HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
Serial "Back to Nature" : Koepoe Koepoe
“.....Kupu-kupu jangan pergi
Terbang dan tetaplah di sini
Bunga-bunga menantimu
Rindu warna indah dunia
Anak kecil tersenyum manis
Pandang tarianmu indah
Bahagia dalam nyanyian
Kupu-kupu jangan pergi....”
(Melly Goeslaw)
“The Time of Butterflies” (Las Mariposas) adalah judul sebuah film historis yang digarap-serap dari novel Julia Alvarez, dimana kupu-kupu menjadi inspirasi dan aspirasi perjuangan sejati para aktivis.
Dan, bersama dengan segelontor orang yang suka membuat tato kupu-kupu (entah pada pinggul, dada, punggung atau bagian tubuhnya yang lain), banyak seniwan-seniwati kita juga ter-inspirasi dengan kupu-kupu. Sebut saja: Ebiet G.Ade dengan “Kupu-kupu Kertas” nya; Titiek Puspa dan Ariel Noah dengan “Kupu-kupu Malam” nya, Iwan Fals dengan “Kupu-kupu Hitam Putih” nya, bahkan kelompok musik Slank dengan Gank Potlotnya juga menaruh-luruh kupu-kupu sebagai simbol komunitas mereka.
Kupu-kupu sendiri merupakan jenis serangga dalam ordo lepidoptera/bersayap sisik. Secara sederhana, mereka aktif di waktu siang (diurnal) dan kerap memiliki warna yang indah. Kupu-kupu juga amat banyak jenisnya, di Pulau Jawa dan Pulau Bali saja tercatat lebih dari 600 spesies kupu-kupu. Bahkan, Indonesia yang memiliki 1600 jenis spesies kupu-kupu merupakan negara nomor dua terbanyak jenis kupu-kupunya di dunia setelah Brazil.
Dalam mitologi Yunani kuno, kupu kupu (ψύχη, psȳchē) berarti jiwa. Psyche dihadirkan sebagai seorang gadis cantik bersayap seperti kupu-kupu yang melambangkan keabadian jiwa.
Kupu-kupu juga kerap diartikan “Venessa” (Venus: dewi cinta dan kecantikan). Memang, kupu-kupu melambangkan jiwa dan cinta kasih yang abadi, seperti yang dituang-kenangkan dalam legenda Tiongkok “Sampek - Engtai”.
Ada juga budaya kuno yang percaya bahwa kupu-kupu adalah makhluk “libera et sacra” (bebas dan kudus) yang membawa jiwa dari bumi ke surga. Masyarakat tradisional Jepang bahkan menganggap kupu-kupu sebagai personifikasi roh seseorang yang kita cintai, baik yang hidup maupun yang sudah meninggal.
Adapun di tanah Bali, terdapat juga sebuah tari kupu-kupu, yang melukiskan kedamaian jiwa sekelompok kupu-kupu yang dengan riangnya berpindah dari satu dahan ke dahan yang lain.
Sesungguhnya, kupu-kupu sebenarnya berumur pendek (“brevis”), tetapi nilai filosofisnya sangatlah panjang, kalau tidak mau dikatakan abadi (“longa”). Harapannya, dengan belajar dari spiritualitas kupu kupu, ada semacam “butterfly effects”, yang terus mampu mencipta angin yang menyejukkan sekaligus menggores warna yang mencerahkan untuk hidup kt ke depannya.
Kupu-kupu juga menggambarkan adanya usaha ber-metamorfosis bersama: dari ulat (simbol “tergantung pada dunia”) menjadi kepompong (simbol “terbelenggu dunia”), dan akhirnya menjadi kupu-kupu (simbol ‘libertas’, kebebasan dari ketergantungan dan keterbelengguan kepentingan diri).
Secara filosofis:
Pertama-tama dia adalah sebuah telur yang melambangkan “impotensi”, ketidak-berdayaan, pasif dan nasibnya tergantung pada pihak lain/lingkungannya.
Ketika telur pecah, berubahlah dia menjadi ulat yang ter-alienasi (terasing) dan ter-stigmatisasi (dicap buruk karena “merusak”: parasit bagi tetumbuhan yang didiaminya. Aktivitasnya adalah makan, makan dan makan. Gerakannya lambat, makannya banyak).
Setelah melewati “fase ulat”, berikutnya ia berubah menjadi kepompong. Ia membungkus dirinya dengan tabung yang menjadi tabir bagi dirinya dalam berhubungan dengan lingkungannya. Sang ulat bersembunyi di bawah sehelai daun dan ”bertapa”. Ia ber-“silentio magnum.”
Dalam kehidupan iman kristiani, inilah fase “kontemplasi”. Tatkala kita mulai hening-merenungi jalan dan guratan hidup serta mencoba menjaga jarak. Inilah sebuah langkah untuk ber-ruminatio (mengunyah-kunyah) menjadi seekor kupu-kupu yang menebarkan keindahan dan kehangatan bagi sesama.
Spiritualitas ala kupu kupu jelasnya ingin hadir sebagai sebuah upaya sederhana mencari kearifan yang bebas sekaligus abadi: bersama-sama mengalami kelahiran, menggulati pertumbuhan (yang diwarnai proses gulat-geliat perjuangan) untuk mencapai sebuah kebangkitan yang mengagumkan bagi kebaikan banyak orang.
Akhir kata, kalau orang dulu pernah bilang jika rumahnya kedatangan kupu-kupu menandakan ada tamu istimewa yang datang membawa “rezeki”. Semoga, itu juga yang kita alami, kita boleh “kedatangan tamu istimewa” alias mendapatkan limpahan berkat Tuhan, diantaranya: “fraternitas-persaudaraan, caritas-kasih, serta unitas in diversitas - kesatuan dalam keberagaman.”
“Pergilah menuju tempat di mana kau tak dapat pergi,
menuju yang tak mungkin.
Itulah satu-satunya jalan pergi atau datang”
(“The Prayers and Tears of Derrida”)
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
NB:
Kupu-kupu yang lucu
kemana engkau terbang
Hilir-mudik mencari
Bunga-bunga yang kembang
Berayun-ayun
Pada tangkai yang lemah
Tidakkah sayapmu
Merasa lelah
Kupu-kupu yang elok
Bolehkah saya serta
Mencium bunga-bunga
Yang semerbak baunya
Sambil bersenda-senda
Semua kuhampiri
Bolehkah kuturut
(Ibu Sud)
Adalah seseorang menemukan kepompong seekor kupu-kupu. Suatu hari lubang kecil muncul dari kepompong. Orang itu duduk dan mengamati selama beberapa jam bagaimana si kupu-kupu berjuang memaksa dirinya melewati lubang kecil itu. Kemudian kupu-kupu itu berhenti membuat kemajuan. Kelihatannya dia telah berusaha semampunya dan dia tidak bisa lebih jauh lagi.
Akhirnya orang tersebut memutuskan untuk membantunya, dia ambil sebuah gunting dan memotong sisa kekangan dari kepompong itu. Kupu-kupu tersebut keluar dengan mudahnya.
Ternyata, kupu-kupu itu mempunyai tubuh yang gembung dan kecil, dan sayapnya mengkerut. Orang tersebut terus mengamatinya karena dia berharap bahwa, pada suatu saat, sayap-sayap itu akan mekar dan melebar sehingga mampu menopang tubuhnya, yang mungkin akan berkembang dalam waktu.
Ternyata, semuanya tak pernah terjadi. Kupu-kupu itu menghabiskan sisa hidupnya merangkak di sekitarnya dengan tubuh gembung dan sayap-sayap mengkerut. Dia tidak pernah bisa terbang.
Kebaikan dan ketergesaan orang tersebut merupakan akibat dari ketidakmengertiannya bahwa kepompong yang menghambat, dan perjuangan yang dibutuhkan kupu-kupu untuk melewati lubang kecil adalah “jalan Tuhan” untuk memaksa cairan dari tubuh kupu-kupu itu berpindah ke dalam sayap-sayapnya sedemikian sehingga sayapnya menjadi kuat, dan siap terbang begitu memperoleh kebebasan dari kepompong tersebut.
Kadang-kadang pejuangan adalah yang kita perlukan dalam hidup kita. Jika Tuhan membiarkan kita hidup tanpa hambatan, itu mungkin melumpuhkan kita. Kita mungkin tidak sekuat yang semestinya kita mampu. Kita mungkin tidak pernah dapat terbang.
Bukankah tepat kata-kata Thomas Aquinas, bahwa “siapapun yang bersungguh-sungguh dalam proses pencarian, maka ia akan menemukan apa yang dicarinya?”
Kupu-kupu yang cantik itu telah melewati berbagai tahap kehidupan yang mengantarkannya pada sosok yang indah seperti sekarang ini. Berasal dari seekor ulat yang menjijikkan dan bahkan tak jarang dijauhi. Dari ulat menjadi kepompong, menggantung di dahan atau dedaunan. Ia tak peduli walau panas terik menyengat serta dingin malam menusuknya.
Ia tetap jost dan kokoh untuk berubah, berbenah dan berbuah menjadi diri yang lebih baru, diri yang lebih penuh pesona, indah memukau dengan sayap barunya dan tubuh yang cantik, tremens et fascinans! Lalu ia pun terbang berkelana mencari kuntum-kuntum bunga yang indah untuk menghisap sari bunga dan menebarkan telur-telur penerus kehidupannya.
Ia ber-metamorfosis, menjalani setiap episode kehidupan ini dengan jiwa besar dan hati ringan. Ia berpikiran luas seluas laut dan langit yang biru. Bebas dan tidak direkayasa. Itulah harapan yang juga menjadi dambaan kita.
Something coming …
Viens.
Something unforeseeable and incomprehensible
Viens.
Tout autre …
Let every one say,
Viens
To every gift,
Viens, oui, oui.
Amen
“Sesuatu datang …
Datanglah!
Sesuatu yang tak teramalkan dan tak terpahamkan
Datanglah!
Yang Sama Sekali Lain
Biarkan setiap orang berkata,
Datanglah!
Kepada setiap pemberian,
Datanglah! Ya, ya.
Amin.”
(The Prayers and Tears of Jacques Derrida)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar