Ads 468x60px

10 Jalan Cinta Orang Jawa


HIK – HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
LOCAL WISDOM
10 Jalan Cinta Orang Jawa
Dalam ber-filosofi, orang Jawa seringkali menggunakan unen-unen untuk menata hidup manusia. Makna dari ungkapan-ungkapan Jawa ini seringkali tidak dipahami oleh sebagian besar keturunan etnis Jawa di era modern ini. Maka tidak salah, jika muncul sebutan, "Wong Jowo sing ora njawani".
Filosofi Jawa kadang dinilai sebagai hal yang kuno dan ketinggalan jaman. Padahal, filosofi leluhur tersebut berlaku terus sepanjang hidup. Warisan budaya pemikiran orang Jawa ini bahkan mampu menambah wawasan kebijaksanaan.
Berikut 10 dari sekian banyak falsafah yang menjadi pedoman hidup orang Jawa.
1. Urip Iku Urup
Hidup itu Nyala, Hidup itu hendaknya memberi manfaat bagi orang lain disekitar kita, semakin besar manfaat yang bisa kita berikan tentu akan lebih baik.
2. Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara
Manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak.
3. Sura Dira Jaya Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti
segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati dan sabar.
4. Ngluruk Tanpa Bala, Menang Tanpa Ngasorake, Sekti Tanpa Aji-Aji, Sugih Tanpa Bandha
Berjuang tanpa perlu membawa massa. Menang tanpa merendahkan atau mempermalukan. Berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan, kekuatan,kekayaan atau keturunan. Kaya tanpa didasari kebendaan.
5. Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan
Jangan gampang sakit hati manakala musibah menimpa diri. Jangan sedih manakala kehilangan sesuatu.
6. Aja Gumunan, Aja Getunan, Aja Kagetan, Aja Aleman
Jangan mudah terheran-heran. Jangan mudah menyesal. Jangan mudah terkejut-kejut. Jangan mudah ngambeg, jangan manja.
7. Aja Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman
Janganlah terobsesi atau terkungkung oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan duniawi.
8. Aja Kuminter Mundak Keblinger, Aja Cidra Mundak Cilaka
Jangan merasa paling pandai agar tidak salah arah. Jangan suka berbuat curang agar tidak celaka.
9. Aja Milik Barang Kang Melok, Aja Mangro Mundak Kendo
Jangan tergiur oleh hal-hal yang tampak mewah, cantik, indah; Jangan berfikir mendua agar tidak kendor niat dan kendor semangat.
10. Aja Adigang, Adigung, Adiguna
Jangan sok kuasa, sok besar, sok sakti.
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
NB:
A.
SERI KEARIFAN LOKAL
• Alon-alon waton klakon
Filosofi ini sebenarnya berisikan pesan tentang safety. Padahal kandungan maknanya sangat dalam. Filosofi ini mengisyaratkan tentang kehati-hatian, waspada, istiqomah, keuletan, dan yang jelas tentang safety.
• Nrimo ing pandum
Arti yang mendalam menunjukan pada sikap Kejujuran, keiklasan, ringan dalam bekerja dan ketidakinginan untuk korupsi. Inti filosofi ini adalah Orang harus iklas menerima hasil dari usaha yang sudah dia kerjakan.
• Saiki jaman edan yen ora edan ora komanan, sing bejo sing eling lan waspodo.
Hanya orang yang ingat kepada Allah (disini saja juga tidak cukup) dan waspada terhadap duri-duri kehidupan yang setiap saat bisa datang dan menghujam kehidupan, sehingga bisa mengakibatkan musibah yang berkepanjangan.
• Mangan ora mangan sing penting ngumpul’
‘Makan tidak makan yang penting kumpul’. Filosofi ini adalah sebuah peribahasa. Kalimat peribahasa tidaklah tepat kalau diartikan secara aktual. Filosofi ini sangat penting bagi kehidupan berdemokrasi. Kalau bangsa kita mendasarkan demokrasi dengan falsafah diatas saya yakin negara kita pasti akan aman, tentram dan sejahtera.’Mangan ora mangan’ melambangkan eforia demokrasi, yang mungkin satu pihak mendapatkan sesuatu (kekuasaan) dan yang lain pihak tidak. Yg tdk dapat apa-apa tetap legowo. ‘Sing penting ngumpul’ melambangkan berpegang teguh pada persatuan, yang artinya bersatu untuk tujuan bersama. Saya pikir Filosofi ‘Mangan ora mangan sing penting kumpul’ adalah filosofi yang cocok yang bisa mendasari kehidupan demokrasi bangsa Indonesia agar tujuan bangsa ini tercapai.
• Wong jowo ki gampang di tekuk-tekuk.
Filosofi ini juga berupa ungkapan peribahasa yang dalam bahasa Indonesia adalah ‘Orang Jawa itu mudah ditekuk-tekuk’. Ungkapan ini menunjukan fleksibelitas dari orang jawa dalam kehidupan. Kemudahan bergaul dan kemampuan hidup di level manapun baik miskin, kaya, pejabat atau pesuruh sekali pun. Orang yang memegang filosofi ini akan selalu giat bekerja dan selalu ulet dalam meraih cita-citanya.
Tambahan:
1. Memayu hayuning bawana (melindungi bagi kehidupan dunia)
2. Sukeng tyas yen den hita (suka/bersedia menerima nasihat, kritik, tegoran)
3. Jer basuki mawa beya (keberhasilan seseorang diperoleh dengan pengorbanan)
4. Ajining dhiri dumunung ing kedhaling lathi (nilai diri seseorang terletak pada gerak lidahnya)
5. Ajining sarira dumunung ing busana (nilai badaniah seseorang terletak pada pakaiannya)
6. Amemangun karyenak tyasing sesama (membuat enaknya perasaan orang lain)
7. Kridhaning ati ora bisa mbedhah kuthaning pasthi (Gejolak jiwa tidak bisa merubah kepatian)
8. Budi dayane manungsa ora bisa ngungkuli garise Kang Kuwasa (Budi daya manusia tidak bisa mengatasi takdir Yang Maha Kuasa)
9. Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti (kemarahan dan kebencian akan terhapus/hilang oleh sikap lemah lembut)
10. Tan ngendhak gunaning janma (tidak merendahkan kepandaian manusia)
Sebenarnya, masih banyak filsafat-filsafat jawa yang lain. Satu hal yang harus diingat, mempelajari kebudayaan suatu daerah bukan berarti kita menjadi “rasis” atau fanatik kedaerahan, namun itu semua sebagai wujud pertanggung jawaban kita terhadap peninggalan nenek moyang bangsa kita. Dan juga melestarikan kebudayan daerah bukan hanya menjadi tanggung jawab warga daerah tersebut. Tetapi juga menjadi tanggung jawab kita semua.. (ingat semboyan bangsa kita “Bhineka Tunggal Ika”…..). Bangsa yang besar bukan hanya bangsa yang hidup modern, tetapi juga bangsa yang mampu hidup modern tanpa meninggalkan ajaran dan nilai luhur kebudayaannya.
B.
"Serat Wulangreh"
1). Mingkar mingkuring angkara,
Akarana karanan mardi siwi,
Sinawung resmining kidung,
Sinuba sinukarta,
Mrih kretarta pakartining ngelmu luhung
Kang tumrap neng tanah Jawa,
Agama ageming aji.
Menahan diri dari nafsu angkara,
karena berkenan mendidik putra
disertai indahnya tembang,
dihias penuh variasi,
agar menjiwai tujuan ilmu luhur,
yang berlaku di tanah Jawa (nusantara)
agama sebagai “pakaian”nya perbuatan.
2). Jinejer neng Wedatama
Mrih tan kemba kembenganing pambudi
Mangka nadyan tuwa pikun
Yen tan mikani rasa,
yekti sepi asepa lir sepah, samun,
Samangsane pasamuan
Gonyak ganyuk nglilingsemi.
Disajikan dalam serat Wedatama,
agar jangan miskin pengetahuan
walaupun tua pikun
jika tidak memahami rasa (sirullah)
niscaya sepi tanpa guna
bagai ampas, percuma,
pada tiap pertemuan
sering bertindak ceroboh, memalukan.
3). Nggugu karsaning priyangga,
Nora nganggo peparah lamun angling,
Lumuh ing ngaran balilu,
Uger guru aleman,
Nanging janma ingkang wus waspadeng semu
Sinamun ing samudana,
Sesadon ingadu manis
Mengikuti kemauan sendiri,
Bila berkata tanpa pertimbangan (asal bunyi),
Tak mau dianggap bodoh,
Asal gemar dipuji-puji.
(sebaliknya) Ciri orang yang sudah cermat akan ilmu
justru selalu merendah diri,
selalu berprasangka baik.
4). Si pengung nora nglegawa,
Sangsayarda deniro cacariwis,
Ngandhar-andhar angendhukur, Kandhane nora kaprah,
saya elok alangka longkanganipun,
Si wasis waskitha ngalah,
Ngalingi marang si pingging.
Si dungu tidak menyadari,
Bualannya semakin menjadi jadi,
ngelantur bicara yang tidak-tidak,
Bicaranya tidak masuk akal,
makin aneh tak ada jedanya.
Lain halnya, Si Pandai cermat dan mengalah,
Menutupi aib si bodoh.
5). Mangkono ngelmu kang nyata,
Sanyatane mung weh reseping ati,
Bungah ingaran cubluk,
Sukeng tyas yen denina,
Nora kaya si punggung anggung gumrunggung
Ugungan sadina dina
Aja mangkono wong urip.
Demikianlah ilmu yang nyata,
Senyatanya memberikan ketentraman hati,
Gembira dibilang bodoh,
Tetap gembira jika dihina
Tidak seperti si dungu yang selalu sombong,
Ingin dipuji setiap hari.
Janganlah begitu caranya orang hidup.
6). Urip sepisan rusak,
Nora mulur nalare ting saluwir,
Kadi ta guwa kang sirung,
Sinerang ing maruta,
Gumarenggeng anggereng
Anggung gumrunggung,
Pindha padhane si mudha,
Prandene paksa kumaki.
Hidup sekali saja berantakan,
Tidak berkembang nalarnya tercabik-cabik.
Umpama goa gelap menyeramkan,
Dihembus angin,
Suaranya gemuruh menggeram,
berdengung
Seperti halnya watak anak muda
Sedah begitu masih berlagak congkak.
7). Kikisane mung sapala,
Palayune ngendelken yayah wibi,
Bangkit tur bangsaning luhur,
Lha iya ingkang rama,
Balik sira sarawungan bae durung
Mring atining tata krama,
Nggon anggon agama suci.
Tujuan hidupnya tak berarti,
Maunya mengandalkan orang tuanya,
Yang terpandang serta bangsawan
Itu kan ayahmu !
Sedangkan kamu kenal saja belum,
akan hakikatnya tata krama
ajaran agama yang suci
8). Socaning jiwangganira,
Jer katara lamun pocapan pasthi,
Lumuh asor kudu unggul,
Semengah sesongaran,
Yen mangkono keno ingaran katungkul,
Karem ing reh kaprawiran,
Nora enak iku kaki.
Cerminan dari dalam jiwa raga mu,
Nampak jelas walau tutur kata halus,
Sifat pantang kalah maunya menang sendiri
Sombong besar mulut
Bila demikian itu, disebut orang yang terlena
Puas diri berlagak tinggi
Tidak baik itu nak !
9). Kekerane ngelmu karang,
Kekarangan saking bangsaning gaib,
Iku boreh paminipun,
Tan rumasuk ing jasad,
Amung aneng sajabaning daging kulup,
Yen kapengok pancabaya,
Ubayane mbalenjani.
Di dalam ilmu sihir
Rekayasa dari hal-hal gaib
Itu umpama bedak.
Tidak meresap ke dalam jasad,
Hanya ada di kulitnya saja nak
Bila terbentur marabahaya,
bisanya menghindari.
10). Marma ing sabisa-bisa,
Bebasane muriha tyas basuki,
Puruita-a kang patut,
Lan traping angganira,
Ana uga angger ugering kaprabun,
Abon aboning panembah,
Kang kambah ing siyang ratri.
Karena itu sebisa-bisanya,
Bahasanya, upayakan berhati baik
Bergurulah secara baik
Yang sesuai dengan dirimu
Ada juga peraturan dan pedoman bernegara,
Menjadi syarat bagi yang berbakti,
yang berlaku siang malam.
11). Iku kaki takok-eno,
marang para sarjana kang martapi
Mring tapaking tepa tulus,
Kawawa nahen hawa,
Wruhanira mungguh sanyataning ngelmu
Tan mesthi neng janma wredha
Tuwin mudha sudra kaki.
Itulah nak, tanyakan
Kepada para sarjana yang menimba ilmu
Kepada jejaknya para suri tauladan yang benar,
dapat menahan hawa nafsu
Pengetahuanmu adalah senyatanya ilmu,
Tidak mesti dikuasai orang tua,
Bisa juga bagi yang muda atau miskin, nak !
12). Sapantuk wahyuning Gusti Allah,
Gya dumilah mangulah ngelmu bangkit,
Bangkit mikat reh mangukut,
Kukutaning jiwangga,
Yen mengkono kena sinebut wong sepuh,
Lire sepuh sepi hawa,
Awas roroning atunggil
Siapapun yang menerima wahyu Tuhan,
Dengan cemerlang mencerna ilmu tinggi,
Mampu menguasai ilmu kasampurnan,
Kesempurnaan jiwa raga,
Bila demikian pantas disebut “orang tua”.
Arti “orang tua” adalah tidak dikuasai hawa nafsu
Paham akan dwi tunggal (menyatunya sukma dengan Tuhan)
13). Tan samar pamoring sukma,
Sinuksmaya winahya ing ngasepi,
Sinimpen telenging kalbu,
Pambukaning warana,
Tarlen saking liyep layaping aluyup,
Pindha pesating sumpena,
Sumusuping rasa jati.
Tidak lah samar menyatunya sukma,
Meresap terpatri dalam semadi,
Diendapkan dalam lubuk hati
menjadi pembuka tirai,
Tidak lain berawal dari keadaan antara sadar dan tiada
Seperti terlepasnya mimpi
Merasuknya rasa yang sejati.
14). Sejatine kang mangkana,
Wus kakenan nugrahaning Hyang Widhi,
Bali alaming ngasuwung,
Tan karem karameyan,
Ingkang sipat wisesa winisesa wus,
Mulih mula mulanira,
Mulane wong anom sami.
Sebenarnya yang demikian itu sudah mendapat anugrah Tuhan,
Kembali ke “alam kosong”,
tidak mengumbar nafsu duniawi,
yang bersifat kuasa menguasai. Kembali ke asal mula.
Oleh karena itu,
wahai anak muda sekalian…
Serat Wulangreh, Yasa Dalem KGPAA. Mangkunegara IV ing Puro Mangkunegoro Soerakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar