Ibr. 12: 1-4; Mzm. 22:26b-27,28,30,31-32; Mrk. 5:21-43
"Vita - Hidup!"
Injil sebagai kabar baik yang hidup banyak mengisahkan tentang orang sakit yang menjamah Yesus. (Mr 3:10; 5:27-34; 6:56) atau Yesus yang menjamah mereka. (Mr 1:41-42; 7:33-35; Mat 8:3,15; 9:29-30; 20:34; Luk 5:13; Luk 7:14-15; 22:51)
Sentuhan dan kehadiran Yesus itulah yang menghidupkan. SentuhanNya berkuasa untuk menghidupkan karena Ia mengasihani kelemahan kita dan Ia adalah sumber kehidupan yg penuh kasih karunia dan kehidupan (Ibr 4:16).
Hari ini, marilah kita juga belajar beriman dari Yairus. Dinamika imannya yang hidup meliputi: mencari Yesus, melihat Dia, tersungkur di depan kaki-Nya, dan memohon kepada-Nya. Di tengah ketakjubannya bersama banyak orang, ia tidak lupa bersyukur atas kehadiran Tuhan yang menyelamatkan anaknya.
Dkl: Tanggung jawab kita dalam mendambakan kesembuhan adalah mendekatkan diri kepada Yesus serta hidup di hadapanNya (Mat 17:20).
Pada bacaan hari ini, putri Yairus, si kepala rumah ibadat itu sudah meninggal (Mr 5:35). Tanggapan Yesus ialah membangun iman sang ayah, bahkan dalam situasi yang tampaknya tak berpengharapan.
Sepanjang sejarah penebusan, orang percaya telah menempatkan kepercayaan mereka kepada Allah sekalipun kelihatannya seakan segala sesuatu tidak memberi harapan lagi.
Pada saat-saat seperti itu, Allah menganugerahkan iman yang diperlukan dan melepaskan umat-Nya sesuai dengan tujuan dan kehendak-Nya (Maz 22:5; Yes 26:3-4; 43:2).
Hal ini berlaku bagi banyak pahlawan iman yang hidup, al:
Abraham (Kej 22:2; Yak 2:21-22),
Musa (Kel 14:10-22; 32:10-14),
Daud (1Sam 17:44-47),
Yosafat (2Taw 20:1-2,12),
Yairus (Mrk 5:21-23,35-42).
Pastinya, berlaku juga buat kita semua bukan?
Akhirnya, bersama dengan teladan St Yohanes Bosco yang kita kenangkan hari ini dengan imannya yang sungguh hidup, baiklah kita ingat pesan terakhirnya di tempat tidurnya:
“Kasihilah satu sama lain seperti saudara. Berbuatlah baik kepada semua orang dan janganlah berbuat jahat kepada siapa pun. Katakanlah kepada anak-anak bahwa aku menanti mereka semua di Surga.”
"Abdullah cari galah -Bangkitlah dan bergeraklah."
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
NB:
I.
“Haec est Domus Mea, Inde Gloria Mea - Inilah RumahKu, Darinyalah kemuliaanKu akan terpancar.”
Inilah salah satu pesan St. Yoh Bosco yang juga saya tulis dalam buku “XXI” (RJK, Kanisius). Yah, sebuah pesan di Valdocco, yang didapatnya dari Bunda Maria dalam sebuah mimpi.
Jelasnya, berkat Tuhan dan restu Bunda Maria menjadi pelita yang terpancar bagi hidupnya, dan teladan hidupnya juga menjadi pelita yang terpancar bagi banyak orang.
Adapun 3 jalan sederhananya supaya bisa menjadi dan berbagi “pelita”, al:
1..PEka pd Tuhan:
Yohanes Bosco adalah anak bungsu dari Francesco dan Margarita. Sejak usia 9 tahun, ia peka dan banyak bermimpi tentang Yesus dan Bunda Maria. Ia juga selalu berdoa rosario sebelum belajar dan ber-akrobat.
Sebagai seorang imam muda, ia rajin mengunjungi penjara karena ia merasa bahwa Tuhan benar-benar hadir: “Melihat begitu banyak anak usia 12-18 tahun, digigiti serangga dan kurang makan, baik rohani dan jasmani, sungguh amat mengerikan. Aku harus dengan segala prasarana yang ada, mencegah hidup mereka berakhir disini.”
Dengan doa dan devosi mendalam, hatinya menjadi peka pada cinta Tuhan dan terbuka pada derita sesama.
2.LIbatkan dalam iman:
Menjadi pelita kadang bisa dianggap “menyilaukan/mengusik kemapanan: stabilitas loci”. Bosco juga pernah dianggap aneh dan ”nyeleneh” oleh rekan-rekannya. Tapi, ia terus berjuang dan mengamini bahwa: “mengikutiMu bukan langit biru yang Kau janjikan, juga bukan bunga-bunga indah yang bertebaran, tapi jalan penuh liku, karena jalan itu pula yang
dulu pernah KAU lewati”.
Dia sadar perlu rahmat iman: Ia ajak semua anak asuhnya untuk bertemu pada hari Minggu, ikut Ekaristi dan belajar agama. Setiap malam, ia juga meminta supaya semua anak mendaraskan doa “3 Salam Maria”, mencintai Sakramen Rekonsiliasi dan Komuni Suci.
Nasehatnya: ”Kita adalah rombongan kecil. Kita akan mencari jiwa-jiwa, bukan harta/kehormatan. Biarlah dunia tahu bahwa kita miskin dalam sandang-pangan dan papan, tapi kita kaya di hadapan Tuhan dan berkuasa atas jiwa-jiwa. Lakukan yang terbaik, Tuhan dan Bunda Maria akan menyempurnakannya.”
3.TAklukkan dengan cinta:
Wasiat terakhirnya:
“Kasihilah satu sama lain seperti saudara. Berbuatlah baik pada semua orang dan jangan berbuat jahat".
Bagaimana dengan hidup kita sendiri?
Cari tinta di Pasar Baru - Mari jadi pelita dengan hati yang selalu baru".
II.
NB:
“TM 102”: In Memoriam:
"Merton" - "Monk and Mission"
Transformasi Sang Pendoa Gereja dan Dunia
“TM” alias Thomas Merton (31 Januari 1915 – 10 Desember 1968) adalah
seorang rahib Trappist di "Abbey of Our Lady of Gethsemani", Kentucky
Amerika dan pengarang buku buku rohani, pakar spiritual, penyair dan sekaligus
aktivis sosial yang dilahirkan di Prades, tepatnya di département
Pyrénées-Orientales, sebuah kota kecil di Perancis, pada tanggal 31 Januari
1915.
Ibunya, Ruth Jenkins Merton, adalah seorang wanita Amerika yang berbakat
seni, penari, penulis puisi dan kronik hidup. Ayahnya, Owen Merton, adalah
seorang pria Selandia baru yang berprofesi sebagai pelukis.
Ketika berumur satu tahun, orang tuanya pindah ke Amerika Serikat.
Disanalah adiknya lahir dengan nama John Paul, empat tahun lebih muda dari dia.
Ketika Merton berumur enam tahun, ibunya meninggal akibat penyakit kanker.
Setelah ibundanya meninggal, Merton ikut berpindah-pindah bersama ayahnya,
karena itu sekolah dasarnya dilangsungkan di tiga negara: Amerika Serikat,
Perancis, dan Inggris. Ia sendiri melewati tahun-tahun awal hidupnya di bagian
selatan Perancis, kemudian ia pergi ke Sekolah Oakham di Inggris dan ayahnya
meninggal karena tumor otak ketika Merton berusia 16 tahun.
Merton lalu masuk di Universitas Cambridge dan menjalani hidup yang kacau,
penuh dengan petualangan, foya-foya dan huru hara. Ia menjadi “sang pendosa”
dan melulu asyik masyuk-khusyuk mencari kenikmatan duniawi, bahkan di tahun
pertamanya di Universitas Cambridge, ia mendapatkan anak dari hubungan free-sex
nya.
Akhirnya, Merton pindah ke Amerika Serikat dan tinggal bersama
kakek-neneknya yang bekerja sebagai penerbit dan menyelesaikan pendidikannya di
Columbia University, New York, jurusan Sastra Inggris.
