Personal Digital Assistants disingkat “PDA” adalah sebuah
alat elektronik yang berbasis komputer dan berbentuk kecil serta dapat dibawa
kemana-mana. PDA banyak digunakan sebagai pengorganisir pribadi pada awalnya,
tetapi karena perkembangannya, kemudian bertambah banyak fungsi kegunaannya,
seperti kalkulator, penunjuk jam dan waktu, permainan komputer, pengakses
internet, penerima dan pengirim surat elektronik (e-mail), penerima radio,
perekam video, dan pencatat memo. Selain itu, dengan PDA (komputer saku) ini,
kita dapat menggunakan buku alamat dan menyimpan alamat, membaca email,
menggunakan GPS dan masih banyak lagi fungsi yang lain. Bahkan versi PDA yang
lebih canggih dapat digunakan sebagai telepon genggam, akses internet,
intranet, atau extranet lewat Wi-Fi atau Jaringan Wireless.
Di lain segi, setiap memasuki awal masa
Prapaskah, kita mengenal istilah Rabu Abu. Rabu Abu adalah hari pertama masa
Prapaskah. Ini terjadi pada hari Rabu, 40 hari sebelum Paskah tanpa menghitung
hari-hari Minggu atau 44 hari (termasuk Minggu) sebelum hari Jumat Agung. Pada
hari ini umat yang datang ke Gereja, dahinya diberi tanda salib dari abu
sebagai simbol upacara ini. Simbol ini mengingatkan umat akan ritual Israel
kuno di mana seseorang menabur abu di atas kepalanya atau di seluruh tubuhnya
sebagai tanda kesedihan, penyesalan dan pertobatan (Bdk: Kitab Ester 4:1, 3).
Itulah juga yang dibuat Raja Daud ketika bertobat dan menyesalinya dosanya
terhadap Betsyeba dan Uria. Dalam Mazmur 102:10 penyesalan juga digambarkan
dengan "memakan abu": "Sebab aku makan abu seperti roti, dan
mencampur minumanku dengan tangisan." Biasanya pemberian tanda tersebut
disertai dengan ucapan, "Bertobatlah dan percayalah pada Injil."Banyak orang Katolik menganggap hari Rabu Abu sebagai hari untuk mengingat kefanaan seseorang. Pada hari ini umat Katolik berusia 18–59 tahun diwajibkan berpuasa, dengan batasan makan kenyang paling banyak satu kali, dan berpantang. Dkl: Setiap orang Katolik, seperti anjuran Yesus dalam injil Matius, diajak untuk punya PDA, yakni: Puasa, Doa dan Amal (Bdk: Mat 6:1-18, “Hal Memberi Sedekah, Hal Berdoa, Hal Berpuasa”).
1.PUASA (dan PANTANG)
Berpuasa adalah menegaskan kembali pada diri sendiri apa yang dikatakan Yesus kepada setan ketika ia mencobai-Nya di akhir masa puasa-Nya selama 40 hari di padang gurun: “Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah.” (Mat 4:4).
Adapun peraturan-peraturan puasa bervariasi. Pertama, sebagian wilayah Gereja ada yang berpantang dari segala bentuk daging dan produk hewani, sementara yang lain ada yang berpantang makanan tertentu saja seperti ikan. Sebagai contoh, Paus St. Gregorius (wafat 604), menulis kepada St. Agustinus dari Canterbury, perihal peraturan berikut: “Kami berpantang lemak, daging, dan segala makanan yang berasal dari hewan seperti susu, keju dan telur.” Kedua, peraturan umum adalah orang makan satu kali dalam satu hari, yang biasanya dilaksanakan pada sore hari atau pada pukul 3 petang.
Peraturan-peraturan puasa Masa Prapaskah juga mengalami perkembangan. Pada akhirnya, makan sedikit pada waktu siang diperbolehkan guna menjaga daya tahan tubuh selama melakukan pekerjaan sehari-hari. Makan ikan diperbolehkan, dan akhirnya makan daging juga diperbolehkan sepanjang minggu kecuali pada hari Rabu Abu dan setiap hari Jumat. Dispensasi diberikan untuk mengkonsumsi produk-produk hewani jika orang melakukan kerja berat, dan akhirnya peraturan ini pun sepenuhnya dihapuskan.
Selama bertahun-tahun perubahan-perubahan terus dilakukan dalam merayakan Masa Prapaskah, menjadikan praktek kita sekarang tidak saja sederhana, tetapi juga ringan. Rabu Abu masih menandai dimulainya Masa Papaskah, yang berlangsung selama 40 hari, tidak termasuk hari Minggu. Peraturan-peraturan pantang dan puasa yang berlaku sekarang amatlah sederhana: Pada hari Rabu Abu dan Jumat Agung, umat beriman berpuasa (makan kenyang hanya satu kali dalam sehari, ditambah makan sedikit untuk menjaga daya tahan tubuh) dan berpantang setiap hari Jumat selama Masa Prapaskah.
Namun demikian, senantiasa diajarkan kepada saya, “Jika kamu berpantang sesuatu demi Tuhan, teguhkan hatimu. Janganlah berlaku seperti orang Farisi yang suka mencari-cari kesempatan.”
DOA
Masa Prapaskah adalah masa pertumbuhan jiwa kita. Kadang-kadang jiwa kita mengalami masa-masa kering di mana Tuhan terasa amat jauh. Masa Prapaskah akan mengubah jiwa kita yang kering itu. Kita boleh menganggap Masa Prapaskah sebagai suatu Retret Agung selama 40 hari. Yaitu saat untuk mengusir semua kekhawatiran dan ketakutan kita supaya kita dapat memusatkan diri pada Sahabat kita dan mempererat hubungan kita dengan-Nya. Sahabat itu, tentu saja, adalah Tuhan. Kita dapat mempererat hubungan kita dengan-Nya dengan berbicara kepada-Nya dan mendengarkan-Nya. Cara yang terbaik adalah dengan berdoa dan membaca bagaimana orang lain membangun persahabatan dengan Tuhan di masa silam.
Secara sederhana, doa sendiri bisa berarti "Dikuatkan Oleh Allah", karena semakin kita kurang berdoa maka semakin buruk yang terjadi, bukan? Lagipula, penekanan dalam masa Prapaskah juga haruslah dititikberatkan pada melakukan kegiatan-kegiatan rohani, seperti ikut serta dalam Jalan Salib, ambil bagian dalam Misa, adorasi di hadapan Sakramen Mahakudus, meluangkan waktu untuk berdoa secara pribadi, membaca bacaan-bacaan rohani, dan yang terutama menerima Sakramen Tobat dengan baik dan memperoleh absolusi. Meskipun praktek perayaan dapat berubah dan berkembang dari jaman ke jaman, namun fokus Masa Prapaskah tetap sama: yaitu menyesali dosa, memperbaharui iman, serta mempersiapkan diri menyambut perayaan sukacita misteri keselamatan kita.
AMAL
“Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan.” (Mat 5:7). Amal atau belas kasih adalah kasih yang merupakan kepenuhan dari puasa dan doa yang kerap dihadirkan lewat sebuah program khas prapaskah, “APP – Aksi Puasa Pembangunan.” Amal atau belas kasih adalah kasih yang hidup, yang dicurahkan atas sesama guna menyembuhkan, melegakan, menghibur, mengampuni, menghapus rasa sakit. Itulah kasih yang Tuhan tawarkan kepada kita dan itulah kasih yang Ia kehendaki kita tawarkan kepada sesama terlebih dalam permenungan rohani selama masa prapaskah ini: “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi.” (Yoh 13:34)
Baiklah kita melihat kembali apa yang telah diajarkan Gereja mengenai karya-karya amal dan belas kasih kepada sesama lewat Devosi Kerahiman Ilahi :
Karya-karya Amal atau Belas Kasih Jasmani:
1. memberi makan kepada yang lapar
2. memberi minum kepada yang haus
3. memberi tumpangan kepada tunawisma
4. mengenakan pakaian kepada yang telanjang
5. mengunjungi orang miskin
6. mengunjungi orang tahanan
7. menguburkan orang mati
Karya-karya Amal atau Belas Kasih Rohani:
1. mengajar
2. memberi nasehat
3. menghibur
4. membesarkan hati
5. mengampuni
6. menanggung dengan sabar hati
7. mendoakan mereka yang hidup dan mati
Satu hal yang pasti: marilah kita belajar dari Bunda Maria. Injil mengatakan bahwa ia menyimpan segala perkara di dalam hatinya dan merenungkannya (bdk Luk 2:19), berusaha menemukan rencana Allah yang tersembunyi di balik peristiwa-peristiwa yang terjadi sepanjang hidupnya. Bunda Maria adalah teladan kepada siapa kita semua dapat berpaling. Marilah kita mohon padanya untuk memberikan kepada kita rahasia “puasa rohani” yang membebaskan kita dari perbudakan hal-hal duniawi, memperkuat jiwa kita dan menjadikannya senantiasa siap bertemu dengan Kristus. Selama Masa Prapaskah selayaknya kita hidup sebagai anak-anak terang, karena terang hanya berbuahkan kebaikan dan keadilan dan kebenaran. (Efesus 5:8-9).
NB:
“Adakah dasar Kitab Sucinya yang mengatakan bahwa berpantang daging adalah tanda tobat?”
Ya. Dalam Kitab Daniel dinyatakan: “Pada tahun ketiga pemerintahan Koresh, raja orang Persia … aku, Daniel, berkabung tiga minggu penuh: makanan yang sedap tidak kumakan, daging dan anggur tidak masuk ke dalam mulutku dan aku tidak berurap sampai berlalu tiga minggu penuh.” (Daniel 10:1-3). Dengan berpantang hal-hal yang enak serta menolaknya, kita terpacu untuk bersikap rendah hati, membebaskan diri dari keterikatan kepada hal-hal tersebut, mengembangkan disiplin rohani dengan bersedia melakukan silih-silih pribadi, serta mengingatkan diri kita akan pentingnya hal-hal rohani di atas hal-hal duniawi. Karena Gereja Katolik hanya menetapkan pantang pada hari-hari tertentu, jelaslah bahwa Gereja tidak melarang umatnya menyantap daging. Sebaliknya, Gereja menganggapnya sebagai berpantang dari hal-hal yang nikmat (dimana di daerah-daerah yang tingkat ekonominya rendah, daging amatlah mahal harganya dan karenanya hanya disantap dalam pesta-pesta saja, sehingga daging menjadi tanda kegembiraan) - untuk mencapai tujuan rohani.
“Atas dasar apakah Gereja mempunyai wewenang untuk menentukan hari-hari puasa dan pantang?”
Dengan wewengang dari Yesus Kristus yang berfirman kepada para pemimpin Gereja-Nya, “Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga." (Mat 16:19, 18:18). Istilah terikat dan terlepas adalah cara rabinik untuk menunjukkan kuasa untuk menetapkan peraturan dalam memimpin komunitas iman. Atau secara sederhana dapat digambarkan bahwa setiap keluarga memiliki wewenang untuk menetapkan waktu doa bersama bagi anggota-anggota keluarganya. Jadi, jika orangtua menetapkan bahwa doa bersama dalam keluarga akan dilakukan pada waktu tertentu (misalnya saja, membaca Kitab Suci setelah makan malam), adalah dosa bagi anak-anak untuk tidak mentaatinya serta mangkir dari doa bersama tanpa alasan yang tepat. Demikian juga, Gereja sebagai keluarga Allah memiliki wewenang untuk menetapkan doa bersama dalam keluarganya, dan adalah dosa bagi anggota-anggota Gereja jika tidak mentaati serta mangkir dari doa bersama tanpa alasan yang tepat (tentu saja jika seseorang mempunyai alasan yang tepat, Gereja akan segera memberikan dispensasi kepadanya).
“Selain dari Hari Rabu Abu, adakah hari-hari puasa dan pantang yang lain selama Masa Prapaskah?”
Ya. Semua hari Jumat selama Masa Prapaskah adalah hari pantang. Juga, Jumat Agung, hari di mana Yesus disalibkan, adalah hari puasa dan pantang. Semua hari dalam Masa Prapaskah adalah hari yang tepat untuk berpuasa atau berpantang, tetapi Kitab Hukum Kanonik tidak mewajibkan puasa pada hari-hari tersebut. Jadi boleh berpuasa atau berpantang secara sukarela.
“Mengapa setiap hari Jumat selama Masa Prapaskah ditetapkan sebagai hari pantang?”
Karena Yesus wafat untuk menebus dosa-dosa kita pada hari Jumat, sehingga hari Jumat merupakan hari yang amat tepat untuk menyesali dosa-dosa kita (sama seperti hari Minggu, hari di mana Yesus bangkit demi keselamatan kita adalah hari yang amat tepat untuk bersukacita) dengan menyangkal diri dari sesuatu yang kita sukai. Di luar Masa Prapaskah, umat Katolik diperbolehkan untuk melakukan bentuk tobat yang lain pada hari Jumat di sepanjang tahun sebagai ganti pantang. Semua hari Jumat adalah hari tobat di mana kita wajib melakukan sesuatu untuk menyatakan sesal atas dosa-dosa kita, seperti hari Minggu adalah hari kudus di mana kita wajib beribadat serta merayakan karunia keselamatan Allah yang luar biasa.
“Apakah sikap tobat baik juga dilakukan pada hari-hari lain sepanjang Masa Prapaskah?”
Ya. Karenanya Hukum Kanonik menyatakan: “Seluruh hari Jumat sepanjang tahun dan selama Masa Prapaskah adalah hari-hari tobat….” (CIC 1250).
“Kegiatan apa sajakah yang cocok dilakukan pada hari-hari biasa sepanjang Masa Prapaskah?”
Menyangkal diri dari sesuatu yang kita sukai selama Masa Prapaskah, melakukan tindakan amal kasih baik secara jasmani ataupun rohani bagi sesama, berdoa, berpuasa dan berpantang, memenuhi kewajiban-kewajiban kita secara lebih setia, menerima Sakramen Tobat dan tindakan-tindakan lain yang menyatakan tobat secara umum.
“Mengapa sikap tobat amat tepat dilakukan pada Masa Prapaskah?”
Karena Masa Prapaskah berpuncak pada peringatan wafatnya Tuhan kita demi menebus dosa-dosa kita dan perayaan kebangkitan-Nya demi keselamatan kita. Oleh sebab itu amatlah tepat untuk menyesali dosa-dosa kita yang menyebabkan kematian-Nya. Manusia mempunyai pembawaan kejiwaan untuk berdukacita atas peristiwa-peristiwa yang menyedihkan, dan dosa-dosa kita adalah peristiwa-peristiwa yang paling menyedihkan. Karena sifat manusia yang lemah, manusia juga memerlukan waktu yang tetap untuk melakukan kegiatan tertentu (itulah sebabnya kita menetapkan hari Minggu sebagai waktu yang dikhususkan untuk beristirahat dan beribadat, karena jika tidak, kemungkinan besar kita akan lupa untuk meluangkan cukup waktu untuk beristirahat serta beribadat), karenanya sangatlah tepat memiliki waktu tetap untuk bertobat. Masa Prapaskah adalah salah satu dari waktu-waktu yang ditetapkan tersebut.
“Apakah kebiasaan menyangkal diri dari hal-hal tertentu selama Masa Prapaskah itu wajib?” Tidak. Namun demikian, kebiasaan itu adalah kebiasaan yang baik serta bermanfaat, dan para orangtua atau wali boleh menerapkannya kepada anak-anak untuk mendorong perkembangan latihan rohani mereka, yang adalah tugas utama mereka dalam membesarkan anak-anak.
“Karena hari Minggu tidak terhitung dalam empat puluh hari Masa Prapaskah, apakah kebiasaan menyangkal diri dari hal-hal tertentu juga berlaku?”
Biasanya, tidak. Tetapi, karena menyangkal diri dari hal-hal tertentu bermula dari sesuatu yang sifatnya sukarela, tidak ada peraturan resmi mengenai hal ini. Namun demikian, karena hari Minggu adalah hari perayaan, lebih tepat untuk menunda penyangkalan diri tersebut pada hari Minggu. Dengan iman dan tidak dengan berhura-hura, kita merayakan hari kebangkitan Tuhan kita, sehingga hari itu dan peristiwa itu dapat dibedakan dari hari-hari lain sepanjang Masa Prapaskah dan dari pesta-pesta lainnya. Perbedaan yang mencolok ini memperdalam pelajaran rohani yang diajarkan sepanjang Masa Prapaskah.
“Mengapa menyangkal diri dari hal-hal tertentu selama Masa Prapaskah merupakan kebiasaan yang baik serta bermanfaat?”
Dengan menyangkal diri dari hal-hal yang kita sukai, kita mendisiplinkan kehendak kita sehingga kita tidak diperbudak oleh kesenangan-kesenangan kita itu. Seperti misalnya dengan selalu memperturutkan kata hati dalam menyantap makanan akan mengakibatkan kelemahan jasmani, jika keterikatan itu semakin besar, kita juga tidak akan mampu menghadapi situasi-situasi yang sulit lainnya. Terbiasa memperturutkan kata hati dalam segala kesenangan akan mengakibatkan kelemahan rohani, dan jika keterikatan itu semakin besar, kita juga tidak akan mampu menghadapi situasi-situasi rohani yang sulit. Misalnya, kita wajib mengorbankan kesenangan-kesenangan tertentu (seperti hubungan intim di luar ikatan pernikahan) atau menanggung penderitaan (seperti dihina atau dianiaya karena iman). Dengan mendisiplinkan kehendak kita untuk menolak kesenangan-kesenangan pada saat kesenangan-kesenangan tersebut tidak menimbulkan dosa, maka kita membentuk kebiasaan agar kehendak kita menolak kesenangan-kesenangan jika kesenangan-kesenangan itu mengakibatkan dosa. Ada cara-cara yang lebih baik agar kita dapat menempatkan prioritas dengan benar daripada hanya pada waktu-waktu tertentu saja melakukan penyangkalan diri terhadap hal-hal yang bukan prioritas untuk menunjukkan kepada kita bahwa hal-hal tersebut kurang penting dan kita lebih memusatkan perhatian pada apa yang penting.
“Apakah menyangkal diri terhadap kesenangan adalah akhir dari kesenangan itu sendiri?” Tidak. Penyangkalan diri hanyalah suatu cara untuk mengakhirinya. Dengan melatih diri kita untuk menolak godaan-godaan ketika godaan-godaan itu tidak mengakibatkan dosa, kita melatih diri kita sendiri untuk menolak godaan-godaan ketika godaan-godaan itu mengakibatkan dosa. Dengan penyangkalan diri, kita juga mengungkapkan keprihatinan kita karena telah gagal menolak godaan-godaan yang mengakibatkan dosa di masa lalu.
“Bagaimana jika kita terlalu keras melakukan penyangkalan diri?”
Pertama, Tuhan membuat hidup manusia bergantung pada barang-barang tertentu, seperti makanan, dan menolak menikmati cukup makanan membawa akibat yang membahayakan. Sebagai contoh, jika kita tidak menyantap cukup makanan dapat mengakibatkan kerusakan tubuh atau bahkan kematian. Haruslah ada keseimbangan antara menyantap terlalu banyak makanan dan tidak menyantap cukup makanan. Demikian juga haruslah ada keseimbangan dalam hal-hal lain.
Kedua, jika kita tidak dapat menetapkan keseimbangan yang benar dan menyangkal diri dari barang-barang yang Tuhan ingin kita memilikinya, maka hal tersebut dapat menyebabkan kesedihan Tuhan, yang secara rohani adalah sama berdosanya dengan menggunakan barang-barang tersebut secara berlebihan. Jadi seseorang dapat berdosa, baik dengan menggunakan barang-barang secara berlebihan atau dengan kurang mendayagunakan barang-barang yang berguna tersebut.
Ketiga, hal tersebut dapat mengurangi keefektifan kita dalam mewartakan Injil kepada sesama.
Keempat, menyia-nyiakan barang-barang yang Tuhan berikan kepada kita agar kita dapat memuliakan-Nya. Kelima, merupakan dosa tidak tahu berterima kasih dengan menolak menikmati barang-barang yang Tuhan ingin kita miliki karena Ia mengasihi kita. Jika seorang anak menolak setiap pemberian dari orangtuanya, maka orangtuanya akan bersedih hati. Dan jika kita menolak karunia-karunia yang Tuhan berikan kepada kita, maka Tuhan akan bersedih hati karena Ia sangat mencintai kita dan ingin kita memperoleh karunia-karunia-Nya tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar