“Domine, doce nos
orare.”
Pekan Biasa XI
2 Kor 11:1-11; Mat 6:7-15
“Domine,
doce nos orare - Tuhan, ajarlah kami berdoa…” (Luk 11:1). Itulah permintaan
para murid kepada Yesus. Bukankah kebanyakan dari kita diajari berdoa oleh
orang-orang di sekitar kita? Hari ini Yesus juga mengajarkan sebuah doa kepada
kita, yakni doa “Bapa Kami.”. Bisa jadi, doa Bapa Kami (Bhs Latin:Pater Noster,
bhs Yunani: Πάτερ ἡμῶν) adalah doa yang paling terkenal dalam sejarah agama
Kristiani. Doa ini sendiri diambil dari kitab Injil Matius (6:9-13), yang
muncul sebagai bagian dari Khotbah di Bukit. Meski Yesus kemungkinan besar
mengajarkan doa ini dalam bahasa Aram, teks-teks awal kemungkinan besar
terdapat dalam bahasa Yunani karena pengaruh Helenisme. Di lain matra, karena
bahasa Latin merupakan bahasa yang resmi dipakai dalam agama Kristen Barat,
maka versi dalam bahasa Latin atau Pater Noster, merupakan sebuah terjemahan
penting dari doa dalam bahasa Yunani ini.
Seperti yang saya tulis dalam buku “3Bulan 5Bintang
7Matahari” (Kanisius), doa Bapa Kami ini terbagi menjadi dua bagian. Bagian
yang pertama untuk memuji: memuliakan nama Tuhan (6:9-10) sedangkan bagian yang
kedua, memohon: untuk kebutuhan bagi kita yang berdoa (6:11-13). Secara lebih
mendalam, sebenarnya doa Bapa Kami ini mengandung tujuh permohonan, yakni:
“dimuliakanlah namaMu, datanglah kerajaanMu, jadilah kehendakMu di atas bumi
seperti di dalam surga, berilah kami rejeki pada hari ini, ampunilah kesalahan
kami-seperti kamipun mengampuni yang bersalah kepada kami, janganlah masukkan
kami ke dalam percobaan, dan bebaskanlah kami dari yang jahat.”
Berangkat dari dua bagian doa Bapa Kami yang
mengandung tujuh permohonan sekaligus tujuh semangat, adapun tiga permenungan
yang bisa diangkat, al:
1.Doa itu memiliki karakter sederhana:
"Dalam doamu, janganlah kamu bertele-tele,
seperti kebiasaan orang tidak mengenal Allah." Rupanya, pada jaman Yesus
pun, ada kenyataan bahwa orang suka bertele-tele dalam berdoa. Anehnya, di
jaman ini pun, kita tidak sulit menemukan contoh doa bertele-tele itu. Dalam
kesempatan doa pribadi, doa keluarga, doa bersama, selalu ada saja yang berdoa
bertele-tele: entah isinya, caranya, kata-katanya, nadanya, waktunya
bertele-tele. Cara Yesus membuka doa yang paling terkenal di dalam sejarah ini
juga berkarakter sederhana untuk memahami tujuan doa yang sesungguhnya. Kita
dibawa ke dalam hubungan yang akrab, hangat dan bersahabat sebagai
anak-anakNya: Allah yang jauh menjadi Allah yang dekat, bahkan yang bisa kita
sapa sebagai “Bapa”. Begitu sederhana tapi tetap kaya makna, bukan?
2. Doa itu memiliki pola salib, kayu palang.
Artinya tidak hanya “aku dan Tuhan” (vertikal),
tetapi juga “aku dan sesama” (horisontal) juga. Artinya, pelbagai doa apa pun,
betapapun bagusnya kata dan indahnya nuansa, jika tidak bermuara dalam relasi
dengan sesama, menjadi hambar dan mungkin malah kehilangan nilainya. Tak ada
gunanya kita berdoa "ampunilah aku Tuhan" tapi kita tak mau
mengampuni orang lain. Atau 'berilah kami rejeki", sementara kita sendiri
tidak pernah mau memberi. Karena itu Matius menuliskan sebuah pesan Yesus:
"jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu .akan mengampuni kamu
juga. Jika tidak, .Bapamu juga tidak akan mengampunimu juga.” Jadi doa mesti
bermuara ke dalam hidup kita, mesti diwujudkan dalam hidup bersama orang lain.
Sebaliknya, akan menjadi penuh makna, jika diangkat dari hidup nyata.
"Jangan minta, jika tidak pernah rela memberi!" Doa akan mengangkat
pengalaman hidup nyata dan sebaliknya, kita akan hidup lebih kaya makna dari
inspirasi doa-doa kita.
3.Doa itu bisa berarti “Dikuatkan Oleh Allah.”
Bukankah pada kenyataannya, kita kerap merasa
lemah: lemah iman, lemah semangat, lemah harapan dan lain sebagainya? Walaupun
kadang saya berkata, “Baik jika tanganmu kau lipat untuk berdoa, tetapi lebih
baik lagi jika tanganmu kau buka untuk memberi,” bagi saya sebuah doa tetap
mendapatkan aktualitasnya karena doa sendiri adalah napas kehidupan umat
beriman. Tanpa napas, kita tak mungkin terus hidup bukan? Maka semua usaha,
pekerjaan, rencana dan perjuangan tanpa disertai doa, tidak memiliki jiwa yang
benar benar kuat.
Akhirnya, jelas bahwa doa Bapa Kami adalah contoh
mengenai bagaimana kita patut berdoa. Apakah salah kalau kita menghapalkan Doa
Bapa Kami? Tentu tidak! Apakah salah kalau kita mengulangi Doa Bapa Kami
sebagai doa kita? Tidak, jika kita sungguh-sungguh dan dengan segenap hati.
Dkl: Betapapun indahnya suatu doa, yang tidak boleh terlupakan adalah bagaimana
kita meresapkannya, sehingga kata-kata yang diucapkan bukan hanya sekedar
hafalan (dimensi informasi/pengetahuan iman belaka), tetapi sungguh-sungguh
keluar dari hati dan menjadi milik kita sendiri (dimensi
internalisasi/pengendapan nilai-nilai). Labora et ora – Bekerja dan berdoalah!
“Cari goa di Gunung Pati – Mari berdoa sepenuh
hati.”
Tuhan memberkati dan Bunda merestui.
Fiat Lux!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar