Ads 468x60px

Salib : Jalan Menuju Kemuliaan


Minggu 12 Maret 2017.
Hari Minggu Prapaskah II
Kej 12:1-4; 2 Tim 1:8b-10; Mat 17:1-9

Salib : Jalan Menuju Kemuliaan
Renungan :
01. Dengan memakai keterangan waktu “enam hari kemudian” (ay. 1) nampaknya Mateus ingin menghubungkan kisah ini dengan nubuat Yesus tentang sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya (Mat 16:21) serta dengan pengakuan Petrus (Mat 16:16) dalam perikop sebelumnya. Selain itu dalam Injil Mateus, Yesus ditampilkan sebagai Musa yang baru, maka gunung dimana Yesus menampakkan kemuliaan-Nya bisa dimaknai sebagai simbol Sinai yang baru. Waktu “enam hari” mengacu pada waktu ketika Musa mempersiapkan diri sebelum mendengarkan suara Allah (Kel 24:15-16).

02. Kisah ini dimaksudkan untuk menunjukkan kemuliaan yang akan dialami Yesus kepada para murid terpilih yaitu Petrus, Yakobus dan Yohanes yang kelak akan menyaksikan penderitaan-Nya di Taman Getsemani serta di kemudian hari menjadi saksi utama tentang sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya (ay. 9; 2 Pet 1:16) agar tidak tergoncang imannya di saat mengalami sengsara dan wafat Yesus. Kepada para murid itu Allah berpesan agar mereka mendengarkan dan mentaati-Nya, percaya dan mengikuti-Nya dalam perjalanan menuju Yerusalem, di jalan salib menuju kemuliaan. Kiranya kisah ini memberikan penegasan bagi para murid bahwa jalan salib yang akan ditempuh Yesus bukan merupakan kegagalan yang konyol tetapi merupakan jalan satu-satunya menuju kemuliaan dan sebaliknya kemuliaan hanya bisa dicapai melalui jalan salib. Tidak ada kemungkinan lain!

03. Mateus tidak menyebutkan dimana peristiwa transfigurasi (Yesus berubah rupa, menampakkan kemuliaan) itu terjadi. Hanya diceritakan bahwa Yesus bersama ketiga murid-Nya menuju ke sebuah gunung yang tinggi (mungkin Gunung Tabor yang mempunyai ketinggian sekitar 588 m atau Gunung Hermon yang tingginya sekitar 2.774 m). Dalam tradisi Kitab Suci, gunung menjadi tempat Tuhan Allah menyatakan Diri-Nya (mis. Tuhan menampakkan diri kepada Musa dan Elia di gunung Sinai, lih. Kel. 19, 24, 33-34 dan 1 Raj 19). Sebagai tempat yang tinggi dan kokoh, gunung merupakan simbol kemuliaan dan keluhuran Allah yang mengatasi, melindungi atau menaungi dengan kokoh dan kuat.

04. Peristiwa transfigurasi ini sejalan dengan harapan orang-orang Yahudi tentang akhir zaman sebagaimana terungkap dalam sastra apokaliptik. Pada akhir zaman segala sesuatu akan diperbaharui, semua orang benar akan diubah, “orang-orang bijaksana akan bercahaya seperti cahaya cakrawala, dan yang telah menuntun banyak orang kepada kebenaran seperti bintang-bintang, tetap untuk selama-lamanya.” (Dan 12:3). Wajah yang bercahaya dan pakaian yang putih merupakan ciri-ciri makhluk surgawi (Dan 7:9;Mat 28:3; Why 3:4), keadaan mulia yang dialami Yesus setelah kebangkitan-Nya (Why 1:16). Kemuliaan itu merupakan jati diri Yesus (Ibr 1:3; 1 Kor 2:8; 2 Kor 4:6) yang akan meluap, melimpah pada orang-orang beriman. Transfigurasi itu diikuti dengan pewahyuan dari Allah sendiri yang menjelaskan makna peristiwa itu. Allah menghendaki agar semua orang mendengarkan Yesus [“Dengarkanlah Dia”], karena Ia adalah “segullah” Allah, milik kesayangan Allah [“anak-Ku yang terkasih”] dan yang telah diberi kuasa untuk bertindak atas nama-Nya [“kepada-Nya Aku berkenan”].

05. Kehadiran Musa dan Elia mau menegaskan identitas Yesus. Mereka mewakili kesaksian Taurat dan para nabi. Maksudnya : Yesus adalah Nabi Agung dan Mesias yang sudah dinubuatkan baik dalam Kitab Taurat maupun oleh para nabi. Musa menubuatkan bahwa Allah akan membangkitkan seorang nabi yang harus didengarkan (lih. Ul 18:15,18). Nabi Elia diyakini sebagai nabi yang telah naik ke surga (2Raj 2:11) dan akan datang kembali untuk mempersiapkan kedatangan Mesias (Mal 4:5; Sir 48:10). Dalam Perjanjian Lama nabi Musalah yang naik ke gunung Sinai menghadap Allah. Kehadirannya dalam peristiwa di gunung ini – sebagai Sinai Baru – untuk meneguhkan bahwa Yesuslah Sang Nabi Agung, Pembawa Hukum Baru, pemenuhan nubuat yang pernah dikatakannya. Yesus itu juga Sang Mesias yang kedatangan-Nya dipersiapkan oleh Elia. Peran Elia itu terlaksana dalam diri Yohanes Pembabtis.

06. Dalam tradisi Yahudi istilah “tenda” (Yun. “skene”) menunjuk pada “kediaman abadi di surga”, maka Lukas memakai istilah “kemah abadi” (Luk 16:9). Pada akhir zaman Allah akan bertempat tinggal di tengah-tengah umat (Yeh 37:27; 48:35; Why 21:3) dan umat akan berkemah di sekelilingnya. Petrus berpikir bahwa akhir zaman telah datang dan saatnya untuk mengalami istirahat kekal.Karena itu ia berinisiatif mendirikan tiga kemah: untuk Yesus, Musa dan Elia. Permintaan Petrus ditanggapi Allah dengan penampakan awan terang yang menaungi mereka. Maksudnya, Allah telah menyediakan bagi-Nya kemah abadi yang berasal dari surga, bercahaya cemerlang dan bukan buatan tangan manusia.
Dalam tradisi biblis “awan” merupakan tanda kehadiran Allah yang disertai dengan tanda-tanda surgawi lainnya. Berhadapan dengan Allah yang mendatanginya, manusia dicekam oleh pesona yangdahsyat namun sangat menakutkan (mysterium tremendum et fascinans). Tidak ada seorang manusia pun yang dapat melihat Allah dan tidak mati (Kel 19:21; 33;20; Im 16:2; Bil 4:20 dan Yes 6:5).
Dalam ay. 7 Yesus melakukan tindakan simbolik membangkitkan para murid yang telah “mati” dengan bersabda, “Berdirilah, jangan takut”. Kata “berdirilah” (atau “bangunlah”) menterjemahkan kata Yunani “egerthete” yang merupakan istilah tehnis untuk kebangkitan (seperti yang dilakukan-Nya kepada putri Yairus dalam Mat 9:26). Larangan agar tidak menceritakan peristiwa itu sebelum kebangkitan-Nya dimaksudkan untuk menghindari aneka spekulasi berkaitan dengan Mesias. Makna sejati kemesiasan Yesus baru dapat dipahami secara utuh setelah peristiwa sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya

07. Perjumpaan dengan Allah membuat manusia yang terdiri dari darah dan daging ini dibersihkan, diilahikan sehingga mampu menampilkan cahaya kemuliaan Allah. St. Paulus mengungkapkan keyakinannya, “kita semua mencerminkan kemuliaan Tuhan dengan muka yang tidak berselubung. Dan karena kemuliaan itu datangnya dari Tuhan yang adalah Roh, maka kita diubah menjadi serupa dengan gambar-Nya, dalam kemuliaan yang semakin besar.” (2 Kor 3:18). Manusia menjadi “stasiun pemancar” kemuliaan Allah bagi dunia. Itulah jati diri kita sebagai gambar dan rupa Allah. Bahkan semesta alam pun dirancang untuk memancarkan kemuliaan Allah, “Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya” (Mzm 19:2)
Kita bertugas membawakan Yang Ilahi dalam wujud manusiawi sehari-hari sebagaimana yang dilakukan Yesus. Dia menghadirkan Yang Ilahi dengan melayani kebutuhan orang-orang yang datang kepada-Nya, menyembuhkan, memberikan solusi atas pelbagai masalah kehidupan, bersimpati dan ikut terlibat dengan mereka yang harus menanggung beban hidup. Komitmen solidaritas dengan manusia berdosa memuncak dalam peristiwa salib.

08. Berkat pembabtisan kita diangkat menjadi anak kesayangan Allah. Status atau identitas itu merupakan anugerah semata-mata dan bukan karena jasa kita. Tugas dan tanggungjawab kita ialah agar status itu semakin terwujud secara konkret dalam hidup, artinya kita semakin pantas menyandang gelar itu. Dengan kata lain kita ditantang agar realitas obyektif itu (status sebagai harta kesayangan Allah) menjadi realitas subyektif yaitu bahwa kita sungguh layak menyandang status keputeraan itu.
Yesus sendiri telah memberi teladan bagaimana menjalani hidup sebagai orang yang dipilih, disayangi dan dikuduskan Allah. Di “gunung godaan” Yesus ditawari iblis segala kuasa dan kenikmatan dunia asal mau menyembahnya. Tetapi dengan tegas Yesus menolak. Di “gunung transfigurasi” Yesus justru menerima segala kuasa dan kemuliaan di surga dan di bumi karena ketaatan-Nya kepada Bapa. Di “gunung perutusan” (Mat 28:16) kuasa itu diberikan kepada kita untuk mengajar semua bangsa agar menjadi murid-Nya, menjadi anak kesayangan Allah.
Masa Prapaskah yang berciri ganda (sebagai kesempatan untuk memperbaharui semangat pembabtisan dan membangun sikap pertobatan) ini menjadi kesempatan bagi kita untuk memperbaharui hidup agar semakin pantas sebagai harta kesayangan (segullah) Allah sehingga dapat membagi berkat dan mengajak siapa pun untuk hidup sebagai anak kesayangan Allah.

09. Dalam bacaan I dikisahkan tentang Abraham yang menanggapi panggilan Allah untuk karya penyelamatan semua bangsa dengan kesadaran penuh sebagai orang yang dipilih Allah, disayangi dan dikuduskan. Bagi Yesus dan Abraham, status "harta kesayangan Allah" bukan hanya tempelan tetapi telah merasuk ke dalam tulang sumsum, jiwa dan kehidupan mereka. Cara Yesus dan Abraham berpikir serta bertindak telah dirasuki oleh Roh keputeraan itu.
Masalahnya sejauh manakah kita telah "menginternalisasi" status "segullah" dengan memberikan kesaksian dalam kehidupan yang nyata? Bagaimanakah masa Prapaskah ini menjadi kesempatan untuk meningkatkan kelayakan kita sebagai "harta kesayangan Allah"? Yesus setia dengan peran-Nya sebagai Anak Allah yang terkasih sampai pada akhir hidup-Nya. Antara Tabor dan Golgota telah ditunjukkan-Nya citra keputeraan itu secara konsekuen dan konsisten. Di perjalanan antara Tabor dan Golgota Yesus mengajar dan menyembuhkan banyak orang, Dia mengasihi dan menjadi pelayan setia bagi semua orang, dan masih ada banyak sekali karya keselamatan yang dilakukan-Nya dengan penuh kesetiaan.
Jalan antara Tabor dan Golgota bukanlah jalan yang lebar dan mudah, tetapi jalan sempit penuh bebatuan. Yesus mampu menempuh itu semua, sampai akhirnya membuat kepala pasukan (yang kafir itu) mengakui bahwa Dia sungguh-sungguh Anak Allah. Bukan dari "merknya" tetapi dari kesaksian hidup-Nya yang nyata.
Demikian pula jalan Abraham untuk menunjukkan jati dirinya sebagai pilihan Allah bukanlah jalan yang mudah. Kitapun demikian. Status "segullah" bagi kita bukanlah sesuatu yang begitu saja kita terima dan tidak memerlukan perjuangan apapun. Status itu perlu dibuktikan di dalam kehidupan nyata bahwa kita sungguh-sungguh pantas menjadi anak-anak Allah yang dikasihi-Nya, umat pilihan-Nya, bangsa yang kudus.

10.  Sepasang kakek dan nenek pergi belanja di sebuah toko
souvenir untuk mencari hadiah buat cucu mereka yang sedang berulang tahun. Saat mengamati aneka souvenir yang terpajang di etalase, mata mereka tertuju kepada sebuah cangkir yang cantik. "Lihat cangkir itu, bagus banget" kata si nenek kepada suaminya. "Kau benar, inilah cangkir tercantik yang pernah aku lihat," ujar si kakek. Saat mereka mendekati cangkir itu, tiba-tiba cangkir yang dimaksud berbicara, "Terima kasih untuk perhatian dan kekagumannya.
Perlu diketahui bahwa aku dulunya tidak cantik. Sebelum menjadi cangkir yang dikagumi, aku hanyalah seonggok tanah liat yang tidak berguna. Namun suatu hari ada seorang pengrajin dengan tangan kotor melempar aku ke sebuah roda berputar, lalu memutar-mutarku. Aku merasa sangat pusing. “Stop! Berhenti!” teriakku berkali-kali. Tetapi orang itu berkata, "Belum cukup". Lalu ia mulai menyodok dan meninjuku berulang-ulang. “Stop! Hentikan!”, teriakku lagi. Tapi orang ini masih saja meninjuku tanpa menghiraukan teriakanku. Bahkan lebih buruk lagi ia memasukkan aku ke dalam perapian. “Panas sekali. Aku tidak tahan. Cukup!”, teriakku semakin keras. Tapi orang ini berkata "Belum cukup".
Akhirnya ia mengangkat aku dari perapian itu dan membiarkan aku sampai dingin. Aku pikir, selesailah penderitaanku. Tapi ... oh ternyata belum. Setelah dingin aku diberikan kepada seorang wanita muda dan dan ia mulai mewarnai aku. Asap yang begitu memualkan menyesakkan dadaku. “Berhenti! Sudah cukup!” aku berteriak. Wanita itu berkata "Belum cukup". Lalu aku diberikan kepada seorang pria dan ia memasukkan aku lagi ke perapian yang lebih panas dari sebelumnya, “Tolong ... hentikan penyiksaan ini!” Sambil menangis aku berteriak sekuat-kuatnya. Tapi orang ini tidak peduli dengan teriakanku. Ia terus saja membakarku. Setelah puas "menyiksaku" kini aku dibiarkan dingin.
Setelah benar-benar dingin, seorang wanita cantik mengangkatku dan menempatkan aku dekat kaca. Aku melihat diriku. Aku terkejut sekali. Aku hampir tidak percaya, karena aku kini menjadi sebuah cangkir yang begitu cantik. Semua kesakitan dan penderitaanku yang lalu menjadi sirna tatkala kulihat diriku.
Jalan Salib merupakan jalan satu-satunya menuju kemuliaan kebangkitan. Bukan berarti kita mesti mencari-cari kesulitan karena senang dengan penderitaan. Tentu saja tidak! Meskipun tidak dicari, kesulitan hidup akan selalu kita alami. Kita harus menghadapinya dengan tenang dan tabah. Penderitaan atau kesulitan hidup menjadi cara Allah membentuk kita. Proses pembentukan itu memang sering menyakitkan. Tetapi setelah semua proses itu selesai kita akan melihat betapa cantiknya Allah membentuk kita. Di ujung jalan salib tersedia bagi kita kebangkitan dan kemuliaan yang membahagiakan.
Berkah Dalem.


NB:
Teks Inji Mat 17:1-9
17:1 Enam hari kemudian Yesus membawa Petrus, Yakobus dan Yohanes saudaranya, dan bersama-sama dengan mereka Ia naik ke sebuah gunung yang tinggi. Di situ mereka sendiri saja. 17:2 Lalu Yesus berubah rupa di depan mata mereka; wajah-Nya bercahaya seperti matahari dan pakaian-Nya menjadi putih bersinar seperti terang. 17:3 Maka nampak kepada mereka Musa dan Elia sedang berbicara dengan Dia. 17:4 Kata Petrus kepada Yesus: "Tuhan, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Jika Engkau mau, biarlah kudirikan di sini tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia." 17:5 Dan tiba-tiba sedang ia berkata-kata turunlah awan yang terang menaungi mereka dan dari dalam awan itu terdengar suara yang berkata: "Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan, dengarkanlah Dia." 17:6 Mendengar itu tersungkurlah murid-murid-Nya dan mereka sangat ketakutan. 17:7 Lalu Yesus datang kepada mereka dan menyentuh mereka sambil berkata: "Berdirilah, jangan takut!" 17:8 Dan ketika mereka mengangkat kepala, mereka tidak melihat seorang pun kecuali Yesus seorang diri. 17:9 Pada waktu mereka turun dari gunung itu, Yesus berpesan kepada mereka: "Jangan kamu ceriterakan penglihatan itu kepada seorang pun sebelum Anak Manusia dibangkitkan dari antara orang mati."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar