• Alon-alon waton klakon
Filosofi ini sebenarnya berisikan pesan tentang
safety. Padahal kandungan maknanya sangat dalam. Filosofi ini mengisyaratkan
tentang kehati-hatian, waspada, istiqomah, keuletan, dan yang jelas tentang
safety.
• Nrimo ing pandum
Arti yang mendalam menunjukan pada sikap
Kejujuran, keiklasan, ringan dalam bekerja dan ketidakinginan untuk korupsi.
Inti filosofi ini adalah Orang harus iklas menerima
hasil dari usaha yang sudah dia kerjakan.
• Saiki jaman edan yen ora edan ora komanan, sing
bejo sing eling lan waspodo.
Hanya orang yang ingat kepada Allah (disini saja
juga tidak cukup) dan waspada terhadap duri-duri kehidupan yang setiap saat
bisa datang dan menghujam kehidupan, sehingga bisa mengakibatkan musibah yang
berkepanjangan.
• Mangan ora mangan sing penting ngumpul’
‘Makan tidak makan yang penting kumpul’. Filosofi
ini adalah sebuah peribahasa. Kalimat peribahasa tidaklah tepat kalau diartikan
secara aktual. Filosofi ini sangat penting bagi kehidupan berdemokrasi. Kalau
bangsa kita mendasarkan demokrasi dengan falsafah diatas saya yakin negara kita
pasti akan aman, tentram dan sejahtera.’Mangan ora mangan’ melambangkan eforia
demokrasi, yang mungkin satu pihak mendapatkan sesuatu (kekuasaan) dan yang
lain pihak tidak. Yg tdk dapat apa-apa tetap legowo. ‘Sing penting ngumpul’
melambangkan berpegang teguh pada persatuan, yang artinya bersatu untuk tujuan
bersama. Saya pikir Filosofi ‘Mangan ora mangan sing penting kumpul’ adalah
filosofi yang cocok yang bisa mendasari kehidupan demokrasi bangsa Indonesia
agar tujuan bangsa ini tercapai.
• Wong jowo ki gampang di tekuk-tekuk.
Filosofi ini juga berupa ungkapan peribahasa yang
dalam bahasa Indonesia adalah ‘Orang Jawa itu mudah ditekuk-tekuk’. Ungkapan
ini menunjukan fleksibelitas dari orang jawa dalam kehidupan. Kemudahan bergaul
dan kemampuan hidup di level manapun baik miskin, kaya, pejabat atau pesuruh
sekali pun. Orang yang memegang filosofi ini akan selalu giat bekerja dan
selalu ulet dalam meraih cita-citanya.
1. Memayu hayuning bawana (melindungi bagi
kehidupan dunia)
2. Sukeng tyas yen den hita (suka/bersedia menerima
nasihat, kritik, tegoran)
3. Jer basuki mawa beya (keberhasilan seseorang
diperoleh dengan pengorbanan)
4. Ajining dhiri dumunung ing kedhaling lathi
(nilai diri seseorang terletak pada gerak lidahnya)
5. Ajining sarira dumunung ing busana (nilai
badaniah seseorang terletak pada pakaiannya)
6. Amemangun karyenak tyasing sesama (membuat
enaknya perasaan orang lain)
7. Kridhaning ati ora bisa mbedhah kuthaning pasthi
(Gejolak jiwa tidak bisa merubah kepatian)
8. Budi dayane manungsa ora bisa ngungkuli garise
Kang Kuwasa (Budi daya manusia tidak bisa mengatasi takdir Yang Maha Kuasa)
9. Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti
(kemarahan dan kebencian akan terhapus/hilang oleh sikap lemah lembut)
10. Tan ngendhak gunaning janma (tidak merendahkan
kepandaian manusia)
Sebenarnya, masih banyak filsafat-filsafat jawa
yang lain. Satu hal yang harus diingat, mempelajari kebudayaan suatu daerah
bukan berarti kita menjadi “rasis” atau fanatik kedaerahan, namun itu semua
sebagai wujud pertanggung jawaban kita terhadap peninggalan nenek moyang bangsa
kita. Dan juga melestarikan kebudayan daerah bukan hanya menjadi tanggung jawab
warga daerah tersebut. Tetapi juga menjadi tanggung jawab kita semua.. (ingat
semboyan bangsa kita “Bhineka Tunggal Ika”…..). Bangsa yang besar bukan hanya
bangsa yang hidup modern, tetapi juga bangsa yang mampu hidup modern tanpa
meninggalkan ajaran dan nilai luhur kebudayaannya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar