Ads 468x60px

Happy Birthday Gus Dur


Happy Birthday Gus Dur...
MAN OF DIA.LO.GUE.
B udayawan
C endekiawan
R ohaniwan
Hari ini 13 tahun Munir meninggal dan 60 tahun Rama Kardinal masuk Jesuit bersamaan dengan 77 tahun usia alm Gus Dur.
Ya, pada 7 September 1940 atau 77 tahun silam, pasangan Wahid Hasyim dan Solichah dikaruniai seorang anak pertamanya di Jombang, Jawa Timur.
Anak lelaki kebanggaan itu kelak menjadi orang besar di Indonesia dan bahkan memimpin negeri ini. Dia lah cucu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Hasyim Asy'ari yang dinamai Abdurrahman Wahid atau yang kemudian hari dikenal dengan Gus Dur.
Soal tanggal lahir ini, ada kisah unik seperti gaya Gus Dur semasa hidup. Meski Gus Dur lahir pada 7 September, sejumlah orang sering merayakan hari ulang tahun Gus Dur pada 4 Agustus.
Tak heran maka jika diingat, setiap 4 Agustus, peringatan Hari Lahir (harlah) Gus Dur kerap dilakukan Gus Durian untuk mengenang sang "Bapak Bangsa" itu.
Gus Dur pun membeberkan soal perbedaan tanggal lahirnya itu dalam sebuah wawancara yang diangkat harian Kompas pada 8 Agustus 1990.
Aneh tapi nyata, ibunda Gus Dur ternyata tidak tahu persis kapan anaknya lahir.
"ltu sebabnya saya tidak heran kalau orang-orang pada bingung kapan tepatnya saya lahir. Karenanya, terserah penafsiran oranglah," ujar Gus Dur tersenyum sambil menyebut tanggal lahirnya adalah 4 Agustus 1940.
Bulan delapan nyatanya belum tentu pula jatuh pada bulan Agustus. Pasalnya, yang diingat Gus Dur dia lahir di bulan Sya'ban menurut penanggalan Islam.
Tahun kelahirannya pun diragukan. Hal ini karena Gus Dur sempat menuakan diri satu tahun untuk masuk sekolah.
Tak pastinya tanggal lahir Gus Dur ini karena buku doa yang berisi tanggal lahirnya hilang saat perang.
"Ayah saya (Wahid Hasyim) ikut perang sehingga buku itu terceceh entah ke mana," ujarnya terkekeh.
Gus Dur tak ambil pusing soal waktu pasti dia lahir karena tak memiliki tradisi merayakan hari ulang tahun. Tradisi merayakan ulang tahun, kata Gus Dur, baru ada setelah putrinya yang paling kecil yakni Inayah Wulandari. Sebelum-sebelumnya, Gus mengaku lebih sering lupa hari ulang tahunnya.
"Anak itu selalu ingat saya ulang tahun. Dan hanya untuk dia saja, tradisi merayakan ultah ada," katanya.
****
Ini baru soal tanggal lahir. Ada segudang cerita unik yang mengiringi langkah Gus Dur dari mulai menjadi Ketua Umum PBNU, tokoh pluralis yang dicintai berbagai etnis dan suku di Indonesia, seorang yang humoris, hingga orang nomor satu negeri ini.
Gonjang-ganjing dan kemelut dunia politik diselami Gus Dur denga penuh canda. "Gitu aja kok report", kata Gus Dur tiap kali menghadapi masalah.
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
NB:
Dur, nama lengkapnya Abdurrahman Al-Dakhil. Ia lahir hari Sabtu di Denanyar, Jombang. Ada rahasia dalam tanggal kelahirannya.
Dur ternyata tak tahu persis, tanggal berapa sebenarnya ia dilahirkan! Sewaktu mendaftar ke SD di Jakarta, Dur ditanya,
“Namamu siapa?”
“Abdurrahman.”
“Tempat dan tanggal lahir?”
“Jombang … “ Dur terdiam beberapa saat. “Tanggal empat bulan delapan tahun 1940,” lanjutnya.
Dur agak ragu sebab ia harus menghitung dulu bulan kelahirannya. Dur hanya hafal bulan komariah­nya, yaitu hitungan berdasarkan perputaran bulan.
Ia tidak ingat bulan syamsiahnya, atau hitungan berdasarkan perputaran matahari. Yang Dur maksud, ia lahir bulan Sya’ban, bulan kedelapan dalam hitungan komariah. Tapi gurunya menganggapnya Agustus, yaitu bulan kedelapan dalam hitungan syamsiah.
Maka, sejak itu ia dianggap lahir pada 4 Agustus 1940. Padahal sebenarnya ia lahir pada 4 Sya’ban 1359 H. Bertepatan dengan 7 September 1940 M. (Kutipan dari buku bergambar Gus Dur: Berbeda Itu Asyik)
A.
In Memoriam.
Lamat - lamat terdengar shalawat narriyah, yang dilantunkan sekelompok penyanyi di halaman Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
“Shalawat ini adalah kesukaan Gus Dur,” ujar salah satu vokalis grup An-Nabawi dalam pagelaran seni budaya mengenang 1000 hari meninggalnya Abdurrahman Wahid atau yang kerap dipanggil Gus Dur.
Salah satu putri Gus Dur, Alissa Wahid, disela-sela acara tersebut menerangkan, “di acara malam ini, akan kita lihat bagaimana pluralitas yang identik dengan sosok Gus Dur sebagai seorang anak bangsa.”
Acara dengan tajuk “Ziarah Budaya” untuk mengenang nyewu-nya Gus Dur tersebut bernafas Nusantara dan kebhinekaan.
Pengisi acaranya berasal dari Aceh hingga Papua. Di awal acara, terlihat aksi menawan barongsay dari kelompok Naga Merah Putih dari Bogor. “Kami tampil di acara ini karena ingin menyumbang saja, sebagai wujud terima kasih kami, karena Gus Dur pula kesenian barongsay menemukan kebebasannya,” ujar Ade, pelatih kelompok ini.
Kebhinekaan benar-benar tersaji di atas panggung seluas 10m x 6m itu, dengan background spanduk besar berwarna dasar putih bertuliskan “Menggerakkan Tradisi Meneguhkan Indonesia”.
Acara ini dibuka oleh Alissa Wahid, kemudian silih berganti pengisi acara tampil. Mulai dari penyanyi Glenn Fredly, penyair Zawawi Imron, budayawan Mohammad Sobary, pendongeng dari Aceh Agus PM Toh, kelompok paduan suara GKI Yasmin dari Bogor. Sementara di tenda tamu tampak pula Sinta Nurriyah, istri Gus Dur, yang khusyuk mengikuti acara hingga selesai.
Persoalan bangsa yang masih belum terselesaikan, diselipkan dalam acara ini, salah satunya masalah 1965. Permasalahan tersebut menjadi salah satu tugas yang harus diselesaikan penguasa, dan Gus Dur sedikit banyak sudah memulainya. “Cap ET (eks Tapol) di KTP, sudah dihapus pada masa Gus Dur,” kata Romo Mudji Sutrisno dalam doa diawal acara, tampak pula wakil dari Kristen, Konghucu, Baha’i, dan Islam.
Gus Dur telah mencairkan ruang beku mengenai persoalan 1965. Pendapat kontroversialnya ialah mengenai permintaan maaf atas perlakuan tidak adil terhadap orang-orang yang dituduh komunis. “Saya minta maaf atas segala pembunuhan yang terjadi terhadap orang-orang yang dikatakan komunis itu,” kata Gus Dur, dalam acara 'Secangkir Kopi Bersama Gus Dur' yang disiarkan TVRI tahun 2000.
Selain persoalan pelanggaran HAM berat 1965 yang disinggung Romo Mudji, persoalan keadilan dan kekuasaan menjadi gugatan Mohammad Sobary dalam orasi budayanya. “Kekuasaan merupakan alat untuk melindungi yang lemah, yang tersingkir, dan kekuasaan juga untuk menjamin keadilan,” kata Sobary lantang.
Sementara Zawawi Imron, penyair dari Madura, menyentil mengenai kejujuran yang sudah menjadi barang langka di Indonesia. Sedangkan masa lalu Indonesia penuh kekerasan pun diwujudkan dalam sebuah lagu, seperti petikan lirik syair lagu yang dilantunkan Glenn Fredly malam itu: negeriku gelap history / kebencian jadi ideologi.
Gus Dur tak hanya piawai mengenai masalah kenegaraan dan politik, namun sebagai pribadi yang dibesarkan dalam keluarga santri, pemahaman agamanya pun sudah matang. Pemahaman agama dikolaborasikan dengan seni, maka tercipta apa yang dinamakan syi’ir Gus Dur: “akeh kang apal Qur’an Haditse, seneng ngafirke marang liyane, kafire dewe dak digatekke, yen isih kotor ati akale (Banyak yang hafal Alquran dan haditsnya, senang mengkafirkan kepada orang lain, kafirnya sendiri tak dihiraukan, jika masih kotor hati dan akalnya).
Petikan lirik dalam Syi’ir Gus Dur, yang dinyayikan kembali oleh grup Rois n Friends, salah satu personilnya anak bungsu Gus Dur, Inayah Wahid.
Eksotisme musik rasa Nusantara di akhir acara disajikan oleh penampil terakhir kelompok musik Kyai Menur, yang dilengkapi sejumlah alat musik tradisional seperti kendang, saluang, dan jimbe.
Ziarah Budaya mengenang 1000 hari wafatnya Gus Dur ditutup dengan kolaborasi antara paduan suara GKI Yasmin dengan kelompok musik Kyai Menur dengan melantunkan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Gagasan dan tindakan nyata Gus Dur dalam penguatan pluralitas tidak dapat disangkal lagi, dan tongkat estafet tersebut berada pada penerusnya. “Gus Dur tidak pergi, ia hanya pulang dan Gus Dur telah memberikan teladan, tinggal kita yang meneruskan,” kata Alissa Wahid.
B.
Sebuah Esai dari Gus Dur (Abdurrahman Wahid)
Judul dari artikel ini adalah persaudaraan dan pluralitas kita, yaitu adanya persaudaraan dalam kemajemukan kita memandang kehidupan.
Habib Saggaf, pemimpin Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman di Parung, Bogor, yang bercerita bahwa ia pertama kali mengetahui tentang perlunya menghargai pluralitas dari penulis artikel ini.Kemudian itu terbukti pada waktu dia harus mendirikan usaha roti untuk makan ribuan santrinya yang kebanyakan yatim piatu.
Ketika mendirikan usaha tersebut, dia diberi bantuan oleh kawan- kawan nonmuslim. Di sinilah dia baru merasakan pentingnya menyayangi yang berbeda (pluralitas) dalam kehidupan. Jika memiliki sikap pluralistik seperti itu memang diperlukan, maka kita lalu bertanya,apakah pandangan itu bisa menjadi pendorong bagi dialog antara semangat kebangsaan/nasionalisme dan ajaran agama Islam untuk keutuhan bangsa ini?
Sampailah kita pada sebuah kenyataan sejarah yang tidak dapat dibantah, yaitu tentu ada kekuatan yang mendorong ketika kita “memulai”kebangkitan ajaran agama kita.Penulis menandai hal itu dengan kehadiran Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Pada 1912, KH M Hasyim Asy’ari diberi tahu bahwa perkumpulan baru bernama Muhammadiyah didirikan kalangan kaum muslimin di Yogyakarta.
Beliau bertanya: “Siapakah pendirinya?”Tiga hari kemudian beliau diberi tahu bahwa pendirinya adalah H Ahmad Dachlan dari Yogyakarta. Beliau bertanya lagi, apakah orang itu dahulunya sama-sama jadi santri dengan beliau di Pondok Pesantren Kyai Shaleh Darat, Semarang?
Ketika memperoleh jawaban bahwa sang pendiri itu benar teman beliau di Pondok Pesantren Shaleh Darat, beliau mengatakan bahwa tokoh tersebut adalah orang baik,walaupun ibadahnya “tidak sama”dengan kita.Beliau juga mengatakan bahwa pada waktu itu mereka berdua sekamar dengan orang ketiga, yaitu Sosrokartono, kakak kandung orang yang kemudian kita kenal dengan nama RA Kartini dari Rembang.
Di sinilah sejarah seolah memilih dan membentuk sejarah Indonesia modern. Persaudaraan itu bertambah lagi bahwa antara HOS Tjokroaminoto dari Surabaya dan KH Hasyim As’yari memang ada pertalian kekeluargaan, yaitu sama-sama keturunan Kyai Harun (Ki Ageng Basjariah) dari Sewulan, sepuluh kilometer sebelah selatan Kota Madiun.
Dialog antara nasionalisme/ kebangsaan dan ajaran agama Islam antara mereka berdua terus berlanjut, karena HOS Tjokroaminoto memiliki menantu bernama Soekarno (di belakang hari dikenal dengan nama Bung Karno). Juga karena ada keluarga lain di kalangan mereka, yaitu Djojosugito, dari keluarga yang sama, yang mendirikan Gerakan Ahmadiyah Indonesia.
Dari kebutuhan dialog seperti inilah, lalu dirasakan kepentingan melembagakan/institusionalisasi kebutuhan tersebut. Karena itu,setelah Perang Dunia I, menjelang 1920-an mereka membangun kekuatan. Ternyata, gerakan Syarikat Islam (yang di belakang hari menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia/ PSII) diinfiltrasi komunis.
Lahirlah apa yang kelak dikenal sebagai SI Merah yang cukup lama memegang dominasi atas kehidupan politik bangsa kita.Lalu akibatnya bagi lingkungan NU, lahir orang-orang NU yang mementingkan Islam sebagai ideologi politik,bukannya sebagai gerakan kultural/budaya. Inilah yang kemudian menjadi “ideologi resmi” gerakan Islam di negeri kita kini.
Mereka antara lain mewujudkannya dalam Partai Arab Indonesia (PAI) dan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang kemudian hari menjadi Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia). Pandangan mereka itu sekarang diteruskan oleh berbagai gerakan, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI) dan seterusnya.Kenyataan sejarah seperti ini menjadi milik kita bersama.
Penulis artikel ini pernah ditanya seorang pemimpin HTI,Anda masih menginginkan dijalankannya syariat Islam? Penulis menjawab masih. Dia lalu menanyakan kepada penulis artikel ini, mengapa menolak kekhalifahan (konsep negara Islam)? Penulis menjawab,kita sama-sama menerima syariat Islam tetapi berbeda dalam gagasan negara Islam.
Bagi penulis artikel ini, gagasan itu bukanlah barang wajib.Antara negara dan syariah harus dibedakan.Tetapi kita berdua sama-sama percaya pada syariah dan ajaran agama Islam. Kita bahkan dianjurkan untuk tidak saling bermusuhan bahkan saling bersaudara. Ini juga penulis kemukakan dalam sebuah seminar tentang gerakan Islam fundamentalis dan radikal yang diselenggarakan pada musim panas 2006 di Akademi Angkatan Udara (Air Force Academy), Colorado, Amerika Serikat (AS).
Karena pada waktu itu penulis dilarang pergi ke AS oleh para dokter, tahun berikutnya Donald Rumsfeld, yang waktu itu masih menjabat sebagai Menteri Pertahanan AS, meminta penulis membuat rekaman video berisikan pikiran-pikiran penulis artikel ini tentang hal itu. Dalam rekaman penulis menyatakan tidak pernah menganggap teman seagama sebagai keluar dari Islam, bahkan menganggap mereka sebagai saudara.
Karena itu,penulis artikel ini meminta para peserta seminar tersebut mencari titik-titik temu dengan mereka.Permintaan itu adalah sesuatu yang berat karena para peserta seminar itu adalah orang-orang yang selalu diganggu oleh kaum fundamentalis dan radikalis.
Menganggap kaum fundamentalis dan radikal bukan Islam lagi tidak dapat dilakukan penulisartikelinikarena mereka “berjuang” dengan cara mereka untuk kepentingan Islam.Kami tidak menentang mereka, me-lainkan menentang tindakan mereka. Tapi perbedaan cara berjuang itu tentu tidak mengharuskan sikap saling mengafirkan antara penulis artikel ini dan mereka. Ini juga sikap pluralistik dalam memandang kehidupan, bukan?
C.
Perjumpaan Gus Dur dengan Marxisme.
PERJUMPAAN Gus Dur dengan Marxisme, bisa kita baca dalam biografi yang ditulis oleh Greg Barton. Sebagaimana pengakuannya sendiri ketika remaja di Yogyakarta menjadi santri Kiai Ali Maksum Krapyak, ia telah membaca Das Capitalkarya Marx dan What Is To Be Done?karya Lenin.
Gus Dur juga tertarik pada ide Lenin tentang keterlibatan sosial secara radikal, seperti dalam Infantile Communism dan dalam Little Red Booknya Mao (kutipan kata-kata Ketua Mao).
Digambarkan bahwa di satu sisi ia menemukan banyak ide menarik dalam pikiran-pikiran kaum Marxis, tetapi ia juga terganggu oleh antagonisme Marxisme dengan agama.
Meski demikian, Gus Dur masih tetap berharap bahwa dalam Islam ia dapat memperoleh jawaban bagi masalah-masalah ketidakadilan, kemiskinan, dan penindasan yang menjadi tema utama dan mengemuka dalam Marxisme-Leninisme.
Dari situ kita tahu bahwa Gus Dur bersentuhan dengan Marxisme-Leninisme sejak masa remaja. Meski demikian, tidak mudah bagi siapapun untuk mengetahui sejauh mana pemahaman dan pengaruh Maxisme atas pemikirannya, karena Gus Dur tak pernah menerbitkan atau menuliskan hasil bacaannya.
Dari semua esainya, setahu penulis, hanya ada satu esai Gus Dur yang secara spesifik memberi komentar atas Marxisme yaituPandangan Islam Terhadap Marxisme dan Leninisme yang dimuat pertamakali dalam Persepsi No. 1 1982. Bertolak dari esai tersebut, kita akan tahu bagaimana kesan dan ekspektasi Gus Dur atas Marxisme-Leninisme.
Bagi pembaca Gus Dur yang baik, tak akan heran dengan sikap terbuka Gus Dur terhadap Marxisme karena Gus Dur sejak semula membuktikan dirinya tidak pernah canggung dengan berbagai khasanah pengetahuan yang berada di luar garis kulturalnya.
Sikap terbuka ini, kemungkinan besar diterimanya dari lingkungan kosmopolit yang ditanamkan oleh ayahnya, Wahid Hasyim, dimana sebagai politisi muda pada masanya kiai Wahid biasa bergaul dengan banyak tokoh-tokoh pergerakan dari berbagai latar ideologi. Bahkan bersahabat dengan seorang pejuang Revolusioner Tan Malaka yang berhaluan Komunis.
Di sini muncul pertanyaan. Gus Dur yang pada masa remajanya telah membaca Marxisme-Leninisme, –setidaknya telah memahami dasar-dasar pemikiran Marx— kenapa Gus Dur tidak tertarik untuk mengkaji Marxisme secara lebih serius dan teoritis? Pertanyaan tersebut juga bisa berlaku secara umum. Kenapa intelektual Islam Indonesia di era orde baru enggan untuk mengkaji Marxisme di era itu?
Pertanyaan ini relevan untuk diajukan dimuka, sebelum kita masuk ke esai Gus Dur. Karena secara umum, dalam esai tersebut Gus Dur sadar betul akan pentingnya Marxisme-Leninisme bagi pemikiran Islam.
Setidaknya, ada beberapa hal yang menghambat kajian Marx di era orde baru:
Pertama, Secara historis kaum muslim Indonesia mempunyai pengalaman sejarah kelam yang memposisikan Islam dan Marxisme secara berhadap-hadapan di tahun 1948 dan 1965.
Kedua, para intelektual Islam Indonesia yang mekar di era tahun 1980an – 1990an, hidup dalam suasana pembangunanisme yang tengah dicanangkan oleh rezim orde baru. Sehingga mudah ditemukan di era itu, intelektual Islam Indonesia disibukkan oleh upaya mencari kesesuaian Islam dan Developmentalism.
Nalar instrumental yang dibawa serta oleh developmentalism tak pelak menyeret intelektual Islam Indonesia masuk pada narasi: ‘apakah kontribusi Islam terhadap pembangunan Indonesia menuju negara maju sebagaimana proyek orde baru’. Karena bagi para intelektual Islam di masa itu, adalah menjadi kebutuhan penting dan mendesak untuk segera memberi sumbangsih argumentasi teologis dan historis bahwa Islam kompatibel dengan pembangunan.
Ketiga, politik anti-komunisme orde baru yang melarang Marxisme-Leninisme diajarkan. Konjungtur politik semacam itulah yang menjadi penyebab utama minusnya kajian Marx dan Marxisme oleh intelektual Islam Indonesia.
Dengan demikian, Marxisme di era orde baru berada di tepian kajian humaniora di Indonesia. Ini berbeda dengan di era Zaman Bergerak atau masa awal perjuangan Indonesia, dimana Marxisme bisa dikatakan satu-satunya ilmu sosial yang menjadi primadona dan memberi pengaruh besar bagi kaum pergerakan pada masanya.
Bahkan ketika Tan Ling Djie, seorang Marxis tulen dari Partai Komunis Indonesia (PKI) menyebut Muhammad Hatta sebagai Marxis gadungan, Marxis “borjuis” yang pemahamannya tentang Marxologie sangat terbatas dan dangkal, Hatta menyangkalnya.
Ia mengaku seorang marxis yang memakai materialisme sebagai teori bukan dogma. Ia menyebut dirinya sebagai seorang Marxis dan juga bukan Marxis sekaligus, sebagaimana Marx sendiri mengatakan tentang dirinya, “Ich bin kein Marxist”, “saya bukan seorang Marxis”.
Pernyataan Hatta itu akan sulit ditemukan di kalangan intelektual Islam saat ini.
/2/ Perlunya Mencari Kesesuaian Islam dan Marxisme.
Secara umum, esai Gus Dur yang berjudul Pandangan Islam Terhadap Marxisme dan Leninisme berisi pesan perlunya sebuah upaya teoritis mencari kesesuaian Islam dan Marxisme.
Berbeda dengan kebanyakan tokoh Islam pada masanya, yang sebagian besar anti terhadap komunisme yang merupakan imbas dari propaganda Soeharto, Gus Dur justru melihat perlunya proses akulturasi pengetahuan antara Islam dan Marxisme.
Ia tak khawatir akan terjadi erosi ajaran Islam atas akulturasi gagasan tersebut. Sebaliknya, ia melihat adanya peluang terjadinya penguatan ajaran-ajaran Islam melalui “penyerapan sebagai alat analisis” yang dipinjam dari Marxisme-Leninisme tersebut.
Disinilah Gus Dur menghendaki adanya kajian lebih mendalam tentang hubungan Islam dan Marxisme-Leninisme, yang akan membawa pada pemahaman yang lebih terinci dan pengertian lebih konkret akan adanya titik-titik persamaan yang dapat digali antara Islam sebagai ajaran kemasyarakatan, dan Marxisme-Leninisme sebagai ideologi politik.
Pemahaman dan pengertian seperti itu akan memungkinkan antisipasi terhadap peluang bagi terjadinya “titik sambung” keduanya di negeri ini pasca 65.
Lebih jauh, Gus Dur mengkritik sikap kaum muslimin Indonesia yang menolak kehadiran Marxisme-Leninisme melalui ketetapan MPR sebagai sebuah anomali, karena penolakan tersebut lebih bersifat politis, bukan ideologis.
Lebih-lebih, menurut Gus Dur, kaum muslimin Indonesia sudah tidak lagi memiliki aspirasi mereka sendiri di bidang ideologi, tetapi meleburkannya ke dalam ideologi “umum” bangsa, yaitu Pancasila.
Gus Dur menyayangkan kenyataan selama ini bahwa tinjauan atas hubungan Islam dan Marxisme-Leninisme sering kali bersifat dangkal, sangat formal dan melihat dari satu sisi saja. Anehnya, selama ini Marxisme-Leninisme, meski tidak diakui secara formal di kalangan gerakan-gerakan Islam, namun diam-diam diterima dalam praktik.
Bagi Gus Dur menjadi penting dalam konteks Indonesia kedepan adanya upaya meramu unsur Marxisme-Leninisme dan Islam, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh sejumlah pemikir muslim semacam Abdel Malek Bennabi dan Ali Syariati.
Bahkan Gus Dur mengungkapkan adanya sebuah gerakan Islam Mojaheddin el-Khalq yang bergerak dari Paris, menggunakan analisis perjuangan kelas yang mengikuti acuan Marxisme-Leninisme.
Yang lebih mencengangkan, Gus Dur menganjurkan adanya kajian atas ayat-ayat Al-Qur’an, ucapan Nabi dalam hadits dan penjelasan ulama dalam karya-karya mereka diperiksa kembali “wawasan kelas”-nya, agar dimungkinkan adanya penafsiran kembali atas “pemahaman salah” akan sumber-sumber ajaran agama yang selama ini ditafsir.
Gus Dur sadar akan pentingnya pendekatan struktural dalam menafsirkan kembali ajaran agama itu bagaimanapun akan membawa kepada kesadaran akan pentingnya analisis perjuangan kelas untuk menegakkan struktur masyarakat yang benar-benar adil dalam pandangan Islam.
Ada yang lebih mengharukan dari esai tersebut,– ingat esai tersebut ditulis di tahun 1982 dimasa kuat-kuatnya orde baru—yaitu apresiasi Gus Dur terhadap semakin berkembangnya pemahaman “humanis” atas Marxisme-Leninisme, sebagaimana dilakukan Partai Komunis Italia yang membawa apresiasi lebih dalam lagi tentang pentingnya wawasan keagamaan ditampung dalam perjuangan kaum Maxis-Leninis untuk menumbangkan struktur kapitalis secara global.
Satu kritik Gus Dur terhadap Marxisme, yaitu penempatan agama sebagai superstruktur atau struktur atas bukan basis struktur atau struktur bawah yang merupakan basis teoritis Marxisme.
Inilah yang luput dari Gur Dur, ia tak melihat dimensi revolusiner dari filsafat Marx yaitu penemuannya atas tendesi ekonomis atas segala hal di dunia ini secara ilmiah.
Sebagaimana diungkapkan Engels dalam Speech at the Graveside of Marx bahwa: “Marx menemukan… fakta yang sederhana… bahwa umat manusia pertama-tama harus makan, minum, memiliki tempat berteduh, dan berpakaian, sebelum ia dapat mengejar politik, sains, seni dan agama.”.
/3/Relevansi Islam dan Marxisme MenujuAnother World is Possible.
Dalam esainya, Gus Dur sangat terkesan dengan sisi humanis dari Partai Komunis Italia yang salah satunya dimotori oleh Antonio Gramsci.
Kita tahu di Eropa, teori Gramsci menjadi sangat terkenal pasca Perang Dunia II. Berbeda dengan Lenin yang percaya sosialisme via revolusi dengan membangun Partai Pelopor, mengikuti Engels, Gramsci lebih percaya jalan sosialisme melalui demokrasi.
Tambahan untuk ekspektasi Gus Dur. Percobaan intelektual dan politik Marxisme yang berkembang jauh dari apa yang selama ini diduga banyak pihak. Pasca kendaraan runtuhnya Tembok Berlin dimana semua pihak memperkirakan Marxisme sudah terbukti gagal dan segera ditinggalkan.
Fredric Jameson, seorang kritikus sastra dan teoritisi politik Marxis, malah mengatakan bahwa Marxisme makin diperkuat dan diremajakan oleh keterbebasannya dari tradisi Soviet yang monolitik.
Dengan adanya Revolusi Cina dan Kuba, Kiri Baru Amerika, peristiwa Mei 1968 di Prancis, Marxisme telah lepas dari kebekuan Stalinisme dan menjadi suatu aliran pemikiran dan aksi baru yang kreatif dan pluralistik.
Sementara, jika kita melihat konfigurasi politik abad dua satu, banyak pemimpin sosialis-kiri radikal yang pernah memimpin, khususnya di Amerika Latin, di antaranya: Michelle Bachelet, mantan tahanan politik perempuan, yang menjadi presiden Chili; Evo Morales, tokoh gerakan petani suku Indian, presiden Bolivia; Hugo Chavez, Presiden Venezuela; Lula Da Silva, presiden Brazil; Netro Kirchner, presiden Argentina; dan Daniel Ortega, presiden Nikaragua. Para pemimpin tersebut bersekutu dengan presiden Kuba Fidel Castro, yang telah lama menjadi musuh utama AS di benua Amerika.
Jadi di abad ini, percobaan sosialisme via demokrasi, yang dimulai oleh Salvador Allende, seorang presiden Marxis pertama yang terpilih secara demokratis pada tahun 1970 di Chile dan deretan nama pemimpin kiri di Amerika Latin dan suksesnya Podemos di Spanyol, memberi sinyal pada kita bahwa Marxisme masih mungkin.
Sayangnya, Via Chilena (jalan Chili) menuju sosialisme yang dicanangkan Allende melalui pidato pelantikannya yang sangat terkenal:
“…Sekarang rakyat telah berhasil merebut kekuasaan atas nasib mereka sendiri, untuk berderap maju menuju sosialisme melalui jalan demokratis” pada tahun 1973, digulingkan secara brutal oleh militer Chilie atas perintah Amerika, dalam sebuah operasi militer yang diberi nama “Operasi Jakarta”.
Kudeta tersebut telah merenggut nyawa Allende berikut kira-kira 30.000 orang dari negeri yang berpenduduk sepuluh juta jiwa itu.
Penulis percaya dengan apa yang diungkapkan oleh Samir Amin, direktur Third World Forum yang mencetuskan teori Centre-Periphery (Pusat dan Pinggiran), yang menggambarkan ketimpangan hubungan antara negara maju di Utara dan negara-negara miskin di Selatan bahwa ketimpangan ini akan terus dilanggengkan.
Bagi Samir Amin, ada pertukaran yang tidak adil (unequal exchange). Konsep ini menunjukkan bagaimana terjadinya peralihan surplus dari negara-negara miskin atau Dunia Ketiga yang disebutnya “periphery” (negara-negara pinggiran) ke negara-negara maju yang disbutnya ”centre” (negara-negara pusat).
Dari kolonialisme berupa penjajahan politik hingga neo-kolonialisme berupa penjajahan ekonomi sebagaimana saat ini, percayalah negara-negara Dunia Ketiga atau negaraperiphery, selamanya hanya diposisikan sebagai tempat penanaman modal asing, sumber bahan mentah, sumber buruh murah, dan tempat pemasaran hasil produksi negara maju.

/4/Penutup.
Kita patut bersyukur mempunyai agawaman sekaligus pemimpin semacam Gus Dur yang tak pernah dogmatis dan selalu terbuka dengan segala kemungkinan bagi jalannya perubahan.
Penulis baru sadar bahwa kengototan presiden Gus Dur untuk mecabut TAP MPRS No. 25 tahun 1966, ternyata berakar pada esainya di tahun 1982 tersebut, dimana ia mengkritik sikap anomali kaum muslim Indonesia yang menolak Marxisme-Leninisme. Gus Dur tidak bergeser setitikpun dengan konsistensi sikap politiknya.
Terakhir, agar prasangka atas komunisme di negeri bisa kita sudahi. Jangan lupa, setitikpun jangan! Nelson Mandela atau yang akrab dipanggil Madiba juga seorang Marxis. Sahed Baghat Singh, seorang pejuang kemerdekaan India seorang Marxis. Dan anehnya, semoga tidak sedang bercanda, seorang Dalai Lama mentahbiskan dirinya sebagai Marxis. Bahkan Pancasila dengan jujur dikatakan oleh Soekarno sebagai Kiri. Berikut kutipan lengkapnya:
“Oleh karena itu saya berkata tempo hari, Pancasila adalah kiri. Oleh karena apa? Terutama sekali karena di dalam Pancasila ada unsur Keadilan Sosial. Pancasila adalah anti-Kapitalisme. Pancasila adalah Anti “explotation de’l home par l’homme”. Pacasila adalah Anti “exploitation de nation par nation”. Karena itulah Pancasila kiri”.
Kenapa kita yang begitu bersemangat dengan kemanusiaan, demokrasi dan toleransi tak siap menerima kenyataan ini. Siapakah sesungguhnya yang tak manusiawi, demokratis dan toleran? Sepertinya hanya Allah yang tahu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar