Ads 468x60px

Resensi Buku SARINAH.


Intermezzo:
In Memoriam...
Bung Karno berjabat tangan dengan dua bocah cilik dalam foto itu (dimana salah satunya tadi disangka si "Barry" alias Barrack Obama).
Bocah cilik itu bukan "Barry" tapi adalah Adi Nasution dan Ida Nasution. Keduanya adalah anak dari Mualif Nasution, sekretaris pribadi Presiden Soekarno dan panitia penyusun buku "Sarinah" serta "Di Bawah Bendera Revolusi".
Selain Adi Nasution dan Ida Nasution, tampak dalam foto adalah bpk Mualif Nasution dan Cindy Adam. Foto ini sendiri diambil saat Lebaran 1962 di istana.
NB:
A. Resensi Buku SARINAH.
Buku ini merupakan kumpulan gagasan dan pemikiran Ir. Soekarno mengenai wanita. Sebenarnya Ir. Soekarno telah memiliki maksud sejak lama untuk menulis buku ini.
Namun, banyak sekali sebab yang membuat hal tersebut tidak terjalankan. Barulah setelah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, Ir. Soekarno menyegerakan untuk menulis buku ini. Selain menulis buku, Ir. Soekarno juga membuka kursus-kursus untuk wanita di Yogya yang dibantu oleh Mualiff Nasution.
Mengapa diberi nama “Sarinah”? buku ini dinamakan Sarinah sebagai tanda terima kasih Ir. Soekarno kepada pengasuh saat beliau kanak-kanak. Mbok Sarinah. Ia banyak membantu ibu Soekarno. Dari mbok Sarinah, Soekarno banyak menerima rasa cinta, rasa kasih. Dari mbok Sarinah, Soekarno banyak mendapat pelajaran mencintai “orang kecil”. Dia sendiri pun “orang kecil”, tetapi budinya selalu besar! Moga-moga Tuhan membalas kebaikan Sarinah itu!
Perempuan itu tiang negeri. Manakala baik perempuan, baiklah negeri. Manakala rusak perempuan, rusaklah negeri.
Soal perempuan bukan merupakan tentang perempuan saja, melainkan masyarakat. Soekarno banyak mengkritisi dan mengupas satu persatu paradigma dalam masyarakat dan pandangan kaum laki-laki tentang perempuan.
Laki-laki dan Perempuan. Perbedaan fisik dan susunan tubuh perempuan dan laki-laki. Perbedaan itu tidak lain adalah untuk tujuan kodrat alam yaitu mengadakan keturunan dan memlihara keturunan. Selain itu perbedan psikis antara laki-laki dan perempuan adalah perbedaan jiwa.
Prof Heyman menuturkan bahwa perempuan lebih lekas tergoyang jiwanya, lebih lekas marah tapi lekas cinta lagi dari laki-laki, lebih lekas kasihan, lebih lekas percaya, lebih suka anak-anak. Dengan hal tersebut tidak lantas membuat ketajaman otaknya kalah dengan laki-laki.
Banyak penelitian yang telah membuktikan hal tersebut. banyak peneliti yang melakukan riset penghitungan volume otak perempuan dan laki-laki. Memang benar ketika dihitung berat otak laki-laki memang lebih besar, namun hal tersebut berbanding dengan berat tubuh laki-laki yang juga besar. Setelah dihitung didapatkan bahwa otak perempuan rata-rata 23,6 gram per kg tubuh dan laki-laki rata-rata 21,6 gram per kg tubuh. Kwalitetnya sama, ketajamannya sama, kemampuannya sama hanya kesempatan-bekerjanya yang tidak sama, kesempatan-berkembangnya yang tidak sama.
Perempuan tempatnya ke sisi priuk nasi, pancai gula, penerima zat anak, pengandung zat anak, melahirkan anak, pelampiasan syahwat semata. Dulu sebelum ilmu kedokteran berkembang, tak terhitung ratusan ribu hingga jutaan perempuan meninggal saat proses melahirkan.
August Bebel mengatakan bahwa dalam sejarah manusia, jika dijumlahkan lebih banyak perempuan yang melepaskan jiwanya diatas padang kehormatan melahirkan bayinya, dibanding para lelaki yang melepaskan jiwanya diatas padang penghormatan peperangan.
Soekarno mengajak pembaca untuk mempelajari sejarah tentang perjalanan hidup manusia yang dimulai ketika kehidupan manusia masih berburu binatang, nomaden, berpindah dari tempat satu ke tempat lain sampai berubah menjadi kehidupan masyarakat yang sudah menetap, memiliki rumah, bercocok tanam, memiliki sistem hukum, pemerintahan dll tentu dalam proses dan tahapan panjang ini tak luput dari perjuangan seorang perempuan.
Naik turun kedudukan perempuan dalam masyarakat turut mewarnai peradaban manusia sehingga sampai pada tahap seperti sekarang ini.
Dalam bukunya ini, Soekarno menuangkan keluasan ilmunya dengan baik. Soekarmo mengajak pembaca mengenal lebih banyak tokoh dunia, teori tentang perempuan, pendapat-pendapat tentang perempuan hingga kebiasaan-kebiasaan dan keyakinan-keyakinan yang dianut oleh masyarakat tentang perempuan. Soekarno juga menjelaskan tentang kedudukan perempuan dalam berbagai agama, misalnya islam, kristen, budha dll.
Dalam buku ini, menceritakan banyak sekali gambaran-gambaran wanita baik di daerah-daerah di Indonesia maupun di dunia. Seperti sebuah kisah tentang seorang laki-laki dan perempuan yang baru saja menikah, seminggu kemudian laki-laki tersebut datang ke rumah membawa seorang sundal dan menjadikan istrinya sebagai pelayan atas kesenangan dirinya dan sundal tersebut. Sang istri duduk di depan pintu kamar dengan tangisan air mata di pipi yang terus menetes dan harus siap bila-bila ada panggilan dari suami atau sundal tersebut.
Lain lagi cerita tentang Geisha yang ada di Jepang. Di Negara yang sudah maju seperti itu pun masih banyak ketidakadilan terhadap perempuan. Dahulu banyak sekali dijumpai para gadis bahkan anak-anak yang sengaja dijadikan sebagai Geisha oleh bapak mereka. Sebuah keluarga miskin akan tetap terselamatkan jika ia masih mempunyai seorang anak perempuan. Karena dialah yang nantinya akan menyelamatkan perekonomian keluarganya. Artinya kemodernan tidak selamanya dibarengi dengan penjunjungan derajat perempuan.
Tatkala perempuan di dunia barat sudah sadar, sudah bergerak, sudah melawan, maka perempuan di dunia timur masih saja diam-diam menderita pingitan dan penindasan dengan tiada protes sedikitpun juga.
Di dunia barat pertama-tama terdengar semboyan “perempuan, bersatulah!” dari mulut Katharina Brechkovskaya pertama-tama terdengar seruan, “Hai wanita Asia, sadar dan melawanlah!”.
Dengan hal tersebut pula tak lantas membuat kita para perempuan Indonesia mengoper dan melaksanakan semuanya, kita harus pelajari lebih dahulu dalam-dalam segala cita-cita dan segala sepak terjang pergerakan-pergerakan perempuan di Barat. Kita pelajari, kita sesuaikan dengan kepribadian bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tiada aksi revolusioner, jika tiada teori revolusioner.
Teori tak disertai perbuatan, tiada tujuan pembuatan, perbuatan tiada pakai teori, tiada berarah tujuan.
Teori tak dengan perbuatan, mati! Perbuatan tak dengan teori, ngawur!
Terutama sekali para pemimpin, para penunjuk jalan, para pemegang obor, harus memahami ilmu.
Dapatkah orang memimpin dengan baik, menunjukkan jalan kepada rakyat, mengkobar-kobarkan semangat rakyat, mengerahkan tenaga bekerja dan tenaga perjuangan rakyat, mencapai hasil yang sebesar-besarnya dengan mengorbankan sesedikit-sedikitnya bila orang tidak tahu jalan apa yang harus dilalui, cara-cara apa yang harus dipakai, tujuan-tujuan apa yang harus dituju? Dapatkah orang memimpin dengan baik, bila tidak dengan tuntutan ilmu? Dapatkah orang memimpin dengan baik, bila ia sendiri tidak tahu jalan?
Pada lembaran-lembaran akhir buku ini, Ir, Soekarno menitipkan pesan:
Dan kamu, kaum wanita Indonesia, akhirnya nasibmu adalah di tangan kamu sendiri. Saya telah memberi peringatan kepada kaum laki-laki untuk memberi keyakinan kepada mereka tentang hargamu dalam perjuangan, tetapi kamu sendiri harus menjadi sadar, kamu sendiri harus terjun mutlak dalam perjuangan.
Dan didalam perjuangan yang garis-garis besarnya telah saya guratkan dimuka tadi, bantu-membantu mutlak antara laki-laki dan perempuan harus diselenggarakan benar-benar. Syarat mutlak bagi kemenangan revolusi nasional ialah persatuan nasional tentu juga mengenai hubungan laki-laki dan perempuan.
Janganlah meletakkan titik berat kepada mengemukakan tuntutan-tuntutan feministis dan melupakan tuntutan-tuntutan perjuangan membela kemerdekaan Indonesia. Sebaliknya, adakanlah penggabungan tenaga antara perempuan dan laki-laki sehebat-hebatnya, adakanlah perjuangan nasional yang sebulat-bulatnya.
Laki-laki dan perempuan ke satu tujuan, tiada satu tenagapun yang tercecer. Janganlah menentang satu sama lain, tetapi berjuanglah bahu-membahu serapat-rapatnya membela kemerdekaan nasional.
Semua. Semua tenaga harus diarahkan sesatu tujuan arah, kesatu tujuan revolusioner.
Wanita Indonesia, kewajibanmu telah terang! Sekarang ikutilah serta mutlak dalam usaha menyelamatkan Republik dan nanti jika Republik telah selamat, ikutilah serta-mutlak dalam menyusuun Negara Nasional.
Jangan ketinggalan di dalam Revolusi Nasional dari awal sampai akhir, dan jangan ketinggalan pula nanti di dalam usaha menyusun masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial.
Didalam masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial itulah engkau menjadi wanita yang bahagia, wanita yang merdeka!
B. Resensi buku DI BAWAH BENDERA REVOLUSI
Gugatan dari Kaleng Rombeng demikianlah Majalah Tempo memberikan judul tulisan resensi mengenai Soekarno, yang bagi bangsa Indonesia familiar dengan sebutan Bung Karno. sebuah Panggilan yang menurutnya cukup mewakili semangat egalitarian jauh dari semangat feodalisme yang mengungkung bangsanya, seperti halnya panggilan "che" di Amerika Latin. Berikut tulisan sebagaimana hasil liputan Tempo:
...BAGI Soekarno, kaleng rombeng berbau pesing adalah alat buang hajat sekaligus sarana menuangkan pikiran. Di penjara Banceuy, Bandung, 1930, tiap malam lelaki itu menjadikan kaleng itu sebagai meja sekaligus tadah buang hajat. Jika pagi tiba, ketika ia diizinkan meninggalkan sel, dibawanya kaleng itu ke kamar mandi untuk dibersihkan. Setelah itu, dengan dilapisi beberapa lembar kertas, ia pakai lagi sebagai meja untuk menulis.
Hampir setahun di Banceuy, berlembar-lembar tulisan lahir di atas kaleng pesing itu. Salah satunya adalah pembelaan yang kemudian disebut “Indonesia Menggugat”.
Dalam pleidoinya itu, Soekarno berbicara tentang penderitaan rakyat setelah tiga setengah abad dihisap koloni Belanda. Ia juga berbicara mengenai pendirian Partai Nasional Indonesia dan pergerakan yang dipercayainya dapat membebaskan Indonesia dari kolonialisme dan imperialisme. Bahasanya lugas, tapi nadanya menyala-nyala. Ketika membacanya dalam 19 kali persidangan di Jalan Landraad, Bandung, gedung itu sesak oleh manusia. Naskah itu bahkan sempat diterbitkan dalam selusin bahasa di dataran Eropa.
Soekarno ditahan setelah ditangkap di Yogyakarta, ketika akan mengikuti pertemuan politik partainya di Solo. Hari itu, pagi 29 Desember 1929, setengah lusin polisi Indonesia yang dipimpin inspektur Belanda mencokoknya atas nama Sri Ratu. Ditahan semalam di penjara Mergangsan, Yogyakarta, Soekarno dan dua kawannya dibawa ke Banceuy, bui Bandung-penjara tingkat rendah, kotor, dan berbau.
Divonis empat tahun penjara, Soekarno dibebaskan pada 31 Desember 1931. Gubernur Jenderal De Graeff saat itu agaknya tak tahan atas kritik pedas terhadap putusan membui Soekarno. Tapi tiga tahun kemudian Soekarno ditangkap lagi dan diasingkan ke Ende dan Bengkulu.
BANDUNG adalah tempat Soekarno muda membuat sejarahnya. Semula, ia hanya berniat kuliah di Bandoeng Technische Hoogeschool-sekarang Institut Teknologi Bandung-mengambil jurusan arsitektur. Tapi pergulatan batin dan pertemuannya dengan para tokoh di kota itu membuat Soekarno, setelah lulus pada 1926, berbelok ke jalur politik. Sebelumnya ia pernah mendirikan biro konsultan meski mandek karena tak ia urus.
Saat itu Soekarno sudah mendirikan Algemeene Studie Club di Bandung. Organisasi ini menjadi cikal bakal Partai Nasionalis Indonesia (PNI), yang didirikannya bersama Mr Iskak, Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, Mr Boediardjo, dan Mr Soenarjo, pada 1927.
Kegiatan klub itu adalah mendiskusikan bacaan, terutama buku-buku “babon” berbahasa Belanda yang dipinjam dari perpustakaan. Bergantian mereka membacanya lalu berdiskusi dan membuat tulisan. Saat itu usia Soekarno baru 25 tahun. Ketika kawan-kawan seusianya sibuk bertemu kekasih, Soekarno memilih tenggelam dalam Das Kapital. “Aku ingin menyelam, menyelam dalam dan lebih dalam lagi,” katanya dalam buku otobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Klub ini lalu kebanjiran peminat dan tumbuh menjamur di berbagai kota. Belakangan Soekarno dan kawan-kawan pada 1926 menerbitkan majalah Suluh Indonesia sebagai sarana mensosialisasikan pikiran mereka. -Soekarno dan juga orang-orang sejamannya penuh kesadaran dalam memanfaatkan media, dan terbukti ia pun sebagai bagian dari aktifitas pers perjuangan kala itu, baik sebagai pendiri maupun pewartanya- (*tambahan dan saya: pen).
Artikel pertama ditulis oleh Soekarno sendiri. Judulnya, Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme. Isinya tentang konflik antara Serikat Islam Putih pimpinan Agus Salim dan Serikat Islam Merah (Sarekat Rakyat) pimpinan Semaun dkk.
Soekarno melihat, pertikaian politik antarkelompok justru menghambat perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme Belanda. “Tetapi kita yakin, bahwa dengan terang-benderang menunjukkan, kemauan kita menjadi satu. Kita yakin, bahwa pemimpin Indonesia semuanya insaf, persatuanlah yang membawa kita ke arah kebesaran dan kemerdekaan,” demikian Soekarno menulis.
Sikap politik Soekarno muda terbangun di rumah pendiri Syarikat Islam, H.O.S. Tjokroaminoto-kawan karib ayah Karno di Surabaya.
Soekarno muda dititipkan di rumah tokoh pergerakan Islam itu, ketika saat masuk Hoogere Burger School (HBS). Di rumah inilah ia dapat berkenalan dengan tokoh Pergerakan Nasional seperti Wahidin Soedirohusodo dan Soetomo. Juga para tokoh Islam seperti Agoes Salim, Abdoel Moeis, Ahmad Dahlan, Hasjim Asj’ari, dan A. Hassan, seorang tokoh Persis Bandung yang belakangan menjadi kawan korespondensinya yang termasyhur.
Di rumah Tjokro pula, Soekarno berkenalan dengan tokoh dari Marxisme dan sosialisme, seperti Alimin, Semaun Darsono, dan Tan Malaka. Tiga terakhir awalnya adalah pengurus Sarekat Islam kemudian memisahkan diri untuk bergabung dengan kelompok Marxis. Mereka selanjutnya mendirikan Partai Komunis Indonesia pada 1920, sementara Soekarno dan kawan-kawan mendirikan Partai Nasionalis Indonesia di Bandung, 1927.
Pada lahirnya Partai Nasionalis Indonesia, Soekarno mencanangkan tahun itu sebagai tahun propaganda politik. Ia tak hanya turun ke daerah, menggalang dukungan, tapi juga menerbitkan majalah Persatuan Indonesia pada 1928 sebagai ajang propanda. Majalah Fikiran Rakjat diterbitkan pada 1932 ketika Partai Nasionalis Indonesia pecah menjadi Partindo. -
Disini nampak sekali bahwa Soekarno menjadikan partai hanya sebagai alat perjuangan, Partindo yang didirikan Soekarno selanjutnya memilih jalur non kooperasi terhadap penjajah- (*tambahan dan saya: pen).
PENJARA, pengasingan di Ende dan Bengkulu, adalah tempat Soekarno lebih merenungi soal Islam. Penjara Sukamiskin, misalnya, melarang buku politik dan surat kabar masuk ke sel Soekarno. Sepanjang masa di penjara itu, satu-satunya hiburan Soekarno adalah belajar tentang agama dan menulis.
Penjara sesungguhnya memang di Ende, kampung nelayan di Flores, Nusa Tenggara Timur. Empat tahun lamanya, ia menjalani politik pengasingan akibat aktivitas politik non kooperasi melalui Partindo.
Di pulau itulah, Soekarno menghabiskan waktu dengan membaca buku Islam. Renungan-renungannya tentang Islam muncul dalam suasana intens, terutama surat-menyurat pribadi yang dikirimkannya kepada A. Hassan. Surat-surat itu kelak masyhur disebut sebagai “Surat-surat dari Ende”.
Pernah Soekarno menulis soal tabir atau hijab yang memisahkan perempuan dan laki-laki. Ia juga dengan cemerlang menulis tentang donor darah. Juga menjawab tudingan bahwa ia anggota Ahmadiyah.
Yang menarik, meski tak meyakini Ahmadiyah, ia tak menyinggung perlu-tidaknya Ahmadiyah hidup di bumi Indonesia. Tidak juga menuduhnya aliran sesat. Juga tidak merasa Islam yang dianutnya yang paling benar.
Di Ende dan Bengkulu, selain surat-suratnya ke A. Hassan dan artikelnya yang termashyur di Panji Islam, Soekarno meninggalkan ratusan karya tulis dan beberapa naskah drama. Beberapa di antaranya dipentaskan selama ia berada di Ende. Namun “temuan” penting sesungguhnya adalah konsepsinya yang kelak dinamai Pancasila.
DARI seluruh masa Soekarno muda, sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam, menilai periode 1926-1930 adalah puncak kreativitas pemikiran Soekarno akan nasionalisme dan sikap kerasnya menentang kolonialisme. Juga kegandrungannya pada persatuan.
Karakter Soekarno sebagai pemersatu dan aktivis anti-imperialis yang militan terlihat jelas di era ini. Begitu pula era sesudahnya hingga menjelang kemerdekaan, 1945. “Selama masa itulah, kita dengan mudah mengenal siapa sesungguhnya Soekarno,” kata Eros Djarot, salah seorang politikus nasionalis. -Bekas aktivis GSNI atau Gerakan Siswa Nasional Indonesia yaitu organisasi under bouw PNI kala itu- (*tambahan dan saya: pen).
Boleh jadi, karena itu pula, Di Bawah Bendera Revolusi jilid I menjadi karya Soekarno yang paling populer. Buku ini diterbitkan pertama kali oleh sebuah panitia penerbitan resmi dari Departemen Penerangan yang dipimpin Mualiff Nasution, 17 Agustus 1959. Tebal 650 halaman, berisi 61 tulisan Soekarno antara 1926 dan 1941.
Menurut Asvi, butuh lima tahun bagi panitia itu untuk bekerja mengumpulkan tulisan yang tersebar di mana-mana. Semuanya masih dalam ejaan lama. Kabarnya, Soekarno sendiri yang membubuhkan judul, Di Bawah Bendera Revolusi. Soekarno pula yang menggandeng Tjio Wie Tjay alias Haji Masagung, pengusaha Toko Buku Gunung Agung, sebagai penerbit dan penyalur.
Pada 1963, buku monumental ini dicetak ulang. Hanya dalam waktu dua minggu edisi pertama terjual habis. Pada 1965, buku itu dicetak yang keempat kalinya. Dan pada 2005, penerbitan buku itu dilakukan anak-anak Soekarno melalui Yayasan Bung Karno. -Yayasan ini kini bertempat di Gedung Pola, dekat tugu Proklamasi Jakarta Pusat, terdapat stan toko buku kecil disana yang melayani penjualan buku terbitan ulang Karya Bung Karno- (*tambahan dan saya: pen).
Aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia era 1960 di Bandung, Siswono Yudohusodo dan Suko Sudarso, mengakui buku itu menjadi buku bacaan wajib bagi anak-anak muda masa itu. Suko mengaku mengagumi buku itu karena pemikiran Soekarno yang jauh ke depan. Suko menyebut tulisan yang digandrunginya dalam buku itu adalah artikel Soekarno di Suluh Indonesia, “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme”. Tulisan ini sempat diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan diterbitkan Universitas Cornell dengan pengantar Ruth Mcvey.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar