Hidup kita seperti sebuah perjalanan bukan? Dan ada
macam-macam jalan bukan? Ada jalan buntu, jalan setapak, jalan tikus, jalan
tol, jalan layang, jalan pintas, dan aneka jalan yang lainnya. Sebagai manusia
biasa, kadang kita juga pernah salah jalan, bukan?
Disinilah Gereja perlu mensyukuri rahmat yang bisa dialami lewat Sakramen Tobat/Pengakuan Dosa atau Rekonsiliasi (Yoh 20:21-23, Amsal 28:13). Kristus memberikan kuasa kepada para Rasul untuk mengampuni dosa atas nama-Nya, dan para Rasul meneruskan kuasa tersebut kepada penerus-penerus mereka, yaitu para Uskup dan Imam.
Disinilah Gereja perlu mensyukuri rahmat yang bisa dialami lewat Sakramen Tobat/Pengakuan Dosa atau Rekonsiliasi (Yoh 20:21-23, Amsal 28:13). Kristus memberikan kuasa kepada para Rasul untuk mengampuni dosa atas nama-Nya, dan para Rasul meneruskan kuasa tersebut kepada penerus-penerus mereka, yaitu para Uskup dan Imam.
Baiklah di sini kita mengingat kembali apa arti, tujuan dan dampak sakramen tobat. Konsili Vatikan II memilih istilah sakramen tobat, bukan sakramen pengampunan. Yang terpenting memang “orang beriman yang bertobat” (LG 28). Tujuan menerima sakramen tobat bukan hanya menjadi tomat (hari ini TObat, besok kuMAT), tapi memulihkan relasi kasih dengan Allah. Berkat sakramen ini, manusia memperoleh pengampunan dari Allah dan sekaligus didamaikan dengan Gereja (LG 11).
Sementara itu, dampak sakramen tobat ialah rasa “plong”, lega, karena tahu bahwa dosaku telah diampuni. Dan bebanpun menjadi ringan. Yesaya mengatakan, “Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskannya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkannya, tetapi dengan setia ia akan menyatakan hukum.” (42:3).
Inti dari sakramen ini sendiri adalah bertobat. Bertobat ternyata juga bisa menjadi solusi bagi hati yang berduka, masalah yang membelit, dan bertambahnya rezeki. Selama ini, kebanyakan orang sering memahami bahwa bertobat hanya dilakukan oleh seseorang yang telah berbuat dosa besar. Maka, bagi mereka yang 'merasa' bukan pelaku dosa besar, tidak mempunyai kebutuhan untuk bertobat. Benarkah demikian?
Mengambil kacamata Islam, adalah Syekh Abu Ishak Ibrahim al-Mabtuli dalam kitabnya al-Minahu as-Saniyyah menyebutkan bahwa bertobat itu ada awal dan ada puncaknya, yang setidaknya terdapat sembilan tingkatan. Tingkatan pertama, permulaan dari tobat adalah bertobat dari dosa-dosa besar. Kedua, bertobat dari dosa-dosa kecil. Ketiga, bertobat dari perkara yang dibenci atau makruh. Keempat adalah bertobat dari perkara yang menyimpang dari keutamaan. Kelima, bertobat dari dugaan mengenai kebaikan dirinya. Keenam, bertobat dari dugaan bahwa dirinya sudah menjadi kekasih Allah.
Ketujuh, bertobat dari dugaan bahwa dirinya telah benar-benar bertobat. Kedelapan, bertobat dari kehendak hati yang tidak direstui Allah. Dan puncaknya adalah bertobat sewaktu-waktu lupa dari melihat-Nya (mengingat-Nya) walau hanya dalam sekejap.
Bertobat sendiri, dalam bahasa Yunani, berarti “metanoia” (berbalik). Ia berbalik dari setan ke Tuhan, dari gelap ke terang, dari dosa ke cinta. Dkl: seseorang yang mau bertobat, tidak hanya berhenti pada kata-kata saja, tapi pada sikap dan tindakan nyata.
Bagi saya pribadi, ada tiga sikap dasar bertobat, yakni: beri cinta, tolak dosa dan bantu doa.
-Beri cinta:
Ada seorang gadis buta yang membenci dirinya sendiri karena kebutaannya itu. Tidak hanya terhadap dirinya sendiri, tetapi dia juga membenci semua orang kecuali kekasihnya. Kekasihnya selalu ada disampingnya untuk menemani dan menghiburnya. Dia berkata akan menikahi kekasihnya hanya jika dia bisa melihat dunia. Suatu hari, ada seseorang yang mendonorkan sepasang mata kepadanya sehingga dia bisa melihat semua hal, termasuk kekasihnya. Kekasihnya bertanya, "Sekarang kamu bisa melihat dunia. Apakah kamu mau menikah denganku?" Gadis itu terguncang saat melihat bahwa kekasihnya ternyata buta. Dia menolak untuk menikah dengannya. Kekasihnya pergi dengan air mata mengalir, dan kemudian menulis sepucuk surat singkat kepada gadis itu, "Sayangku, tolong jaga baik-baik mata saya."
Kisah di atas adalah sebuah kasih yang diberikan. Maria yang dipenuhi dengan rahmat Allah, juga memberikan cinta: menjawab tawaran Allah dengan seluruh keberadaannya. Jelasnya, dalam iman, Maria mau beri cinta: menghayati jawaban “YA” secara total karena kepercayaannya kepada Sabda. Maria membiarkan dirinya dibentuk oleh tangan Allah dan dipimpin Allah ke manapun pergi : Mesir, Nazaret, Kana, Golgota, dan ke Senakel dalam pengharapan akan Roh Kudus. Elizabeth dan jemaat gereja perdana berbicara tentang Maria sebagai, “dia yang percaya. ”Di dalam dia, Gereja melihat dirinya sebagai “komunitas orang beriman” (F.X. Kardinal Nguyen Van Thuan, “Kesaksian Pengharapan”).
Bersama dengan Maria, kita yang sudah menjawab “ya” akan tawaran keselamatan Allah dalam hidup Yesus, diajak untuk juga belajar memberi cinta kepada sesama, seperti Maria memberi cinta dengan dan bersama Elizabeth (Lukas 1:39-56). Ingatlah firman Tuhan: "Ada sukacita besar di sorga karena satu orang berdosa yang bertobat." Demikian juga dinyatakan oleh Tuhan di dalam perumpamaan mengenai anak yang hilang: Betapa bapa anak itu bersukacita dan mengadakan pesta ketika anaknya yang terhilang itu kembali.
-Tolak dosa:
Karena malaikat telah memberitahukan Maria bahwa Elizabet, yang sebelumnya mandul, kini secara ajaib telah mengandung, Maria lalu segera mengunjungi kerabatnya itu, yang tinggal bersama suaminya Zakaria di sebuah kota Yudea "di daerah perbukitan" (kemungkinan di Yuttah, Yosua 15:55; 21:16, bersebelahan dengan Maon, sekitar 160 km dari Nazareth) (Lukas 1:39). Begitu Maria tiba dan menyalami Elizabet, Elizabet dengan segera menyatakan Maria sebagai "ibu dari Tuhannya". Perjumpaan Maria dengan Elizabeth ini membuat Maria bisa jatuh dalam dosa, terlebih ketika Elisabet memuji Maria, “siapakah aku ini sampai ibu tuhanku datang mengunjungi aku?” Maria bisa merasa sombong/tinggi hati (Bdk, Paulo Coelho, pintu setiap doa adalah kesombongan), tapi Maria mengajak kita untuk setia menolak dosa. Ketika Elisabeth memujinya, malahan pujian inilah yang mendorong Maria untuk semakin memuji dan memuliakan Allah, “Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku, sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hambaNya” (Luk 1: 46-48). Kidung Maria ini sendiri disebut Magnificat, yang berisi kutipan-kutipan dari Perjanjian Lama dan menunjuk kepada kedatangan Yesus. Kidung ini sendiri sangat kuat dipengaruhi oleh kidung yang dinyanyikan Hana, ibu nabi Samuel, sesudah kelahiran anaknya lewat campur tangan Allah (1 Sam 2:1-10). Kedua kidung ini sebetulnya mengajak kita menolak dosa, sebab melihat tindakan Allah yang berkarya di tengah hidup kita.
-Bantu doa:
Ketika Yesus di salib, Ia menitipkan Maria kepada murid-murid yang dikasihiNya. “Inilah ibumu“. Sejak saat itulah Maria selalu ada di tengah murid-murid itu, membantu berdoa. Hingga sekarang, Ia disebut sebagai Ibu Gereja Universal. Gereja secara khusus memberikan waktu khusus untuk menghormatinya. Bagi orang Katolik, Maria adalah perantara doa yang sangat dihormati dan diyakini untuk meneruskannya kepada Yesus, putra Allah.
Maka, marilah kita setia bertobat dari tutur kata yang buruk, mari kita bertobat dari cara hidup yang suka-suka, mari kita bertobat dari tingkah laku yang tidak benar, mari kita bertobat dari setiap hal yang Tuhan tidak suka, karena bukankah benar kata St.Agustinus, pelindung kota Milano, vita est brevis, hidup itu singkat! Dan lewat doa, seperti kata Charles Dickens, dalam “A Tale of Two Cities”, bukankah saat-saat yang paling gelap sering menjadi saat-saat yang paling indah dan penuh rahmat juga?
Tulisan tentang pertobatan ini, saya tutup dengan sebuah puisi yang digubah St.Theresia untuk dipersembahkan kepada Adolphe Roulland, seorang imam Prancis yang menjadi saudara rohani Theresia. Rohaniwan ini kemudian diutus menjadi misionaris di Cina:
“Engkau telah mempersatukanku untuk selamanya Dengan karya-karya dari seorang misionaris dalam ikatan doa mati raga dan cinta. Dari kedalaman keheninganku Maria... Aku menangkan jiwa-jiwa lewat rasulmu, aku ingin mempertobatkan para pendosa sampai jauh keujung bumi lewat perantaraannya aku mampu mengumpulkan daun palma yang dirindukan jiwaku. Oh, betapa pengharapan ini, Bundaku tercinta Aku akan menjadi martir saudara dari seorang martir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar