SEJAK manusia
pertama jatuh dalam dosa, manusia terpisah dari kasih karunia Tuhan di Taman
Eden. Mereka menjadi takut ketika mendengar langkah-langkah Tuhan dan mereka
bersembunyi di balik rerimbunan pohon (bdk. Kej 3:1-24). Tuhan memanggil
mereka, “Di manakah engkau? ... Apakah engkau makan dari buah pohon, yang
Kularang engkau makan itu?”. Maka jawab Adam, “Perempuan yang Kautempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari
buah pohon itu kepadaku, maka kumakan.” Si perempuan itu pun berkata, “Ular itu
yang memperdayakan aku, maka kumakan.” Mereka saling melemparkan kesalahan.
Sejak manusia jatuh dalam dosa, mereka menderita, terpisah dari Tuhan, takut, saling menyalahkan, menderita dalam mencari nafkah, saling membenci, dan “saling membunuh. Manusia merindukan Taman Eden, tempat mereka hidup dalam harmoni agung dengan Tuhan, harmoni dengan sesama, dan harmoni dengan seluruh alam semesta. Semuanya dalam keadaan baik adanya dan damai sejahtera.
Sejak manusia jatuh dalam dosa, mereka menderita, terpisah dari Tuhan, takut, saling menyalahkan, menderita dalam mencari nafkah, saling membenci, dan “saling membunuh. Manusia merindukan Taman Eden, tempat mereka hidup dalam harmoni agung dengan Tuhan, harmoni dengan sesama, dan harmoni dengan seluruh alam semesta. Semuanya dalam keadaan baik adanya dan damai sejahtera.
Masyarakat modern yang ditandai oleh kemajuan teknologi rupanya belum berhasil (gagal) menciptakan dunia yang kita rindukan. Dampak kemajuan teknologi menciptakan penderitaan psikologis, yaitu situasi impersonal, orang-orang merasa kurang harapan, terasing, kesepian, gelisah, dan cemas, tercabut dari akar kebudayaan maupun pribadinya, gampang lari dari kenyataan, mudah mencari sensasi guna mendapatkan kebahagiaan dan keabadian semu. Masyarakat modern menjadi tanah yang tandus dan gersang bagi iman kita untuk tumbuh dan berbuah.
Kecanggihan teknologi tidak semakin membuat manusia menghargai nilai-nilai adikodrati maupun nilai-nilai kemanusiaan, seperti kebebasan, keadilan, dan martabat hidup manusia. Nilai nilai moral semakin melemah dan terjadilah masalah-masalah, seperti eutanasia, homoseks, abortus, penyalahgunaan obat bius, perceraian, masalah seksualitas, dan sebagainya.
Melemahnya nilai rohani dan adikodrati dalam hidup umat beriman menyebabkan semakin kuatnya motivasi untuk mengejar pemuasan kebutuhan psikologis. Orang lebih suka mengejar hidup senang daripada berjuang untuk setia kepada iman. Gaya hidup hedonisme, materialisme, individualisme, dan konsumerisme menjadi cermin orang modern masa kini. Situasi mengambang karena luka batin dan hidup efektif yang tidak terolah merupakan ciri manusia modern yang rapuh dan mudah jatuh. Luka-luka batin membuat orang melukai orang lain dan acuh tak acuh terhadap nilai-nilai iman. Luka batin adalah dunia perasaan yang belum tertebus.
Di balik permasalahan yang kita hadapi, ada suatu inti permasalahan, yaitu kerinduan akan Taman Eden — kerinduan untuk bertemu dan bersatu dengan Tuhan sumber segala kebahagiaan. “Seperti rusa yang merindukan sungai yang berair, demikianlah jiwaku merindukan Engkau, ya Allah” (Mzm 42:2). Jiwa manusia tidak akan tenteram sebelum mereka menemukan dan bersatu dengan Tuhan Penyelamatnya. Untuk itu, “... carilah Kerajaan-Nya, maka semuanya itu akan ditambahkan juga kepadamu” (Luk 12:31). ]
1. Meditasi, Doa Hening sebagai Sarana
Anthony de Mello membagi empat tahap di dalam doa, yaitu:
Tahap pertama
Saya berbicara dan Tuhan mendengarkan. Jenis doa ini paling banyak dilakukan oleh umat. Malahan ada pendapat yang mengatakan bahwa orang yang pandai berbicara berarti pandai berdoa.
Tahap kedua
Saya mendengarkan dan Tuhan berbicara. Orang hanya dapat mendengarkan apabila ia masuk dalam keheningan. Meditasi adalah doa hening. Doa hening adalah meditasi.
Tahap ketiga
Saya tidak berbicara, dan Tuhan tidak berbicara. Saya bersama Tuhan saling mendengarkan melalui keheningan.
Tahap keempat
Saya tidak berbicara dan tidak mendengar, Tuhan tidak berbicara dan tidak mendengar. Saya bersatu dengan Tuhan, melalui keheningan.
Doa bukan hanya berbicara, tetapi lebih dari itu, berada bersama Tuhan dan bersatu dengan Dia yang kita rindukan. Melalui doa meditasi atau doa hening, kita mendapatkan sarana untuk bertemu dengan Tuhan.
Untuk dapat memasuki keheningan, kita perlu mengadakan latihan. Banyak orang mendapatkan kesulitan untuk dapat menjadi hening karena dia terlalu sibuk, banyak pikiran dan urusan. Akan tetapi, sesungguhnya kesulitan utama tidak terletak di situ. Kesulitan utama adalah bagaimana kita dapat menemukan Tuhan dan bersatu dengan-Nya, yang begitu agung dan melampaui batas daya manusia. Tuhan itu jauh tidak terhingga, tetapi dekat dengan kita, lebih dekat daripada yang kita pikirkan dan kita rasakan. Menyadari kesulitan ini, Santo Paulus berkata, “Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan” (Rm 8:26). Kita tidak mungkin akan dekat dengan Tuhan apabila Tuhan sendiri tidak menarik kita kepada-Nya. Dalam Kitab Suci, kita menemukan satu-satunya rumusan tentang Tuhan di mana dikatakan, “Allah adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia” (l Yoh 4:16b). Dari sini, kita semua diberi petunjuk jalan untuk bersatu dengan Allah. Selain melalui keheningan, kita harus tinggal di dalam kasih. “... setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. ... Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita” (1 Yoh 4:7b,10). Meditasi harus selalu berdasarkan Kitab Suci karena kita dapat mengenal Dia melalui sabda-Nya.
Lebih lanjut tentang kasih dirumuskan secara praktis oleh Rasul Santo Paulus demikian, “Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu” (1 Kor 13:4-7). Kasih itu tidak negatif, tetapi selalu positif; sulit untuk dirumuskan, tetapi mudah untuk dirasakan.
Dalam bermeditasi, terjadi semacam proses katarsis (pemurnian) terhadap pengalaman hidup kita yang diwarnai oleh kebencian dan luka-luka batin. Hidup kita dimurnikan dan disucikan agar semakin serupa dengan sumber kasih. Allah menghendaki agar banyak orang mengalami kasih-Nya dan keselamatan-Nya. Allah hadir membawa hidup dalam segala kelimpahan rahmat-Nya. (bdk.Yoh 10:l0b).
2. Meditasi Tidak untuk Mencari Kepuasan Diri.
Ada orang beranggapan bahwa meditasi itu seolah-olah duduk sendiri di tempat yang sunyi, lari dari kenyataan dunia yang penuh kesusahan dan luka-luka batin untuk mencari ketenangan dan kepuasan batin diri sendiri. Kepuasan bersatu dengan Tuhan secara egois itu tidaklah mungkin karena Allah adalah kasih. Sifat dari kasih selalu terarah kepada orang lain untuk membagi dan mempersatukan. Man of God, man for other. Kasih itu tidak tinggal diam. Meditasi mengandung dimensi misioner. Demikian juga para peserta meditasi, mereka mempunyai tugas untuk membagi kasih bagi mereka yang kekurangan kasih.
3. Tuhan Mengundang kita
“Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan” (Mat 11:28- 29). Kerinduan kita akan dipuaskan melalui pertemuan dengan Dia yang selalu mengundang dan menunggu kita. Melalui doa meditasi, kita diberi sarana untuk bertemu dengan Dia yang mau menarik kita lebih dekat kepada-Nya. Kita diundang untuk disembuhkan, diberi rahmat-Nya, dan dicintai-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar