Ads 468x60px

ATTITUDE


Kita kadang memiliki kecenderungan membanding-bandingkan diri dengan orang lain. Kita merasa orang lain lebih beruntung. Kemanapun kita pergi, selalu ada orang yang lebih pandai, lebih tampan, lebih cantik, lebih percaya diri, dan lebih kaya dari kita. Dalam bahasa populer: rumput tetangga memang sering kelihatan lebih hijau daripada rumput di pekarangan sendiri.
Sebuah kisah:
Seorang samurai yang gagah dan termashur mendatangi Guru Zen di padepokan yang tenang dan indah. Si samurai tiba-tiba merasa amat minder memasuki situasi yang indah dan hening itu. Dia tanyakan hal itu pada sang Guru, kenapa ada perasaan minder seperti itu, padahal sehari-hari ia merasa hebat, besar, kuat, berani. “Aku akan jelaskan alasannya padamu”, kata Guru, “tapi setelah semua orang pergi”.

Di petang hari, tatkala tamu-tamu tidak ada lagi dan si samurai mulai kesal dan gelisah menunggu, Guru mengajak si samurai ke taman. Di temaram bulan purnama, Guru berkata, "Lihat dua pohon itu! Yang satu menjulang tinggi, dan yang satu di sampingnya pendek. Kedua pohon itu sudah tahunan ada di sebelah jendela kamar tidurku, dan belum pernah kudengar pohon kecil mengeluh merasa minder melihat pohon menjulang itu. Menurutmu, kenapa Si Samurai menjawab, “Karena mereka tidak bisa dibandingkan.”
“Nah”, kata Guru, “kau tak usah tanya aku lagi. Kau sudah tahu jawabannya."
Banyak di antara kita kerap seperti samurai itu, bukan? Kita terlalu sibuk membandingkan diri dengan orang lain sampai mata hati tertutup, sehingga lupa untuk senantiasa bersyukur, bukan?

Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)

NB:

1.Suatu ketika, Lao Tsu sedang bepergian dengan murid-muridnya dan mereka menemukan hutan dimana para penebang pohon sedang menebangi semua pohon, kecuali sebuah pohon besar dengan ribuan cabang.

Pohon itu begitu rindang hingga banyak orang bisa berteduh di bawahnya. Waktu murid-murid Lao Tsu disuruh bertanya kenapa pohon itu tak ditebang, para penebang berkata, “Pohon ini sama sekali tak berguna. Mau bikin apa dari pohon seperti ini karena setiap cabangnya penuh benjolan dan tidak lurus”. Waktu jawaban itu disampaikan pada guru, Lao Tsu tertawa. “

Jadilah seperti pohon itu. Bila kau tampak cantik dan tanpa cacat benjolan kau akan menjadi komoditi di pasar.

Jadilah seperti pohon yang tak ditebang ini yang meskipun kelihatan tak berguna, tapi sesungguhnya ia memberi kesejukan bagi banyak orang”.

2.Alkisah, adalah seorang pertapa yang sudah begitu suci sehingga Allah memperbolehkan pertapa itu untuk melihat-lihat surga dan neraka lebih dahulu sebelum ia meninggal. Di neraka, ia terkejut karena ternyata neraka itu tampak penuh kemilau kemewahan dan kenikmatan. Semua orang berpakaian bagus-bagus. Makanan terlezat tersedia di setiap meja. Kemudian ia dibawa malaikat ke surga. Ia terkejut lagi karena menyaksikan pemandangan yang sama. Lah, dia pikir, apa bedanya surga dan neraka?
Setelah pertapa itu meneliti ulang, ternyata di neraka orang-orang tersiksa abadi karena tak bisa menggerakkan tangan dan mulut untuk menikmati makanan dan kemewahan. Tapi di surga juga begitu. Bagaimana ini? Memang di surga, orang tidak juga memakai tangan mengambil makanan untuk diri sendiri, tetapi mereka selalu memberinya pada orang lain. Di neraka, tiap orang begitu hebat memikirkan kepentingan diri sendiri, hingga terpenjara dalam nafsunya sendiri. Di surga orang hanya memikirkan kepentingan orang lain hingga ia selalu menerima berlimpah.

3.Adalah seorang Tuan sedang mencari sebuah bejana. Ada beberapa bejana tersedia - manakah yang akan terpilih? “Pilihlah aku, teriak bejana emas, aku mengkilap dan bercahaya. Aku sangat berharga dan aku melakukan segala sesuatu dengan benar. Keindahan aku akan mengalahkan yang lain. Dan untuk orang yang seperti engkau, Tuanku, emas adalah yang terbaik!”
Tuan itu hanya lewat saja tanpa mengeluarkan sepatah kata. Kemudian ia melihat suatu bejana perak, ramping dan tinggi. “Aku akan melayani engkau, Tuanku, aku akan menuangkan anggurmu dan aku akan berada di mejamu di setiap acara jamuan makan. Garisku sangat indah, ukiranku sangat nyata. Dan perakku akan selalu memujiMu.
Tuan itu hanya lewat saja dan menemukan sebuah bejana tembaga. Bejana ini lebar mulutnya dan dalam, dipoles seperti kaca. “Sini! Sini! teriak bejana itu, aku tahu aku akan terpilih. Taruhlah aku di mejamu, maka semua orang akan memandangku”.
Lihatlah aku, panggil bejana kristal yang sangat jernih. Aku sangat transparan, menunjukkan betapa baiknya aku. Meskipun aku mudah pecah, aku akan melayani engkau dengan kebanggaanku. Dan aku yakin, aku akan bahagia dan senang tinggal dalam rumahmu. Tuan itu kemudian menemukan bejana kayu. Dipoles dan terukir indah, berdiri dengan teguh. Engkau dapat memakai aku, tuanku, kata bejana kayu. Tapi aku lebih senang bila Engkau memakaiku untuk buah-buahan, bukan untuk roti.
Kemudian Tuan itu melihat ke bawah dan melihat bejana tanah liat. Kosong dan hancur, terbaring begitu saja. Tidak ada harapan untuk terpilih sebagai bejana Tuhan itu.
“Ah! Inilah bejana yang aku cari-cari. Aku akan perbaiki dan kupakai, dan akan aku buat sebagai milikku seutuhnya. Aku tidak membutuhkan bejana yang mempunyai kebanggaan. Tidak juga bejana yang terlalu tinggi untuk ditaruh di rak. Tidak juga yang mempunyai mulut lebar dan dalam. Tidak juga yang memamerkan isinya dengan sombong. Tidak juga yang merasa dirinya selalu benar. Tetapi yang kucari adalah bejana yang sederhana yang akan kupenuhi dengan kuasa dan kehendakKu.”
Kemudian Ia mengangkat bejana tanah liat itu. Ia memperbaiki dan membersihkannya dan memenuhinya.
Ia berbicara dengan lembut kepadanya: “Ada tugas yang perlu engkau kerjakan, jadilah berkat buat orang lain, seperti apa yang telah Kuperbuat bagimu.”

4.Alkisah di suatu negeri lewatlah seorang pertapa. Ia mengumumkan pada orang-orang di negeri itu bahwa dalam tempo sebulan negeri ini akan dilanda gempa, dan bahwa sehabis gempa semua air minum akan membuat orang menjadi gila. Tentu saja orang-orang menertawakan si pertapa gila itu, kecuali seseorang tua yang bijak. Ia mulai mengumpulkan air dan membawanya ke suatu tempat sampai penuh cukup untuk seumur hidupnya. Betul, selang sebulan negeri itu ditimpa gempa. Semua air minum menyebabkan orang yang meminumnya menjadi gila.
Lalu semua penduduk negeri itu menjadi gila, kecuali si orang tua tadi yang bersembunyi jauh dengan air yang telah dikumpulkannya. Setelah lama sekali, orangtua itu pun merasa kesepian, lalu turun ke desa menemui kawan-kawannya.
Tetapi apa yang terjadi? Semua orang menertawakannya. Ia pulang dengan kecewa dan karena tidak kuat kesepian ia kembali lagi ke desa dan memilih meminum air yang membuat orang menjadi gila, sehingga ia pun ikut menjadi gila, hingga ia bisa berteman lagi.

5.Suatu hari, seorang kaya mengajak anaknya mengunjungi suatu keluarga miskin di desa dengan maksud agar anaknya paham betapa miskin orang itu. Mereka menginap semalam. Waktu perjalanan pulang si ayah bertanya, “Gimana kesannya, nak”?” “Oh, mengesankan”, sahut si anak. “Kau lihat betapa miskin mereka?” tanya si ayah. “Yeah”, sahut si anak. “Dan apa yang kau pelajari, nak?” kejar si ayah.
Si anak setelah hening beberapa saat, berkata, “Kita di rumah punya seekor anjing, mereka punya empat. Kita punya kolam kecil dan sempit, mereka punya kolam panjang sekali sampai kaki bukit. Kita punya lampu-lampu impor di taman, mereka punya bintang-bintang. Teras kita sebatas pagar depan, mereka sebatas langit.” Dan setelah beberapa saat, karena ayahnya membisu saja, si anak berkata, “Terimakasih ya, ayah telah menunjukkan pada aku betapa miskin kita”.
Tampaklah bahwa kekayaan itu amat relatif dan lebih terkait dengan sikap daripada keadaan. Dengan sikap yang tepat semua orang bisa kaya raya selamanya. Orang miskin kekurangan banyak , tetapi orang tamak kekurangan segala-galanya

6.Suatu sore di tengah telaga terlihat dua orang, ayah dan anak, sedang memancing. Dengan perahu kecil, keduanya sibuk mengatur joran dan umpan. Air telaga bergoyang perlahan-lahan, membentuk riak-riak air. Suasana begitu tenang, hingga terdengar sebuah
percakapan.
"Ayah!" "Hmmmmm... ya," sang ayah menjawab pelan. Matanya tetap tertuju pada ujung kailnya yang terjulur. "Beberapa malam ini," ucap sang anak, "aku bermimpi aneh. Dalam mimpiku, dua ekor singa sedang berkelahi dalam hatiku. Gigi-gigi mereka terlihat runcing dan tajam. Keduanya sibuk mencakar dan menggeram, seperti ingin saling menerkam. Mereka tampak ingin saling menjatuhkan! Singa yang pertama, terlihat baik dan tenang. Geraknya perlahan tapi pasti. Tubuhnya pun kokoh dan bulunya teratur. Walaupun suaranya keras, tapi terdengar menyenangkan buatku!"
Sang ayah mulai menolehkan kepala, dan meletakkan pancingnya di pinggir haluan.
"Tapi, ayah, singa yang satu lagi tampak menakutkan buatku. Geraknya tak beraturan, sibuk menerjang ke sana ke mari. Punggungnya pun kotor dan bulunya koyak. Suaranya parau dan menyakitkan. Aku bingung apakah maksud dari mimpi ini. Apakah singa-singa itu adalah gambaran dari sifat-sifat baik dan buruk yang aku punya? Lalu, singa yang mana yang akan memenangkan pertarungan itu, karena sepertinya mereka sama-sama kuat?"
Melihat anaknya yang baru beranjak dewasa itu bingung, sang ayah mulai angkat bicara. Dipegangnya punggung pemuda gagah di hadapannya. Sambil tersenyum, ayah berkata, “Pemenangnya adalah singa yang paling sering kamu beri makan!!!"
Begitulah hidup kita! Di dalam diri kita, ada dua ekor 'singa' yang selalu bersaing. Keduanya, memang selalu saling menjatuhkan. Pilihlah cintamu dan cintailah pilihanmu. It's your choice!!

7.Alkisah, terdapatlah sebuah rumah dengan 1000 cermin. Seekor anjing kecil menemukan rumah itu. Dia masuk dan menggonggong kegirangan sambil mengibas-ngibaskan ekornya dengan riang, dan melihat ada 1000 anjing kecil lain yang ramah kegirangan dengan ekor berkibas-kibas seperti dia. Waktu ia meninggalkan rumah itu, ia pikir “Ini tempat yang menakjubkan, lain kali aku akan singgah lagi disini”. Pada waktu lain, seekor anjing yang tampak stres dengan ekor terkulai lesu memasuki rumah itu. Ia melihat 1000 anjing lain yang sedang stres dengan ekor terkulai dan wajah tertekan serta menggeram seram seperti dia. Waktu ia meninggalkan rumah, ia pikir “Ini tempat tersiksa, dan aku tak akan kesini lagi”.
Jelas dari cerita ini, semua wajah di dunia adalah cermin. Cermin macam apa yang kita lihat pada wajah orang, tergantung pada kita juga. Kita tersenyum, yang kita hadapi senyum. Kita memaki, maka yang kita dapat adalah makian. Kita menabur kritik, yang kita tuai tentu saja kritik, dan itu semua bisa jadi bermula dari keluarga kita masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar