Prolog
Hampir lima tahun saya melewati ruwet renteng hidup sebagai
seorang imam muda di sebuah kota besar bernama Jakarta. Serpihan dan penggalan
pengalaman hidup jasmani dan rohani serta pemaknaan hidup karya dan warta,
membuat saya lebih mengenal banyak carut marut kehidupan: pelbagai gulat karakter
orang, geliat diri sendiri dan lebih mengenal khalwat Allah sendiri.
Pengalaman-pemahaman kegiatan hidup seperti, “dokar”: doa dan karya, “tudi”:
tugas mengabdi dan studi, dan “bisul”:
bina relasi dan juga merasul. “Dokar”, “tudi” dan “bisul” ini saya cecap-kecap
dari tengah sampai ujung keramaian, dari pusat sampai pinggir perkotaan, dari
kelas seniman, wartawan, hartawan sampai sekedar umat beriman kebanyakan. Dari
yang tua-renta sampai yang baru lahir penuh gelak canda, yang kaya sampai yang
tidak bisa sekolah karena kurang biaya, dari yang konglomerat sampai yang
melarat. Dari yang wanginya semerbak sampai yang baunya seperti bisa ditebak,
karena tidak punya banyak bak. Juga pastinya, dari perjumpaan dengan banyak
rekan sediosesan dan aneka tarekat penuh berkat, yang diaku dan diampu sebagai
“hiraki gereja” sekaligus “kuasa mengajar yang sah”, dengan pelbagai atribut
dan kebersahajaannya masing-masing.