Ads 468x60px

TUMBUK AGENG 64 TAHUN PERTAPAAN ST MARIA - OCSO (TRAPPIST) RAWASENENG 1953 – 2017 part 2



HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
SERI MONASTIK:
TUMBUK AGENG
64 TAHUN PERTAPAAN ST MARIA - OCSO (TRAPPIST) RAWASENENG
1953 – 2017
Hari ini, Jumat 25 Agustus 2017 adalah perayaan peringatan pemberkatan Gereja Pertapaan St Maria Rawaseneng yang persis di tahun 2017 ini memperingati hari jadinya yang ke-64.
Orang Jawa bilang, “tumbuk ageng”. Adapun "tumbuk alit", dimulai ketika seorang manusia berusia 8 tahun, masa anak-anak. Kemudian berlanjut, 8 x 2 = 16. 16 adalah awal masa remaja. Kemudian, 16x2 = 32, adalah awal masa dewasa.
Dan indahnya, 32x2 = 64. Karena 64x2 = 128 dan secara sederhana, tidak ada orang yang usia hidupnya sampai 128 tahun), maka umur 64 sendiri adalah awal masa kematangan, ketika seorang pribadi sudah semakin bijaksana dan kaya dalam olah-alih pengalaman dan otak-atik pemaknaan. Itulah juga yang diharapkan dari sebuah komunitas pertapaan di Dusun Rawaseneng ini.
A.
PROLOG
Kata bertapa sering anda dengar. Anda bisa mengartikan bermacam-macam. Pergi ke tempat sunyi, jauh dari kebisingan, ke gua-gua, kuburan atau makam keramat, tepi laut dan sebagainya.
Maksudnya? Mencari kesaktian, pangkat, kekayaan, umur panjang, pokoknya apa saja bisa menjadi alasan untuk bertapa. Caranya? Sering berpuasa, mati raga, berjaga, tidak tidur semalam suntuk, bersamadi dan sebagainya.
Itukah juga corak bertapa yang dilakukan para biarawan di Rawaseneng?
Adapun kata lain untuk pertapa, yang aslinya adalah kata Arab "Rahib" dan untuk pertapa wanitanya disebut "Rubiah". Umumnya di Indonesia, kata rahib digunakan untuk pertapa Kristiani. Hidup bertapanya disebut juga hidup kerahiban. Kata ini mau menerjemahkan kata Latin: "monachus". Dan bahasa Latin itu juga mengambil alih kata Yunani, yang berarti: tersendiri, menyendiri atau orang yang hidup menyendiri, mcngasingkan diri dari masyarakat ramai.

B.
SKETSA HISTORIS
1.
Asal Usul Hidup Kerahiban Kristiani.
Gerakan hidup kerahiban mulai timbul sekitar permulaan abad IV, di padang gurun Mesir sekitar bengawan Nil.
Gerakan ini didorong oleh keinginan batin yang berkobar-kobar untuk menghayati hidup Kristen secara radikal dan konsekuen.
Mereka menjadi rahib bukan untuk mengajar atau merasul, melainkan dengan tujuan utama: mau menjalani dan menghayati cita-cita Injili sebaik dan seradikal mungkin.
Apakah sebetulnya cita-cita Injili itu? Intinya dapat dikatakan: bersatu seerat-eratnya dengan Allah melalui Kristus (hal ini diungkapkan dengan macam-macam cara, misalnya: Kerajaan Allah, Keselamatan, Kebahagiaan Kekal).
Untuk mencapai cita-cita ini mereka mengasingkan diri dari “dunia”, masuk ke dalam kesunyian gurun. Mereka menjalani laku tapa yang keras, mengingkari hal-hal duniawi dan berdoa tanpa kunjung henti.
Dorongan batin untuk menghayati cita-cita Injili seradikal mungkin ini dituangkan dalam macam-macam bentuk. Umumnya dapat dibedakan dua golongan besar rahib: mereka yang hidup sendiri-sendiri disebut eremit. Dan para rahib yang hidup bersama dalam satu biara, disebut senobit. Bapak dan tokoh eremit yang terkenal di Mesir ialah S. Antonius (250-356). Riwayat hidupnya dikarang oleh S. Atanasius. Sedang bapak para senobit ialah S. Pakhomeus (290-346).
Hidup dan ajaran para rahib Mesir ini berhasil diperkenalkan ke Gereja Barat, antara lain melalui tulisan-tulisan S. Atanasius, S. Hironimus dan Yobanes Kasianus. Di antara para rahib Barat, S. Benediktuslah yang dapat dikatakan sebagai penegak dan bapak kerahiban Barat. Khususnya pengaruh S. Benediktus semakin meluas berkat "PSB", semacam peraturan hidup kerahiban yang disusunnya.
2. Santo Benediktus dan Peraturannya.
S. Benediktus lahir di Nursia, Italia, pada tahun 480 dari keluarga bangsawan. Sebagai mana layaknya putera-putera bangsawan waktu itu, pemuda Benediktus dikirim oleh ayahnya ke Roma untuk menuntut ilmu supaya kelak menda¬pat kedudukan terhormat dalam masyarakat.
Namun tak lama sesudah tiba di Roma, Benediktus mengubah arah hidupnya. S. Gregorius Agung, pengarang riwayat hidupnya mengatakan: “Ketika didapatinya banyak mahasiswa bejat hidupnya, dibuatnya keputusan untuk meninggalkan dunia yang baru saja hendak dimasukinya itu. Sebab ia takut, kalau ia ikut mencicipi ilmu mereka, ia akan turut mereka tercebur ke dalam kebinasaan. Jadi ditinggalkannya studi, keluarga dan warisannya. Dipeluknya hidup kerahiban karena ia mau menyenangkan Allah semata-mata. Dalam mengambil langkah ini ia sadar sepenuhnya bahwa ia mengurbankan ilmu. Ia sungguh berhikmat meskipun tak sangat terpelajar”.
Pergilah pemuda Benediktus ke Subiaco dan menjadi eremit dalam sebuah gua selama tiga tahun.
Rupanya Tuhan mempunyai rencana lain dalam hidup Benediktus. Ia mulai dikenal, banyak orang datang untuk meminta nasehat dan bimbingannya.
Kemudian ia berhasil mendirikan 12 pertapaan kecil, masing-masing beranggotakan 12 orang rahib dengan seorang pemimpin yang disebut Abas. MulaiIah ia merintis hidup senobit bagi para rahibnya.
Karena iri hati seorang imam bernama Florensius, Benediktus dan para rahibnya terpaksa mengungsi dari Subiaco ke Monte Cassino, dekat kota Napoli.
Disana, ia mendirikan pertapaan baru, yang sampai sekarang masih ada. Disana, ia juga menyusun sebuah anggaran dasar atau peraturan yang mengatur hidup para rahibnya. Di sana pula ia tutup usia pada tanggal 21 Maret 547.
3. Ordo Cisterciensis/Trappist.
Pada tahun 1098, sejumlah rahib dari biara Benediktin di Molesme, Perancis, dipimpin oleh S. Robertus, Alberikus dan Stefanus Harding, meninggalkan biara mereka dan membuka hutan Citeaux (dekat kota Dijon) sebagai tempat untuk biara mereka yang baru.
Di Citeaux ini, mereka menjalankan hidup bertapa secara keras, yang mereka anggap lebih sesuai dengan semangat asli S. Benediktus.
Mereka khususnya menekankan kesederhanaan dan kerja tangan, yang menurut hemat mereka sudah kurang mendapat perhatian di biara Molesme. Dari nama Citeaux inilah muncul nama Ordo Cisterciensis.
Beberapa waktu lamanya tak seorangpun mau menggabungkan diri dengan para rahib Citeaux, karena takut melihat cara hidup mereka yang keras.
Hal ini membuat para rahib gelisah dan putus asa. Siang malam dengan mencucurkan air mata mereka mohon panggilan kepada Tuhan. Ternyata doa mereka tidak sia-sia. Pada tahun 1112, di luar dugaan, rahmat Allah mengirimkan pemuda Bernardus bersama 30 orang sanak saudara dan temannya sekaligus masuk biara Citeaux.
Berkat pengaruh S. Bernardus dalam beberapa dekade saja Ordo Cisterciensis meluaskan sayapnya di benua Eropa.
Sebelum S. Bernardus wafat pada tahun 1153, sudah ter¬sebar hampir 350 buah biara Cisterciensis di seluruh Eropa.
Sayang kejayaan ini tidak bersifat langgeng. Sejak abad XIV kemerosotan mulai menggerogoti Ordo, kecemerlangan Cisterciensis semakin memudar.
Kemerosotan ini antara lain disebabkan juga oleh wabah penyakit pes, peperangan-peperangan, skisma dan timbulnya Reformasi Protestan.
Meskipun demikian tiap kali ada saja biara-biara yang ingin membarui diri. Dalam abad XVII ada juga biara-biara yang ingin kembali ke semangat asli dan menamakan diri biara-biara Observansi Tertib. Salah satu di antaranya adalah biara La Trappe yang dari tahun 1664- 1700 dipimpin oleh Abas De Rancé. Adapun, semangat pembaruan biara La Trappe mempunyai pengaruh besar terhadap biara-biara lainnya di Perancis.
Pada Revolusi Perancis (akhir abad XVIII) hampir semua biara Cisterciensis, baik di Perancis maupun di negara-negara lainnya, disapu bersih oleh Napoleon.
Sesudah jatuhnya. Napoleon (1814) para rahib yang masih bertahan mendirikan biara-biara lagi. Sejak waktu itu para rahib yang melanjutkan pembaruan La Trappe lebih dikenal sebagai rahib Trappist. Sebagian dari biara-biara Cisterciensis yang tidak mengikuti pembaruan La Trappe juga hidup kembali.
Dengan demikian, dewasa ini ada dua Ordo Cisterciensis yaitu: Sacer Ordo Cisterciensis (S.O.Cist.) yang juga disebut Ordo Cisterciensis Observansi Umum dan Ordo Cisterciensis Strictioris Observantiae (OCSO) atau Ordo Cisterciensis Observansi Tertib, yang juga dikenal sebagai Ordo Trappist.
Kedua Ordo tersebut terdiri dari biara-biara rahib dan biara-biara rubiah. Dengan kata lain kedua Ordo terdiri dari dua cabang, yaitu cabang pria dan cabang wanita
4. Pertapaan Rawaseneng.
Rawaseneng adalah nama sebuah desa kecil, 14 Km dari kota Temanggung di Jawa Tengah. Agak jauh dari desa, di pelosok, berdampingan dengan masyarakat pedesaan terletak sebuah pertapaan dari Ordo Trappist.
Sebelum digunakan untuk pertapaan, pada tahun 1936 berdirilah di sana sekolah pertanian asuhan para Bruder Budi Mulia.
Ketika pecah "clash action" pada tahun 1948, sekolah beserta asrama, biara dan bangunan gereja yang ada, dibumihanguskan
sehingga tinggal puing-puing.
Pada tahun 1950 datang ke Indonesia Pater Bavo van der Ham, seorang rahib Trappist dari biara Koningshoeven-Tilburg, negeri Belanda, untuk menjajaki segala kemungkinan bagi pendirian biara cabang.
Setelah mengunjungi beberapa tempat di Jawa Tengah, akhirnya pilihan jatuh pada Rawaseneng. Mulailah dibangun pertapaan di atas puing-puing bekas sekolah pertanian.
Tiga tahun kemudian, tanggal 1 April 1953, pertapaan Cisterciensis Santa Maria Rawaseneng di buka secara resmi sebagai cabang dari pertapaan induk di Tilburg.
Sedikit demi sedikit berdatangan para pemuda yang ingin menggabungkan diri. Sehingga pada tanggal 26 Desember 1958 pertapaan Rawaseneng diangkat menjadi biara otonom dengan status keprioran.
Pada tanggal 23 April 1978 dalam rangka Pesta Perak berdirinya biara, status pertapaan maju setapak lagi menjadi Keabasan. Rm. Frans Harjawiyata terpiih menjadi Abasnya yang pertama.
Rawaseneng sendiri merupakan satu-satunya biara Trappist pria di Indonesia. Tetapi pada akhir tahun 1995 pertapaan Rawaseneng mulai mengadakan pra fundasi di Flores di Keuskupan Larantuka. Jumlah anggota pertapaan Rawaseneng pada awal tahun 1996 ada 47 rahib. Biara Trappist wanita sudah dibuka secara resmi pada awal tahun 1987 di Gedono, dekat Salatiga, Jawa Tengah. Pada awal tahun 1996 jumlah anggotanya ada 27 rubiah.
C. CORAK KEHIDUPANNYA
1. Panggilan Menjadi Rahib.
Menjadi rahib adalah suatu panggilan. Panggilan dari Tuhan untuk hidup melulu bagi-Nya dalam kesunyian; panggilan hidup yang dibaktikan kepada doa.
Seorang rahib mengundurkan diri dari “dunia” dan sesama saudaranya, bukan karena, ia tak mau ambil pusing akan keselamatan mereka, melainkan karena dengan pang¬ilannya itu ia justru ingin menyumbangkan sesuatu bagi mereka. Apakah yang ingin disumbangkannya?
Secara singkat dapat dikatakan panggilan seorang rahib mengingatkan sesamanya akan nilai-nilai rohani yang harus diperjuangkan dan dijunjung tinggi.
Seorang rahib menjadi semacam tanda, suatu petunjuk, untuk memberikan kesaksian akan keagungan kasih Allah dan akan per-saudaraan akan semua orang dalam Kristus. Itulah panggilan hidupnya, sekaligus sumbangannya yang utama.
Panggilan hidup itu dijalankan dalam kesunyian. Kesunyian yang merupakan sarana untuk memudahkan setiap orang bertemu dengan Tuhan, bagi rahib menjadi suatu kebutuhan permanen dalam menghayati panggilan hidupnya. S. Antonius pernah berkata, “Sebagaimana ikan akan mati jika terlalu lama ditaruh di darat, demikian pun rahib akan hancur jika terlalu laina tinggal di luar kesunyian”.
Sebagai jawaban atas kasih Allah, rahib menjalani hidup yang dibaktikan kepada doa ini melalui sarana-sarana kerahiban lainnya: ketaatan, hidup wadat, kemiskinan, berjaga dan berpuasa, kekerasan hidup, kerja tangan, bacaan suci, ibadat bersama dan doa pribadi dalam keheningan. Semua sarana itu merupakan akibat dan tujuannya untuk hidup melulu bagi Allah.
Melalui semua sarana itu, rahib ingin mengungkapkan tekadnya untuk menjadikan Allah sungguh-sungguh pusat hidupnya. Dengan rendah hati dan tak kunjung henti, dengan segala usaha, ia mencari wajah Allahnya. Ia ingin seluruh hidupnya berakhir dan tercurah habis di hadapanNya dan untuk Dia. Karena Ia berhak atas persembahan diri itu. Hanya Dia melulu yang berhak memiliki persembahan hidup seutuhnya. Itulah hidup yang biasa disebut Kontemplatif, hidup yang sama sekali diarahkan sepenuhnya kepada persatuan dengan Allah.
Cita-cita hidup yang sederhana, mendalam dan indah ini tak dapat diraih tanpa pengurbanan. Seperti seseorang menemukan harta tak ternilai yang merebut seluruh minat perhatiannya, sehingga ia rela meninggalkan segalanya demi memiliki harta yang telah mempesona hatinya.
Begitulah kira-kira panggilan seorang rahib! Ia rela mengurbankan suatu kebaikan dan cinta demi kebaikan dan cinta yang lebih besar lagi. Hanya dengan keyakinan dan kesadaran inilah orang akan bertahan dengan tekun dan setia dalam panggilannya sebagai rahib. Ia melihat dalam hidup kerahibannya suatu panggilan akan adanya nilai yang lebih dan nilai-nilai lainnya, bahkan suatu nilai yang paling tinggi dan mutlak.
Kesadaran dan keyakinan inilah yang menyebabkan ia rela berjuang, bersama dan di dalam Kristus tanpa memanjakan diri sendiri, untuk mengalahkan kelekatan pada aku-nya supaya melekat pada Allah melulu. Inilah perjuangan yang membebaskan dia, sehingga menjadikan ia mampu mencintai Allah dengan segenap hati, segenap akal budi dan segenap tenaga. Itulah dambaan setiap rahib!
2. Hidup Bersama.
Rahib Cisterciensis termasuk golongan rahib senobit. Karena itu kehidupan bersama termasuk inti hidup mereka. Hidup bersama ini dinamakan juga hidup berkomunitas.
Kebersamaan ini terutama terletak dalam kebersamaan semangat, kebersamaan hati. Tetapi kebersamaan hati perlu diungkapkan dalam kebersamaan lahir. Karena itu dalam biara banyak latihan bersama: doa bersama, kerja bersama, makan bersama. Semua itu merupakan sarana untuk saling menguatkan dalam mengejar cita-cita bersama.
Tetapi dalam biara Cisterciensis, kesunyian juga termasuk inti hidupnya. Maka baik kebersamaan maupun kesunyian harus dijaga dan dijamin. Para rahib harus mengusahakan adanya keseimbangan antara kesunyian dan komunikasi.
Kesunyian di sini bukan berarti membisu total seumur hidup. Komunikasi antar sesama rahib diperkenankan meskipun dibatasi dan dengan tetap menjaga suasana hening dalam biara. Di samping latihan bersama ada juga saat-saat hening yang dapat digunakan secara leluasa oleh rahib sendiri-sendiri.
Setiap kehidupan bersama mengandaikan adanya seorang pemimpin. Begitupun setiap biara Cisterciensis yang bercorak senobit. Pemimpin biara disebut Abas, artinya bapak rohani.
Menurut S. Benediktus, bapak rohani yang sesungguhnya di dalam biara adalah Kristus sendiri. Abas diimani sebagai wakil Kristus dalam biara. Karena itu Abas harus memimpin para rahibnya menurut semangat Kristus sendiri, yang datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani. Abas harus melihat tugasnya lebih sebagai suatu pengabdian. Abas berperanan penting untuk me-nyatukan komunitas dalam mengejar cita-cita bersama. Ia juga menyadarkan dan mengarahkan komunitas kepada cita-cita Ordo.
3. Tiga Latihan Utama.
Doa bersama, bacaan suci dan kerja tangan sejak zaman dahulu menjadi tiga latihan dasar bagi pembentukan hidup rahib.
Bersama para saudaranya, rahib mengambil bagian dalam ibadat liturgis gerejani, yang disebut Ibadat Harian. Mereka memuji dan memohon kepada Allah di dalam Gereja dan sebagai anggota Gereja. Sebagai bagian dari Gereja, mereka bertugas menampakkan wajah Gereja yang berdoa.
Ibadat Harian di Rawaseneng dilakukan bersama tujuh kali sehari, dengan Perayaan Ekaristi sebagai puncaknya. Ibadat pertama sudah dimulai sejak pagi-pagi buta pukul 03.30 WIB sedangkan ibadat terakhir berlangsung pukul 19.45 WIB. Setiap ibadat sebagian besar terdiri dari mazmur dan kidung yang dinyanyikan.
Ibadat Harian akan mandul tanpa berbuah kalau tidak dijiwai secara pribadi. Oleh karena
itu rahib harus meluangkan waktu untuk berdoa secara pribadi.
Selain berfungsi sebagai jiwa ibadat, doa pribadi juga dimaksudkan untuk memperdalam hidup batin rahib. Doa batin-pribadi dengan doa liturgis-bersama saling mengisi dan memperkaya. Keduanya menjadi sarana utama bagi rahib untuk berdialog terus-menerus dengan Allah.
Karena doa merupakan dialog, maka per¬tama-tama rahib harus bersikap mendengarkan. Latihan mendengarkan suara Allah ini dilaksanakan secara khusus dalam bacaan suci atau Lectio Divina.
Lectio Divina dapat diartikan sebagai bacaan yang bemuara ke dalam doa. Karena itu dalam Lectio Divina ada unsur-unsur: membaca teks, meresapkannya dalam hati dengan cara mengulang-ulang, lalu secara spontan mengucap¬kan doa sebagai jawaban atas sentuhan rahmat yang diperoleh melalui teks tersebut.
Bahan utama Lectio Divina adalah Kitab Suci. Khususnya dengan mendengarkan suara Allah secara terus menerus dalam Kitab Suci, rahib semakin dibentuk dan diresapi oleh semangat Allah sendiri; ia semakin ditarik oleh-Nya untuk bersatu denganNya.
Tentu saja rahib tidak dapat hidup hanya dengan berdoa. Rahib harus bekerja juga. Kerja rahib terutama untuk mencari nafkah yang diperlukan bagi hidupnya. Menurut S. Benediktus rahib harus hidup dari hasil keringatnya sendiri, bukan dari bantuan atau derma orang lain.
Kerja di sini dapat dilihat pertama-tama sebagai suatu pelayanan dan pengabdian bagi sesama saudaranya sebiara.
Mata pencaharian utama rahib Rawaseneng ialah mengusahakan peternakan sapi perah dan perkebunan kopi. Dulu ada juga peternakan babi tapi sekarang sudah tidak ada lagi. Di samping itu ada juga pembuatan kue kering dan roti tawar, susu pasteurisasi, yoghurt, keju, kebun buah-buahan dan sayur mayur.
Tentu saja semua pekerjaan tak mungkin ditangani oleh para rahib sendiri: Oleh karena itu ada banyak karyawan yang membantu mereka. Sehingga dengan peternakan dan perkebunan, secara tidak langsung pertapaan Rawaseneng menyediakan lapangan kerja bagi orang desa sekitarnya.
Selain bekerja dalam peternakan dan perkebunan, para rahib juga mengerjakan tugas-tugas lainnya, seperti di bidang administrasi, pertukangan kayu, bengkel, penjilidan dan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga lainnya.
Ketiga latihan utama ini harus mendapatkan tempat yang seimbang dalam acara hidup harian rahib. Yang dimaksud dengan keseimbangan di sini ialah supaya ketiga latihan mendapatkan waktu dan perhatian sedemikian rupa sehingga perkembangan hidup kerahiban para anggotanya dapat dijamin.
4. Kenyataan Hidup.
Apa yang sudah kita bicarakan sampai sekarang lebih menyoroti ideal hidup rahib Cisterciensis. Setiap orang yang mampu berpikir secara kritis pasti memahami bahwa dalam hidup ini sering terdapat ketidakcocokan antara ideal dan kenyataan. Sering dialami bahwa teori berbeda dari prakteknya. Bahkan kadang-kadang perbedaan itu demikian mencolok.
Di satu pihak kita harus tetap berpegang teguh pada cita-cita, pada ideal. Karena hidup tanpa suatu cita-cita luhur dan jelas, membuat orang berjalan tanpa arah.
Di lain pihak, kita harus berpijak pada kenyataan hidup yang real. Orang yang terlalu berpegang pada idealisme, sehingga melupakan kenyataan, dapat dikatakan pasti akan mengalami banyak kekecewaan dalam hidupnya.
Ada banyak alasan untuk menjadi kecewa! Kecewa karena ternyata saudara sebiaranya ma¬sih manusia biasa yang penuh dengan kelemahan dan kekurangan. Kecewa karena melihat kurang adanya disiplin dalam hidup para rahibnya dan sebagainya. Bahkan dapat juga kecewa terhadap diri sendiri.
Selain itu suasana dan acara hidup yang senantiasa sama, monoton, dapat dirasa berat juga. Hidup Cisterciensis memang tak mengenal banyak variasi. Setiap hari seakan-akan sama saja: rentetan tugas dan kewajiban yang selalu terulang pada saat dan dengan cara-cara yang sama; bertemu dengan orang yang itu-itu juga.
Dkl: semuanya bisa membosankan, menjemukan, dapat menyebabkan rasa kering. Sehingga timbul keraguan: apakah aku terpanggil hidup sebagai rahib dengan saudara-saudara yang seperti ini? Di manakah Allah yang kucari? Apakah makna hidup ini? Semua terasa hambar, bahkan doaku yang dahulu begitu berkobar, sekarang menjadi gersang?
Bagi seorang rahib hidup ini tetap suatu perjuangan. Pada saat-saat kecewa, bosan dan pahit, ia seakan-akan ditantang kembali, untuk sekali lagi membarui niatnya yang semula. Selangkah demi selangkah ia harus menempuh jalan panjang untuk mencapai cita-citanya: berdaya upaya meneladan Kristus, menjadi kembaran Kristus dalam hal kebaikan dan kerendahan hati, kemurnian dan penyangkalan diri, ketaatan dan kesediaan hati untuk berkorban.
Dalam saat-saat seperti itulah ia dituntut untuk hidup lebih berdasarkan imannya. Pada saat itulah ia semakin disadarkan bahwa ia hidup bersama saudara-saudaranya bukan berdasarkan kesamaan hobby, bukan karena rasa cocok, bukan karena ikatan darah, melainkan pertama-tama karena kesatuan panggilan dan cita-cita.
Dalam saat seperti itu, ia disadarkan bahwa kebendak Tuhanlah yang telah membawa ia masuk ke dalam biara, bahwa ia tidak memilih sendiri saudara-saudara sebiara, demikianpun mereka tidak memilih dia, bahwa semua berada di biara karena dalam iman mau menjawab panggilan Tuhan. Dan bahwa bersama saudara-saudaranya inilah, ia telah mengikat diri seumur hidup dalam kaul stabilitas, untuk bersama-sama menanggung beban bersama menuju cita-cita bersama.

D.
PROSES FORMATIO
1. Tahapan Hidup Rahib.
Masuk ke dalam biara tidak berarti menjadi suci dalam waktu singkat. Tidak ada seorang pun yang menjadi rahib secara otomatis.
Seorang anggota baru tentu masih harus banyak menyesuaikan diri dengan irama hidup pertapaan, dengan sesama rahib yang menjadi saudara-saudara barunya, dengan segala suka duka hidup bersama.
Selama tahun pertama, yang disebut masa postulat, anggota baru dipersiapkan untuk secara berangsur-angsur beralih dari cara kehidupan di luar ke dalam cara kehidupan di pertapaan. Dalam tahap ini komunitas semakin mengenai dia, begitupun sebaliknya.
Sesudah menjalani masa postulat, ía diterima menjadi novis, mulailah tahap resmi dan hidup membiara. Dalam masa novisiat ini ia mendapat pembentukan dasar hidup kerahiban. Tahap novisiat dilangsungkan selama dua tahun.
Pada akhir masa novisiat, ia diperbolehkan mengikar diri pada komunitas dalam ikatan yang disebut kaul sementara (profes). Masa pembentukannya dalam tahap ini, yang disebut masa monastikat dimaksudkan untuk memperdalam dan mengembangkan pembentukan dasar yang telah diperoleh di novisiat. Khusus untuk pertapaan Rawaseneng, dalam masa monastikat kerap diberikan kursus-kursus, meliputi bahan-bahan seperti: Kitab Suci, Filsafat, Teologi, dan bahan pastoral lainnya.
Setelah menjalani masa kaul sementara sekurang-kurangnya selama tiga tahun, ía diperkenankan mengikrarkan kaul agung.
Dalam tahap ini, ia mengikat diri pada komunitas secara definitif untuk seumur hidup. Dengan kaul agung, pembentukan belum selesai, melainkan harus dilanjutkan sampai mati. Inilah yang disebut on going formation (pembentukan terus menerus).
Seorang rahib perlu dibentuk dan membentuk diri terus-menerus, terlebih-lebih untuk zaman sekarang, yang ditandai oleh situasi yang selalu berubah dengan cepat dan mendalam.
Setiap kali rahib harus mawas diri untuk mengolah perubahan-perubahan itu dan menentukan sikap yang tepat terhadapnya. Di satu pihak, rahib diminta untuk bersikap terbuka dan fleksibel, dan lain pihak ia harus kritis dan tetap berpedoman pada tradisi kerahiban pada umumnya serta tradisi Cisterciensis pada khususnya.
2. Pembentukan Imamat.
Panggilan Cisterciensis pertama-tama adalah panggilan untuk menjadi rahib. Karena itu setiap anggota pertama-tama diarahkan dan dibentuk untuk menjadi seorang rahib. Namun demikian, hal ini tidak menutup kemungkinan adanya rahib imam.
Akan tetapi, tetap harus dibedakan antara panggilan menjadi rahib dan panggilan menjadi imam. Panggilan imamat dan kerahiban pertama-tama adalah demi kepentingan serta pelayanan komunitasnya. Diharapkan seorang rahib imam dapat mengintegrasikan panggilannya sebagai rahib dan sebagai imam.
Untuk menjadi rahib imam, selain adanya panggilan imamat dan kepentingan komunitas, diperlukan suatu persyaratan khusus, antara lain studi yang dituntut dari seorang calon imam pada umumnya. Di pertapaan Rawaseneng, studi untuk menjadi imam itu dijalankan sesudah kaul agung dan ikut tinggal bersama para frater di Fakultas Teologi Wedabhakti Kentungan Yogyakarta.
3. Persyaratan Masuk.
Biara Cisterciensis bukanlah tempat pelarian bagi mereka yang gagal dalam hidup bermasyarakat. Tidak sembarang orang dapat diterima begitu saja.
S. Benediktus dalam Peraturannya menyarankan Abas untuk menyelidiki para calon, apakah mereka sungguh-sungguh mencari Allah. Sifat-sifat yang perlu dimiliki oleh seorang calon rahib dapat dirumuskan sebagai berikut:
o cinta akan alam kesunyian dan hidup terasing dari dunia
o cinta akan hidup doa dan samadi, dapat menghargai ibadat bersama, bukan pertama-tama karena rasa terharu, melainkan karena kesadaran akan nyala kasih ilahi
o kemampuan untuk hidup bersama
o pengertian yang jelas dan real akan inti hidup kerahiban
o tidak segan dan cepat patah semangat dalam menghadapi kesukaran dan rintangan
o bersikap optimis dan gembira, tak mudah cepat tersinggung
o berpandangan realistis.
Itu semua beberapa sifat yang diperlukan, di samping persyaratan umum, seperti:
o sudah dipermandikan secara Katolik sekurang-kurangnya selama lima tahun
o berpendidikan serendah-rendahnya tamatan SLTA/sederajat
o berusia antara 20 - 35 tahun
o sehat baik jasmani maupun mental.
Biasanya para peminat dianjurkan untuk datang meninjau langsung ke Rawaseneng terlebih dahulu, selama beberapa waktu di "Kamar Tamu". Kesempatan mengunjungi ini diulangi untuk jangka waktu 1-3 bulan di dalam komunitas, sampai dirasa cukup matang baik dari pihak peminat maupun dan pihak pertapaan.

E.
RELEVANSI UNTUK GEREJA DAN DUNIA.
1. Pelayanan kepada Tamu.
Sesuai dengan semangat hidup kerahiban yang bercorak kontemplatif, para rahib Rawaseneng membatasi diri dalam berkomunikasi dengan dunia luar.
Pembatasan dan keterpisahan ini bukan berarti sama sekali tertutup dan mengisolasi diri dari dunia luar. Karena sesuai juga dengan tradisi para rahib, pertapaan Rawaseneng terbuka untuk para tamu yang datang berkunjung.
Pelayanan yang disumbangkan oleh para rahib kepada para tamu ialah kehidupan komunitas sendiri. Kehidupan komunitas dan suasana pertapaan sudah merupakan kesaksian yang berharga.
Para tamu diberi kesempatan untuk turut serta merayakan ibadat bersama para rahib. Para tamu yang menyaksikan kehidupan para rahib dan turut dalam ibadat harian mereka diingatkan akan adanya nilai-nilai lain dalam hidup ini yang lebih mendalam.
Tamu-tamu yang percaya kepada Tuhan diingatkan akan pengaruh Tuhan dalam hidup mereka. Dengan demikian pelayanan para tamu dapat dilihat sebagal karya kerasulan. Selain itu ada juga tamu yang datang untuk mengadakan retret, rekoleksi, konsultasi pribadi, atau meminta bimbingan rohani. Maka karya di Kamar Tamu sebagian juga merupakan karya pastoral.
2. Pelayanan kepada Gereja.
Sumbangan paling berharga yang dapat diberikan oleh komunitas Rawaseneng kepada Gereja, khususnya di Indonesia, ialah kehidupannya sendiri.
Para rahib Rawaseneng tidak mempunyai tugas/karya kerasulan ke luar seperti para Imam atau Bruder lainnya. Misalnya mereka tidak bertugas menggembalakan umat beriman di paroki, tidak mengajar di sekolah dan sebagainya. Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa biara kontemplatif, termasuk Rawaseneng, tidak merasul.
Tadi sudah disinggung, bahwa karya di kamar tamu ada segi pastoral dan kerasulannya. Dengan perkataan lain, kerasulan para rahib bukan berupa kegiatan di luar biara, melainkan tetap dalam lingkup biara itu sendiri.
Sejauh diperlukan dan sejauh dalam komunitas ada anggota yang mampu melakukannya, pertapaan juga menyumbangkan jasa-jasa tertentu, meskipun hanya bersifat sementara.
Sebagai contoh, dapat dikemukakan bahwa pernah ada anggota pertapaan yang memberikan pelbagai sumbangan dalam bidang liturgi, musik gereja, spiritualitas, karangan-karangan bidang rohani, penterjemahan lagu dan doa doa berbahasa Latin serta lain sebagainya. Tetapi sumbangan seperti itu bukanlah sesuatu yang mutlak. Karena sekali lagi, sumbangan yang paling utama tetap terletak dalam penghayatan hidup kontemplatifnya.
3. Pelayanan Kepada Masyarakat Setempat.
Yang dimaksudkan dengan masyarakat setempat adalah masyarakat di sekitar pertapaan, termasuk para karyawan pertapaan.
Seperti sudah disinggung, karya-karya pertapaan memerlukan banyak karyawan. Dengan demikian karya pertapaan menyediakan lapangan kerja bagi banyak orang. Dapat dikatakan, karya-karya tersebut mempunyai pengaruh dalam bidang sosio ekonomi masyarakat sekitar.
Karena kerja tangan dalam biara-biara kontemplatif dijunjung tinggi, maka kiranya hal ini juga mempunyai arti yang besar bagi masyarakat. Banyak orang menganggap rendah kerja tangan. Pekerjaan tangan dipandang hina, seakan-akan hanya diperuntukkan bagi orang yang berpendidikan rendah saja. Dalam suasana pembangunan yang sedang populer di masyarakat kita, jelas bahwa sikap tersebut dapat menghambat pembangunan.
Para rahib memberikan tempat terhormat pada kerja tangan dalam hidup mereka. Dengan demikian mereka mengingatkan masyarakat bahwa mereka pun harus menjunjung tinggi kerja tangan yang sangat diperlukan demi suksesnya pembangunan.
Pada waktu-waktu tertentu, pertapaan memberikan bantuan bagi masyarakat, misalnya: menolong orang miskin dan desa sekitar (memberi makan, pakaian, obat, sembako, dana pendidikan/kesehatan), ikut berperan aktif memperbaiki jalan dan fasilittas umum serta fasilitas sosial sehingga ada jalinan yang cukup baik antara pertapaan dengan masyarakat setempat.
4. Pelayanan Kepada Masyarakat Luas/Dunia.
Dewasa ini dunia semakin menjadi ramai, bising dan sibuk. Kehidupan menjadi padat, ter-tekan oleh seribu satu informasi yang dihujankan betubi-tubi oleh alat-alat komunikasi modern. Banyak orang mengalami tekanan psikis karena otak dan syaraf manusia harus mengolah semua itu secara terus-menerus.
Dalam keadaan yang serba sibuk ini, orang memerlukan tempat yang hening dan teduh. Biara-biara kontemplatif dapat memberikan andil bagi mereka, untuk menemukan kembali keseim¬bangan rohaninya.
Almarhum Paus Paulus VI pemah memberikan amanatnya kepada para rahib Ordo Trappist sebagai berikut:
“Kehidupan anda juga menjadi contoh tanpa tanding yang justru diperlukan oleh masyarakat kita. Sering masyarakat kita membiarkan diri diserap sama sekali oleh barang-barang temporal. Berkat kesunyian dan doanya, biara-biara anda merupakan pulau atau pusat yang memberi sumbangan kepada dunia untuk memulihkan keseimbangan rohaninya. Anda memberikan sumbangan ini bukan hanya secara lahir. Lebih-lebih anda memberikannya juga dalam misteri persekutuan para kudus. Sebab kalau tidak begitu, dunia akan dicekik oleh aktivisme yang menjadi-jadi. Dunia akan kehilangan kepekaannya terhadap nilai yang hakiki”.

AKHIR KATA.....
Demikianlah selayang pandang kehidupan tapa para rahib di Rawaseneng. Inilah bentuk kehidupan yang indah dan luhur, namun sulit pelaksanaannya. Namun yang sulit itu menarik, ka-rena orang merasa ditantang untuk menjalaninya.
Inilah bentuk kehidupan yang menuntut orang bermental baja untuk menjalaninya yang menuntut keikhlasan dan serah diri total dan sebagai hadiahnya: Allah sendiri.
Dengan kerinduan hati, orang mencari Tuhan, karena Tuhan telah lebih dahulu mencintainya.
Anda tak’kan hidup sebelum menaruh cinta kasih.
Anda tak’kan menaruh cinta kasih sebelum anda menyerahkan segenap hati anda.
Anda tak’kan menyerahkan segenap hati anda sebelum anda menemui Tuhan
Maka anda akan mengetahui kebahagiaan yang telah disediakan bagi anda......
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar