Ads 468x60px

KELUARGA


Sekali Lagi Soal Keluarga
KEcilkan emosi, LUaskan isi hati, ARahkan ke Ilahi dan GAlang relasi
@ Buku XXX - Family Way (RJK. Kanisius)
Alkisah, terdapatlah sebuah rumah dengan 1000 cermin. Seekor anjing kecil menemukan rumah itu. Dia masuk dan menggonggong kegirangan sambil mengibas-ngibaskan ekornya dengan riang, dan melihat ada 1000 anjing kecil lain yang ramah kegirangan dengan ekor berkibas-kibas seperti dia. Waktu ia meninggalkan rumah itu, ia pikir “Ini tempat yang menakjubkan, lain kali aku akan singgah lagi disini”.
Pada waktu lain, seekor anjing yang tampak stres dengan ekor terkulai lesu memasuki rumah itu. Ia melihat 1000 anjing lain yang sedang stres dengan ekor terkulai dan wajah tertekan serta menggeram seram seperti dia. Waktu ia meninggalkan rumah, ia pikir “Ini tempat tersiksa, dan aku tak akan kesini lagi”.
Jelas dari cerita ini, semua wajah di dunia adalah cermin. Cermin macam apa yang kita lihat pada wajah orang, tergantung pada kita juga. Kita tersenyum, yang kita hadapi senyum. Kita memaki, maka yang kita dapat adalah makian. Kita menabur kritik, yang kita tuai tentu saja kritik, dan itu semua bermula dari keluarga kita masing-masing.
Kalau kita kembali bermula dari keluarga, ada sebuah lirik lagu yang selalu saya ingat-kenang, berjudul, ”Keluarga Cemara”, yang diangkat dari sinetron televisi besutan Arswendo Atmowiloto dan Adi Kurdi. Begini penggalan liriknya, “Harta yang paling berharga adalah keluarga. Istana yang paling indah, adalah keluarga. Puisi yang paling bermakna adalah keluarga. Mutiara tiada tara adalah keluarga.......”
Lewat penggalan lagu ini, kita bisa membaca salah satu pesan, bahwa keluarga adalah segalanya. Dalam hidup kita sendiri, ada banyak istilah tentang keluarga dalam sebuah rumah tangga, bukan? Ada kartu keluarga. Ada kepala keluarga. Ada “KMK”, Keluarga Mahasiswa Katolik. Ada “KB” alias Keluarga Berencana. Ada “BKKBN”, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. Ada juga istilah tulang punggung keluarga dan sebuah rumah sakit bernama, Mitra Keluarga.
Istilah “keluarga” sendiri berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu: kula dan warga, "kulawarga" yang berarti "anggota" kelompok/kerabat. Keluarga berarti, kelompok sosial atau lingkungan di mana beberapa individu yang masih memiliki hubungan darah, dimana juga terdapat ikatan, kewajiban, tanggung jawab diantara individu tersebut. Keluarga sendiri adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan.
Dalam kacamata Salvicion dan Celis (1998), di dalam keluarga terdapat dua atau lebih dari dua pribadi yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan, dhidupnya dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan didalam perannya masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan.
Ada juga beberapa tipe keluarga, yakni keluarga inti yang terdiri dari suami,istri, dan anak atau anak-anak, keluarga konjugal yang terdiri dari pasangan dewasa (ibu dan ayah) dan anak-anak mereka, dimana terdapat interaksi dengan kerabat dari salah satu atau dua pihak orang tua. Selain itu terdapat juga keluarga luas yang ditarik atas dasar garis keturunan di atas keluarga aslinya. Keluarga luas ini meliputi hubungan antara paman, bibi, keluarga kakek, dan keluarga nenek.
Berbagai peranan yang terdapat di dalam keluarga adalah sebagai berikut:
- Ayah sebagai suami dari istri dan anak-anak, berperan sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya.
-Sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai peranan untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya, disamping itu juga ibu dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya.
-Anak-anak melaksanakan peranan psikosial sesuai dengan tingkat perkembangannya baik fisik, mental, sosial, dan spiritual.
Pada dasarnya, setiap keluarga memiliki delapan tugas pokok sebagai berikut:
1. Pemeliharaan fisik keluarga dan para anggotanya.
2. Pemeliharaan sumber-sumber daya yang ada dalam keluarga.
3. Pembagian tugas masing-masing anggotanya sesuai dengan kedudukannya masing-masing.
4. Sosialisasi antar anggota keluarga.
5. Pengaturan jumlah anggota keluarga.
6. Pemeliharaan ketertiban anggota keluarga.
7. Penempatan anggota-anggota keluarga dalam masyarakat yang lebih luas.
8. Membangkitkan dorongan dan semangat para anggotanya.
Yang pasti, Gereja Katolik meyakini bahwa keluarga adalah “gereja mini”. Artinya? Keluarga adalah persekutuan dasar iman dan tempat persemaian iman sejati. Maka dalam keluarga Katolik, pertama-tama diharapkan agar berkembanglah iman yang menghangatkan suasana.
Iman di sini bukan pertama-tama berarti pengetahuan agama (meskipun itu juga penting), tetapi lebih pada sikap atau penghayatan agama, yang diwujudkan dalam usaha untuk menjaga suasana kedamaian, kerja sama dan kerukunan dalam keluarga. Dengan demikian, Tuhan sediri akan hadir di tengah-tengah keluarga untuk membawa keselamatan dan rahmatNya.
Dari hal di atas inilah, saya juga kembali ingin menampil-ulangkan beberapa pengertian sederhana seputar keluarga, seperti yang dipaparkan di bawah ini:
Keluarga adalah akar dari kejahatan dalam masyarakat
Keluarga adalah akar dari kebaikan dalam masyarakat
Setiap keluarga yang retak rata-rata merusak 3 sampai 5 individu lainnya
Bila mau memperbaiki suatu masyarakat, orang harus mulai dari keluarga
Kebiasaan korupsi berakar di keluarga yang tak mengatur keuangannya
Budaya yang merusak kehidupan berakar di keluarga yang tak menghargai kehidupan
Budaya ketergantungan berakar dari keluarga yang anak-anak diajari tergantung
Hanya keluarga yang bisa menanamkan sikap iman
Lima tahun pertama kehidupan menentukan seluruh kualitas sisa hidup
Bila Penguasa mencampuri urusan keluarga maka keluarga akan rusak
Secara umum, keluarga itu adalah kelompok terkecil dalam masyarakat. Keluarga merupakan tempat kita saling berbagi rasa, saling memperhatikan, saling menyayangi dan membantu satu dengan yang lainnya. Keluarga adalah lembaga yang memenuhi panggilan Allah guna berbiak dan berkembang. Dari keluarga yang harmonis, pasti terbentuk suatu masyarakat yang baik pula, bukan?
Sebuah informasi:
Sejak tahun 1990, UNDP (United Nations Development Program) secara teratur melaporkan IPM (Indeks Pembangunan Manusia) di sekitar 130 negara (tahun 2002 di 175 negara), dimana negara Indonesia antara tahun 1995 sampai 2005 mendapat skor antara 90 dan 113 alias termasuk paling payah. Ukuran IPM adalah tingkat pendidikan, kemampuan membaca, kemiskinan, tingkat kematian, kesetaraan gender, keluarga, dll. Inti laporannya adalah kesimpulan bahwa manusia Indonesia dianggap kurang punya daya-juang, kurang kreatif, hanya sebagai penonton, mutu keluarga buruk, koruptif dan kurang mempunyai nurani. Para peneliti UNDP percaya juga bahwa pangkal permasalahan hampir selalu bermula dari keluarga.
Disinilah, jika Confusius pernah berkata, keluarga adalah akar segala pertumbuhan di masyarakat. Jika Leo XIII berkata keluarga adalah ikatan suci guna membentuk keluarga sakinah. Jika Thomas Aquinas juga berkata bahwa keluarga adalah ikatan keagamaan yang paling dasar, maka bagi saya sendiri, keluarga bisa berarti “Kecilkan emosi, Luaskan isi hati, Arahkan ke ilahi dan Galang Relasi”
- Kecilkan emosi:
Kecilkan emosi berarti sebuah kondisi menahan diri dari berputus asa, meredam amarah jiwa, mencegah lisan untuk mengeluh, serta menahan anggota badan untuk berbuat jahat. Ia muncul dari dalam jiwa, mencegah perbuatan yang tidak baik, kekuatan jiwa yang membuat baik segala perkara.
Pada prakteknya? Kebanyakan pertengkaran yang terjadi dalam sebuah keluarga karena pasangan atau rekannya (bisa anak, orangtua, majikan atau pembantunya) mengeluarkan kritik atau kata-kata yang menyinggung perasaan dengan nada yang konfrontatif dan terkesan menghina. Hanya dengan mengubah nada suara menjadi lebih lembut, seringkali memanasnya pertengkaran bisa dihindari akibat buruknya.
Mungkin tidak ada salahnya kita secara rendah hati meminta maaf, andaikan pun kita tidak bersalah secara langsung. Karena itu nasihat Pengkotbah: “janganlah lekas-lekas marah dalam hati, karena amarah menetap dalam dada orang bodoh” (Pengk 9:9) atau nubuat dalam Yak 1:19 : “…setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah“, patutlah kita renung-menungkan juga.
Ada sebuah metode sederhana untuk mengajak kita belajar mengecilkan emosi, yang biasa disebut sebagai metode pasta gigi. Kita lihat bukankah sebuah pasta gigi amat mudah untuk dipencet keluar dan mengotori sekitarnya? Setelah keluar, tak mungkin memasukkannya kembali. Demikian juga dengan kata-kata yang kita pakai saat bertengkar, begitu keluar tak akan bisa kita tarik kembali. Maka, baiklah kita tulis kata-kata atau hal-hal yang amat sensitif bagi pasangan atau anggota keluarga kita. Ingat-ingat dan jangan pernah sekali pun mengatakan hal tersebut.
- Luaskan isi hati:
Lihatlah figur Bunda Maria (Luk 2:51), “Maria menyimpan semuanya dan merenungkannya dalam hati.” Pada kenyataannya, banyak dari kita sulit menyimpan semuanya dan merenungkannya dalam hati, bukan? Kita lebih mudah menjadi “ember” atau semacam pepesan kosong yang ribut. Bukankah pada kenyataanya, perselisihan dan pelbagai kemarahan yang mengarah ke pertengkaran seringkali tak terhindarkan dalam setiap keluarga. Bagaimana agar situasi marah tidak begitu saja serta-merta merusak hubungan yang telah dibina susah payah selama bertahun-tahun? Yang jelas dengan cinta, pertengkaran bahkan bisa mempererat hubungan.
Kita hendaknya juga selalu mengingat aturan dasar bertengkar tanpa merusak hubungan. Agar rumah dan keluarga kita berlimpah dengan cinta, maka bila kita salah, akui, bila kita benar – tutup mulut. -- To keep your home life brimming with love in the marriage cup whenever you're wrong, admit it, whenever you're right - shut up!! Itulah salah satu cara untuk kita belajar meluaskan isi hati.
Bukankah Benjamin Franklin pernah mengatakan bahwa “Orang yang memiliki kesabaran juga akan memiliki apa yang dikehendakinya –One who has patience will have whatever he wants.” Atau tepatlah seperti yang dikatakan oleh Adel Bestravos “Kesabaran pada orang lain berarti cinta. Kesabaran pada diri sendiri berarti pengharapan. Kesabaran pada Allah berarti iman.”
Salah satu teknik lain yang mengajak kita belajar meluaskan isi hati, yakni dengan apa yang kerap disebut sebagai “metode jalan-jalan.” Cara ini sederhana, yaitu pada saat kita tergoda menyalahkan dia, menyemprot dia, bahkan memukul dia – pergilah menghindar, misalnya jalan-jalan ke kebun, ke mall, ke tepi sungai sekitar satu jam atau lebih. Bila setelah pulang api belum padam, ulangi lagi ‘jalan-jalan’. Bukankah waktu dan kesabaran adalah solusi yang terbaik?
-Arahkan pada yang ilahi:
Ada satu ayat dalam Kitab Suci yang saya suka, sebuah ayat dari tulisan Rasul Paulus kepada jemaat di Filipi, “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku” (Fil 4:13). Disinilah, saya mengajak setiap anggota keluarga untuk juga membawa semua pergulatan-pergumulan ke dalam tangan Allah: belajar arahkan ke ilahi! Cara yang paling mudah sekaligus paling indah, yaitu dengan mendekatkan diri pada Allah dalam kebiasaan doa yang teratur.
Katekismus Katolik sendiri mengatakan: berdoalah setiap hari, terlebih:
a. pada pagi hari, untuk mempersembahkan hari ini kepada Allah dan meminta pertolonganNya dalam menghadapi godaan-godaan hari ini.
b. sepanjang hari, terutama ketika ada godaan.
c. pada malam hari, untuk berterimakasih kepada Allah atas berkat karunia pada hari itu dan untuk meminta ampun kepada-Nya atas dosa-dosa yang telah kita lakukan pada hari itu.
d. sebelum dan setelah makan.
Saya mengamati juga ada beberapa keluarga beriman, yang membawa semua pergulatannya dalam doa-doa devosi, misalnya devosi Kerahiman Ilahi dengan sebuah doa yang penuh keyakinan: “Yesus, Engkau Andalanku”
Dalam konteks inilah, baiklah kita kenang perkataan Paus Yohanes Paulus II, pada tanggal 7 Juni 1997, “Siapapun dapat datang kemari, melihat lukisan Yesus yang Maharahim ini, yang dari Hati-Nya memancarkan rahmat; dan mendengar dalam lubuk jiwanya sendiri apa yang didengar St Faustina: “Jangan takut. Aku senantiasa menyertaimu”. Jika ia menanggapi dengan hati yang tulus, “Yesus, Engkaulah andalanku!”, maka ia akan mendapati penghiburan dalam segala ketakutan dan kecemasannya.
Dalam dialog penyerahan diri ini, terbentuklah antara manusia dan Kristus suatu ikatan istimewa kasih yang membebaskan. Dan “di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan' (1Yoh 4:18).”
Dari pernyataan Yohanes Paulus II di atas, tampaklah sebuah pesan utama bahwa Allah mengasihi setiap anggota keluarga sekaligus mengundang setiap keluarga untuk datang kepadaNya dengan penuh kepercayaan, menerima belas kasihNya dan membiarkannya mengalir lewat setiap keluarga dan menyebar kepada semakin banyak keluarga lainnya. Bukankah Yesus sendiri pernah bersabda, “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu…. Karena setiap orang yang meminta, menerima” (Mat 7:7-8).
-Galang relasi:
Secara umum, tercandra beberapa fungsi relasi, yang dijalankan keluarga, antara lain:
1. Fungsi pendidikan, dilihat dari bagaimana keluarga mendidik dan menyekolahkan anak untuk mempersiapkan kedewasaan dan masa depan anak.
2. Fungsi sosialisasi anak, dilihat dari bagaimana keluarga mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang baik.
3. Fungsi perlindungan, dilihat dari bagaimana keluarga melindungi anak sehingga anggota keluarga merasa terlindung dan merasa aman.
4. Fungsi perasaan, dilihat dari bagaimana keluarga secara intuitif merasakan perasaan dan suasana anak dan anggota yang lain dalam berkomunikasi dan berinteraksi antar sesama anggota keluarga. Sehingga saling pengertian satu sama lain dalam menumbuhkan keharmonisan dalam keluarga.
5. Fungsi agama, dilihat dari bagaimana keluarga memperkenalkan dan mengajak anak dan anggota keluarga lain melalui kepala keluarga menanamkan keyakinan yang mengatur kehidupan kini dan kehidupan lain setelah dunia.
6. Fungsi ekonomi, dilihat dari bagaimana kepala keluarga mencari penghasilan, mengatur penghasilan sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarga.
7. Fungsi rekreatif, dilihat dari bagaimana menciptakan suasana yang menyenangkan dalam keluarga, seperti acara menonton TV bersama, bercerita tentang pengalaman masing-masing, dan lainnya.
8. Fungsi biologis, dilihat dari bagaimana keluarga meneruskan keturunan sebagai generasi selanjutnya.
9. Memberikan kasih sayang, perhatian, dan rasa aman di antara keluarga, serta membina pendewasaan kepribadian anggota keluarga.
Secara khusus, Paus Yohanes Paulus II dalam “Familiaris Consortio” (22 November 1981 no.17) menyatakan bahwa terdapat empat tugas keluarga kristiani, al: membentuk persekutuan pribadi-pribadi; mengabdi kepada kehidupan; ikut serta dalam pengembangan masyarakat; juga berperan serta dalam kehidupan dan misi Gereja”
Disinilah tampak jelas bahwa setiap anggota keluarga diajak terlibat (tentunya tanpa terlipat) dalam hubungannya dengan sesama anggota keluarganya, dengan keluarga lain, dan tentunya dengan masyarakat yang lingkupnya lebih luas. Lebih jelasnya, lihatlah arti keluarga dalam bahasa Inggris, FAMILY, yang berarti, Father and Mother I Love You.
Disinilah setiap anggota keluarga diajak untuk menggalang relasi cinta, dan bukan dosa, relasi menuju Tuhan dan surga, bukan menuju setan dan neraka.
Sebagai penutup, adalah sebuah cerita: dua katak terjatuh dalam wadah berisi bubur. Yang satu putus asa lalu tenggelam mati. Yang satu lagi berkata, “Aku memang tak bisa meloncat tapi aku takkan menyerah begitu saja. Aku akan berenang terus hingga tenagaku habis, hingga aku mati dengan puas.” Lalu ia berenang terus sampai bubur menjadi lebih cair, sampai suatu ketika sudah cukup cair dan … hop, ia berhasil meloncat keluar.
Marilah kita juga seperti katak yang berjuang tanpa lelah, berani menjadi keluarga, yang selalu mau belajar “kecilkan emosi – luaskan isi hati – arahkan ke ilahi dan galang relasi”.
Kerajaan yang terpecah-pecah pasti binasa,
dan setiap rumah tangga yang terpecah-pecah, pasti runtuh”.
Yesus Kristus, Lukas 11 : 17

Tidak ada komentar:

Posting Komentar