Ads 468x60px

LIVE IN DAN PENDIDIKAN KARAKTER REMAJA.


LIVE IN DAN PENDIDIKAN KARAKTER REMAJA.
“..Anak dara usia belasan
Mengapa hanya padamu….
Gita batin biasanya mendayu
Jadi sumbang tak tentu lagu…
Merekah ketika saatnya berbunga
Manis sealun nada riangku..”
Sejak Abad Pertengahan, pokok pedagogi orang muda dirumus-sarikan oleh Cassiodorus sebagai artes liberales, yang terdiri dari trivium (gramatika, retorika dan dialektika) dan quadrivium (aritmetika, geometri, musik dan astronomi). Dari sinilah, carut marut dunia pedagogi kita hingar bingar dengan aneka cara berpikir dengan budi, entah secara rasional, reflektif, dialektis, ataupun inklusif.
Berpikir rasional:
Rasio digunakan sebagai alat pemecahan persoalan hidup manusia.
Berpikir reflektif:
Kemampuan refleksi untuk menolong orang sadar akan adanya. Dengan kesadaran reflektif, ia terbantu untuk menata hidup lebih baik dari hari ke hari. Berpikir reflektif ini juga dapat tampil sebagai kawan bagi kesadaran praktis (mekanis).
Berpikir dialektis-inklusif:
Inilah sebuah cara berpikir secara “tesis-antitesis-sintesis” dan seterusnya (sintesis menjadi tesis baru yang perlu diantitesis), yang mensyaratkan inklusivitas.
Di lain matra, dalam bahasa Giddens, di tengah konteks dunia yang berlari tunggang langgang, bahkan dunia yang lepas kendali ini (runaway world), mengacu pada Marcuse, manusia itu makhluk multi-dimensi, maka berpikir dengan budi tidaklah cukup.
Tercandra, perlunya keseimbangan dialektis antara berpikir dengan budi dan berpikir dengan hati, karena hati dapat menyingkap kedalaman sekaligus keluasan suatu realitas. Demikianlah gagasan Blaise Pascal tentang le coeur (hati).
Sehubungan dengan itu, lewat hadirnya banyak remaja SMA yang diajak mengalami live in di desa serta menuliskan kisah narasinya, terdapatlah empat metode konkret untuk semakin mendorong pelbagai upaya habitus berpikir dengan hati, al:
Pertama, iklim dialog (diskursus).
Sebelum acara live-in, mereka diajak dan didorong serta dibiasakan untuk berpikir dan mengemukakan gagasannya, dalam bahasa Habermas, “diskursus, perbincangan bersama”. Yah, tentunya secara lisan kepada orang di sekitarnya (guru, orangtua dan teman).
Jelasnya, ada diskursus, yang dilandasi keterbukaan antara guru dan murid, antara orang tua dan anak. Ketika live-in, mereka juga ditantang untuk bisa berbicang dengan ‘tuan rumah’ yang mereka tempati. Menyitir Socrates, bukankah, dalam diri setiap orang ada rahim kebenaran yang perlu terus “dipancing” supaya dari situ lahirlah butir-butir kebenaran?
Kedua, menulis.
Setelah live-in, mereka didorong oleh para gurunya untuk menuliskan percak-percik pengALAMan selama menjalani proses. Kompilasi narasi ini sendiri bisa berangkat dari proses sederhana supaya local wisdom (kearifan lokal) yang tersebar-pencar ini bisa dibukukan, tanpa bermaksud mem”BAKU”kan, apalagi mem”BEKU”kannya sama sekali.
Dengan menulis, bukankah kita juga dipacu untuk menyusun gagasan dalam alur logika yang clara et disctinta, jelas dan terpilah-pilah? Baiklah kita ingat juga kelakar seorang Pramoedya Ananta Toer, “orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Tentunya, untuk menulis, diperlukan pula habitus membaca, bukan?
Ketiga, mencintai seni.
Bagi seorang Antonio Gramsci, pendidikan yang semata-mata didedikasikan demi kepentingan industri, adalah pendidikan yang berat sebelah. Maka, perlulah pendidikan dibarengi dengan kedekatan pada ranah seni (musik, lukis, teater, vokal, dll). Seni mengajak kita untuk mengolah hati dan semakin peka diri (3 C: Conscience, Competence, dan Compassion). Hal ini diperlukan demi pembentukan karakter yang utuh dan menyeluruh. Diharapkan, orang semakin masuk ke dalam jati dirinya yang otentik. Itu sebabnya, di sela-sela kesibukan nyantrik di desa, mereka juga diajak mengisi koor di Gereja dan menyiapkan acara kreatif bersama pada malam terakhir di desa tersebut.
Keempat, live-in.
Menurut Jean-Francis Lyotard , efektivitas telah menjadi roh bagi masyarakat yang berteknologi maju. Tapi, lewat live-in inilah, afektivitas menjadi lebih bermakna. Artinya, belajar hidup dalam lingkungan yang “asing”, dalam keterasingan dan ketidakberdayaan, untuk lebih mengenal diri dan the others (sesama, alam, Tuhan), terutama untuk membentuk hati yang mencinta, yang afektif-dan bukan melulu efektif.
Lebih dari itu, metode ini harus dijauhkan dari metode yang indoktrinatif-sentralistik, yang hanya “mencetak” pribadi mekanis. Dengan demikian, menjadi orang yang berilmu, bukanlah demi kepentingan praktis. Tapi, memiliki nilai pada dirinya sendiri. Meminjam istilah Henry Newman, “…pengetahuan itu bernilai karena ia ada dan hadir didalam diri kita, meski ia sama sekali tidak digunakan untuk kepentingan apapun, atau bahkan jika tidak diarahkan demi tujuan tertentu ” : Tempora mutantur et nos mutamur in illis.
Waktu berubah dan kita pun berubah seiring dengannya.
Akhirulalam
Seorang murid berkeluh kesah kepada Gurunya: “Guru….guru menuturkan banyak cerita, tetapi tidak pernah menerangkan makna cerita tersebut kepada kami semua!!”
Jawab sang Guru bijak:
“Bagaimana pendapatmu, Nak….., andaikata seseorang menawarkan buah kepadamu, namun mengunyahkannya dahulu bagimu……?”
Dari penggalan cerita di atas, kita bisa mencandra seorang atheis sekaligus penulis kontemporer, Iris Murdoch (1919—1999), dalam bukunya The Sovereignty of Good, yang menekankan pentingnya sikap yang mau “mengunyah-kunyah” pengalaman menjadi pemaknaan penuh perHATIan dalam mengambil sikap.
Ia menyatakan bahwa dengan memandang “pengalaman“ dengan penuh “kunyahan” (perHATIan), orang semakin mencapai pengertian dan pemaknaan yang sesungguhnya, dan karenanya ia seolah-olah dengan sendirinya tahu bagaimana harus bersikap. Hal ini terjadi karena jiwa sudah terarahkan pada idea “Yang Baik”, yang mengatasi energi keterpusatan-pada-diri-sendiri yang hidup dalam diri manusia. O beata solitudo, O sola beatitudo!
Nah, semoga dengan hadirnya banyak remaja yang mengalami live in dan menuliskannya ini, semakin banyak budi yang mau “terkunyah“ dan terlebih ruang hati yang rela “tersapa”, bahwa hidup itu sesungguhnya indah dengan pelbagai ceritanya masing-masing, “la vita e bella!”
Yang pasti, semoga lekukan kisah dan rajutan kasih dalam pengalaman live in tidak pergi begitu saja, tapi terus menyentuh-ampuh kehidupan harian kita, entah di kota, entah di desa, entah ketika live-in atau live-out.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar