HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
PUSTAKALOKA
A.
Pengantar untuk Buku ”Lamafa di Lautan”
Yohanes Antonius Lelaona SVD
@Bajawa Press.
”Membangun Jiwa - Melarung Raga - Menyusun Cerita”
Jangan tanggung jangan kepalang,
Bercipta mencipta
Bekerja memuja
Berangan mengawan.
Anton panggilannya. Yohanes Antonius Lelaona lengkapnya. Itulah nama penulis penggalan buku kehidupan ini. “Apalah arti sebuah nama!” Itu kata Shakespeare, tapi bagi saya, “nomen est omen, nama adalah sebuah tanda”. Ada“pancasignal”, semacam lima tanda kecil yang melekat-dekat akrab pada penulis kita ini:
Pertama, salah satu nama baptisnya adalah Yohanes, sebuah nama Yunani yang berasal dari kata loannes, yang diturunkan dari nama Ibrani “Ye ho hanan atau Yohanan”, yang artinya “Yahwe menganugerahi”. Ya, seperti Rasul Yohanes yang dianugerahi Allah untuk menjadi “guru/teacher” bagi jemaat gereja perdana di Efesus, bisa jadi sang penulis juga menjadi “teacher” bagi kita dalam memaknai setiap pengalaman harian.
Ya, itulah yang coba diajarkannya dalam relung larung puisi dan karung marung prosa sederhananya: Otentik, unik dan kadang menggelitik. Ada yang klasik, ada juga yang menarik. Ada kisah yang datang dan pergi. Ada juga kasih yang datang mengilhami. Ia mengajar kita untuk sepenuh hati “mencatat cerita” dan sepenuh budi “memberi makna” pada setiap perjumpaan kehidupan yang biasa dan sederhana. Ia hadir dan mengajarkan kita sebuah ‘moment of truth’: tidak melupakan (dan tapi sekaligus mencatat pengalaman).
Kedua, nama baptisnya yang lain adalah Antonius. Santo Antonius sendiri diangkat menjadi santo pelindung barang-barang yang hilang ataupun dicuri karena pengalaman hidupnya.
Dahulu, St. Antonius mempunyai sebuah buku Mazmur yang sangat berarti baginya. Dalam buku Mazmurnya itulah ia mencoretkan catatan-catatan atau komentar-komentar yang dipergunakannya untuk mengajar murid-muridnya di Ordo Fransiskus. Adalah seorang novis yang mulai bosan dengan kehidupan religius di biara, karenanya ia memutuskan untuk “kabur”/melarikan diri. Ia pergi dengan membawa serta buku Mazmur St. Antonius!
Ketika St. Antonius menyadari bahwa bukunya telah hilang, ia menjadi sangat sedih. St. Antonius terus tekun berdoa agar buku Mazmurnya segera diketemukan atau dikembalikan kepadanya. Tuhan menjawab doa St. Antonius. Novis yang telah mencuri bukunya itu merasa tidak tenang jiwanya, sehingga akhirnya ia mengembalikan buku Mazmur itu kepada St. Antonius. St. Antonius memaafkan segala perbuatannya, bahkan novis itu diterima kembali di biara.
Ya, seperti Santo Antonius yang banyak menjadi “pendoa/prayer” bagi banyak orang, sang penulis juga seakan menjadi “prayer” bagi segala karya dan ruwet renteng kehidupan kita. Ia mengajak kita untuk senantiasa menjadi “anton” - “ANdalkan Tuhan dan OmonganNya” lewat refleksi dan inspirasinya.
Jelasnya, lewat “puncta”, atau semacam titik-titik inspirasi yang berangkat dari kehidupan harian inilah, kita tak perlu mencari Tuhan jauh-jauh, karena segala sesuatu, bahkan yang biasa dan sederhana adalah penjelmaan Tuhan yang luar biasa dan penuh makna.
Baginya, Tuhan bukan hanya untuk dipikirkan tetapi lebih untuk dihayati lewat dunia harian, lewat olah rasa hati dan cita rasa budi sehari-hari, yah budi yang kreatif, yang benar-benar ber-“budi” sekaligus ber-”budaya”, bukan melulu sebagai budi yang substantif apalagi sekedar normatif.
Ketiga, Lelaona! Itulah nama keluarganya, “LEmahlembut LAyani Orang dengan sederhaNA”, mungkin itu artinya. Walaupun ia, menyitir George Eliot yang menyatakan bahwa “karya ini hanyalah seperangkat pengalaman hidup, hanyalah suatu jerih payah untuk menghadirkan apa yang bisa dirasakan dan dipikirkan,” tapi inilah sebuah upaya perakitan makna dari penggalan pengalaman dan perjumpaan sederhananya dengan diri, sesama, semesta dan Tuhannya sendiri.
Ia jelasnya menjadi seorang “writer/penulis”, yang mencatat identitas personal juga kultural, sosial juga eklesial sebagai sesuatu yang tidak boleh dilewatkan begitu saja: “Qui scribit, bis legit-Barang siapa menulis, ia membaca dua kali”.
Memang, penulis buku kecil dengan tema yang tersebar-pencar ini, menekankan pula bahwa aneka jumputan tulisan dalam buku ini tidak terkait dengan pembentukan teori representasi apalagi formulasi definisi. Ia lebih merupakan sebuah elemen diskursif dalam suatu wacana yang kaya makna, yang coba di-BUKU-kan, tapi bukan bermaksud untuk mem-BAKU-kan apalagi mem-BEKU-kan pelbagai kisah yang lainnya, yang masih akan datang dan pergi, yang masih akan datang dan terus mengilhami. Bukankah tepat kata Thomas Carlyle, “jika sebuah buku lahir dari hati, ia berusaha menjangkau banyak hati yang lain juga”, bukan?
Keempat, SVD. Tiga kata dalam namanya menjadi lebih berbobot ketika ada atribut “SVD”, sebuah tarekat religius yang cukup besar , yang dirintis-dirikan oleh seorang imam diosesan Jerman, Arnoldus Jansen.
Lewat keutamaan bapak pendiri dan semangat ordo inilah, sangat wajarlah bahwa sang penulis juga senantiasa berjuang untuk menjadi seorang “giver”, yang siap membagikan dan menguatkan, yang siap memberikan dan meneguhkan, karena ia meyakini bahwa“sesungguhnya hidup yang tidak pernah direfleksikan adalah hidup yang tidak layak dijalani”.
Dengan semangat “giver” inilah, Gereja dan refleksi iman dihadirkannya sebagai sebuah peristiwa harian yang manusiawi. Inilah sebuah usaha gerilya sederhana melawan klise massal: Wajahnya tidak genit, isinya pun bukan gosip apalagi fiktif seperti dongeng dari negeri impian.
Kelima, Lamalera. Yah, atribut terakhir yang melekat-dekat dalam diri dan refleksi tulisannya adalah daerah asal orangtuanya, yakni Lamalera. Sebuah daerah eksotik di Lembata, NTT, yang begitu mempesona, dengan banyak laut lepas dan segerombolan ikan pausnya, yang masih asri dengan pelbagai tradisi, sensasi dan dimensi.
Warna warni dan cita rasa lautan Flores dengan segala kekhasannya, bisa jadi melengkapi dirinya menjadi seorang “healer”, penyembuh, minimal penyembuh bagi hatinya sendiri, di tengah malum (derita) juga bonum (kebaikan) yang silih berganti, yang datang dan pergi. Jelasnya, buku ini mau menghidupkan lagi apa yang hidup dalam kehidupan harian, mau menyatakan lagi apa yang nyata dalam kenyataan harian, yang sudah lama layu, hambar, terluka, ’mati’, dan mengalami apa yang disebut Vaclav Havel sebagai the aesthetics of banality (pendangkalan makna).
Bukankah sungguh sebuah niat baik dan patut dirayakan, jika sang penulis yang notabene adalah seorang pastor misionaris berusaha mengembalikan lagi bahasa dan refleksi imannya ke wilayah publik yang manusiawi, tidak melulu sibuk di altar perjamuan, tapi juga sungguh hidup di tengah pasar kehidupan?
Akhirnya, bersama ucapan berkat dan rangkaian proficiat saya buat perjalanan hidup dan panggilan Anton yang terus “on becoming” sebagai “healer, prayer, writer, giver dan teacher”, teruslah bertekun-rukun dan berjuang-garang menjadi “LAMAFA”, di lautan dunia global yang penuh arus liar ini, demi hidupnya kanvas harapan dan naiknya nafas kebahagiaan bagi seluruh “nelayan” samudera dunia ini, karena kehidupan yang walau sementara ini sejatinya adalah sesuatu yang terus terbuka, gemuruh dan tidak selamanya tenteram. Ia terus bergelombang seperti laut lepas yang chaos tapi tetap punya telos, bukan?
Demikianlah umpan telah dilempar ke air, adakah ikan akan terpancing, ataukah hanya sekedar gelombang kecil yang menyebar dari jatuhnya umpan itu?
B.
Pengantar untuk buku “Teorema Pagi.”
Kristo Baskoro
O Puncta Simplicitas
…Makanya, balik arah lah.
biar kita bisa saling pandang,
untuk kemudian saling tahu,
untuk kemudian saling mengerti; utuh, seluruh, penuh.
biar matamu menangkap mataku yang sibuk menjelajahi jiwamu…
O puncta simplicitas.
Titik titik kesederhanaan! Itulah yang coba diungkit-rakitnya menjadi satu baris-garis estetis dalam relung larung puisi dan karung marung prosa sederhananya. Otentik, unik dan kadang menggelitik. Ada yang klasik, ada juga yang menarik. Ada kisah yang datang dan pergi. Ada juga kasih yang datang mengilhami, yah karena kesederhanaannya untuk sepenuh hati “mencatat cerita” dan sepenuh budi “memberi makna” pada setiap perjumpaan kehidupan.
Sederhananya, lewat “puncta”, atau semacam titik-titik sederhana yang berangkat dari kontemplasi sederhana inilah, kita tak perlu mencari Tuhan jauh-jauh, karena segala sesuatu, bahkan yang biasa dan sederhana adalah penjelmaan Tuhan yang luar biasa dan istimewa. Baginya, Tuhan bukan hanya untuk dipikirkan tetapi untuk dihayati lewat dunia harian, lewat olah rasa hati dan cita rasa budi sehari-hari, yah budi yang kreatif, yang benar-benar ber-“budi” sekaligus ber-”budaya”, bukan melulu sebagai budi yang substantif apalagi sekedar normatif, bukan?
Yah, setiap hari dan berhari-hari: Ia terus bernyanyi seperti burung, tak perduli siapa yang mendengar, dan apa yang mereka pikirkan, karena baginya hidup adalah juga sebuah pembacaan puisi: kadang romantis, sesekali skeptis. Kadang ironik dan problematik. Kadang ada tawa dan tangis, pesimis dan optimis. Katanya sendiri: “Kamu dan aku seperti pagi dan malam, selalu berkejaran meski terkadang bersisian.”
Tercandra, ia sedang terus menulis puisi dalam hidupnya, di taman bunga masa mudanya karena dia yakin hidup harian itu penuh nuansa dan cerita. Dengan budidaya yang kreatif inilah, jelas baginya menulis adalah bekerja untuk keabadian, dan idenya bisa jadi menjadi abadi karena mau dibagi. Proficiat Kristo Baskoro. ”Scribo ergo sum- Aku menulis maka aku ada.”
C.
Pengantar untuk Buku
“The Power of Inner Peace”
Andi Iwan, New Life Motivator
RIP - Read In Peace
Menjadi sibuk saja tidaklah cukup;
semut-semut juga sibuk.
Persoalannya adalah:
Apa yang menyibukkan kita?
Pada mulanya adalah nada dasar “D”. Damai! Burung merpati dan daun zaitun sering juga digunakan sebagai “a sign of peace”.
Konsep damai sendiri membawa konotasi positif; hampir tidak ada orang yang menentang perdamaian, bahkan perdamaian yang menurut penulisnya terbagikan menjadi lima matra, “Damai Dengan Diri Sendiri. Damai Dengan Sang Ilahi. Damai Dengan Sesama. Damai Dengan Keyakinan-Keyakinan. Damai Dengan Nilai-Nilai Sejati” merupakan tujuan utama dari kemanusiaan.
Damai sendiri memiliki banyak arti. Sebuah definisi yang sederhana dari damai adalah “ketiadaan perang”. (bahasa Roma kuno untuk damai adalah Pax yang didefinisikan sebagai Absentia Belli, ketiadaan perang). Dengan definisi seperti ini, kita dapat menganggap Congo, Sudan, dan mungkin Korea Utara dalam keadaan damai karena mereka tidak sedang berperang dengan musuh dari luar. Kenetralan yang kuat juga telah membuat Swiss terkenal sebagai sebuah negara yang mempertahankan perdamaian sejak lama.
Di lain segi, membatasi konsep perdamaian hanya kepada ketiadaan perang internasional bisa menutupi genocide, terorisme, dan aneka kekerasan lainnya yang terjadi dalam negara. Oleh karena itu, ada definisi 'damai' yang lain yakni sebagai “ketiadaan kekerasan”, tidak hanya ketiadaan perang, tapi juga ketiadaan setan (evil). Dari sudut pandang ini, perdamaian tidak hanya ketiadaan kekerasan tapi juga kehadiran keadilan, seperti yang digambarkan oleh Martin Luther King, Jr. Dalam konsepsi ini, sebuah masyarakat di mana suatu kelompok ditekan oleh kelompok lainnya juga merupakan ketiadaan kedamaian.
Sebuah arti damai yang lain tampak di wilayah Danau Besar Afrika: Disana, kata damai adalah kindoki, yang menunjuk kepada keseimbangan yang harmonis antara manusia dan dunia alam lainnya: “kosmos” dan bukan “khaos”. Pandangan ini lebih luas dari damai yang berarti "ketiadaan perang", “ketiadaan setan” atau bahkan "kehadiran keadilan".
Dalam Alkitab Ibrani, adapun kata “damai” kadang diterjemahkan sebagai “syalom”. Sebenarnya, kata ini mempunyai makna yang sangat luas, tidak sekadar atau hubungan yang harmonis antara kita dengan orang lain, tetapi juga ‘keutuhan’, ‘kesejahteraan’, ‘kesehatan’, ‘kesembuhan’, bahkan ‘pembebasan’, ‘keselamatan’. Karena itu kata “shalom” ini dalam bahasa Yunani diterjemahkan dengan tiga matra, yaitu “eirene” (kedamaian, kesejahteraan), “hugianinein” (keadaan baik, sehat) dan “soteria” (pembebasan, keselamatan dan kesembuhan).
Bagi saya sendiri, setiap kali saya mendengar kata “damai”, kerap yang terlintas-pintas adalah sebuah kota tua bernama Yerusalem (Ibrani: “Kota Damai”) yang kerap disebut sebagai pintu gerbang menuju surga: “Aku bersukacita, ketika dikatakan orang kepadaku: Mari kita pergi ke rumah Tuhan. Sekarang kaki kami ada di pintu gerbangmu, hai Yerusalem.” (Mzm 122). Di dalam peta, Yerusalem bahkan dianggap sebagai kota yang paling terkenal di dunia.
Karen Amstrong pernah menyebut Yerusalem sebagai “kota tiga agama satu Tuhan” karena disanalah hidup dan berkembang tiga agama monoteis besar yang sebenarnya juga merupakan satu keluarga besar umat Allah: Ada Islam dengan Masjid Al-Aqsa, ada Yahudi dengan Tembok Ratapan, dan ada juga agama Kristiani dengan Taman Getsemani dan Gereja Makam Suci di Kalvari.
Di kota Yerusalem inilah, jelas terdapat banyak warisan sejarah, semacam historiografi agama-agama monoteis. Sebagai contoh, di Yerusalem, terdapat Bukit Moria, tempat Abraham, Bapa Orang Beriman mengorbankan Ishak anaknya. Raja Daud pernah juga menetapkan Yerusalem sebagai ibukota kerajaan Israel. Raja Salomo, juga pernah membangun Bait Suci, kediaman Allah di kota ini.
Bagi banyak orang Islam, Yerusalem diyakini sebagai tempat naiknya Muhammad ke surga, tempat inspirasi bagi banyak nabi – seniman - penyair dan ilmuwan. Bagi umat Kristiani sendiri, Yesus banyak mengajar, disengsarakan, wafat di salib dan bangkit di kota Yerusalem ini.
Nah, secara sederhana, buku ini adalah “a channel of peace”, sebuah “yerusalem” dengan huruf kecil bagi setiap pembacanya.
Inilah sebuah “channel of peace” yang berisi 50 permenungan sekaligus pemaknaan tentang sebuah kata bernama “damai”, sebuah usaha aktualisasi sederhana penulis dari apa yang pernah diucap-kecapkan oleh Socrates, “hidup yang tidak pernah direfleksikan adalah hidup yang tidak layak dijalani.”
Inilah sebuah “khalwat: semacam ruang jeda, ruang hati untuk masuk ke “yerusalem” kita masing-masing, untuk mau mengambil jarak di antara hiruk pikuk hidup harian. Inilah sebuah ruang hati untuk menyelami yang mudah dimengerti, maupun yang sulit dimengerti, pencerahan maupun misteri.
Sederhananya, lewat buku yang berangkat dari interupsi, refleksi serta kontemplasi sederhana inilah, kita tak perlu mencari “yerusalem” jauh-jauh karena segala sesuatu, bahkan yang biasa dan sederhana juga menghadirkan sebuah “yerusalem” yang luar biasa dan istimewa.
Disinilah, tercandra bahwa kedamaian bukan hanya untuk dipikirkan tetapi untuk dihayati lewat dunia harian, lewat olah rasa hati dan cita rasa budi sehari-hari, sebuah budi yang kreatif, yang benar-benar ber-“budi” sekaligus ber-”budaya”, bukan melulu sebagai budi yang substantif apalagi sekedar normatif.
Pengantar ini saya tutup dengan sebuah renungan kecil Jallaludin Rumi, seorang pecinta damai:
”Aku ingin bernyanyi seperti burung, tak perduli siapa yang mendengar, dan apa yang mereka pikirkan...”
Harapannya - siapapun anda – semoga mau mendengar dan mau memikirkan apa yang di‘nyanyikan’ dalam buku sederhana ini tentunya dengan penuh rasa damai.
Pacem in terris – Pacem in cordis.
Damai di bumi – Damai di ha
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar