“Libertas,
égalitas, fraternitas”
Kej 23:1-4.19; 24:1-8.62-67; Mat 9:9-13
“Libertas, égalitas, fraternitas - Kebebasan, persamaan, dan persaudaraan” merupakan trilogi semboyan yang marak pada waktu Revolusi Perancis (1789–1799). Tiga semangat dasar inilah yang juga tampak pada bacaan hari ini ketika Yesus memanggil Matius: “Ikutlah Aku!” Secara historis, latar belakang Matius mirip dengan Zakheus yang adalah seorang pemungut cukai. Pada masa itu pemungut cukai adalah profesi yang sangat dibenci dan dianggap sebagai pengkhianat bangsa Yahudi. Mereka dicap sebagai pengkhianat dan antek-antek penjajah karena menyetorkan pajak kepada bangsa Romawi.
Nama asli Matius sendiri sebelum panggilan Yesus datang kepadanya adalah Lewi. Bisa dipastikan, Lewi ini adalah seorang yang kaya dalam hal harta, selain karena profesinya sebagai pemungut cukai, juga disiratkan oleh Alkitab bahwa dia juga mengadakan jamuan makan bersama untuk Yesus dan rekan-rekan seprofesinya. Ketika kemudian menjadi salah satu di antara 12 rasul, Lewi lebih dikenal dengan nama Matius, yang dalam bahasa Yunani berarti “anugerah/hadiah dari Allah”.
Kej 23:1-4.19; 24:1-8.62-67; Mat 9:9-13
“Libertas, égalitas, fraternitas - Kebebasan, persamaan, dan persaudaraan” merupakan trilogi semboyan yang marak pada waktu Revolusi Perancis (1789–1799). Tiga semangat dasar inilah yang juga tampak pada bacaan hari ini ketika Yesus memanggil Matius: “Ikutlah Aku!” Secara historis, latar belakang Matius mirip dengan Zakheus yang adalah seorang pemungut cukai. Pada masa itu pemungut cukai adalah profesi yang sangat dibenci dan dianggap sebagai pengkhianat bangsa Yahudi. Mereka dicap sebagai pengkhianat dan antek-antek penjajah karena menyetorkan pajak kepada bangsa Romawi.
Nama asli Matius sendiri sebelum panggilan Yesus datang kepadanya adalah Lewi. Bisa dipastikan, Lewi ini adalah seorang yang kaya dalam hal harta, selain karena profesinya sebagai pemungut cukai, juga disiratkan oleh Alkitab bahwa dia juga mengadakan jamuan makan bersama untuk Yesus dan rekan-rekan seprofesinya. Ketika kemudian menjadi salah satu di antara 12 rasul, Lewi lebih dikenal dengan nama Matius, yang dalam bahasa Yunani berarti “anugerah/hadiah dari Allah”.
Adapun tiga sikap dasar supaya kita juga bisa belajar menjadi “anugerah/hadiah dari Allah”, al:
1. Libertas:
Yesus bebas menyapa setiap orang. Ia bergaul dan bersahabat bukan hanya dengan orang-orang yang sudah dikenal baik, tapi dengan para pendosa dan pemungut cukai. Hatinya bebas dan merdeka karena penuh dengan cinta kasih dan keterbukaan. Ia tidak suka memberikan cap atau stigma negatif alias ”meng-ekskomunikasikan”: mengasingkan orang lain”. Padahal kalau mau jujur, pendirian yg suka mengekskomunikasikan malahan membuat kita "ter-ekskomunikasi" dari yg lain, terasing dari dunia dimana kita nyata nyata berada.
Di lain segi, hati Matius juga merdeka sehingga ia peka mendengarkan sapaan Tuhan. Baginya: “Barangsiapa mencari kebenaran, entah sadar atau tidak, ia mencari Tuhan.” Bukankah mendengarkan adalah cara kita untuk mencintai dan mencari kebenaranNya? Sederhana tapi tidak sesederhana itu karena kita lebih mudah besar mulut dibanding lebar telinga bukan? Disinilah menjadi jelas bahwa iman dan akal, hati dan budi, roh jahat dan roh baik selalu bertanding dan bersanding, sehingga mutlak diperlukan sikap kemerdekaan sebagai anak-anak Allah yang sejati: “live without pretending, love without depending”
2. Egalitas:
Yesus menyapa dan memanggil semua orang. Ia tidak hanya menyapa Nikodemus yang pintar atau Zakheus yang kaya atau Magdalena yang menarik. Ia juga menyapa Matius yang berdosa karena bekerja sebagai pemungut cukai, bahkan Ia berkenan untuk diundang makan bersama Matius dan para pendosa yang lainnya. Karena itulah juga, Matius juga mengajak semua temannya yang kebanyakan para pemungut cuka dan pendosa untuk makan bersama di meja perjamuan yang sama. Tidak ada yang lebih tinggi atau rendah, semua diajak makan dalam suasana kebersamaan yang setara. Bukankah kita tidak akan pernah menang jika kita tidak pernah memulai bukan? Dan Yesus bersama Matius telah menunjukkan jalan sederhananya kepada kita.
3. Fraternitas:
Idealnya: Hidup diperkuat oleh banyak persahabatan – Life is to be fortified by many friendships! Realnya: Kita hidup di bawah langit yang sama tapi kita tidak selalu memiliki horizon yang sama. Kita menghirup udara yang sama tapi kita kadang sulit untuk bersa"udara". Lihatlah figur orang Farisi yang ahli agama dan kitab suci. Mereka malahan penuh pikiran negatif dan cenderung “semper accusat – selalu menuduh”: asyik bicara tentang DIA, tapi tak pernah bicara dengan DIA! Inilah yang juga yang kadang kita perbuat bukan, bahkan kepada saudara seiman sendiri ketika hati penuh dengki dan keiri hatian, gosipan dan pergunjingan, ketika diri menjadi “enak - egois, narsis, autis dan kritik sinis”. Disinilah kita perlu persaudaraan yang penuh kasih dan ketulusan karena kasih dan ketulusan mempunyai persamaan, keduanya sama sama bisa memperkaya jiwa dan mencerahkan hati.Bukankah juga menjadi jelas bahwa ukuran integritas persaudaraan sejati adalah ketika ia bersemi dalam hati, terkembang dalam kata dan pastinya terurai berai dalam perbuatan kasih yang nyata? Sst, dalam Injil sering dinyatakan bahwa Yesus mengetahui pikiran dan hati orang (Mat 9:4; 12:25; Luk 5:22; 11:17 dsb). Bagaimana dengan hatimu? Adakah libertas, egalitas dan fraternitas? Jangan lupa, kita adalah "tanda yang kelihatan dari rahmat yang tak kelihatan" (the visible sign of an invisible grace)
“Cari galah cari paku - Mari ikutilah Aku”
Tuhan memberkati dan Bunda merestui.
Fiat Lux!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar