Ads 468x60px

Fides et fidelitas – Iman dan kesetiaan



Dan. 3:14-20,24-25,28;
MT Dan. 3:52,53,54,55,56;
Yoh. 8:31-42.
Inilah “via unitiva -jalan persatuan” tapi juga bisa menjadi “via dolorosa - jalan dukacita” karena bisa mendatangkan nestapa dan derita. Tapi, seperti yang saya tulis dalam buku “HERSTORY”, “Deus providebit", biarkan Tuhan yang menyelenggarakan karena Tuhan selalu setia menunjukan kasihNya kepada kita yang setia beriman padaNya.


Adapun, kata ‘setia’ mempunyai 3 arti dasar, al:

1.Dalam kamus umum:
Setia = “taat, patuh; bagaimanapun berat dan susah - selalu melakukan tugas dan berpegang pada janji.”
Dengan kata lain: Kita diajak punya “kasih - caritas” entah waktu "hujan/panas, suram-buram/temaram, juga ketika ada pelangi dan bersinar mentari", karena bukankah mendapatkan mawar berarti juga mau menerima durinya?

2. Dalam kosakata Inggris:
Setia = “faithful“, terbentuk dari kata dasar “faith/ iman”.
Kesetiaan terkait-erat dengan iman.
Dalam kacamata iman, kita=hamba. Martabat hamba diukur dari kesetiaannya: Jika setia, dia dpercaya, jika tidak setia, aakan dicampakkan oleh tuannya.
Dengan kata lain: Kita diajak mempunyai “iman-fides”, karena Tuhan yang kita imani adalah Tuhan yang pengasih - yang sabar dan berlimpah kasih setia.

3. Dalam kosakata “otak atik gathuk”:
Setia = “SElalu Taat + Ingat Allah.” Kata “selalu” mengandaikan konsistensi: sama di setiap tempat dan saat: “kita tidak dipanggil untuk sukses, tapi untuk setia!
Kata “taat” berarti ketika sukar, selalu patuh+mendekat pd Tuhan:"Bukan kehendakku tp kehendakMu yg terjadi”.
Dan, kata “ingat Allah” adalah keutamaan iman untuk selalu ingat pada janji Tuhan bahkan bila keadaan dan semuanya tidak menguntungkan.
Dengan kata lain: Kita diajak mempunyai “harapan-spes”: “Sekalipun pohon ara tidak berbunga-anggur tidak berbuah-hasil pohon zaitun mengecewakan-sekalipun ladang tidak menghasilkan bahan makanan-kambing domba terhalau dari kurungan dan tidak ada lembu sapi dalam kandang tapi aku akan bersorak-sorak dalam Tuhan.”
Yang pasti, tujuan hidup adalah melakoni hidup dengan tujuan, dan bukankah itu semua bisa lebih mudah sekaligus lebih indah dengan selalu setia beriman kepadaNya?
“Mas Hari pelihara burung - Mari kita buang hati yang murung.”
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)

NB:
1.
“Deus salutis mea-
Allah keselamatanku.”
Yes. 65:17-21;
Mzm. 30:2,4,5-6,11-12a,13b;
Yoh. 4:43-54.
Yesus hadir sebagai “Sang Penyelamat”.
Setelah membuat mukjizat dalam perjamuan nikah di Kana, Yesus membuat mukjizat kedua, yakni menyembuhkan anak perwira yang sakit.
Jelaslah bahwa kehadiran Yesus adalah untuk menyelamatkan: "menciptakan langit dan bumi baru" (Yes 65,17).
Adapun pada saat berada di Kapernaum, Yesus dikunjungi oleh seorang pegawai/perwira istana ("basilikos") yang anaknya sedang sakit parah.
Peristiwa penyembuhan anak pegawai istana ini sendiri menunjuk pada transisi iman.
Semula ia mencari Yesus karena butuh mukjizat.
Ia tipikal kebanyakan orang Galilea yaitu percaya kalau ada tanda: datang karena apa yg dilakukan Allah bukan karena "Allah" adalah "Allah".
Lebih lanjut, teguran Yesus kepada pegawai istana bahwa “jika kamu tidak melihat tanda dan mukjizat, kamu tidak percaya” mempunyai makna pengujian , sama seperti Yesus menguji iman Maria (Yoh 2:4) dan iman Marta (Yoh 11:23).
Yesus ingin mengubah iman pegawai istana, dari iman yang berdasar hanya pada tanda kepada iman yang berdasar pada kata-kata Yesus.
Dan inilah iman yang sejati, yaitu iman yang percaya penuh pada Yesus, dengan atau tanpa mukjizat.
Pegawai istana akhirnya menyaksikan mukjizat.
Perkataan yang berkuasa itulah yang membuat ia dan seluruh keluarganya menjadi percaya.
Disinilah iman juga berdimensi sosial: menyebar-pencar ke orang lain.
Di Kana, bukan hanya para pelayan saja yg percaya, tetapi iman itu juga menyebar ke semakin banyak orang dan di Kapernaum, bukan hanya pegawai istana saja tapi juga setiap anggota keluarganya menjadi percaya, bukan?
"Naik delman di tengah malam-
Mari beriman dengan mendalam."
2.
Luka: “LUpa akan Kasih Allah”
"Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal." (Yoh. 3:16).
Kadang kita memiliki luka dan hidup dengan luka tersebut bukan? Kedirian kita sendiri memang dibentuk oleh pengalaman cinta tapi juga luka, yang kadang tak kunjung terolah dan terselesaikan. Apa yang kerap membuat kita mudah terluka: mudah marah, gampang kecewa, kerap sinis-skeptis dan pesimis, sulit memuji orang dan mudah menjelekkan orang lain?
Satu hal yang saya lihat, kita mudah terluka karena mungkin kita lupa akan kasih Allah. Allah yang begitu sungguh mencintai kita, secara pribadi sekaligus mendalam. Bicara soal lupa, kadang kita lupa bukan? Wajar, jika kita diminta untuk biasa mengingat bukan? Mengingat sendiri adalah sebuah action. Mengingat juga adalah dialog yang khusyuk antara saya dan diri saya sendiri. Aktivitas mengingat dengan demikian merupakan refleksi atas pengalaman dengan dunia di luar diri saya,terlebih mengingat pengalaman kapan Tuhan sungguh mencintai dan menyapa saya secara pribadi.
Idealnya, aktualisasi dialog reflektif ini menghasilkan suara hati. Tapi realnya, kadang kita lupa, sehingga hidup menjadi dangkal, gagal untuk memikirkan apa yang sedang dilakukan. Kita hidup dalam suatu ungkapan kesadaran praktis menurut seorang sosiolog Inggris, Giddens. Kita mudah lupa, dan tidak biasa berpikir mendalam, gagal mengambil jarak atau memberi makna pada setiap tindakan. Jelasnya lagi, apa yang perlu kita ingat? Sekali lagi, ingatlah yang baik, yang telah banyak Tuhan perbuat. Inilah penggalan dari Erich Kastner, dalam, In Memoriam Memoriae, “Siapa lupa akan apa yang indah, dia akan jadi jahat.”
Di sinilah menjadi jelas, kita harus belajar melibatkan kesadaran reflektif: mengambil jarak, bersikap kritis, mempertanyakan dan memberi makna pada tindakan, sehingga luka kita bisa perlahan berubah kembali menjadi cinta. Dalam hal ini, pharmakos (“racun” karena dilukai) mesti diubah menjadi pharmakon (“obat” karena dicintai). Karena kasih Allah yang begitu besar pada dunia ini sehingga ia memberikan anaknya yang supaya yang percaya tidak binasa tetapi beroleh hidup kekal (Bdk. Yoh 3:16) tetapi semua manusia berdosa sehingga hak untuk hidup kekal disurga menjadi hilang (Bdk, Roma 3:23 & Roma 6:23) sehingga Allah melalui Putranya Yesus Kristus mendamaikan hubungan Allah dengan kita dan Yesus yang adalah “jalan kebenaran dan hidup” (Bdk Yoh 14:6) merintis jalan itu dengan wafat, kematian-Nya serta dengan kebangkitan-Nya yang melambangkan kekalahan maut atau dosa yang mendamaikan kita dengan Allah (Bdk Rom 5:10).
Satu kalimat klasik yang membuat saya tidak mudah lupa, yakni jalan sederhana ala Bunda Teresa, “Berikanlah pada dunia hal terbaik yang kamu miliki dan kamu akan mendapatkan kekecewaan. Bagaimanapun juga berikanlah pada dunia hal terbaik yang dapat kamu berikan.”
Sekarang anda masih lupa betapa baiknya Allah?
3.
Mentalitas Napas Nikmat: "NAtal, PASkah, NIKah dan MATi”
Seorang profesor Harvard, Harvey Cox, penulis buku ‘Secular City’, menyatakan ada dua ciri globalisasi, yaitu: mobilitas (banyak berpindah) dan anonimitas (tidak saling kenal). Bicara soal anonimitas, sayapun kadang tidak mengenal umat yang datang mengetuk pintu pastoran, entah untuk meminta pernikahan atau ketika ada acara kematian atau sekedar mau cerita atau mau mencoba meminta sumbangan.
Satu hal yang coba saya telaah, ternyata ada beberapa umat Katolik yang memiliki gejala “napas nikmat”: Natal, Paskah, Nikah dan Mati. Artinya, mereka hanya aktif misa ke gereja, atau bertemu pastor atau ketua lingkungan, ketika Natal, ketika Paskah, ketika mempersiapkan pernikahan dan ketika ada peristiwa kematian anggota keluarganya. “Iya,banyak umat perkotaan yang semangatnya “Napas Nikmat”, begitulah dengan agak sinis teman saya yang berkumis itu pernah menimpalinya. Bagaimana dengan kita sendiri?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar