pepatahlatin, Pantunrohani dan Punctabestari)
*******************************************
HERSTORY (Kanisius 2012)
Hampir sebagian besar
perempuan yang dikisahkan di dalam “Her-Story,” ini adalah perintis berbagai
konggregasi biarawati di dalam Gereja Katolik yang mempunyai kekhasan pemaknaan
masing-masing terhadap spiritualitas Katolik. Pada umumnya mereka mempunyai
aturan masing-masing yang dijadikan landasan konstitusi dari setiap konggregasi
dan sesuai dengan Hukum Gereja Katolik. Di dalam Gereja Katolik yang berusia
sekitar 20 abad ini dengan struktur dan hirarki yang jelas serta peran kaum
laki-laki yang dominan, buku “Her-Story,” ini bisa memberikan suatu alternatif
terhadap gambar yang dominan dan seringkali tanpa disadari, dipersepsikan
sebagai “satu-satunya” kenyataan yang ada.
Gereja Katolik adalah Gereja
yang Universal baik bagi kaum perempuan maupun kaum laki-laki. Buku
“Her-Story,” ini memberikan kontribusi yang signifikan bagi pemahaman dan
penghargaan kita bersama akan keberagaman pemaknaan terhadap Spiritualitas
Katolik khususnya yang berbasiskan gender. Keperempuanan mereka yang dikisahkan
di dalam buku ini turut mempengaruhi bagaimana mereka memaknai spritualitas
Katolik baik disadari maupun tidak disadari oleh mereka sendiri. (DR Eri Seda,
Sosiolog UI)
****************************************************************************
CARPE DIEM 1 - Reguk Hari
Bersama Bunda Maria (Kanisius 2009)
Sed fugit interea,
fugit inreparabile
tempus
Sementara waktu yang tak tergantikan
lekas berlalu
(Kutipan dari karya Vergilius,
Georgicon III:284).
Suatu ketika, Dalai Lama
ditanya, “apa yang paling membingungkan di dunia ini?” Dia menjawab, ”manusia.”
Yah, karena ketika muda, manusia mengorbankan kesehatannya hanya demi uang.
Lalu ketika tua mengorbankan uangnya demi kesehatan, dan sangat kuatir akan
masa depannya, sampai tidak sempat menikmati masa kini.” Yah, kadang orang
kurang mensyukuri hari ini (hic) dan disini (nunc) bukan? Wajarlah, orang
Romawi kerap mengatakan, “Diem perdidi” - Saya telah kehilangan satu hari!
Kalimat ini diucapkan oleh Kaisar Titus, kala ia menyadari bahwa satu hari
terlewatkan tanpa kesempatan untuk melakukan hal-hal yang baik/berguna.
Disinilah, baik kita mengingat
slogan orang Romawi, “Carpe Diem”, yang dalam bahasa Inggris kerap diartikan,
“Seize the Day”, secara lugas berarti, “Reguklah Hari Ini”. Kalimat lengkapnya
adalah, “Carpe diem, quam minimum credula postero”, yang berarti,
"reguklah hari ini, dan percayalah sesedikit mungkin akan hari
esok."
Kutipan filosofi dari karya
Horatius Carminum ini dimaksudkan agar setiap orang belajar memaknai hidup
dengan arif, duc in altum - bertolak lebih dalam, untuk “hidup lebih hidup”
dari hari ke hari. Dalam kacamata iman yang lebih positif, seperti nats
pemazmur yang mendaraskan, “Tuhan ajarilah kami menghitung hari-hari kami
sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana.” (Mazmur 90:12)
Dalam edisi tetralogi “Carpe
Diem OBOR” ini, ditampil-kenangkan secara terpisah “365 kata-kata wasiat Orang
Kudus setiap hari”, “365 kata-kata Bunda Maria dan nubuat santo/a dan Gereja
tentang Bunda Maria”, “365 Otak Atik Gathuk”, seperti: Bambang: Bersama Allah
Makin Berkembang, Sinaga: Siap Naik ke Surga, Astuti: Asal Tuhan ada di hati,
Johan: Jodohnya Tuhan, Wagiman: Wajah Giat Beriman, dsbnya. Dan terakhir,
adalah “365 kata-kata seputar Requiem (kematian), dari para santo/a, satrawan,
budayawan dan ilmuwan.
Harapannya, semoga tetralogi
“Carpe Diem OBOR” ini, seperti namanya, “OBOR”, bisa juga menjadi obor, semacam
lentera atau pelita yang menyala, terus menerangi serpihan lika-liku hidup dan
carut-marut perguatan iman kita.
******************************************************
HERSTORY (Kanisius, 2012)
“Her-Story,” adalah
serangkaian kisah pemaknaan kaum perempuan terhadap spiritualitas Katolik yang
mencakup sebagian besar dari untaian kisah yang digambarkan dengan menarik oleh
Rm Jost Kokoh. Mungkin pengecualian adalah kisah Kartini yang merepresentasikan
kisah perempuan priyayi Jawa pada awal abad lalu. Meskipun Gereja Katolik
secara resmi mengakui peran penting kaum perempuan tetapi kerap timbul berbagai
pertanyaan yang berkaitan dengan peran kaum perempuan secara nyata di dalam
Gereja Katolik. Sebagai contoh misalnya, kisah mengenai “Paus” Yohana, Maria
Magdalena, dan Dorothy Day yang untuk sebagian kalangan masih terus
diperdebatkan hingga kini. Sungguh patut dihargai bahwa Romo Jost Kokoh, Pr,
seorang imam dari Keuskupan Agung Jakarta, memasukkan ketiga kisah tersebut di
dalam “Her-Story,”. Buku “Her-Story,” karya Rm Kokoh,Pr ini dapat membantu kita
bersama untuk menyadari bahwa ada beragam kisah yang turut membentuk Gereja
Katolik. (DR. Francisia SSE Seda, Sosiolog UI)
Perjuangan perempuan kerap
terlupakan, padahal yang dilakukan perempuan adalah perjuangan paling hakiki.
Dimulai dari rahim dan payudara sebagai pemberi hidup sampai jiwa dan tenaga.
Hingga perjuangan keadilan untuk masa depan dunia. Sejarah perjuangan perempuan
dalam HERSTORY karya Rm Jost Kokoh ini adalah cerita kehidupan dan sejarah
kemanusiaan. (Rosiana Silalahi, jurnalis media)
*************************************************
PASAR (Kanisius, 2010)
DR. Paul Budi Kleden, SVD,
Dosen Filsafat STFT Ledalero: Buku "PASAR" ini bukanlah sebuah cetak
biru dari sebuah credo kepada dunia pasar dan neoliberalisme. Sebaliknya, di
sini pembaca akan berhadapan dengan tulisan-tulisan yang mendalam bernuansa
filosofis mengenai pertanyaan-pertanyaan dasar kehidupan seperti tentang Allah
dan relevansi-Nya, kematian, psikologi dan religi, agama dan teori kritik dan
lain-lain. Itu berarti, pasar yang digelar di sini bukanlah pasar yang murah
meriah. Dia lebih merupakan pasar ide yang serius. Namun sekali lagi, sentuhan
gaya bahasa Rm Jost yang segar membuat pasar ide ini menarik untuk dibaca dan
mudah untuk dipahami.
Charles Beraf dan Bona Beding,
Kolumnis lepas:
Seperti keranjang pemulung,
buku padat memikat ini pastinya terisi banyak hal yang kerap terlewatkan dari
perhatian dan tenggelam dalam mobilitas dan anonimitas massal. Ternyata dari
semua itu, identitas seorang, pun identitas sosial kultural bisa
dijejak-maknai. Penulis buku ini sangat piawai mengisi dan mengemas “keranjang
pemulungnya”. Proficiat!
************************************************************
3 Bulan, 5 Bintang, 7 Matahari
(Kanisius, 2011)
Saya suka Romo yang tampan
karena setampan apapun tak akan menjadi saingan. Saya suka Romo yang lucu
karena seolah mengajak berbahagia. Tapi saya paling suka Romo yang menuliskan
kesaksian dan iman dalam keseharian, karena dengan demikian menjadi bagian dari
awam. Saya suka buku ini!!! (Arswendo Atmowiloto, Budayawan).
Inilah cara seorang Pastor di
Jakarta yang hendak memberikan hiburan untuk domba-dombanya. Dengan senyum dan
tawa, dengan lagak yang ceria, dengan kegenitan yang diharapkan umat Jakarta
yang sedang membutuhkan ‘Roti Boy, Ayam KFC, 7-Eleven’ – bukan makanan macam
sphagetti, pizza, pasta – ia menawarkan ‘jualan’ rohaninya. Popularnya Romo
Jost ini terletak ketika ia membawa ide-ide altar ke pasar; atau bisa juga
sebaliknya, membawa guyonan di pinggiran terminal ke tengah-tengah mimbar.
Untuk itulah tulisannya nampak cool. Tulisannya menjadi sahabat dan teman
canda, ketika siang hari nampak gelap berawan, malam terasa sumpek, hati galau.
(Greg Soetomo SJ, Pemimpin Redaksi Mingguan HIDUP)
T A N D A - K aTA, ANgka dan
naDA (Kanisius 2009)
Buku ini sendiri terdiri dari
tiga matra pokok (30 Angka, 30 Kata dan 30 Nada). Dalam bagian 30 Angka
ditampilkan 30 angka dan pemaknaannya, misalnya: 7 arus dosa, 7 jurus cinta, 7
dukacita, 7 sukacita, 3 peran setan, 3 jenis godaan, 3 karakter Yohanes,
Zakheus, Nikodemus, Bunda Maria dll. Dalam bagian 30 Kata, ditampilkan puluhan
kata penuh makna, misalnya: Sahabat-Satu dalam suka, Hadir dalam duka dan
berjaBAT dalam doa, juga pelbagai kata-kata lain yang coba dimaknai. Dalam
bagian 30 Nada, ada 30 lagu yang diangkat dan dimaknai, dari lagu Mutiara yang
Hilang, Anak Gembala, sampai lagu Panis Angelicus. Dkl: Romo Jost Kokoh – lewat
buku ini – mengajak kita untuk memberi pemaknaan lebih pada setiap angka, kata
dan nada dalam keseharian hidup.
M A P (Lamalera Press, 2007)
PROLOG
Menolak Identifikasi, Mencari
”Zwischenraum”
Dr. Paul Budi Kleden,
SVD
Tidak semua orang setuju
begitu saja apabila dikatakan bahwa altar dan pasar boleh disejajarkan, apalagi
disamakan. Alasannya, keduanya merupakan dua bidang kehidupan yang berbeda dan
memiliki kaidah yang berlainan malah bertentangan. Namun ada pula yang
berpendapat sebaliknya. Menurut mereka, altar mesti masuk ke dunia pasar, dan
pasar harus diperluas ke wilayah kudus. Iman tak cukup lagi dibatasi dalam
lingkup terbatas, dia harus dipasarkan seturut hukum pasar. Maka pertimbangan
pasar mesti juga tercermin dalam perilaku di sekitar altar.
Pandangan pertama di atas
secara sadar atau tidak masih berorientasi pada pandangan tua yang pernah
dianut secara resmi dalam Gereja Katolik: Extra ecclesiam nulla salus, di luar
Gereja tak ada keselamatan. Gereja, termasuk semua ajaran, struktur dan segala
perangkatnya, adalah sarana yang mutlak demi keselamatan; Konsep yang semula
masih memiliki makna spiritual, perlahan menjadi materialistis. Ecclesia bukan
lagi soal iman, melainkan masalah ritus dan segala perlengkapannya. Mimbar dan
altar menjadi ruang yang berdaya magis. Magi adalah satu bentuk otomatisme
dalam beriman; Bersentuhan dengan mimbar dan altar sudah menjamin kesemalatan,
tak terlampau penting apa yang dilakukan sebelum dan sesudahnya. Akibatnya, ke
gereja menjadi ritual yang terpisah dari kehidupan sehari-hari. Para koruptor
dan pemeras buruh merasa tidak bermasalah dengan imannya, asalkan masih sempat
memaksa diri ke gereja pada hari Minggu kendati harus mengumpat mendengarkan
kotbah yang tak menyentuh.
Dekat dengan para fungsionaris
menambah jaminan keselamatan. Semakin orang kenal dan dikenal romonya, semakin
ada kepastian di dalam hati bahwa dirinya termasuk dalam kalangan pilihan yang
sudah mengantongi tiket masuk surga. Pandangan ini mempunyai pengaruh khusus
pada sebagian fungsionaris agama yang kerjanya seputar mimbar dan altar. Mereka
memanfaatkan secara cerdik kebutuhan umat akan kedekatan dengan mereka. Praktik
simonis atau memperdagangkan keselamatan, baik sadar maupun tidak sadar, lalu
menjadi biasa. Pelayanan sakramen untuk orang-orang berkuasa dan anggota umat
yang kaya dari dunia pasar lebih mendapat prioritas ketimbang perhatian dan
kepedulian bagi yang miskin dan tak punya pengaruh. Kendati para romo itu sudah
belajar tentang pandangan Gereja baru yang telah mengoreksi konsep extra
ecclesiam nulla salus, namun tidak sedikit dari mereka masih senang menghayati
pandangan ini dalam praktiknya. ”Di luar gereja tidak ada keselamatan, maka
berbahagialah mereka yang dapat membeli hati para romo”. Semakin eksklusif
kelompok yang dikategorikan seabagai orang-orang yang diselamatkan, maka
semakin tinggi pula tuntutan untuk menjadi anggotanya. Maka tidak mustahil,
semakin konservatif paham teologis yang diwakili satu komunitas iman, artinya
semakin ketat rumusan tuntutan keselamatan, semakin kaya pula komunitas iman
tersebut.
Pandangan kedua hendak membawa
dunia pasar ke dalam gereja, ke dekat mimbar, bahkan ke atas altar. Hukum pasar
yang direduksi ke dalam kaidah penawaran dan permintaan menjadi dogma yang tak
bisa dibantah. Dogmanya adalah, di luar pasar tidak ada keselamatan. Penyelamat
kita adalah pasar, maka kita perlu tahu hukumnya. Segala yang ada memiliki
nilai tawar dan hanya diterima sejauh ada permintaan; Yang tak punya sesuatu
untuk ditawarkan, atau yang kalah bersaing dalam konkurensi pasar yang semakin
ketat malah kejam, tak akan mendapat keselamatan.
Iman pun adalah sesuatu yang
harus dipasarkan menurut kaidah pasar. Karena itu perlu diketahui apa yang
menjadi kebutuhan umat dan bagaimana mereka menghendaki kebutuhannya itu
dipenuhi. Karya pewartaan tak beda dengan menjual iman. Karunia Roh sama dengan
anugerah marketing, yang memberi inspirasi seputar kapan harus menyelenggarakan
apa dan bagaimana. Maka para romo tidak hanya perlu mengenal sensus fidelium
atau cita rasa iman umat, tetapi juga sense of markets; Para romo tak cuma
perlu belajar Kitab Suci, tetapi mesti paham prinsip-prinsip marketing.
Efisiensi menjadi kata kunci. Akibatnya, ada romo paroki yang mencantumkan jam
kantornya. Tarif pelayanannya tergantung entah terjadi pada jam sibuk dan jam
longgar. Kalau dalam teologi rahmat para calon romo belajar aksiom gratia
gratis data, maka ketika menjadi romo prinsipnya lalu berbunyi, Tak ada yang
gratis di dunia ini, Beri dulu baru dapat, Di dunia ini tak ada yang
gratis.
Sebenarnya, kedua pandangan di
atas pada akhirnya bermuara pada kenyataan yang sama, yakni komersialisasi apa
yang dinilai sakral. Mimbar dan altar dipahami dalam kerangka berpikir pasar.
Akibatnya, yang di luar pasar tak punya akses menuju keselamatan. Kalau dulu
yang berada di luar keselamatan adalah umat beragama lain, maka kini
orang-orang miskin berada dalam bahaya tak tersentuh suara mimbar dan tak
kebagian roti yang dibagi secara gratis di atas altar.
Romo Jost Kokoh Prihatanto
dalam buku ini (buku ini terdiri dari dua buku terpisah, yang sekarang diterbitkan
Kanisius, yakni edisi “Mimbar Altar” dan edisi “Pasar”) menolak identifikasi
mimbar, altar dan pasar; Iman tidak sama dengan pasar dan pasar tidak identik
dengan iman. Iman dan pasar harus dibedakan, sebab itu mimbar bukanlah tempat
reklame produk tertentu dan altar tidaklah meja penjualan saham untuk masuk
surga. Itu tak berarti pasar harus ditolak secara keseluruhan, atau
didemonisasi secara total. Pasar membantu peningkatan kesejahteraan masyarakat
dan mendorong pemanfaatan potensi manusia serta alam. Dengan ini pasar
sebenarnya menolong penghayatan keimanan secara lengkap, karena iman mesti juga
dialami sebagai pendorong untuk upaya menyejahterakan masyarakat, sebagai
inspirasi untuk memperjuangkan pengembangan diri manusia dan sebagai motor
untuk mengusahakan pelestarian alam. Benar kalau dikatakan, apabila hendak
mencapai perdamaian, maka usahakan kemajuan ekonomi. Salah satu motor kemajuan
ekonomi adalah pasar. Jika perdamaian merupakan salah satu nilai yang hendak
diperjuangkan agama-agama, maka orang-orang beragama dan beriman pun mesti
terlibat dalam pasar.
Walaupun pasar memiliki nilai
positif, akan menjadi persoalan apabila pasar mendominasi seluruh bidang
kehidupan. Segala macam hukum yang lain akan gugur, ketika hukum pasar berlaku
secara mutlak dan total. Politik menjadi masalah negosiasi dagang sapi,
peradilan tak lebih dari kartu truf di tangan aparat untuk melelang perkara,
relasi antarmanusia dipertahankan sejauh masih dianggap menguntungkan. Dan itu
tadi, agama kehilangan cirinya sebagai penyerahan diri total manusia kepada
Allah yang telah memberikan diri-Nya secara cuma-cuma.
Persoalan yang kita hadapi di
dunia dewasa ini, dan bahaya yang mengancam kehidupan bergereja sekarang ini
hemat saya adalah dominasi hukum pasar sebagaimana disampaikan di atas. Di
tengah situasi seperti ini, yang diperlukan adalah mencari apa yang oleh
Habermas disebut sebagai ”Zwischenraum”. Habermas membicarakan ruang antara ini
ketika dia menunjukkan bahaya yang ada dalam dunia modern, yakni kolonialisasi
bidang-bidang kehidupan oleh sistem berpikir tertentu. Sistem selalu bersifat
total, memiliki satu pusat dan melihat segala yang lain sebagai sub-sistem.
Namun kenyataan menunjukkan bahwa pada dasarnya manusia dan masyarakat memiliki
dunia kehidupan dalam bentuk plural (Lebenswelten). Karena itu, rasio pun
mestinya diakui sebagai kapasitas berpikir yang ada dalam bentuk plural. Ada
ruang antara, Zwischenraum, yang tak boleh dilanggar agar rasio tidak menjadi
totaliter. Totalitarianisme adalah bahaya bagi manusia dan masyarakat. Di bawah
rezim yang totaliter dan pola pikir yang dominatif, tidak ada penghargaan bagi
otonomi individu, kedaulatan masyarakat dan batas kemampuan alam.
Totalitarianisme adalah ketidakadilan, dan damai yang diciptakannya hanyalah
ketenangan yang semu; Kalau demikian, totalitarianisme adalah pengkhianatan
terhadap iman.
Memperjuangkan Zwischenraum
merupakan satu tugas penting bagi agama-agama. Johann Baptist Metz, pencetus
konsep teologi politik baru (untuk membedakannya dari konsep teologi politik
lama dari Carl Schmidt yang justru mendukung totalitarianisme), sering terlibat
dalam diskusi yang menyegarkan dengan Habermas. Dia memberikan sebuah definisi
tentang agama yang sangat khas. Menurut dia, definisi tersingkat dari agama
adalah interupsi (Unterbrechung). Ya, pada dasarnya agama berangkat dari
interupsi Allah ke tengah dunia yang sedang disalahurus oleh manusia. Agama
hadir sebagai satu bentuk interupsi di tengah dunia yang terpusat hanya pada
dirinya; Yang dapat dilakukan agama-agama dalam dunia ini hanyalah membuat
interupsi, karena derasanya arus berpikir, bertindak dan menilai lainnya. Namun
interupsi ini harus terus-menerus dilakukan. Agama-agama mengkhianati
panggilannya, apabila mereka berhenti membuat intervensi.
Bukan mustahil, kepekaan
terhadap dunia publik dan dunia pasar, dapat membukakan mata para fungsionaris
agama terhadap orientasi dasar yang tengah mengalir dalam nadi-nadi hidup dan
karya mereka. Persaingan pasar yang meminggirkan banyak orang miskin, cacat dan
tua ke tepian perhatian masyarakat, mestinya menggugat para agawaman/ti perihal
kontribusi teologis dan sikap pastoral mereka sendiri terhadap kondisi ini;
Gereja, teologi, pendidikan calon romo dan praktik hidup para romo memang mesti
semakin sering diinterupsi.
Metz sadar bahwa dalam
perjalannya agama-agama sudah sering mengingkari hakikat dirinya. Metz
berbicara mengenai bürgerliche Religion, agama masyarakat kelas menengah yang
sudah menjadi mapan; Agama seperti ini sudah tidak bisa dibedakan dari lembaga
lain, karena dia hidup menurut logika kekuasaan dan pasar. Suara para korban
tidak lagi mendapat tempat di dalam agama kemegahan ini, dan tidak ada
keberanian untuk menyuarakannya, karena kecemasannya akan kehilangan banyak
privilese. Agama-agama tidak lagi menjadi duri yang menusuk dan membuat tidur
tidak aman, tetapi sebaliknya merupakan obat tidur yang sangat mujarab.
Karena berbicara dalam konteks
agama kristen, baiklah kita melihat beberapa contoh interupsi tersebut. Paham
tentang Allah yang tritunggal dilihat sebagai satu interupsi ke tengah dunia
yang cendrung monolitik dan pandangan dalam agama yang sangat hirarkis seturut
garis; satu Allah, satu raja, satu agama/Gereja. Paham monolitik dipandang
dibenarkan oleh konsep yang monotheistis. Inkarnasi, peristiwa Allah menjadi
manusia, merupakan satu bentuk interupsi terhadap kecendrungan manusia untuk
menjadi Allah, untuk disembah seperti Allah, untuk berkuasa mutlak atas hidup
dan mati orang lain. Warta Yesus tentang Kerajaan Allah menginterupsi kondisi
yang diciptakan manusia, yang menempatkan dirinya sebagai raja yang
sewenang-wenang atas manusia dan ciptaan. Ekaristi sebagai pusat dan sumber
hidup orang Kristen adalah perjamuan bersama pada meja yang satu. Dalam
pengertian seperti ini, ekaristi pada intinya merupakan satu interupsi di
tengah tendensi manusia yang mau makan sendiri dari dan pada satu meja, yang
melakukan korupsi di bawah meja, atau yang malahan tak segan-segan membawa
pergi mejanya sekalian.
Agama-agama perlu melakukan
interupsi, baik terhadap dunia politik dan pasar, maupun terhadap diri mereka
sendiri. Dalam intensi seperti ini saya hendak memahami dan mengapresiasi
refleksi-refleksi Romo Jost Kokoh yang masih muda ini. Melalui
refleksi-refleksi yang tajam dan segar, oleh penuturan pengalaman dan
biografinya serta dengan puisi-prosanya yang dalam dan kaya makna, Romo Jost
Kokoh bertanya nakal mengenai sejumlah pandangan dogmatis, masuk ke dalam
kehidupan Gereja, membuat sentilan terhadap kehidupan umat dan mempersoalkan
secara jenaka tampang kesalehan yang dipamerkan para calon romo. Pengetahuannya
tentang filsafat dan teologi diramu secara menarik dengan opsi dasar yang jelas
menuju satu pemahaman dan penghayatan hidup beragama yang tidak meninggalkan
manusia di pinggir jalan.
Jika dalam buku “Mimbar dan
Altar”, yang pada dasarnya merupakan satu kesatuan, dan termasuk dalam dunia
agama. Dimana, ditempatkan artikel-artikel dan ulasan-ulasan yang berkisar pada
masalah biografi iman dan historiografi panggilan romo Jost Kokoh serta
refleksinya mengenai tema-tema Gereja. Renungan tentang Natal yang menyentil
kesadaran mengenai kesederhanaan, refleksi mengenai kematian, ekaristi dan
kawin campur diramu dalam gaya yang segar dan menarik. Terkesan, Romo Jost
Kokoh sanggup mengemas apa yang menjadi inti iman kristiani dalam gaya yang
tidak hanya gampang, tetapi juga suka dimengerti. Boleh jadi ini adalah buah
dari interupsi dunia pasar terhadap uraian teologis yang terlampau klise dan
tak jarang membosankan.
Nah, pada buku “Pasar” ini,
tulisan-tulisan yang dikumpulkan mempunyai daya tarik tersendiri. Kita tidak
menemukan di sini satu pleidoi mengenai pentingnya hukum penawaran dan
permintaan. Bagian ini bukanlah sebuah cetak biru dari sebuah credo kepada
dunia pasar dan neoliberalisme. Sebaliknya, di sini pembaca akan berhadapan
dengan tulisan-tulisan yang mendalam bernuansa filosofis mengenai
pertanyaan-pertanyaan dasar kehidupan seperti tentang Allah dan relevansi-Nya,
kematian, psikologi dan religi, agama dan teori kritik dan lain-lain. Itu
berarti, pasar yang digelar di sini bukanlah pasar yang murah meriah. Dia lebih
merupakan pasar ide yang serius. Namun sekali lagi, sentuhan gaya bahasa yang segar
membuat pasar ide ini menarik untuk dibaca dan mudah untuk dipahami. Dengan isi
yang mendalam dan gaya yang menarik seperti ini, Romo Jost Kokoh sebenarnya
tengah melakukan interupsi ke dalam dunia pasar yang hanya mengagungkan hal-hal
yang murah meriah sambil menjual manusia dan menguras alam.
Dengan refleksi dan kisah
pengalaman ini, Romo Jost Kokoh sudah menunjukkan perannya sebagai seorang
pencerita dan pemikir yang membuat interupsi, baik ke dalam Gereja sendiri,
artinya ke tengah kalangan para romo dan umat serta calon romo, tetapi juga ke
dalam pasar ide yang bersifat publik, ke tengah dunia para pemikir sosial dan
politik, kepada para ahli ekonomi dan pencinta budaya. Hemat saya, peran
seperti inilah yang perlu terus dimainkan sebagai seorang romo. Romo Jost Kokoh
mengutip pernyataan romo Kardinal di Jakarta, yang mengatakan bahwa salah satu
tugas seorang imam adalah menjadi jembatan. Tentu saja yang dimaksudkan adalah
menjadi jembatan antara Allah dan manusia, dan antar manusia yang membentuk jemaat.
Dari peran ini lahir peran kedua yang, hemat saya, tidak kalah penting, yakni
membuat interupsi. Seorang romo perlu melakukan interupsi ke dalam kehidupan
yang hanya mengikuti logika kalah-menang, yang melupakan mereka yang kalah
bersaing atau yang sama sekali tidak ikut dalam persaingan karena memang tak
punya sesuatu.
Sebagaimana diakui penulis
dalam bagian pertama buku ini, karya ini sebenarnya memiliki satu keberpihakan.
”Seperti kegiatan yang dilakukan oleh penyair Wiji Thukul dari Yogyakarta yang
coba memperkenalkan seni puisi tentang, untuk dan kepada pelbagai kelompok
menengah bawah seperti kalangan tukang becak, atau para pekerja bangunan dari
kelompok dan kelas sosial yang sama” (mimbar, hlm 2). Hemat saya, sesungguhnya
seorang romo perlu memiliki keberpihakan, karena sang Guru dari Nazaret yang
memanggilnya pun mempunyai keberpihakan kepada mereka yang lemah, kecil dan
terpinggirkan. Itu tak berarti seorang romo lalu melupakan yang lain. Yang lain
pun didekati dan perlu selalu diyakinkan untuk terlibat dalam keberpihakan
dasar kristiani ini. Keberpihakan menjadi kata kunci dalam refleksi teologis
dan reksa pastoral gereja-gereja di belahan selatan dunia. John Sobrino,
seorang teolog pembebasan merumuskan perbedaan pertanyaan mengenai Allah di
kedua belahan bumi ini sebagai berikut: Di utara, maksudnya di Eropa dan
Amerika Serikat/Utara, orang bertanya tentang apakah Allah ada; Itu berarti
pertanyaan mengenai eksistensi-Nya; Di Selatan, orang bertanya tentang di mana
Allah; Ini adalah pertanyaan tentang keberpihakan.
Sambil mengucapkan proficiat
dan syukur atas karunia imamat dan terima kasih atas kesediaan Romo Jost Kokoh
untuk menerima rahmat ini, saya membungkus kado dalam bentuk harapan dan
untaian doa, agar Romo Jost Kokoh tetap menghayati imamat sebagai satu
perwujudan keberpihakan Allah. Menjadi imam dewasa ini sudah merupakan satu
bentuk interupsi, kiranya Romo Jost Kokoh menghidupi imamatnya sebagai
interupsi. (Dr. Paul Budi Kleden, SVD, dosen filsafat STFT Ledalero)
EPILOG
Khotbah di Bukit
Tapi di masa ini bukit sudah
ada. Teknologi, terutama, telah meratakannya. Di masa ini, suara suara
disiarkan melalui corong-corong dan titik-titik lubang pada kotak ajaib multi
media – dari yang paling primitive (seperti TOA di menara), maupun yang
tercanggih (misalnya streaming siaran langsung pada telepon seluler). Televisi
adalah yang paling jamak.
Lihatlah! Lihatlah ini manusia
– yesus menatap bukitnya yang telah rata dan menjadi tahu bahwa suara tak lagi
harus disampaikan dari ketinggian ideal, pun tak bisa disampaikan dalam
keheningan obtektif.
Sebab, bahkan di puncak Gunung
Lawu pun orang bisa membuat interupsi berkat alat komunikasi. Alat komunikasi
itu, yang tetap bisa bordering dalam misa dan bioskop –menghubungkan orang
dengan tempat lain dengan cara memutus hubungan orang tersebut dengan lokasi
beradanya hic et nunc, disini dan sekarang. Tak ada lagi keheningan obyektif.
Maka mafhumlah yesus bahwa
bukit telah menjadi sekedar metafora bagi mimbar ideal: mimbar dimana ia bisa
mewartakan keselamatan, juga kutukan, kepada orang-orang yang mendongak kepada
dia. Yang saling bertatap wajah dengan dia. Dalam sebuah ketenangan. Ia tak
perlu berteriak kepada mereka. Sebab mereka yang datang di lingkaran terdekat
memang hadir untuk mendengarkan dia. Ah, bukit benarlah area kotbah yang jinak.
Tapi bukit itu telah diratakan
sekarang. Bahkan orang-orang yang ke gereja tidak datang untuk mendengar apa
yang dikotbahkan dari mimbar. Mereka pertama-tama datang untuk hal-hal lain
selain mendengarkan kotbah. Kalaupun ada yang ke gereja demi mendengarkan
kotbah, jangan-jangan adalah mereka yang bercita-cita menjadi pengkotbah
juga.
Yesus pun meninggalkan
bukitnya yang telah datar dan tibalah ia di pasar. Ini dia, pasar yang
terbentuk di sekitar Bait Allah. Mudah sekali dibayangkan. Kira-kira seperti
tenda biru yang terbentuk di sekitar mesjid Atta’awun di puncak, tenda-tenda
yang merusak hijau hening kebun the. Atau bedeng-bedeng yang mengerumuni
Borobudur. Atau kios pedagang yang dulu mangkal di Monas atau Senayan, atau
yang kini masih meyesaki lahan menuju Kebun Raya Bogor atau Cibodas, tumpah ke
jalan bersama sampah-sampahnya. Disana burung-burung diperdagangkan dengan
rebut. Burung itu bakal persembahan. Juga kambing, domba dan bandot. Bakal
kurban. Mata uang dipertukarkan dengan pelbagai muslihat. Orang-orang yang
takut akan Allah dibujuk justru karena ketakutannya akan Allah. “Belilah
burungku, burung surgawi.” Pojok lain berteriak, “semakin berat kambing yang anda
korbankan, semakin ringan dosa yang anda tanggung.” Di sudut lain, “kambing
kami bisa dikredit, bunga ringan.”
Kita tahu, di pasar yang
demikian, Yesus meradang. Ia menjungkir meja-meja dan menghambur-hamburkan
uang: dinar, dirham, talenta – secara harafiah. Satu-satunya gambaran secara
eklsplisit tentang pasar dalam Injil adalah pasar ini. Pasar burung dan
kambing, money changer yang memanfaatkan sebuah pusat keberimanan. Para seniman
senang melukiskan Yesus dengan mata melotot dan rambut berdiri berkibar-kibar.
Tangannnya menunjuk berang!
Tapi di jaman ini, pasar telah
lebih cerdik daripada ular, dan suka berlagak tulus seperti merpati. Pasar yang
barbar tentu tetap ada. Menjual burung dan hewan terlarang lainnya. Tapi pasar
juga masuk ke ruang, atau kotak kaca, dimana bujuk membujuk terjadi, transaksi
terjadi, tapi pertemuan yang sesungguhnya tidak terjadi lagi. Dulu, pertemuan
terjadi di pasar tradisional, juga di bukit perkotbahan. Sekarang, ia tidak
terjadi di televisi. Yang terjadi di televisi, kini dan di sini adalah
komersialisasi.
Yesus mengintip lewat kaca
depan sebuah rumah dan melihat sebuah kotak pipih menyala dengan gambar. Di
depannya satu keluarga asyik menonton. Di dalam layar kacanya yang pipih
seseorang berkotbah. Setelah itu iklan, obat sakit maag, obat batuk, detergen
pemutih baju, bumbu penyedap dll. Disanalah mimbar dan pasar kini menyatu. Bait
Allah dan kios kambing, burung dan mata uang dalam bentuk rapi dan lebih
berbinar. Tidak ada bau tahi hewan atau keringat manusia dan orang tak perlu
berangkat kesana. Sebab pasar yang satu ini datang ke ruang keluarga tanpa
mengetuk pintu atau memijit bel. Ia bahkan juga bisa melawat dalam kendaraan
pribadi, yang dilengkapi tv set (yang sekali lagi, yang memutuskan orang dari
hubungan disini dan sekarang).
Di mimbar begini, orang harus
berteriak-teriak. Tak seperti di bukit, melainkan seperti di pasar. Dan yesus
pun menulis. Barangkali itulah pentingnya Romo Jost Kokoh, si “yesus kecil”
(yesus dengan huruf kecil) menulis. Sebab, bukit telah rata dan kotbah telah
jadi banal. Di gereja, ia menjadi rutin. Lagipula seremonial; tak bisa dibantah
meskipun imam dan umat bertatap-tatapan. Di televisi, kadang ia hanya terdengar
jika sudi merendahkan standar selera.
Kembalilah pada membaca dan
menulis. Sebab di jaman ini tak ada lagi keheningan obyektif. Maka kita harus
meruapkannya di dalam ruang-ruang itu sendiri, ruang hati, ruang jeda diantara
hiruk pikuk. Menulis dan membaca menyediakan ruang jeda itu. Ruang retret dan
meditasi yang rendah hati. Lagipula, bukankah banyak wisma dan tempat retret
kita yang tak lagi bisa mempertahankan keheningan karena banyaknya “suara-suara
kehidupan” motor dan “toa”?) Membaca dan menulis bukan hanya ruang jeda yang
rendah hati, tapi juga yang cerdik dan niscaya.
Dan sesungguhnya, buku-buku
ini adalah altar, yaitu tempat seorang pastor muda, Jost Kokoh Prihatanto,
mempersembahkan dirinya, dengan cerdik seperti ular dan tetap tulus seperti
merpati. Tulisan-tulisan dalam buku ini memang tidak disiapkan untuk menjadi
satu kesatuan yang mengalir, melainkan lebih merupakan sebundel catatan dan
pemikiran, terpisah juga terulang, sederhana juga kaya makna. Tapi, bukankah
kita juga terbiasa dengan Alkitab yang juga merupakan satu bundel narasi,
surat, puisi, prosa yang terpisah dan juga terulang di banyak bagian, (seperti
di Injil Sinoptik, Matius Markus Lukas misalnya)? Buku ini member kesempatan
pada pembacanya untuk masuk dari banyak pintu dan mencoba menyusuri
pertanggungjawaban sekaligus refleksi mini seorang pastor muda di sebuah
Negara, dimana Gereja Katolik yang minoritas, senantiasa berusaha merumuskan
peran dan keberadaannya dalam masyarakat yang beragam dan berbeda, yang
mengandung unsur tradisional maupun modern, sekaligus. Gereja ingin menyatakan
keunikan imannya, sekaligus terbuka pada pelbagai kebenaran nilai di luar
dirinya, dan prakteknya , ini bukan pekerjaan mudah. Disinilah anggota Gereja
tak boleh dan tak bisa menutup diri dari khazanah di luar Gereja. Sebab, Gereja
senantiasa dalam dialog dengan yang lain- dengan nilai-nilai yang berbeda
kadar, dan dengan orang yang berbeda iman. (Ayu Utami, novelis)
“Via, Veritas Vita” (Gn Sopai Press, 2012)
Hampir lima tahun saya melewati ruwet
renteng hidup sebagai seorang imam muda di sebuah kota besar bernama Jakarta.
Serpihan dan penggalan pengalaman hidup jasmani dan rohani serta pemaknaan
hidup karya dan warta, membuat saya lebih mengenal banyak carut marut
kehidupan: pelbagai gulat karakter orang, geliat diri sendiri dan lebih
mengenal khalwat Allah sendiri. Pengalaman-pemahaman kegiatan hidup
seperti, “dokar”: doa dan karya, “tudi”: tugas mengabdi dan studi, dan “bisul”:
bina relasi dan juga merasul. “Dokar”, “tudi” dan “bisul” ini saya cecap-kecap
dari tengah sampai ujung keramaian, dari pusat sampai pinggir perkotaan, dari
kelas seniman, wartawan, hartawan sampai sekedar umat beriman kebanyakan. Dari
yang tua-renta sampai yang baru lahir penuh gelak canda, yang kaya sampai yang
tidak bisa sekolah karena kurang biaya, dari yang konglomerat sampai yang
melarat. Dari yang wanginya semerbak sampai yang baunya seperti bisa ditebak,
karena tidak punya banyak bak. Juga pastinya, dari perjumpaan dengan banyak
rekan sediosesan dan aneka tarekat penuh berkat, yang diaku dan diampu sebagai
“hiraki gereja” sekaligus “kuasa mengajar yang sah”, dengan pelbagai atribut
dan kebersahajaannya masing-masing.
Yah, disinilah, saya mengenal ruang dan waktu, ruang dan waktu dalam pelbagai seginya: waktu sehat dan waktu sakit; mengenal waktu suram dan waktu cerah; mengenal waktu kerasan dan waktu bosan-bimbang; waktu sukses atau kecewa; waktu rukun atau kisruh. Itulah pebagai serpihan dan cercahan pengala”man diri yang terkenang-riang dan selintas-pintas turut saya bawa masuk khusyuk ke dalam buku “Via, Veritas Vita” ini.
Adapun buku “Via, Veritas Vita” ini sendiri hadir sebagai sebuah pengungkapan syukur pada ulang tahun tahbisan imamat saya yang kelima. Usia tahbisan saya sendiri baru lima tahun. Memang masih muda, tapi bukankah yang muda juga yang kerap bercerita? Bukankah bukan banyak dan lamanya, tapi bagaimana kita mencecap semua itu dalam-dalam? Satu kata dalam tradisi pertapaan para rahib Benediktin saya ingat, “ruminatio”: terus mengunyah-ngunyah dengan perlahan, sampai sungguh terasa halus benar. Selama proses “ruminatio” inilah, pelbagai serpihan kisah yang datang dan pergi, sempalan kasih yang dating mengihami, saduran, kutipan dan terjemahan saya turut lakukan dalam proses penyusunan buku sederhana ini sekaligus sebagai sebuah proses integrasi dan internalisasi antara kegiatan dan hidup doa, antara pewartaan dan relung jiwa.
Akhirnya, sambil menulis-manis dan menyusun-rukun buku sederhana dengan tema yang terarak-serak ini, saya ingin memantapkan rasa syukur terhadap rahmat imamat, atas apa yang sudah saya capai, sekaligus membetulkan apa yang belum beres serta melengkapi apa yang belum dicapai selama ini. Dan satu hal yang saya dapatkan dari lima bab pokok yang tersebar-pencar (diskursus, pastoralia, sinemaloka, sastraloka dan pustakaloka), dimana masing-masing tersusun-rukun dengan lima sub-bab pada setiap bab utamanya (Maksudnya sih, Otak atik gathuk, sesuai dengan jumlah tahun yang saya syukuri dalam imamat) plus dua bab tambahan (varia dan galeri), saya semakin meyakini sebuah premis iman yang secara kebetulan saya dapatkan juga di atas pusara nisan makam almarhum bapak saya, bahwa di balik semua isi buku yang sarat kata ini, Yesus adalah sang “Jalan (Via), Kebenaran (Veritas) dan Hidup (Vita)”: Ketika tak jelas jalan mana yang saya harus ditempuh. Ketika tak cerdas kebenaran mana yang harus saya pilih dan ketika tak lugas hidup seperti apa yang harus saya maknai, saya diajak kembali ke dasar iman yang bernas, ke pokok anggur yang benar, “back to basic”. Saya sebagai “imam kecil” diajak kembali kepada “Imam” dengan huruf besar, yakni Yesus sendiri. Dalam carut-marut perjuangan sebagai yesus-yesus kecil, saya merasa indah dan menggugah ketika bisa kembali kepada Yesus besar setiap hati dahaga dan haus akan arti sebuah “jalan”, “kebenaran” dan “kehidupan”.
Satu hal yang pasti, Ignatius Loyola dalam LR. 189b menyebutkan: “Dalam segala-galanya dan di mana-mana jangan sampai menginginkan atau mencari sesuatu apapun kecuali bertambah besarnya pujian dan kemuliaan Allah. Tiap-tiap orang harus beranggapan bahwa ia hanya akan maju dalam perkara rohani sejauh ia telah meninggalkan cinta diri, kehendak sendiri dan kepentingan sendiri”. Sepakat dengan itu, semoga dengan hadir-munculnya buku sederhana ini di pertengahan tahun ini, nama Tuhan sang Via Veritas Vita semakin dimuliakan dan keselamatan jiwa semakin diteguhkan.
Yah, disinilah, saya mengenal ruang dan waktu, ruang dan waktu dalam pelbagai seginya: waktu sehat dan waktu sakit; mengenal waktu suram dan waktu cerah; mengenal waktu kerasan dan waktu bosan-bimbang; waktu sukses atau kecewa; waktu rukun atau kisruh. Itulah pebagai serpihan dan cercahan pengala”man diri yang terkenang-riang dan selintas-pintas turut saya bawa masuk khusyuk ke dalam buku “Via, Veritas Vita” ini.
Adapun buku “Via, Veritas Vita” ini sendiri hadir sebagai sebuah pengungkapan syukur pada ulang tahun tahbisan imamat saya yang kelima. Usia tahbisan saya sendiri baru lima tahun. Memang masih muda, tapi bukankah yang muda juga yang kerap bercerita? Bukankah bukan banyak dan lamanya, tapi bagaimana kita mencecap semua itu dalam-dalam? Satu kata dalam tradisi pertapaan para rahib Benediktin saya ingat, “ruminatio”: terus mengunyah-ngunyah dengan perlahan, sampai sungguh terasa halus benar. Selama proses “ruminatio” inilah, pelbagai serpihan kisah yang datang dan pergi, sempalan kasih yang dating mengihami, saduran, kutipan dan terjemahan saya turut lakukan dalam proses penyusunan buku sederhana ini sekaligus sebagai sebuah proses integrasi dan internalisasi antara kegiatan dan hidup doa, antara pewartaan dan relung jiwa.
Akhirnya, sambil menulis-manis dan menyusun-rukun buku sederhana dengan tema yang terarak-serak ini, saya ingin memantapkan rasa syukur terhadap rahmat imamat, atas apa yang sudah saya capai, sekaligus membetulkan apa yang belum beres serta melengkapi apa yang belum dicapai selama ini. Dan satu hal yang saya dapatkan dari lima bab pokok yang tersebar-pencar (diskursus, pastoralia, sinemaloka, sastraloka dan pustakaloka), dimana masing-masing tersusun-rukun dengan lima sub-bab pada setiap bab utamanya (Maksudnya sih, Otak atik gathuk, sesuai dengan jumlah tahun yang saya syukuri dalam imamat) plus dua bab tambahan (varia dan galeri), saya semakin meyakini sebuah premis iman yang secara kebetulan saya dapatkan juga di atas pusara nisan makam almarhum bapak saya, bahwa di balik semua isi buku yang sarat kata ini, Yesus adalah sang “Jalan (Via), Kebenaran (Veritas) dan Hidup (Vita)”: Ketika tak jelas jalan mana yang saya harus ditempuh. Ketika tak cerdas kebenaran mana yang harus saya pilih dan ketika tak lugas hidup seperti apa yang harus saya maknai, saya diajak kembali ke dasar iman yang bernas, ke pokok anggur yang benar, “back to basic”. Saya sebagai “imam kecil” diajak kembali kepada “Imam” dengan huruf besar, yakni Yesus sendiri. Dalam carut-marut perjuangan sebagai yesus-yesus kecil, saya merasa indah dan menggugah ketika bisa kembali kepada Yesus besar setiap hati dahaga dan haus akan arti sebuah “jalan”, “kebenaran” dan “kehidupan”.
Satu hal yang pasti, Ignatius Loyola dalam LR. 189b menyebutkan: “Dalam segala-galanya dan di mana-mana jangan sampai menginginkan atau mencari sesuatu apapun kecuali bertambah besarnya pujian dan kemuliaan Allah. Tiap-tiap orang harus beranggapan bahwa ia hanya akan maju dalam perkara rohani sejauh ia telah meninggalkan cinta diri, kehendak sendiri dan kepentingan sendiri”. Sepakat dengan itu, semoga dengan hadir-munculnya buku sederhana ini di pertengahan tahun ini, nama Tuhan sang Via Veritas Vita semakin dimuliakan dan keselamatan jiwa semakin diteguhkan.
XXX – FAMILY WAY (Kanisius,
2010)
Kami sebagai Koordinator
Nasional Marriage Encounter - Indonesia sangat senang dan menyambut baik hasil
karya Rm Jost Kokoh, Pr. Buku ini ditulis dalam gaya bahasa yang “tidak biasa”,
namun justru membuat pembaca secara “luar biasa” terbawa oleh cara penuturan
yang sederhana, dinamis dan tidak membuat orang menjadi jenuh. Judul dari
permenungan setiap bab merupakan jembatan keledai dari hal-hal yang dibahas-tuntas
dalam topik tersebut, sehingga memudahkan pembaca untuk mengingatnya. Misalnya:
Suami: SUAra yang mengayoMI, Istri: ISilah dengan teladan, TRImalah dengan
iman. Mertua: MERasakan TUhan Ada, Menantu: MENANti untuk bersaTU. Pria:
Prajurit Idaman Allah, Wanita: WAjah iNdah Ini penuh cinTA.Ada juga singkatan
dan pemaknaan untuk Oma-Opa, Papa-Mama-Anak, Paman-Teman, Pernikahan sampai
Perselingkuhan dst. (Kornas ME-Indonesia, J. Widajaka Pranata, CM & Pas.
Riana-Suarno)
Buku “XXX-Family Way” ini
bukan hanya buku teori untuk menjelaskan persoalan keluarga secara akademis dan
mendalam; buku ini merupakan kumpulan insight-insight, hasil permenungan dan
membaca banyak tempat dan aneka sumber; sumbernya bukan perpustakaan yang rapih
dan ketat, tetapi perpustakaan lapangan di pinggir jalan, di toko buku, di
seminar, diskusi di sana-sini, dalam kesempatan kotbah (karena penulisnya, Jost
Kokoh juga seorang Pastor yang setidaknya harus berkotbah setiap hari Minggu).
Oleh karena itu, buku ini menjadi unik sekaligus menarik. (Greg Soetomo SJ,
Pemimpin Redaksi Mingguan HIDUP).
"TTM - TRIBUTE TO
MARY"
@ Rm Jost Kokoh
Prihatanto
15 Agustus 2007 - 15 Agustus 2013
(Penerbit "Pohon Cahaya", Yogyakarta, 15 Agustus 2013)
(Penerbit "Pohon Cahaya", Yogyakarta, 15 Agustus 2013)
Ya Yesus-ku, walau aku
seorang yang malang dalam begitu banyak hal dan begitu bodoh,
aku telah Engkau pilih sebagai gembala dari kawanan domba-Mu.
Anugerahkanlah kepadaku kasih yang bertambah-tambah
bagi jiwa-jiwa yang telah Engkau tebus dengan Darah-Mu yang Mahasuci,
sehingga aku dapat berkarya demi keselamatan mereka
dengan kebijaksanaan, kesabaran dan kekudusan.
Janganlah kiranya satu pun dari mereka yang telah Engkau percayakan kepadaku
hilang akibat kesalahanku. Ya Yesus-ku,
bantulah aku menguduskan mereka yang Engkau serahkan ke dalam pemeliharaanku.
Anugerahkanlah kepadaku kasih yang bertambah-tambah
bagi jiwa-jiwa yang telah Engkau tebus dengan Darah-Mu yang Mahasuci,
sehingga aku dapat berkarya demi keselamatan mereka
dengan kebijaksanaan, kesabaran dan kekudusan.
Janganlah kiranya satu pun dari mereka yang telah Engkau percayakan kepadaku
hilang akibat kesalahanku. Ya Yesus-ku,
bantulah aku menguduskan mereka yang Engkau serahkan ke dalam pemeliharaanku.
****************************************************
"TRILOGI CARPE
DIEM"
- Pantun Rohani.
- Pepatah Latin
- Puncta Bestari
@ Rm Jost Kokoh Prihatanto
15 Agustus 2007 - 15 Agustus 2013
(Penerbit "Pohon Cahaya", Yogyakarta, 15 Agustus 2013)
- Pantun Rohani.
- Pepatah Latin
- Puncta Bestari
@ Rm Jost Kokoh Prihatanto
15 Agustus 2007 - 15 Agustus 2013
(Penerbit "Pohon Cahaya", Yogyakarta, 15 Agustus 2013)
Ya Bunda Allah yang
tersuci,
sudi doakanlah aku dan mereka semua yang ada dalam kebun anggurku.
Para malaikat pelindung yang kudus dari jiwa-jiwa terkasih,
ajarilah aku bagaimana bersikap terhadap mereka
sehingga aku dapat menanamkan ke dalam hati mereka pokok-pokok iman dan kasih sejati Allah. Tuhan, ajarilah aku bagaimana hidup dan jika perlu mati,
sehingga semuanya dapat diselamatkan,
sehingga semuanya dapat mengasihi dan memuliakan Engkau sepanjang kekekalan masa;
agar semuanya dapat pula mengasihi dan menghormati BundaMu terkasih.
Amin.
sudi doakanlah aku dan mereka semua yang ada dalam kebun anggurku.
Para malaikat pelindung yang kudus dari jiwa-jiwa terkasih,
ajarilah aku bagaimana bersikap terhadap mereka
sehingga aku dapat menanamkan ke dalam hati mereka pokok-pokok iman dan kasih sejati Allah. Tuhan, ajarilah aku bagaimana hidup dan jika perlu mati,
sehingga semuanya dapat diselamatkan,
sehingga semuanya dapat mengasihi dan memuliakan Engkau sepanjang kekekalan masa;
agar semuanya dapat pula mengasihi dan menghormati BundaMu terkasih.
Amin.
*********************************************************
"MPK - Merah darahku, Putih tulangku,
Katolik imanku"
Buku
Twitterature: Tricks and Tracks:
(Pohon Cahaya Press,
Yogyakarta, 2013).
@ Rm
Jost Kokoh Prihatanto, Pr.
*********************************************************
"FX"
- Family Fraternity Faith
Sketsa
Walikota Surakarta.
@ Romo
Jost Kokoh Prihatanto, Pr.
(Pohon Cahaya Press,
Yogyakarta, 2013).
”Bagi saya tidak penting
berkantor di manapun. Yang penting bekerja!” Inilah sepenggal kalimat dari
“FX”, Sang Walikota Solo yang kerap berperan sebagai Gatotkaca dalam kirab
budaya itu dan kini menjadi ikon sekaligus idola baru warga pengunjung Car Free
Day (CFD) di kota Solo. Pastinya: Selamat datang di “Spirit Of Loving Others”,
sebuah era blusukan, yakni era horisontal yang selalu mendengar dan memperhatikan
sekaligus mencintai dan membela, karena ruang dan uang seharusnya memang
dibangun dengan “bahasa kemanusiaan, bahasa kasih dan bahasa kejujuran”. Inilah
sebuah era bahasa yang mengurangi instruksi tapi banyak mendelegasi, yang
mengurangi perintah tapi banyak berkomunikasi. Sebuah era dimana pemimpinnya:
Ketika ada masalah – dia ada di paling depan, ketika ada kerja - dia ada di
tengah-tengahnya, dan ketika ada kemakmuran - dia ada di paling belakang,
karena sejatinya pemimpin harusnya menderita dan bukan menikmati, harusnya
penuh cinta dan bukan sekedar kata kata hampa, karena cinta akan menghasilkan
sesuatu, sementara kata - kata kerap hanya menghasilkan alasan. Tolle et legge.
Ambil dan bacalah!
saya sudah baca 2 buku anda Romo, saya merasa senang.... pengin baca juga buku yang lain....
BalasHapus