Disanalah, ia berkenalan dengan sekelompok seniman dan penulis yang kelak
menjadi sahabatnya seumur hidupnya dan mengajaknya ber-transformasi dari “sang
pendosa” menuju ke “sang pendoa”. Selain sastra, ia berminat dalam bidang
sosial dan filsafat, termasuk filsafat mistik timur. Ia juga sangat aktif
melibatkan diri dalam kegiatan kampus. Ia banyak menulis dalam hampir semua
majalah kampus. Ia berambisi menjadi seorang penyair, penulis dan kritikus
terkenal.
Jiwa sosial Merton tumbuh ketika ia mulai mengenal kristianitas. Merton
sendiri dibaptis dan menjadi pemeluk agama Katolik pada awal usia 20-an tahun
ketika ia sedang menyusun tesis masternya tentang William Blake.
Meskipun hidup masa muda Merton dapat dikatakan”kafir”, namun pada inti
batinnya ia merupakan seorang religius, dalam arti: selalu memiliki rasa kagum
dan haus, yang tak pernah terpuaskan, akan suatu realitas tertinggi.
Kehausan akan realitas tertinggi tersebut sedikit terpenuhi setelah ia
membaca buku ”The Medieval Philosophy” karangan Etiene Gilson. Merton
mengatakan bahwa dengan membaca buku itu, inteleknya yang selama itu mencari arti
Allah, benar-benar “melek” dan terpuaskan, sehingga ia mengalami perubahan
radikal dari seorang”ateis”menjadi seorang yang “mistis”, membuka diri kepada
pengalaman religius yang otentik.
Setelah bertobat, ia rajin melakukan praktek keagamaan: setiap hari
menyambut komuni, seminggu sekali mengaku dosa,berdoa jalan salib, membaca
bacaan rohani, antara lain karya-karya St.Yohanes dari Salib, St. Agustinus dan
lain-lain.
Beberapa figur yang berpengaruh dalam membentuk dan membangun kepribadian
Merton adalah Mark Van Doren, Daniel Walsh dan William Blake.
Mark Van Doren adalah seorang pujangga pemenang hadiah Pulitzer, menjadi
model keunggulan mengajar, kefasihan sastra dan etika pribadi serta pengganti
ayah bagi Merton. Sementara Daniel Walsh adalah seorang filsuf yang amat
memahami Merton dan yang memperkenalkannya kepada kehidupan Trappist di
Pertapaan Gethsemani. Pribadi lain yang juga amat berpengaruh terhadap kepribadian
Merton adalah William Blake, yang kemudian hari akan memiliki pengaruh sangat
banyak terhadap pemikiran-pemikiran dan tulisannya.
Merton sendiri pernah berkarya di Friendship House dan mulai memikirkan
secara serius untuk menjadi imam. Ia mengajukan permohonan ke Ordo Fransiskan
dan diterima. Tetapi beberapa bulan sebelum masuk novisiat ia dihantui oleh
rasa tidak pantas, mengingat masa lalunya.
Kemudian, ia menjelaskan keraguannya kepada pemimpin Ordo Fransiskan dan ia
dinasehati untuk menarik diri selama waktu tak terbatas, apalagi mengingat
bahwa belum ada dua tahun sejak dia menjadi Katolik. Merton mengalami frustasi
yang hebat namun menerima keputusan itu dengan tabah. Ia masuk Ordo Ketiga
Fransiskan, karena ia berpikir sekurang-kurangnya dalam Ordo Ketiga ia masih
kesempatan untuk menjadi suci sembari mengajar di Kolese St. Bonaventure, di
Olean, New York
Pada liburan Paska, ia mengadakan retret/khalwat di Biara Trappist,
Gethsemani, dekat Bardstown, Kentucky, dan merasa jatuh cinta pada pandangan
pertama terhadap cara hidup Trappist yang keras. Ia melihat dalam cara hidup
tersebut cita-cita hidupnya sendiri yang selalu ia cari.
10 Desember 1948, ia masuk ke pertapaan Trappist Gethsemani di Louisville,
Kentucky. Disana, Merton menjalani kehidupan doa dan kerja dalam keheningan
sebagai seorang rahib Trappist, sementara buah-buah pemikiran dan
permenungannya ia tuangkan ke dalam tulisan-tulisannya.
Sebelum kaul kekalnya, ia tergoda untuk meninggalkan biaranya dan masuk
biara Kartusian, untuk menghayati hidup eremit di sana. Tetapi hatinya tenang
setelah membicarakannya dengan Abas dan Bapa pengakuannya. Tahun 1947, ia
mengucapkan kaul kekal dan tahun 1949 menerima tahbisan imamat, meskipun
sebelum tahbisan, godaan untuk memeluk eremit muncul kembali.
Setelah di tahbiskan, ia menjadi pembimbing para calon imam dalam biaranya
sendiri di Biara Trappist, Gethsemani dari tahun 1951-1955. Dan tahun
1955-1965, ia bertugas sebagai pembimbing novis.
Waktu ia masih sebagai novis, dia disuruh menulis riwayat hidupnya, ”The
Seven Storey Mountain” yang menjadi “best seller”. Adapun menurut pengakuan
para pembacanya, mereka menemukan Tuhan kembali dan bertobat sesudah membaca
buku ”The Seven Storey Mountain” itu.
Sementara itu Merton terus menulis dalam berbagai subyek, mulai dari hidup
rohani, kesenian, sastra, sampai politik. Banyak orang yang membaca karya
tulisnya, karena apa yang ditulisnya keluar dari hati dan penghayatan hidupnya.
Ya, pada tahun-tahun ia tinggal di Gethsemani, Merton berubah dari seorang
biarawan muda yang sangat bersemangat dalam memeriksa hidup batinnya seperti
yang digambarkan dalam buku otobiografinya yang paling terkenal, The Seven
Storey Mountain, menjadi seorang penulis dan penyair yang kontemplatif yang
menjadi terkenal karena dialognya dengan iman-iman lain dan sikapnya yang
anti-kekerasan pada masa kerusuhan antar-ras dan Perang Vietnam pada tahun 1960-an.
Pada tahun 1965, setelah pergulatan selama lima belas tahun untuk
meyakinkan komunitasnya bahwa panggilan hidup eremit adalah perkembangan wajar
dan buah yang masak dari hidup seorang rahib trappist/cisterciensis, akhirnya
ia mendapat ijin dari Abasnya untuk menjalani hidup eremit. Sebuah rumah di
bangun khusus untuk itu, namun masih di dalam lingkungan biaranya.
Dengan menjalani hidup eremit, Merton semakin menjadi rahib trappist yang
matang, manusiawi, dekat dengan manusia dan universal pandangannya. Hal ini
nampak dari tulisan dan pengaruh tulisannya yang semakin luas dan mendalam.
Pada tahun-tahun itu juga, ia sekaligus mengalami banyak sekali
"pertikaian" dengan Abas/kepala biaranya karena ia dilarang keluar
dari biara, mengimbangi reputasi internasionalnya dan korespondensinya yang
sangat luas dengan banyak tokoh terkenal dari pelbagai bidang pada waktu itu,
Seorang kepala biara atau Abas yang baru memberikan kepadanya kebebasan
untuk melakukan perjalanan ke Asia pada akhir 1968. Dalam perjalanan itu ia
mengalami pertemuan yang tak terlupakan dengan Dalai Lama di India, juga dengan
Thich Nhat Hanh dan D. T. Suzuki. Ia juga berkunjung ke Polonnaruwa (yang saat
itu dikenal sebagai Ceylon), dan mendapatkan suatu pengalaman keagamaan ketika
ia menyaksikan patung-patung Sang Buddha yang sangat besar.
Pada tahun 1968 itu juga, Merton di undang oleh suatu lembaga”pertemuan
para rahib Asia” di Bangkok, untuk memberikan ceramah dalam pertemuan itu. Ia
bermaksud beberapa bulan tinggal di Asia, dangan tujuan untuk memperdalam
penghayatan kerahibannya dan berdialog dengan para rahib timur. Dia juga punya
rencana untuk berkunjung ke pertapaan Santa Maria Rawaseneng, Temanggung, Jawa
Tengah. Ada spekulasi bahwa Merton ingin menetap di Asia sebagai seorang
pertapa.
Akan tetapi harapan itu tak dapat di penuhi karena di Bangkok, Thomas
Merton, sang “rahib” ini-pun “raib”. Ia meninggal dunia di usia 53 tahun pada
tanggal 10 Desember 1968, akibat suatu kecelakaan, terkena arus listrik dari
sebuah kipas angin.
Jenazahnya diterbangkan ke Gethsemani dan di sana ia dikebumikan. Sejak
kematiannya, pengaruhnya terus berkembang, dan ia dianggap oleh banyak orang
sebagai mistikus Amerika pada abad ke-20.
Selama hidupnya, Merton menulis lebih dari 50an buku, 2000 puisi, dan tidak
terhitung jumlahnya esai, tinjauan, dan ceramah yang telah direkam dan
diterbitkan dimana Merton sendiri melarang buku-bukunya diterbitkan sebelum
lewat masa 25 tahun sesudah kematiannya.
Sebagai penghargaan terhadap hubungannya yang erat dengan Universitas
Bellarmine, arsip-arsip Merton disimpan di tempat penyimpanan resmi, yaitu
"Thomas Merton Center" di kampus Bellarmine di Louisville, Kentucky.
Ada juga “Penghargaan Thomas Merton” yakni sebuah hadiah perdamaian, yang telah
dianugerahkan sejak 1972 oleh "Pusat Thomas Merton untuk Perdamaian dan
Keadilan Sosial" ("Thomas Merton Center for Peace and Social
Justice") di Pittsburgh, Pennsylvania, AS.
Pustakaloka:
• A Man in the Divided Sea, 1946
• The Seven Storey Mountain, 1948 (ISBN 0-15-601086-0)
• The Merton Annual, Fons Vitae Press
• Merton and Hesychasm-The Prayer of the Heart, Fons Vitae Press
• Merton and Sufism: The Untold Story, Fons Vitae Press
• Merton and Judaism - Holiness in Words, Fons Vitae Press
• Waters of Siloe, 1949 (ISBN 0-15-694954-7)
• Seeds of Contemplation, 1949 (ISBN 0-313-20756-9)
• The Ascent to Truth, 1951 (ISBN 0-86012-024-4)
• Bread in the Wilderness, 1953
• The Last of the Fathers, 1954
• The Living Bread, 1956
• No Man is an Island, 1955
• The Silent Life, 1957
• Thoughts in Solitude, 1958
• The Secular Journal of Thomas Merton, 1959
• Disputed Questions, 1960
• The Behavior of Titans, 1961
• The New Man, 1961 (ISBN 0-374-51444-5)
• New Seeds of Contemplation, 1962 (ISBN 0-8112-0099-X)
• Emblems of a Season of Fury, 1963
• Life and Holiness, 1963
• Seeds of Destruction, 1965
• Conjectures of a Guilty Bystander, 1966 (ISBN 0-385-01018-4)
• Raids on the Unspeakable, 1966
• Mystics and Zen Masters, 1967
• Cables to the Ace, 1968
• Faith and Violence, 1968
• My Argument with the Gestapo, 1969
• The Climate of Monastic Prayer, 1969
• Contemplation in a World of Action, 1971
• The Asian Journal of Thomas Merton, 1973
• Alaskan Journal of Thomas Merton, 1988
• The Intimate Merton: His Life from His Journals, 1999
• Peace in the Post-Christian Era, 2004
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
MEMO:
A.
TUJUH BENTUK KEBEBASAN ALA MERTON UNTUK MENUJU KEBEBASAN SEJATI
Basil Pennington, OCSO membagikan pengalaman kedekatannya dan pengenalannya
akan Merton secara pribadi dan sebagai seorang saudara seperjalanan dalam hidup
monastiknya. Basil mengulas seluruh rangkaian perjalanan hidup Merton secara
kronologis dan beberapa tahap perkembangan hidup Merton yang telah dituliskan
dan yang telah dibagikan ke dalam beberapa buku. Beberapa poin yang dibahas
oleh Romo Basil dalam esai ini yaitu, tentang pencarian Merton akan kebebasan
yang sejati; Free by Nature, Freedom of Faith, Freedom of Monasticism, Free to
be the World, A Life Free from Care, Final Integration, Full Freedom of the Son
of God.
Pemahaman Merton akan dirinya dan akan misteri kediriannya yang sejati
telah ditemukannya melalui dan dalam keheningan. Dalam keheningan itu pulalah
dia menemukan jati dirinya yang sebenarnya yang tak terjelaskan dan yang
melampaui kata-kata, karena jati dirinya yang sejati memang benar-benar khusus
dan unik.
Merton adalah seorang pribadi yang khusus dan unik. Keunikannya itu
ditampakkannya dalam upayanya untuk menjadi dirinya sendiri. Kekhasan lain yang
dimiliki oleh Merton yaitu bahwa hampir seluruh pembentukan kehidupan rohani
pribadinya dimulainya dari konsep pemikirannya. Ia adalah manusia yang
seutuhnya bebas (freedom), kebebasan ini pula yang membuat dirinya tidak
melekatkan dirinya pada ke-aku-an yang secara humanis masih ada dalam setiap
pribadi manusia.
Pengalaman awal hidupnya dalam memasuki keheningan telah menghantarkannya
pada penemuan jati dirinya dalam Allah dan keberadaannya tidaklah membuat
dirinya berbeda dan menjauhkannya akan tanggung jawabnya terhadap keselamatan
jiwa orang-orang yang berada di dunia luar.
1.
Kebebasan Alamiah
Kematian-kematian menjadi bagian dalam kehidupan Thomas Merton. Ibunya,
Ruth Jenkins, menderita kanker perut dan wafat ketika Merton berusia enam
tahun. Ayahnya, Owen Merton, berpulang ketika Merton berusia enam belas tahun,
setelah cukup lama bergulat dengan kanker otak yang membuatnya tidak lagi mampu
berbicara. Adiknya, John Paul, meninggal dalam kecelakaan pesawat terbang pada
1943, dua tahun setelah Merton masuk ke Pertapaan Our Lady of Gethsemani,
Kentucky. Selama 53 tahun ia hidup, ada 65 juta orang yang mati terbunuh dalam
peperangan. Itu berarti bahwa pada periode kehidupannya, rata-rata lebih dari
sejuta jiwa korban per tahun.
Kematian ayahnya pada tahun 1931, membuat luka yang begitu dalam baginya.
Dalam kedukaannya, ia menyadari bahwa ayahnya yang telah pergi tetap
menyertainya. Kehidupan dan kematian ayah Merton turut menghiasi seluruh
perjalanan rohaninya. Rentetan peristiwa kematian yang pernah ia saksikan dan
ia alami membuatnya masuk ke dalam sebuah misteri kebebasan manusia dari yang
natural (alami). Merton merasakan bahwa dalam menghadapi setiap peristiwa
kematian, ia merasa dituntun oleh daya kekuatan misterius. Ia diajak keluar
dari dirinya, dibimbing melampaui perasaan marah dan berontak yang bergejolak
dalam hatinya, suatu protes atas kematian orang tuanya. Ia merasakan daya
kekuatan rohani yang membuatnya dapat melihat keluhuran nilai atas setiap
peristiwa dalam hidupnya.
2.
Kebebasan Iman
Dalam tulisannya yang berjudul Entering the Silence, Merton bercerita bahwa
minatnya masuk biara sebenarnya adalah untuk lari meninggalkan segala
permasalahan dunia. Baginya, dunia modern telah rusak dan dipenuhi dengan
berbagai tragedi.
Dalam perjalanan waktu, motivasinya pun diganti untuk mengabdi Tuhan dan
menceburkan diri dalam cinta-Nya yang tak terbatas. Kedewasaan rohani Merton
semakin matang seiring perjalanan hidupnya. Relasinya dengan Allah membawanya
pada pemahaman baru akan kebebasan iman dan pengenalannya akan Allah.
Menurut Merton, kebebasan iman akan membawa setiap orang kepada kesadaran
akan kasih Allah, dan dari kesadaran itu manusia diajak untuk memandang
sesamanya sebagai Kristus sendiri dan mengasihinya tanpa pamrih dan tanpa
pandang bulu, karena setiap manusia adalah representasi Allah sendiri.
3.
Kebebasan Monastik
Perjalanan waktu memang turut mengubah Merton dalam melihat realitas dan
paradigma dalam hidupnya. Merton mengekspresikan gerak batinnya melalui
tulisan-tulisannya. Ketika ia bergulat dengan identitas dirinya secara tidak
sadar ia telah melihat dirinya walaupun masih dalam keraguan.
Dalam situasi itulah, Allah bekerja dan menggerakkan hati Merton untuk
mencari kebenaran dan kesejatian hidup yang akan memenuhi hasrat dan dahaganya.
Ia menemukan hasrat dan panggilannya di Gethsemani, di sebuah Pertapaan Ordo
Cisterciensis yang kerap disebut Trappist.
Dalam pertapaan itulah, dia menemukan bahwa kehidupan monastik menjadi
jalan yang dapat mengantarnya untuk mencari Allah yang merupakan sang kebenaran
sejati itu sendiri.
4.
Kebebasan dan Dunia
Kehidupan monastik yang telah dipeluk oleh Merton merupakan cita-cita awal
yang ideal baginya untuk masuk dalam keheningan yang memisahkan dia dari dunia
dan yang akan mengantarnya kepada sebuah kesatuan mesra dengan Allah.
Kesadaran awal itu memang sempat merasuk dalam benaknya, dia beranggapan
semula bahwa pilihan hidup monastik telah membuatnya sungguh-sungguh
teralienasi dari dunia. Konsep dan pemikiran Merton berubah drastis seiring
perjalanan hidupnya dalam mengahayati panggilan monastik Trappist.
Panggilannya sebagai rahib menyadarkan dia bahwa dia tidaklah terpisah dari
dunia. Dalam buah-buah kontemplasinya, dia terbangun dari ilusi suci yang
semula sempat tersembunyi dalam benak dan pikirannya. Pilihan hidupnya sebagai
rahib menyadarkannya bahwa dia menjadi jantung bagi gereja dan dunia. Dengan
penuh kesadaran, dia mengungkapkan demikian; “Pilihanku menjadi seorang
kontemplatif secara penuh memiliki konsekuensi untuk membagikannya kepada
sesama dan dunia. Dengan demikian aku memberikan kesaksian akan keutamaan
monastik”.
5.
Kebebasan Hidup
Momen perubahan cara pandang Merton terhadap hakikat panggilannya sebagai
seorang rahib telah membuka cakrawalanya dalam melihat dan memaknai segala
sesuatu dalam hidup. Merton mengatakan “Aku rasanya seperti terbangun dari
mimpi bahwa aku terisolasi dalam suatu dunia yang khusus, dunia kesucian.
Seluruh ilusi mengenai kesucian yang terasing itu merupakan suatu mimpi”.
Sebagai seorang Trappist, Merton dapat berbicara dan mewartakan kebenaran
yang berasal dari buah-buah kontemplasinya. Sebagai seorang mistikus dalam abad
modern, dia berpendapat bahwa seorang rahib lebih sebagai seseorang yang
sungguh-sungguh melihat segala sesuatu seperti apa adanya. Merton melihat
seluruh kehidupan berasal dari Allah, ditopang oleh Allah, dan akan kembali
kepada Allah.
6.
Keutuhan Final
Merton melihat kehidupannya yang unik seperti apa adanya yang dia alami dan
rasakan. Hal itu tidaklah jauh berbeda dengan setiap orang dalam memahami dan
melihat kehidupannya. Dia menggambarkan peristiwa hidupnya sebagai sebuah momen
kedekatan yang intim bersama Allah. Perjalanan ziarah yang dia lakukan untuk
mendalami mistisisme Kristen dan pengalaman mistik dalam Zen telah mengantarnya
kepada sebuah final integration.
Merton menulis bahwa dalam realita, ketika kita menguji tradisi-tradisi
besar kontemplatif Timur dan Barat dengan lebih mendalam, di samping beberapa
perbedaan yang kadangkala sangat radikal namun keduanya menyetujui bahwa
melalui disiplin-disiplin spiritual seorang manusia dapat mengubah hidupnya
secara radikal, mencapai sebuah makna hidup yang lebih mendalam, sebuah
integrasi dan kepenuhan yang lebih sempurna, serta sebuah kebebasan roh yang
lebih total. Pengenalannya akan Zen, membantu Merton untuk menghancurkan kedirian
palsu (the false self) dan mengantarnya untuk menemukan kedirian yang sejati
(the true self).
7.Kebebasan Penuh Anak Allah
Thomas Merton telah menyelesaikan seluruh perjalanan hidupnya menuju
kebebasan yang penuh, kebebasan sejati yang telah ia capai bersama Kristus
dalam menapakai jalan salib dan sengsara-Nya. Kini ia bersukacita bersama
Kristus dalam kerajaan surga, bersatu dengan-Nya sebagai anak Allah. Merton
telah meninggalkan banyak hal berguna bagi kita dalam zaman modern ini. Dia
mengajarkan banyak hal dan membagikan buah-buah kontemplatif yang sangat
berguna bagi manusia modern untuk mencapai kesempurnaan Kristiani dan mencapai
kebebasan sejati sebagai anak-anak Allah. Dengan demikian seluruh perjalan
panggilan Merton telah membuktikan bahwa pengalaman mistik mampu
mentransformasi dan melahirkan makna, visi, dan kedirian baru bagi manusia.
Saat manusia mengalami kesatuan dengan Allah, saat itu pula ia menyadari sebuah
kesatuan yang lebih utuh dan mendalam di antara dirinya, sesamanya, dan
dunianya di dalam Dia.
B.
Relevansi dan Signifikansi Ajaran Thomas Merton
Di dalam praktek hidup sehari-hari, ajaran atau tulisan Thomas Merton
sangat relevan untuk dijalani. Thomas Merton mengatakan, bahwa kesucian adalah
proses dimana seseorang berjuang, jatuh, gagal, dan sering tak pernah meraihnya
secara sempurna.
Kita dihadapkan pada realita hidup bersama, dalam keluarga, komunitas,
berbangsa dan bernegara, yang pada waktunya akan terjadi konflik. Konflik yang
melukai batin sangat berpengaruh dalam pola relasi, pekerjaan, dan kehidupan
doa kita. Segala kelemahan-kelemahan diripun muncul ke permukaan: kemarahan,
pembalasan, ketidak pedulian dll, yang sebenarnya kita sadari bahwa semua sikap
seperti itu hanya membawa kita dalam keterpurukan.
Namun anehnya, kita justru cenderung mengikuti emosi yang tidak baik itu.
Sebenarnya, kita bisa bangkit dan berdoa pada Tuhan, agar segala kecenderungan
diri (kerapuhan) untuk berdosa disembuhkan.
Menurut Thomas Merton dalam arti kebebasan kodrati: manusia diberikan
kebebasan oleh Allah untuk memilih kebaikan atau memilih melakukan dosa dan
kejahatan. Dengan pertolongan rahmat Allah, manusia akan berkembang menuju arah
kebaikan. Merton meyakini bahwa puncak kesatuan kita dengan Allah ialah ketika
kita menyatukan semua bentuk kehidupan pada cinta sederhana.
Satu lagi aspek menarik dalam diri merton adalah, kesadaran yang amat tajam
akan sebuah kebutuhan dalam spiritualitasnya, yakni kebutuhan untuk dibebaskan
dari kejahatan dalam dirinya.
Ia telah mengalami sebuah kehancuran pada kehidupan masa remajanya. Merton
menggambarkan perjalanan spiritual sebagai pendakian tujuh tingkat gunung
penyucian jiwanya, yang dimulai dengan kebutuhannya untuk dibebaskan dari
kesalahannya serta kebutuhan akan transformasi terus-menerus (pertobatan).
Dalam kehidupan sehari-hari, memang cukup sulit untuk bangkit dari
kejatuhan (dosa) yang sama terus menerus. Tetapi kita juga harus menyadari
bahwa Tuhan itu Maha Rahim dan sungguh sangat mengerti dan menerima kita. Dia
menginginkan kita untuk terus berjuang menerima rahmatNya setiap hari. Ya,
kelemahan-kelemahan adalah anugerah yang perlu kita sadari, sebab
kelemahan-kelemahan itulah yang membawa kita kedalam hidup doa yang tekun dan
mendalam, hingga buah-buah relasi yang intim dengan Allah menjadikan semangat
baru dalam bertransformasi diri.
Thomas Merton sendiri terkesan oleh kata-kata Kardinal Newman yang
mengatakan: “Hidup itu berarti siap berubah dan menjadi sempurna berarti selalu
siap berubah, dan seluruh kehidupan kita merupakan pelepasan dan penerimaan.
Lepaskan yang lama dan terima yang baru dari Tuhan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar