INSPIRASI HOMILI MINGGUAN
Yes. 35:1-6a.10; Yak. 5:7-10; Mat 11:2-11
Yes. 35:1-6a.10; Yak. 5:7-10; Mat 11:2-11
I.BERFOKUS PADA HARAPAN, BUKAN KERAGUAN
01. Berhadapan dengan tantangan hidup yang semakin berat dan sulit serta alam semesta yang rusak dan kacau balau akibat ulah manusia yang melenceng dari kehendak Sang Pencipta, hampir di setiap suku bangsa muncul harapan akan kehadiran sosok pemimpin yang bisa membawa solusi untuk menyelesaikan krisis kehidupan yang terjadi. Dalam tradisi Jawa harapan semacam itupun ada. Di tengah kegalauan adanya krisis kepemimpinan, ketika para pemimpin kehilangan kredibilitas karena mengabaikan nilai-nilai etika dan moral serta melakukan kebohongan publik demi pencitraan, dambaan datangnya seorang pemimpin yang mampu membawa perubahan menuju kehidupan yang lebih baik, lebih damai, lebih adil dan menyejahterakan semakin menguat. Tokoh penyelamat yang akan membawa negeri ini keluar dari krisis multidimensi yang berkepanjangan serta membawa kepada kejayaan diberi nama Ratu Adil atau Satria Piningit. Ratu Adil ini digambarkan sebagai sosok pemimpin politis dengan tiga karakter kepemimpinan : Pertama, berkarakter Satria Bhayangkara yaitu berwibawa, bersikap tegas, adil, pengayom rakyat dan tepo seliro. Kedua, berkarakter Satria Pinandhita maksudnya menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral, religius dan tidak korup. Ketiga, berkarakter Satria Raja yakni berjiwa negarawan yang mengabdi hanya untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat.
02. Dalam Perjanjian Lama keyakinan akan datangnya
seorang tokoh besar yang dapat memulihkan, mengembalikan segala sesuatu kepada
kebaikan, keharmonisan, keindahan serta kebahagiaan sebagaimana dikehendaki
Sang Pencipta pada saat penciptaan semesta pun berkembang luas. Keyakinan itu
dimiliki hampir setiap orang Yahudi sepanjang sejarah. Namun bagaimana proses
pemulihan itu akan terlaksana konsepnya sangat bervariasi, sebutan untuk tokoh
yang akan datang itu pun bermacam-macam: Anak Manusia, Kristus, Mesias. Ada
yang menggambarkan Mesias sebagai tokoh politik yang akan membawa kemerdekaan
bagi bangsa Yahudi dari penjajahan Roma dan menghantar bangsa terpilih itu
menuju kejayaan sebagaimana pernah dialami pada zaman Raja Daud. Ada yang
mengharapkan Mesias datang dengan penuh kuasa dan kekuatan sebagai Hakim pada
akhir zaman yang akan mengadili manusia berdasarkan perbuatannya, sebagaimana
diangankan oleh Yohanes Pembabtis ketika mengajarkan bahwa “ ... setiap pohon
yang tidak menghasilkan buah yang baik, ditebang dan dibuang ke dalam api” (Mat
3:10). Pengajaran Yohanes itu merupakan pendapat umum di kalangan para rabbi
yang mendasarkan diri pada nubuat nabi Yesaya, “Lihat, itu Tuhan ALLAH, Ia
datang dengan kekuatan dan dengan tangan-Nya Ia berkuasa. Lihat, mereka yang
menjadi upah jerih payah-Nya ada bersama-sama Dia, dan mereka yang
diperoleh-Nya berjalan di hadapan-Nya.” (Yes 40:10) dan nabi Maleakhi,
“Siapakah yang dapat tahan akan hari kedatangan-Nya? Dan siapakah yang dapat
tetap berdiri, apabila Ia menampakkan diri? Sebab Ia seperti api tukang pemurni
logam dan seperti sabun tukang penatu.” (Mal 3:2).01. Berhadapan dengan tantangan hidup yang semakin berat dan sulit serta alam semesta yang rusak dan kacau balau akibat ulah manusia yang melenceng dari kehendak Sang Pencipta, hampir di setiap suku bangsa muncul harapan akan kehadiran sosok pemimpin yang bisa membawa solusi untuk menyelesaikan krisis kehidupan yang terjadi. Dalam tradisi Jawa harapan semacam itupun ada. Di tengah kegalauan adanya krisis kepemimpinan, ketika para pemimpin kehilangan kredibilitas karena mengabaikan nilai-nilai etika dan moral serta melakukan kebohongan publik demi pencitraan, dambaan datangnya seorang pemimpin yang mampu membawa perubahan menuju kehidupan yang lebih baik, lebih damai, lebih adil dan menyejahterakan semakin menguat. Tokoh penyelamat yang akan membawa negeri ini keluar dari krisis multidimensi yang berkepanjangan serta membawa kepada kejayaan diberi nama Ratu Adil atau Satria Piningit. Ratu Adil ini digambarkan sebagai sosok pemimpin politis dengan tiga karakter kepemimpinan : Pertama, berkarakter Satria Bhayangkara yaitu berwibawa, bersikap tegas, adil, pengayom rakyat dan tepo seliro. Kedua, berkarakter Satria Pinandhita maksudnya menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral, religius dan tidak korup. Ketiga, berkarakter Satria Raja yakni berjiwa negarawan yang mengabdi hanya untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat.
03. Ketika mendengar karya-karya Yesus yang ternyata tidak sesuai dengan angan-angannya, Yohanes Pembabtis menjadi ragu-ragu: Benarkah Yesus itu Mesias? Karena dalam teologi Yahudi kemampuan melakukan mukjizat tidak menjadi ciri khas Mesias. Para nabi juga bisa melakukannya. Maka ia mengutus murid-muridnya untuk meminta penjelasan dan klarifikasi dari Yesus sendiri. Yesus mengajak Yohanes untuk merefleksikan karya-karya yang telah dikerjakan-Nya dengan menempatkannya dalam konteks nubuat nabi Yesaya yang juga menampilkan sosok Mesias yang lembut, menguatkan, yang memulihkan kehidupan menjadi baik kembali (lih. Bacaan I). Yohanes diajak untuk memahami pribadi Mesias dengan cara dan sudut pandang yang baru. Kalau Yohanes Pembabtis memahami Mesias sebagai sosok hakim yang keras, tegas dan tidak mengenal kompromi; sedang Yesus, dalam arus pewartaan nabi Yesaya menampilkan Diri sebagai Mesias yang murah hati, penuh belas kasih dan kerahiman. Mesias tidak datang dengan kemurkaan tetapi dengan pengampunan. Proses pemulihan tidak berarti menghancurkan yang rusak tetapi dengan membangun dan memperbaiki yang tidak berjalan semestinya: orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang sakit sembuh, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan, orang miskin diberikan harapan dan keyakinan bahwa Tuhan akan bertindak untuk mereka. Dengan demikian Yesus mau menegaskan bahwa perhatian lebih besar ditujukan kepada mereka yang kurang beruntung: sakit, disingkirkan, diremehkan, mati.
04. Dalam keragu-raguannya Yohanes Pembabtis tetap terbuka akan karya Allah. Dia menyesuaikan angan-angannya dengan kehendak Allah. Yohanes dipuji karena sikapnya yang tegas, tidak oportunis, tidak ikut arus (ay. 7 seperti buluh yang digoyangkan angin) dan sederhana, tidak tenggelam dalam kemewahan (ay. 7 berpakaian halus di istana raja sebagai simbol kemewahan). Sikap oportun dan tenggelam dalam kenikmatan hidup yang serba mewah, enak dan mudah membuat orang tidak bisa mengambil sikap yang jelas dan tegas terhadap kebaikan, kebenaran dan kesucian. Akibatnya, kedatangan Tuhan menjadi sebuah malapetaka yang menakutkan. Orang kecil, miskin dan tersingkirlah (dalam kisah Natal disimbolkan oleh figur para gembala) yang terbuka dan dengan gembira menyambut Tuhan dan menerima pertolonganNya, sedang orang yang mengandalkan kemampuannya sendiri dan menolak kehadiran serta karya Sang Mesias tidak akan mendapat bagian dalam kebahagiaan mesianik.
05. Keragu-raguan dalam hidup beriman sering kita alami ketika kenyataan yang terjadi sangat berbeda dengan harapan yang diangan-angankan, manakala harapan dan keinginan tidak terwujud serta semua usaha nampak sia-sia, saat dicekam kegalauan karena tidak menemukan solusi atas masalah kehidupan yang sedang dihadapi. Pada saat itu kita bisa kehilangan iman dan meragukan penyelenggaraan-Nya atas hidup kita. Ketika kenyataan terasa berat, menakutkan dan tidak ramah, kita cenderung melarikan diri darinya untuk mencari “mesias” atau "penyelamat" lain yang bisa memberikan kemudahan dan kenyamanan entah berkhayal atau pergi ke dukun atau paranormal yang bisa memberikan penyelesaian secara instan, cepat dan mudah. Yohanes Pembabtis mengajari kita untuk datang, bertanya kepada Tuhan dan mempercayakan Diri kepada rencana-Nya. Kita tidak selalu tahu bagaimana Tuhan berkarya tetapi kita percaya bahwa Dia tidak pernah salah dan gagal dalam karya-Nya. You may not always understand why God allows certain things to happen, but you have to be certain that God is not making any mistakes! Duri hari ini adalah bunga hari esok. Tuhan akan memberikan yang terbaik kepada mereka yang dengan penuh keikhlasan menyerahkan diri kepada-Nya. Percayalah!
06. Seorang guru kebijaksanaan meminta kepada empat orang muridnya untuk mengamati sebuah pohon pear yang tumbuh di hutan dekat pertapaan mereka pada saat yang berbeda-beda, kemudian melaporkan hasil pengamatannya kepada sang guru. Murid pertama yang diminta untuk mengamati pada musim dingin melaporkan, “Guru, pohon itu meranggas dan nampaknya mau mati. Sama sekali tidak ada daunnya dan batangnya pun mengering”. Murid kedua yang mengamati pada musim semi menceritakan kesimpulannya, “Guru, pohon itu kelihatan mulai hidup. Pada batang dan ranting-rantingnya tumbuh kuncup-kuncup yang hijau dan segar”. Murid ketiga yang meneliti pada musim panas menceritakan, “Guru, pohon pear itu tumbuh begitu subur dan rindang. Di sana-sini tumbuh bunga yang indah dan buah-buahnya pun bergelantungan”. Murid keempat yang mengamati pada musim gugur mengungkapkan hasil pengamatannya, “Buah-buah yang bergelantungan di ranting-ranting pohon sudah matang dan siap untuk dipetik”. Sang guru kemudian memanggil murid-muridnya dan berkata, “Anak-anakku, pengamatan kalian semua benar. Sebuah pohon yang satu dan sama ternyata bisa nampak berbeda pada saat yang berbeda pula. Demikian juga dengan kehidupan kita. Ketika sedang mengalami masa-masa sulit memang segalanya serba suram, tidak menjanjikan dan mengecewakan. Rencana gagal berantakan, semua usaha tidak memberikan hasil, sakit yang diderita tidak kunjung sembuh. Pada saat seperti itu jangan menyalahkan orang lain atau diri sendiri. Jangan pula mengatakan dirimu bodoh dan bernasib sial. Tidak ada “nasib sial” bagi orang yang percaya kepada Tuhan. Yang ada hanya waktu yang belum tepat. Tugasmu saat itu hanyalah terus berusaha sekuat tenaga dan bersandar pada kekuatan Tuhan. Biarlah Tuhan yang melengkapi semua kekuranganmu. Ketika kamu tabah, sabar dan tekun pada musim dingin maka kalian akan mengalami musim semi dan panas yang menjanjikan dan menuai hasil yang membahagiakan di musim gugur. Selalu ada harapan untuk orang yang percaya. Jangan pernah berhenti berharap karena bila kalian tidak berhenti berharap kalian juga tidak akan berhenti berusaha untuk mewujudkan harapan itu”. Dalam masa Adven ini kita harus lebih memfokuskan diri pada harapan, bukan pada keraguan. Karena, “Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.”. Berkah Dalem. (Rm. Ch. Sutrasno Purwanto pr)
II. SANG MESIAS.
Selain mukjizat penyembuhan, bacaan pertama juga berbicara tentang mukjizat alam. Pada zaman Mesias, padang gurun dan padang belantara yang memperoleh kesuburan. Keyakinan akan hadirnya Mesias yang membawa keselamatan itu hendaknya menjadi kekuatan bagi orang yang tawar hati. Pada Yes 35:4 (bac. I) kita temukan rumus penghiburan itu sebagai berikut: "Kuatkanlah hati, janganlah takut! Lihatlah, Allahmu akan datang dengan pembalasan dan dengan ganjaran Allah. Ia sendiri datang menyelamatkan kamu!" Allah yang datang untuk membawa pembalasan dan ganjaran itu (sama artinya dengan membawa penghakiman) hendaknya jangan membuat mereka takut. Karena, bagi umat beriman, kedatangan Allah hendaknya diyakini sebagai saat keselamatan. Meskipun nada penghakiman masih eksplisit dikatakan, namun secara umum kedatangan Mesias lebih dipandang sebagai saat keselamatan. Kekuasaan Mesias mendapat tekanannya pada kasih dan penyelamatan, bukan terutama pada pemberian hukuman.
Bacaan kedua memberi nasehat agar hidup dalam damai dengan sesama selama menantikan kedatangan Sang Hakim. Selain itu Yakobus mengajak umat agar menuruti teladang penderitaan dan kesabaran para nabi. Anjuran ini merupakan jembatan menuju ke Injil yang menampilkan Yohanes sebagai teladan keteguhan iman dan kesetiaan pada tugas kendati untuk itu dia harus menderita.
Engkaukah yang akan datang?
Untuk mempersiapkan natal, kepada kita dihadapkan kisah tentang tokoh-tokoh yang mempersiapkan kedatangan Yesus. Maria dan Yosef mempersiapkan kedatangan Yesus ke dunia, Yohanes Pembaptis mempersiapkan kedatangan Yesus ke muka publik. Fenomen Yesus sebagai Putra Allah yang menjadi manusia sungguh unik, sehingga tidak aneh jika kita mendapati kisah mengenai kebingungan mereka yang dikehendaki oleh Allah untuk mempersiapkan kedatangan-Nya. Baik Yosef, Maria maupun Yohanes sadar akan perutusan mereka, namun masih tetap tersisa pertanyaan: "Mesias macam apakah yang mereka persiapkan kedatangannya?" Sebagai orang Yahudi, mereka sudah kenal dengan konsep Mesias seperti diyakini orang sezamannya. Namun sejak awal fenomen Yesus sebagai Mesias sudah menunjukkan keunikannya. Dia lahir dari seorang perawan yang bertunangan dan hidup dalam kesederhanaan. Dia tidak lahir dari kalangan istana, padahal Mesias yang dibayangkan tentunya mempunyai martabat raja. Dapat kita bayangkan bagaimana Yosef dan Maria harus terus-menerus bertanya dan menyimpan peristiwa-peristiwa unik yang harus direnungkan di dalam hati mereka.
Tak terkecuali Yohanes. Menurut kesaksian Injil, Yohanes mengenal Yesus ketika membaptis-Nya di sungai Yordan. Logikanya, diapun sudah kenal Yesus sejak mereka masih kana-kanak, karena ibu mereka bersaudara. Namun, pada saat-saat menjelang wafatnya sebagai martir, Yohanes masih perlu bertanya: "Engkaukah yang akan datang itu atau haruskah kami menantikan orang lain?" Tentunya bukan karena Yohanes tidak mengenal Yesus, sampai dia menanyakan hal itu. Kemungkinannya, Yohanes merasa bahwa cepat atau lambat dia harus berlalu dari panggung sejarah hidup manusia. Dia sadar bahwa para musuhnya sudah ingin segera mengenyahkan dia. Hanya soalnya, bagaimana pembunuhannya dapat terjadi tanpa menimbulkan gejolak di kalangan masyarakat atau pengikutnya yang setia. Yohanes sudah dikenal sebagai nabi, meskipun kaum Farisi, ahli Taurat dan para imam tidak bersedia mengakuinya. Kendati begitu, Herodes yang memenjarakan Yohanes harus memperhitungkan fanatisme para pengikutnya, karena dia sadar bahwa pada dasarnya orang-orang Yahudi tidak menyukai Herodes dan kalangan istana. Mereka bukan keturunan Daud sehingga tidak mungkin mendapat pengakuan sebagai raja bangsa Yahudi.
Pemenjaraan Yohanes ternyata tidak menimbulkan reaksi dari para pengikutnya. Setidaknya Injil tidak mengisahkan hal itu. Dengan demikian, eksekusi terhadap Yohanes tinggal tunggu waktu, alasan dan kesempatan yang tepat. Yohanes tahu bahwa Yesus telah hadir di tengah publik untuk mewartakan Kerajaan Allah. Gaya tampil Yesus memang berbeda dengan dirinya, karena Yesus tidak tampil dengan pakaian bulu unta dan tidak menekankan kebiasaan berpuasa. Yohanes tahu bahwa antara dia dengan Yesus ada perbedaan di dalam mewartakan pertobatan. Yesus dekat dengan kaum tersingkir, kaum lemah dan menderita. Bahkan Dia juga tidak ragu-ragu bergaul dan makan bersama para pemungut cukai. Ada kemungkinan di saat-saat akhir menjelang kematiannya, Yohanes dibuat bimbang antara gambaran mesias yang diharapkan orang Yahudi dan fakta mengenai Yesus yang muncul dari kalangan sederhana dan bergaul dengan kaum sederhana. Apalagi Yesus terkesan tidak sejalan dengan tokoh-tokoh agama seperti kaum Saduki, Farisi dan ahli Taurat. Mesias macam apakah Dia? Di dalam pertanyaannya terasa kebimbangan ini. Yesus atau orang lain yang harus dinantikan? Siapakah yang dimaksud dengan "orang lain" oleh Yohanes? Kemungkinannya ada tokoh tertentu yang akan muncul, yaitu tokoh yang dekat dengan harapan kaum Yahudi.
Katakan apa yang kaudengar dan kausaksikan
Yesus tidak menjawab langsung mengenai jatai diri-Nya sebagai Mesias. Dia hanya pesan kepada para utusan Yohanes agar menyampaikan apa yang telah mereka dengan dan saksikan sendiri, yaitu: orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik. Yesus tidak ingin para utusan Yohanes itu hanya menyampaikan "apa kata orang". Diharapkan dengan menerima laporan pandangan dan pendengaran tentang apa yang dilakukan Yesus, Yohanes tidak ragu-ragu bahwa Dialah Mesias seperti yang dinubuatkan oleh Yesaya.
Tanda kedatangan Mesias pada bacaan pertama (didukung oleh kata-kata Yesus dalam Injil) tampak pada karya-karya mukjizat yang dilakukannya:
- Yes 35:5-6 (Bac. I): "Pada waktu itu mata orang-orang buta akan dicelikkan, dan telinga orang-orang tuli akan dibuka. Pada waktu itu orang lumpuh akan melompat seperti rusa, dan mulut orang bisu akan bersorak-sorai; sebab mata air memancar di padang gurun, dan sungai di padang belantara".
- Mat 11:4-6 (Injil): "Pergilah dan katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu dengar dan kamu lihat: orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik. Dan berbahagialah orang yang tidak menjadi kecewa dan menolak Aku".
Jika dibandingkan dengan teks Yesaya, Yesus menambahkan dua mukjizat lagi, yaitu tentang penyembuhan orang kusta dan pembangkitan orang mati, namun Yesus tidak menyebut penyembuhan orang bisu. Jelas bahwa tambahan tersebut berkaitan dengan apa yang dilakukan secara kongkrit oleh Yesus pada karya publik-Nya, yang rupanya tidak diantisipasi oleh Yesaya. Mujizat pembangkitan orang mati adalah khas Yesus dan menjadi salah satu andalan jati diri-Nya sebagai Mesias yang datang dari Allah. Dengan membangkitkan orang mati, Yesus menunjukkan jati diri-Nya sebagai Mesias yang berkuasa atas kehidupan. Kuasa itu disempurnakan dengan kebangkitan Yesus sendiri dari mati, yang menjadi jalan keselamatan bagi semua orang.
Pentahiran orang kusta juga menjadi kekhasan Yesus karena berkaitan dengan praktek kekudusan kultis. Orang kusta dianggap tidak kudus atau tidak bersih (tahir) oleh karena itu tidak boleh bersentuhan dengan hal-hal kudus. Ternyata Yesus mampu membuat orang kusta menjadi tahir. Jalan pengudusan bukan melulu tindakan manusia, tetapi sungguh menjadi karya Allah juga.
Mujizat senagai tanda
Yesus sebagai Mesias tidak mengutamakan martabat duniawi. Dia adalah Mesias yang mewartakan kasih Allah. Berbagai mujizat yang dilakukan-Nya hanyalah tanda dari Allah yang berkarya di tengah umat manusia. Oleh karena itu, Yesus membongkar konsep lama tentang Mesias sebagai pembebas bangsa Israel dari penjajahan bangsa lain, dan menggantikannya dengan Mesias yang membebaskan seluruh umat manusia dari penjajahan kuasa dosa. Yohanes tidak sempat melihat pemenuhan kuasa Yesus sebagai Mesias, namun laporan dari mereka yang diutusnya sudah cukup untuk membuatnya tenang menghadapi saat akhir hidupnya. Yesus tampil sebagai penyelamat seperti dinubuatkan oleh Yesaya.
Yohanes sebagai nabi pembuka jalan
Selanjutnya fokus perhatian Yesus diberikan pada diri Yohanes Pembaptis. Yohanes tidak berpakaian halus, tetapi tampil sebagai orang saleh, nabi yang sederhana dan bermati-raga. Yesus secara eksplisit mengatakan bahwa Yohanes adalah lebih daripada seorang nabi. Ia adalah utusan Allah yang sedang mempersiapkan jalan bagi kedatangan Mesias. Yohanes disebut sebagai yang terbesar dari antara semua manusia yang dilahirkan oleh perempuan. Pada ayat selanjutnya (tidak ada dalam kutipan Injil), Yohanes disebut sebagai Elia yaitu nabi yang dipercaya akan datang kembali menjelang akhir zaman. Meskipun Yohanes disebut terbesar dari semua manusia, namun yang terkecil dalam Kerajaan Sorga masih lebih besar darinya. Mereka yang terkecil dalam Kerajaan Sorga adalah umat Perjanjian Baru. Umat Perjanjian Baru memiliki harta penyataan yang lebih besar lagi yang diberikan oleh Allah (bd. Mat 13:16-17) dan akan mengalami berbagai mukjizat yang lebih besar lagi (Mat 11:5). Umat Perjanjian Baru menyaksikan kematian dan kebangkitan Kristus, serta menerima pencurahan Roh Kudus pada hari Pentakosta (Kis 2:4).
Menggali pesan bacaan:
- Apa yang dapat kita renungkan dari bacaan-bacaan hari ini? Kita di sini dihadapkan pada pendapat yang bermacam-macam tentang Mesias. Yohanes yang disebut sebagai pembuka jalan bagi kadatangan Mesias masih belum mempunyai gambaran yang pasti tentang Dia. Jawaban Yesus rupanya juga di luar gambarannya. Dengan menunjuk pada apa yang dilakukan-Nya, Yesus mengajar kita tentang Mesias yang membawa pengampunan (bukan penghukuman), membawa kelembutan (bukan kekerasan), membawa kehidupan (bukan pembinasaan). Pernyataan ini akan menjadi jelas maknanya di dalam peristiwa dan ajaran Yesus yang menyusul sesudahnya.
- Jika kita menempatkan Adven sebagai persiapan perayaan Natal, Injil hari ini memberi penegasan penting tentang siapakah yang akan lahir. Ia tidak serupa dengan gambaran Mesias yang selama ini begitu dominan di benak kaum Yahudi, yaitu Raja perkasa yang akan membawa penghakiman sekalgus keselamatan. Yesus lahir dalam situasi dan kondisi yang di luar dugaan. Karya-karya-Nya juga di luar dugaan. Yesus adalah Mesias yang berkarya di tengah kaum yang tersingkir, menderita, miskin. Bahkan kuasa-Nya menjangkau sampai pada penyelamatan seseorang dari kematian. Ia menyembuhkan orang kusta, yaitu kelompok yang mewakili orang-orang tersingkir dari masyarakat karena kenajisan. Dengan mengakhiri hidup dipenjara dan akhirnya dihukum mati, sebenarnya Yohanes Pembaptis sudah menjadi pendahulu Mesias dalam arti yang amat khas. Ia seorang yang setia pada kebenaran dan tugasnya. sampai pada akhir hidupnya. Demikian pula yang terjadi pada Yesus, Sang Mesias. Dalam menampilkan diri sebagai Mesias yang penuh belas kasih dan setia pada kebenaran, Yesus harus mengakhiri hidup-Nya dengan penderitaan dan kematian di salib. Secara konsisten, sebenarnya gambaran mesianitas Yesus sudah diperlihatkan sejak kelahiran-Nya. Ia yang Agung rela untuk dilahirkan di tengah kemiskinan dan kesederhanaan. Bahkan peristiwa demi peristiwa yang melingkupi masa kanak-kanak-Nya penuh dengan nuansa ancaman kematian.
- Untuk menanggapi Mesias model Yesus, umat beriman harus mengucapkan syukur yang tak terhingga. Allah tidak tampil sebagai hakim yang menakutkan, tetapi sebagai pembebas yang lembut. Nuansa duniawi dari mesianitas model Yahudi lama-lama digantikan oleh gambaran Mesias yang begitu personal dan penuh pemahaman pada umat manusia. Persiapan Natal yang kita lakukan pada masa Adven ini hendaknya membantu kita untuk semakin menghayati kelembutan Allah ini. (Harikus).
III. BAHAGIA SEJATI
Senyum tipis dan toh manis mengembang di bibirnya. Wajah yang manis-manis ganteng itu pun membawa damai bagi yang melihatnya. Mata yang tertutup tak lagi terlihat saat kedipnya. Suatu saat tidur yang tenggelam dalam nyenyak yang dalam. Itulah yang sedang melanda Sigit, remaja kelas 11. Itulah menembus tidur yang dalam dengan hati yang damai, gembira, puas, penuh kepasrahan, seolah kekhawatiran hidup tak pernah singgah di jiwanya. Memang, sepanjang hari itu Sigit berlimpahkan dengan pengalaman-pengalaman baik, perasaan-perasaan baik, pikiran-pikiran yang baik. Itulah yang muncul dengan tenang, berturut-turut dalam pikirannya sampai saat-saat ia mengawali istirahatnya malam ini.
Ia ingat, mengawali hari ini dengan penuh semangat, namun tetap damai dan gembira. Ulangan Akhir Semester yang diakhiri dengan matapelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial ikut membangun suasana hatinya. Sigit memang sudah menunjukkan bahwa ia suka dengan pelajaran itu. Apalagi ia pun cukup tekun, rajin, dan kreatif untuk mempelajari mata pelajaran yang satu itu. Terkadang ia pun menjadi rujukan dari teman-temannya, menjadi tempat bertanya untuk pelajaran yang satu itu. Maka, ia pun mengerjakan soal Ulangan dengan mantap. Tak ada kamus nyontek atau bertanya kepada teman yang lain. Tetapi juga, tak ada kesempatan untuk menjerumuskan teman duduk di kanan, kiri, depan, belakangnya dengan memberikan jawaban atas soal-soal yang tercetak rapi di kertas ulangan itu. Sigit mengerjakan semuanya dengan tenang, tidak tergesa-gesa. Ia pun mengakhiri pengerjaannya dan mengumpulkan hasil kerjanya dengan penuh ketenangan dan kedamaian.
Sigit memang bukan juara pertama dalam prestasi belajar di kelasnya. Tetap ada sedikit ketidakpastian apakah semua pekerjaannya itu benar, atau jangan-jangan tetap ada yang tidak benar; entah karena ia keliru memahami soalnya, atau karena satu dua soal yang memang ternyata tidak dikuasainya dengan sempurna. Toh, kekhawatiran dan kecemasan akan jawaban yang salah tak terlalu menguasai hati dan pikirannya. Rasa puas karena dapat menghadapi semua soal ulangan itu dengan hati yang lebih berwarna damai dan tenang membuatnya berjalan pulang ke rumah dengan langkah yang santai namun tetap gagah dan pasti.
Namun, yang paling membuat jiwanya damai dan tentram adalah peristiwa malam menjelang tidur. Keluarganya berkumpul dan bercengkerama. Ada televisi yang bernyala, namun tak menjadi perhatian dari seorang pun. Justru canda bersama, obrolan bersama mewarnai kumpul keluarga malam itu. Yang membuat Sigit dipenuhi sukacita dan damai sejati adalah omongan-omongan dari ayah dan ibunya. Sigit menangkap bahwa dalam obrolan kesana kemari itu ayah ibunya merasa bangga dengannya. Mereka menyaksikan ketekunan dan perjuangannya sehari-hari, paling tidak selama satu semester terakhir. Mereka puas dan gembira atas ketabahan dan kegigihan Sigit dalam hal belajar. Maka, mereka pun tak lagi peduli apakah hasil nilai ulangan Sigit akan sempurna atau tidak. Tapi mereka yakin, pasti termasuk yang baik atau sangat baik.
Dan yang membuat Sigit sungguh terharu, orangtuanya itu menunjukkan rasa terima kasih kepadanya karena ia sudah menjadi anak yang membanggakan. Kebahagiaan karena sudah menyelesaikan tugas belajar selama satu semester, kebahagiaan dan damai karena orangtuanya puas dan bangga akan dirinya, itulah yang membawa damai sejahtera, dan membuatnya masuk dalam istirahat yang penuh bahagia.
Mungkinkah orang yang melaksanakan tugas hidupnya dengan baik dan mempersembahkannya kepada Sang Pemelihara Hidup, akan mengalami bahagia dan damai sejahtera yang sama? Itukah bahagia sejati yang abadi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar