HARAPAN IMAN KASIH
SERI DOMINIKAN 2
Audiensi Umum Paus Benediktus XVI tentang Ordo Fransiskan dan Dominikan
Saudara-saudari terkasih,
Pada permulaan tahun baru, mari kita memandang sejarah Kekristenan, untuk melihat bagaimana sejarah berkembang dan bagaimana ia dapat diperbaharui.
Sejarah menunjukkan bahwa orang kudus, yang dibimbing oleh terang Allah, merupakan pembaharu kehidupan Gereja dan masyarakat yang otentik. Sebagai guru, dengan perkataan, kesaksian, dan teladan mereka, mereka dapat mendorong pembaharuan gerejawi yang stabil dan mendalam karena mereka sendiri diperbaharui secara mendalam, mereka bersentuhan dengan kebaruan yang nyata: kehadiran Allah di dunia.
Realita yang menghibur ini—yaitu, bahwa dalam setiap generasi, orang kudus lahir dan membawa kreativitas pembaharuan—mereka terus menerus menemani sejarah Gereja di tengah aspek-aspek yang menyedihkan dan negatif, yang Gereja temui di jalan yang ditempuhnya.
Memang, abad demi abad, kita juga melihat kelahiran daya pembaharu dan reformasi, karena kebaruan Allah tiada habisnya dan selalu memberikan kekuatan baru untuk melangkah maju.
Hal ini juga terjadi di abad ke-13, dengan kelahiran dan perkembangan ordo mendikan yang luar biasa: mereka merupakan teladan penting dalam pembaharuan di periode sejarah yang baru.
Mereka diberi nama [mendikan] karena cirinya yang “meminta-minta”, dengan kata lain, secara rendah hati meminta dukungan finansial kepada orang-orang untuk mendukung mereka menghidupi kaul kemiskinan dan melaksanakan misi penginjilan atau evangelisasi mereka.
Ordo mendikan yang paling terkenal dan penting, yang lahir dalam periode ini adalah Saudara Dina (Friars Minor) dan Saudara Pewarta (Friars Preachers), yang dikenal dengan nama Fransiskan dan Dominikan. Dengan demikian mereka dikenal dengan nama pendiri mereka, yakni Fransiskus dari Assisi dan Dominikus de Guzmán.
Dua santo yang agung ini mampu membaca “tanda-tanda zaman” secara cerdas, mampu memahami tantangan yang wajib dihadapi Gereja di masa mereka.
Tantangan pertama ialah perluasan berbagai kelompok dan gerakan umat beriman yang, sekalipun diilhami oleh keinginan yang sah akan kehidupan Kristiani yang otentik, namun kerap kali menempatkan diri mereka di luar persekutuan gerejawi.
Mereka sangat menentang kekayaan dan keindahan Gereja yang berkembang persis bersamaan dengan bertumbuhnya monastisisme. Dalam Katekese belakangan ini saya telah merenungkan komunitas monastik Cluny, yang selalu menarik orang muda, dan karenanya merupakan daya yang penting, dan juga yang memiliki properti dan kekayaan.
Maka, pada tahap pertama, secara logis, sebuah Gereja berkembang, kekayaannya terdapat pada properti dan juga dalam bangunan. Gagasan bahwa Kristus turun ke bumi sebagai orang miskin dan bahwa Gereja sejati haruslah menjadi Gereja yang miskin bertentangan dengan Gereja ini. Hasrat untuk otentisitas Kristiani yang sejati, dengan demikian, bertentangan dengan realita Gereja empiris.
Inilah yang disebut dengan gerakan fakir miskin (paupers’ movement) di Abad Pertengahan. Mereka sangat menentang gaya hidup imam dan rahib pada masa itu, dengan menuduh mereka mengkhianati Injil dan tidak menjalankan kemiskinan seperti umat Kristen perdana, dan gerakan-gerakan ini melawan pelayanan Uskup dengan “hirarki paralel” mereka.
Lebih lanjut, untuk membenarkan keputusan mereka, mereka menyebarkan ajaran yang bertentangan dengan iman Katolik. Misalnya, gerakan Kathar atau Albigensian mengajukan ulang kesesatan kuno—seperti rasa hina dan jijik terhadap dunia material—perlawanan terhadap kekayaan segera menjadi perlawanan terhadap realita material yang demikian, penyangkalan kehendak bebas, dan selanjutnya, dualisme, yakni keberadaan prinsip kejahatan kedua yang setara dengan Allah.
Gerakan ini memperoleh lahannya, secara khusus di Prancis dan Italia, bukan hanya karena organisasi mereka yang kokoh tetapi juga karena mereka menanggalkan kekacauan nyata di dalam Gereja, yang disebabkan oleh perilaku beberapa anggota klerus yang tidak layak diteladani.
Ordo Fransiskan dan Dominikan, yang mengikuti jejak langkah Pendiri mereka, menampilkan hal yang sebaliknya, yaitu bahwa mungkin sekali menghidupi kemiskinan evangelis, kebenaran Injil yang demikian, tanpa memisahkan diri dari Gereja. Mereka memperlihatkan bahwa Gereja tetaplah rumah yang benar dan otentik bagi Injil dan Kitab Suci.
Dominikus dan Fransiskus memperoleh kuasa kesaksian mereka persis melalui persekutuan yang erat dengan Gereja dan Kepausan. Melalui keputusan yang orisinil secara utuh dalam sejarah hidup bakti anggota-anggota Ordo ini, tidak hanya mereka meninggalkan kepemilikan mereka, sebagaimana yang dilakukan rahib di masa lampau, tetapi bahkan mereka tidak menginginkan tanah mereka atau harta benda mereka diserahkan kepada komunitas mereka.
Dengan melakukan ini mereka ingin menjadi saksi akan kehidupan yang sangat sederhana, yang menampilkan solidaritas kepada orang miskin dan hanya percaya pada Penyenggaraan Ilahi, menghidupi Penyelenggaraaan Ilahi setiap harinya, dengan penuh keyakinan mempercayakan diri mereka ke dalam tangan Allah.
Gaya Ordo Mendikan yang personal dan berciri komunitas ini, bersama dengan ketaatan total terhadap ajaran dan otoritas Gereja, secara mendalam diapresiasi oleh Paus pada masa itu, seperti Paus Innosensius III dan Honorius III, yang memberikan dukungan penuh mereka kepada pengalaman gerejawi yang baru, dengan mengakui adanya suara Roh di dalam mereka.
Dan hasilnya pun jelas terlihat: kelompok fakir miskin yang telah memisahkan diri dari Gereja, akhirnya kembali pada persekutuan gerejawi atau secara bertahap jumlah mereka berkurang hingga mereka tidak ada lagi.
Kini juga, sekalipun kita hidup dalam masyarakat, yang mana “memiliki” kerap kali mendominasi daripada “mengada”, kita sangat sensitif terhadap teladan kekudusan dan solidaritas yang dipersembahkan umat beriman melalui keputusan mereka yang berani.
Kini juga, proyek yang sama pun tak kurang jumlahnya: gerakan-gerakan, yang sungguh berasal dari kebaruan Injil dan menghidupi Injil dengan radikalisme di hari dan jaman ini, mereka menempatkan diri mereka dalam tangan Allah untuk melayani sesama mereka.
Seperti yang dikatakan Paus Paulus VI dalam Evangelii Nuntiandi, dunia mendengarkan dengan rela kepada para guru, ketika mereka juga merupakan para saksi. Ini adalah pelajaran yang tak pernah boleh dilupakan dalam tugas penyebaran Injil: untuk menjadi cermin yang memantulkan kasih ilahi, seseorang pertama-tama harus menghidupi apa yang ia wartakan.
Fransiskan dan Dominikan bukan hanya saksi tetapi juga guru.
Sesungguhnya, kebutuhan lain yang meluas di masa mereka ialah perlunya pengajaran religius. Banyak umat beriman awam yang berdiam dalam kota yang berkembang dengan cepat, yang ingin menghidupi kehidupan rohani Kristen secara intens. Dengan demikian mereka berupaya memperdalam pengetahuan iman mereka dan membiarkan diri mereka dibimbing dalam jalan kekudusan yang menuntut namun menggairahkan.
Ordo Mendikan mampu memenuhi kebutuhan ini dengan sangat tepat: pewartaan Injil dalam kesederhanaan dan dengan kedalaman serta keagungannya merupakan sebuah tujuan, barangkali merupakan tujuan utama gerakan ini. Sungguh, mereka membaktikan diri dengan semangat yang membara untuk mewartakan Injil.
Kerumunan umat beriman dalam jumlah besar, kerap kali keramaian yang layak dan sejati, akan berkumpul bersama untuk mendengarkan para pewarta di dalam gereja dan di tempat terbuka; marilah kita memikirkan, misalnya, St. Antonius.
Ia membicarakan topik yang erat kaitannya dengan hidup banyak orang, khususnya praktik kebajikan teologis dan moral, dengan teladan konkret yang mudah dipahami. Mereka juga diajarkan cara untuk menanamkan kehidupan doa dan devosi.
Misalnya, Fransiskan menyebarluaskan devosi kepada kemanusiaan Kristus, dengan komitmen meneladani Tuhan Yesus. Oleh sebab itu, hampir tak mengejutkan bahwa banyak umat beriman, pria dan wanita, memilih untuk ditemani oleh Saudara Fransiskan dan Dominikan dalam perjalanan Kristiani mereka, yang begitu dicari dan dihormati sebagai pembimbing rohani dan bapa pengakuan atau pengaku iman (confessors). Dalam cara ini, asosiasi kaum awam umat beriman lahir, yang memperoleh inspirasi mereka dari spiritualitas St. Fransiskus dan Dominikus yang disesuaikan dengan cara hidup mereka.
Dengan kata lain, anjuran “kekudusan bagi kaum awam” memikat banyak orang. Seperti yang disebutkan Konsili Ekumenis Vatikan II, panggilan kepada kekudusan tidak dikhususkan pada segelintir orang tetapi bersifat universal (bdk. Lumen Gentium, no. 40).
Dalam segala kondisi kehidupan, seturut dengan tuntutan tiap orang, kemungkinan menghidupi Injil tetap dapat ditemukan. Pada masa kita juga, tiap dan seluruh orang Kristen harus berjuang bagi “standar hidup Kristen yang tinggi”, apapun kelompok sosial mereka!
Pentingnya ordo mendikan, dengan demikian, bertumbuh dengan penuh semangat dalam Abad Pertengahan sehingga institusi sekuler, seperti organisasi pekerja, serikat kuno dan otoritas sipil sendiri, seringkali meminta bantuan nasihat rohani kepada para anggota ordo mendikan, untuk menetapkan regula mereka, dan terkadang, untuk menyelesaikan konflik internal dan eksternal.
Fransiskan dan Dominikan menjadi sosok yang membangkitkan kota abad pertengahan secara rohani. Dengan tilikan mendalam, mereka melaksanakan strategi pastoral yang disesuaikan dengan perubahan sosial. Karena banyak orang berpindah dari pedesaan ke kota, mereka tidak lagi membangun biara mereka di kawasan pedesaan melainkan di wilayah perkotaan.
Terlebih, untuk melaksanakan aktivitas mereka demi keuntungan jiwa-jiwa, mereka harus memperhatikan kebutuhan pastoral. Melalui keputusan yang sangat inovatif, ordo mendikan melepaskan prinsip stabilitas mereka, yakni prinsip klasik monastisisme kuno, dan memilih pendekatan berbeda.
Saudara Dina dan Pewarta melakukan perjalanan dengan semangat misionaris dari satu tempat ke tampat lain. Konsekuensinya, mereka menata diri mereka secara berbeda bila dibandingkan dengan mayoritas ordo monastik.
Bukannya otonomi tradisional yang dinikmati setiap biara, melainkan mereka memberikan makna yang lebih besar kepada Ordo sedemikian rupa dan kepada Superior Jenderal, juga kepada struktur Provinsi.
Jadi, kaum mendikan lebih terbuka kepada kebutuhan Gereja Universal. Fleksibilitas mereka memampukan mereka mengutus para saudara yang layak dalam misi khusus, dan ordo mendikan menjangkau Afrika Utara, Timur Dekat, dan Eropa Utara.
Dengan adaptabilias ini, dinamisme misionaris mereka diperbarui. Perubahan budaya yang terjadi dalam periode ini memunculkan tantangan besar lainnya. Persoalan baru menghidupkan diskusi di universitas yang lahir di akhir abad ke-12. Saudara Dina dan Pewarta tidak ragu mengemban komitmen ini.
Sebagai murid dan profesor mereka memasuki universitas paling terkenal pada waktu ini, mendirikan pusat studi, menghasilkan teks dengan nilai yang tinggi, memberikan hidup bagi aliran pemikiran yang benar dan layak, mereka merupakan tokoh utama dalam teologi skolastik pada periode terbaiknya dan memberikan pengaruh penting dalam perkembangan pemikiran.
Pemikir terbesar ordo mendikan, St. Thomas Aquinas dan St. Bonaventura, bekerja dengan dinamisme ini, yakni dinamisme evangelisasi baru yang juga membarui keberanian pemikiran, keberanian untuk berdialog antara akal budi dan iman.
Kini juga, “kasih bagi dan dalam kebenaran” itu ada, sebuah “kasih intelektual” yang harus dilaksanakan untuk menerangi pikiran dan memadukan iman dengan budaya.
Dedikasi Ordo Fransiskan dan Dominikan pada universitas abad pertengahan merupakan sebuah undangan, saudara-saudari terkasih, untuk menghadirkan diri kita di tempat ketika pengetahuan dilunakkan untuk memberikan fokus kepada terang Injil, dengan rasa hormat dan keyakinan, mengenai pertanyaan hakiki mengenai Manusia, martabatnya dan takdir abadinya.
Dengan merenungkan peran Ordo Fransiskan dan Dominikan di Abad Pertengahan, merenungkan pembaruan rohani yang mereka ilhami dan dengan merefleksikan nafas hidup baru yang mereka sampaikan di dalam dunia, seorang rahib berkata:
“Pada waktu itu dunia menjadi tua. Dua Ordo lahir di dalam Gereja, yang masa mudanya mereka perbarui bagaikan rajawali” (Burchard of Ursperg, Chronicon).
Saudara-saudari terkasih, pada permulaan tahun ini, mari kita memanggil Roh Kudus, masa muda Gereja yang kekal: semoga Ia membuat setiap orang menyadari kebutuhan mendesak untuk memberikan kesaksian Injil yang konsisten dan penuh keberanian, sehingga dapat selalu ada orang kudus yang menjadikan Gereja kian gemerlap, seperti seorang mempelai, selalu murni dan indah, tanpa noda atau kerutan, yang secara tak tertahankan dapat menarik dunia kepada Kristus dan keselamatan-Nya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar