Alkisah, ada seorang imam paroki, yang sudah tua tapi tetap
baik hati, yang bernama Romo Joss Gandos. Dia tidak pernah bergunjing atau
berbicara tentang kejelekan orang lain. Suatu hari, ia pergi ke sebuah stasi
yang dekat untuk mengunjungi seorang umat tua renta yang sakit-sakitan, dan
ketika ia meninggalkan stasi itu untuk pulang kembali ke pastoran, ada seorang
wanita yang di stasi itu dikenal sebagai salah seorang penyebar gosip. Wanita
itu mendekati Romo Joss Gandos dan bertanya apakah dia diberi ijin untuk
berjalan bersamanya. Romo Joss Gandos tentunya tidak berkeberatan.
Setelah beberapa saat, wanita itu berkata, “Romo, wanita tetangga saya itu sangat jahat!” “Oh, benarkah demikian? Kalau begitu marilah kita berdoa Rosario untuknya, sehingga dia bisa bertobat ”Demi nama Bapa..... dan seterusnya sampai selesailah kelima peristiwa, dan dalam Rosario tersebut wanita itu sibuk untuk menjawab Salam Maria penuh rahmat....
Doa ini menghantar mereka sampai tiga perempat perjalanan pulang. Kemudian wanita itu memulai lagi keluhannya, “Romo, gimana saya bisa bersabar bertetangga dengan wanita itu?”
“Memang untuk bersabar itu sulit dan butuh perjuangan, maka marilah kita berdoa Rosario untuk dirimu agar kamu lebih mudah untuk bersabar.” Demi nama Bapa..... Sekali lagi mereka menyelesaikan kelima puluh butir Rosario tersebut sambil terus berjalan.
Tetapi ketika mereka baru saja menyelesaikan doa Salam Maria yang terakhir, wanita itu merasa bahwa sekarang saatnya untuk berbicara kembali, kata wanita itu, “Memang, Romo, suami wanita itu pun sangat menderita dibuatnya!”
“Lelaki yang malang. Kita pun harus berdoa Rosario untuknya.” Demi nama Bapa.....
Ketika mereka menyelesaikan doa tersebut, mereka sudah tiba di pastoran tempat Romo Joss Gandos tinggal. Walaupun di hati wanita itu masih banyak ingin bercerita tentang keburukan tetangganya, namun ia berpikir dua kali untuk menceritakannya kepada Romo Joss Gandos, karena itu berarti ia harus ikut berdoa Rosario lagi. Cerita berakhir sampai di sini.
Sudah menjadi kecenderungan manusia dalam diri kita untuk mudah melihat selingkaran kecil noda dalam sebuah gaun putih yang indah, daripada tetap mengagumi gaun putih tersebut dan menerima noda yang melekat padanya. Kita memiliki kecenderungan untuk melihat kesalahan, kekurangan, kelemahan, serta segala sisi negatif dari orang lain terlebih dahulu daripada mencoba untuk mencari sisi positifnya sampai-sampai saya pernah menulis di kolom twitter saya: ”Hanya ada satu hal yang baik dari seorang yang sombong - mereka jarang mau membicarakan orang lain”. Lantas apa yang harus kita perbuat, secara khusus terkait paut dengan masa prapaskah yang sedang kita kenangkan ini?
Di dalam menyanyikan sebuah lagu dengan sebuah alat musik, yang pertama kita lihat dan itu sangat menentukan adalah nada dasarnya. Begitupun di dalam hidup, kita juga harus melihat dan menentukan nada dasar kita, yakni nada dasar “C”, nada dasar CINTA. Karena, seperti kata St Theresia Avilla, segala sesuatu bila dikerjakan atas dasar CINTA, pasti akan terasa lebih indah dan ringan. Dalam cerita ilustrasi di atas, nampaklah bahwa si wanita tersebut sudah tertutup untuk melihat banyak segi positif dari tetangganya, yang mungkin selama ini tidak ia sadari. Akhirnya sulitlah bagi dirinya untuk dapat mencintai dan melayani. Sungguh, untuk mencintai dan melayani dengan seutuh hati sangatlah sulit, tetapi bukan berarti tidak mungkin dilakukan, bukan?
Mencintai dan melayani menjadi nada dasar dalam setiap “dokar” - doa dan karya kita yang ingin kita persembahkan kepada Yesus dan Bunda Maria. Mungkin kita tersenyum mendengar tindakan Romo Joss Gandos, dalam cerita di atas, yang berdoa untuk kelemahan dan keburukan orang lain. Namun bila kita refleksikan lebih dalam, mendoakan orang lain yang memiliki keburukan serta berbagai kelemahan lainnya jauh lebih mulia dan bermakna daripada bila kita justru menguak dan menggali terus-menerus sisi negatif orang lain. Mendoakan menjadi sarana bagi kita untuk dapat belajar mencintai dan melayani, karena dengan berdoa bagi orang yang mengecewakan kita, kita sungguh memohon kepada kerahiman Tuhan agar orang tersebut dapat hidup lebih baik lagi.
Kini, dengan sepenuh budi (“head”), maukah kita belajar memberikan hati (“heart”) yang mencintai dan mengulurkan tangan (“hand”) yang melayani? Kalau masa prapaskah identik dengan ”PDA - Puasa Doa Amal”, maukah kita juga belajar untuk terus mencintai dan melayani secara nyata lewat “KUD” setiap harinya: “Karya” penuh belas kasih – “Ucapan” penuh belas kasih sekaligus “Doa” yang penuh belas kasih? Tapi, sebetulnya siapa sesama kita? Secara konkret, sesama kita adalah orang-orang yang paling sering kita temui dan dekat dalam keseharian hidup kita, yakni keluarga kita masing-masing, termasuk tentunya semua umat Katolik Sragen sebagai sebuah keluarga besar Paroki St Maria Fatima. Marilah kita bersama-sama mulai belajar memainkan nada dasar “C” ini dalam keseharian hidup di tengah keluarga dan gereja kita, lewat pelbagai praktek hidup menggereja yang bersahaja, karena benarlah kata dua seniman Katolik yang pernah datang ke paroki Sragen - Abah Adi Kurdi dan Mas Arswendo - dalam ‘Keluarga Cemara’, bahwa keluarga adalah harta yang paling berharga, puisi yang paling bermakna dan lagu yang paling indah. Dan pastinya: adalah lebih berbahagia memberi daripada menerima, bukan?
Tuhan memberkati dan Bunda merestui.
Fiat Lux!
@Rm Jost Kokoh Prihatanto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar