HOMILI PAUS FRANSISKUS
DALAM MISA DI BANDARA MAQUEHUE, TEMUCO (CILI) 17 Januari 2018
“Mari, Mari” [Selamat pagi!]
“Küme tünngün ta niemün” [“Damai sejahtera bagi kamu!" (Luk 24:36)]
Saya bersyukur kepada Allah karena telah mengizinkan saya untuk mengunjungi bagian yang indah dari benua ini, Araucanía. Araucanía adalah tanah yang diberkati oleh Sang Pencipta dengan lahan-lahan hijau yang sangat luas dan subur, dengan hutan-hutan yang penuh dengan araucaria yang mengesankan - "pujian" kelima yang ditawarkan oleh Gabriela Mistral ke negeri Cili ini - dan dengan gunung-gunung berapinya yang tertutup salju yang megah, danau-danaunya dan sungai-sungainya yang penuh dengan kehidupan. Pemandangan ini melambungkan kita kepada Allah, dan dengan mudah melihat tangan-Nya dalam semua ciptaan. Banyak generasi telah mengasihi tanah ini dengan rasa syukur yang sungguh-sungguh. Di sini saya ingin berhenti sejenak dan menyapa khususnya para anggota masyarakat Mapuche, juga masyarakat adat lainnya yang tinggal di negeri selatan ini : suku Rapanui (dari Pulau Paskah), suku Aymara, suku Quechua dan suku Atacameños, dan banyak suku lagi.
Dilihat dari kacamata turis, negeri ini akan menggetarkan diri kita saat kita melewatinya, tetapi jika kita menyendengkan telinga kita ke tanah, kita akan mendengarnya bernyanyi: "Arauco memiliki dukacita yang tidak dapat terbungkam, terjadinya ketidakadilan selama berabad-abad yang dilihat setiap orang".
Dalam konteks syukur untuk negeri ini dan bangsanya, tetapi juga karena kesedihan dan penderitaan, kita merayakan Ekaristi ini. Kita melakukannya di bandar udara Maquehue ini, yang merupakan tempat terjadinya pelanggaran berat hak asasi manusia. Kita mempersembahkan Misa ini untuk semua orang yang menderita dan meninggal, dan bagi orang-orang yang setiap hari menanggung beban dari banyak ketidakadilan tersebut. Pengorbanan Yesus di kayu salib menanggung semua dosa dan penderitaan bangsa kita, guna menebusnya.
Dalam Injil yang baru saja kita dengar, Yesus berdoa kepada Bapa "supaya mereka semua menjadi satu" (Yoh 17:21). Pada saat genting dalam hidup-Nya, Ia berhenti untuk memohonkan kesatuan. Di dalam hati-Nya, Ia mengetahui bahwa salah satu ancaman terbesar bagi murid-murid-Nya dan bagi seluruh umat manusia adalah perpecahan dan perseteruan, penindasan oleh segelintir orang terhadap orang lainnya. Berapa banyak air mata akan tumpah! Hari ini kita ingin berpegang pada doa Yesus ini, bersama-Nya memasuki taman dukacita ini dengan dukacita-dukacita kita tersebut, dan memohon kepada Bapa, bersama Yesus, agar kita juga menjadi satu. Semoga perseteruan dan perpecahan tidak pernah bisa mendapat angin di antara kita.
Kesatuan yang dipuji oleh Yesus ini adalah karunia yang harus terus menerus diusahakan, demi kebaikan negeri kita dan anak-anaknya. Kita perlu berjaga-jaga melawan godaan yang mungkin timbul untuk "meracuni akar" karunia yang ingin diberikan Allah kepada kita ini, dan yamg bersamanya Ia mengundang kita untuk memainkan peran yang sesungguhnya dalam sejarah.
1. Persamaan kata yang keliru
Salah satu godaan utama yang harus kita tolak adalah kerancuan antara kesatuan dan keseragaman. Yesus tidak memohon kepada Bapa-Nya supaya semua menjadi sama, serupa, karena kesatuan tidak dimaksudkan untuk menetralisir atau membungkam perbedaan. Kesatuan bukanlah sebuah berhala atau hasil penggabungan secara paksa; kesatuan bukan kerukunan yang dibeli dengan harga meninggalkan beberapa orang di pinggiran. Kekayaan negeri ini lahir justru dari keinginan berbagai pihak untuk berbagi kebijaksanaan dengan orang lain. Kesatuan tidak pernah bisa menjadi sebuah keseragaman yang mencekik yang dipaksakan oleh orang yang berkuasa, atau pemisahan yang tidak menghargai kebaikan orang lain. Setiap orang dan setiap budaya dipanggil untuk memberikan sumbangan kesatuan yang diusahakan dan ditawarkan oleh Yesus pada negeri berkat ini. Kesatuan adalah keseragaman yang diperdamaikan, karena keseragaman tidak sudi membiarkan kesalahan pribadi atau masyarakat dilakukan atas namanya. Kita membutuhkan kekayaan yang ditawarkan setiap orang, dan kita harus meninggalkan gagasan bahwa ada budaya yang lebih tinggi atau lebih rendah. "Chamal" yang indah membutuhkan penenun yang tahu seni memadukan berbagai bahan dan warna, yang menghabiskan waktu dengan setiap unsur dan setiap tahap pekerjaan. Proses itu bisa ditiru secara industri, tetapi setiap orang akan mengenali pakaian yang dibuat oleh mesin. Seni kesatuan membutuhkan perajin sejati yang tahu bagaimana menyelaraskan perbedaan dalam "desain" kota, jalan, alun-alun dan pertamanan. Kesatuan bukan "seni tulis", atau karya tulis; kesatuan adalah kerajinan yang menuntut perhatian dan pengertian. Itulah sumber keindahannya, tetapi juga ketahanannya terhadap lengkangnya waktu dan terhadap bisa terjadinya badai apa pun.
Kesatuan yang dibutuhkan bangsa kita mengharuskan kita saling mendengarkan, tetapi yang lebih penting lagi, kita saling menghargai. "Hal ini bukan hanya tentang informasi yang lebih baik tentang orang lain, melainkan tentang menuai apa yang telah ditaburkan Roh Kudus di dalam diri mereka". Hal ini menempatkan kita pada jalur kesetiakawanan sebagai sarana untuk menjalin kesatuan, sarana untuk membangun sejarah. Kesetiakawanan yang membuat kita berkata: Kita saling membutuhkan, dan perbedaan-perbedaan kita sehingga negeri ini bisa tetap indah! Kesatuan adalah satu-satunya senjata yang kita miliki untuk melawan "penggundulan" harapan. Itulah sebabnya kita berdoa: Tuhan, jadikanlah kami para pengrajin kesatuan.
2. Senjata kesatuan.
Jika kesatuan dibangun berdasarkan penghargaan dan kesetiakawanan, maka kita tidak dapat menerima cara apapun untuk mencapainya. Ada dua jenis kekerasan yang, bukannya mendorong bertumbuhnya kesatuan dan pendamaian, justru mengancam keduanya. Pertama, kita harus berjaga-jaga agar tidak timbul kesepakatan yang "anggun" yang tidak pernah diterapkan. Kata-kata bagus, rencana yang terperinci - perlu seperti ini - tetapi, bila tidak diimplementasikan, akhirnya "dihapus dengan siku, apa yang telah ditulis tangan". Inilah salah satu jenis kekerasan, karena membuat harapan frustasi.
Di tempat kedua, kita harus bersikeras agar budaya saling menghargai tidak mungkin berdasarkan pada tindakan kekerasan dan penghancuran yang akhirnya menyangkut kehidupan manusia. Kalian tidak bisa memaksakan diri dengan menghancurkan orang lain, karena hal ini hanya akan menyebabkan lebih banyak kekerasan dan perpecahan. Kekerasan melahirkan kekerasan, kehancuran meningkatkan puing-puing kehancuran dan keterpisahan. Kekerasan akhirnya sebagian besar hanyalah sebuah kebohongan. Itulah sebabnya kita mengatakan "tidak terhadap kekerasan yang menghancurkan" dalam dua bentuknya tersebut.
Kedua pendekatan tersebut bagaikan lahar gunung berapi yang meluluhlantahkan dan menghanguskan semua yang ada dalam perjalanannya, meninggalkan reruntuhan dan kerusakan. Marilah kita mencari jalan nirkekerasan yang aktif, "sebagai langgam politik untuk perdamaian". Marilah kita berusaha, dan tidak pernah lelah mengusahakan, dialog demi kesatuan. Itulah sebabnya kita berseru: Tuhan, jadikanlah kita para pengrajin kesatuan-Mu.
Kita semua, sampai batas tertentu, adalah orang-orang di bumi (bdk. Kej 2:7). Kita semua dipanggil kepada "kehidupan yang baik" (Küme Mongen), sebagaimana diingatkan oleh kebijaksanaan nenek moyang orang-orang Mapuche kepada kita. Seberapa jauh kita harus pergi, dan seberapa banyak kita masih harus belajar! Küme Mongen, kerinduan yang dalam yang tidak hanya bangkit dari hati kita, tetapi terdengar seperti seruan lantang, seperti sebuah nyanyian, dalam seluruh ciptaan. Oleh karena itu, saudara dan saudari, kepada anak-anak bumi ini, kepada cucu-cucu mereka, marilah bersama Yesus kita mengatakan kepada Bapa: semoga kita juga menjadi satu; menjadikan kita para pengrajin kesatuan.
[1] GABRIELA MISTRAL, Elogios de la tierra de Chile.
[2] VIOLETA PARRA, Arauco tiena una pena.
[3] Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, 246.
[4] Pesan Hari Perdamaian Sedunia tahun 2017.
(PS)
---------
HIK. HIDANGAN ISTIMEWA KRISTIANI.
HARAPAN IMAN KASIH.
POROS VATIKAN - CHILE:
HOMILI PAUS & KISAH "PERTOLONGAN" UNTUK SANG POLISI DAN DUA SEJOLI..
Pemimpin Gereja Katolik Roma, Paus Fransiskus, kembali membuat tindakan yang di luar dugaan ketika melakukan lawatan ke Chile.
Semua terjadi ketika Fransiskus berada di kota Iquique Kamis (18/1/2018) waktu setempat.
Dilansir Daily Express, rombongan Sri Paus melewati umat yang memadati jalanan di Iquique selepas memimpin misa pagi.
Menaiki Popemobile, Paus pertama asal Amerika Latin itu menyapa dan melambaikan tangan kepada ratusan orang.
Namun, ketika Popemobile melewati seorang petugas polisi perempuan berkuda, hewan tersebut terkejut dengan suara sirine-nya.
Akibatnya, kuda itu melonjak, dan membuat petugas perempuan tersebut terpelanting.
Popemobile memang berhasil menghindari tubuh petugas tersebut sehingga tidak terjadi insiden yang lebih fatal.
Namun, Fransiskus tidak melanjutkan perjalanan. Paus ke-266 dalam sejarah Katolik Roma itu langsung meminta sopir untuk berhenti, dan bergegas turun menghampirinya
Fransiskus kemudian melihat kondisi petugas perempuan itu, dan menungguinya hingga dibawa menggunakan ambulans.
"Bapa Suci menawarkan untuk memberikan kata-kata penghiburan kepada petugas tersebut," demikian reportase Daily Express.
Setelah petugas itu dilarikan ke rumah sakit dengan ambulans, Fransiskus baru melanjutkan perjalanannya.
Sebelumnya, Fransiskus memberkati pasangan awak kabin pesawat yang membawa rombongan kepausan ke ibu kota Santiago.
Paus Fransiskus memutuskan untuk melangsungkan upacara pernikahan pasangan Paula Podest (39) dan Carlos Ciuffadri (41) di dalam pesawat, setelah keduanya meminta paus untuk memberkati pernikahan mereka.
Sebelumnya, mereka telah menikah secara sipil. Namun, upacara pemberkatan di gereja harus dibatalkan karena kala itu Santiago sedang diguncang gempa dahsyat pada 2010.
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
NB:
A.
GOT MARRIED @ AIRPLANE.
Pasangan pramugari dan pramugara ini tak menyangka akan merasakan pemberkatan pernikahan di ketinggian 10.900 meter, saat mereka bertugas di pesawat yang membawa rombongan Paus Fransiskus, Kamis (18/1/2018), di Chile.
Paus Fransiskus memutuskan untuk melangsungkan upacara pernikahan pasangan Paula Podest (39) dan Carlos Ciuffadri (41) di dalam pesawat, setelah keduanya meminta paus untuk memberkati pernikahan mereka.
Sebelumnya, mereka telah menikah secara sipil. Namun, upacara pemberkatan di gereja harus dibatalkan karena kala itu Santiago sedang diguncang gempa dahsyat pada 2010.
Podest dan Ciuffadri meminta paus untuk memberkati pernikahan mereka, namun paus memiliki rencana lain.
"Kami memberi tahu dia kalau kami adalah pasangan suami-istri. Kami memiliki dua putri dan kami akan sangat bahagia apabila kami menerima berkatnya," kata Ciuffadri.
"Namun, tiba-tiba dia bertanya apakah kami ingin menikah untuk Gereja juga," tambahnya.
"Paus juga bertanya apakah kami ingin agar dia menikahkan kami, apakah kami yakin?" ucap Podest.
Keduanya menerima tawaran paus dan upacara pemberkatan pernikahan berlangsung secara sederhana di pesawat.
"Dia memegang tangan kami dan bertanya apakah ada cinta dalam pernikahan kami dan apakah kami ingin hidup bersama selamanya. Lalu kami mengatakan 'ya'," katanya kepada wartawan.
Presiden dari maskapai Latam Airlines, Ignacio Cueto, yang berada di dalam pesawat, menjadi saksi pernikahan Ruiza dan Ciuffadri.
Pasangan tersebut bertemu saat bekerja dalam sebuah penerbangan yang sama sekitar 10 tahun lalu.
Juru bicara Vatikan Greg Burke mengatakan pemberkatan pernikahan kali ini merupakan hal yang luar biasa: "Paus menikahkan mereka dalam upacara keagamaan yang tidak pernah terjadi di dalam pesawat paus sebelumnya," katanya.
"Mereka sangat bahagia. Paus baru mengetahui tentang mereka pagi ini, jadi pemberkatan ini tidak direncanakan," tambahnya.
Paus Fransiskus juga menandatangani surat pernikahan yang ditulis dengan tangan lengkap dengan tanda tangan saksi, seorang uskup, dan pasangan Podest-Ciuffadri.
B.
HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA DI KAMPUS LOBITO, IQUIQUE, CHILE
18 Januari 2018
"Hal itu dibuat Yesus di Kana yang di Galilea, sebagai yang pertama dari tanda-tandaNya" (Yoh 2:11)
Inilah kata-kata terakhir dari Injil yang baru saja kita dengar, yang menggambarkan penampilan Yesus di muka umum : di sebuah pesta, kurang lebih. Tidak mungkin sebaliknya, karena Injil adalah undangan terus menerus untuk bersukacita. Sejak awal, malaikat mengatakan kepada Maria : "Bersukacitalah!" (Luk 1:28). Bersukacitalah, ia berkata kepada para gembala; bersukacitalah, ia berkata kepada Elisabet, seorang perempuan tua dan mandul ...; bersukacita, Yesus berkata kepada penjahat, karena hari ini kamu akan menyertai Aku di surga (bdk. Luk 23:43).
Pesan Injil adalah sumber sukacita : "Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya sukacitaKu ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh" (Yoh 15:11). Sukacita yang menjalar, berpindah dari generasi ke generasi, sukacita yang telah kita warisi. Karena kita umat kristiani.
Seberapa banyak kalian pahan tentang hal ini, saudara dan saudari terkasih di Cili utara! Seberapa banyak kalian paham tentang menghayati iman dan hidup kalian dalam semangat bersukacita! Saya telah datang sebagai peziarah untuk bergabung dengan kalian dalam merayakan cara menghayati iman yang indah ini. Pesta santo/santa pelindung kalian, tarian-tarian rohani kalian - yang terkadang bahkan berlangsung selama seminggu - musik-musik kalian, busana kalian, semuanya menjadikan kawasan ini sebagai tempat suci spiritualitas dan kesalehan yang dikenal luas. Karena pesta tersebut tidak tinggal di dalam Gereja, tetapi kalian mengubah seluruh kota menjadi sebuah pesta. Kalian tahu bagaimana dengan menyanyi dan menari merayakan "kebapaan, pemeliharaan, kehadiran kasih Allah yang terus menerus", dan hal ini mengakibatkan "sikap batin yang jarang diamati pada tingkat yang sama di tempat lain : kesabaran, tanda salib dalam kehidupan sehari-hari, berpendirian teguh, keterbukaan terhadap orang lain, devosi".[1] Kata-kata nabi Yesaya mulai hidup: "Padang gurun akan menjadi kebun buah-buahan, dan kebun buah-buahan itu akan dianggap hutan" (Yes 32:15). Negeri ini, dikelilingi oleh gurun terkering di dunia, berhasil mengenakan busana pesta.
Dalam suasana pesta ini, Injil menunjukkan kepada kita bagaimana Maria bertindak untuk membuat sukacita itu berlanjut. Ia memperhatikan segala sesuatu yang terjadi di sekelilingnya; seperti seorang ibu yang baik, ia tidak duduk diam. Jadi, ia memperhatikan, di tengah pesta dan sukacita bersama, tentang terjadi sesuatu yang mungkin "mencampurinya". Ia mendekati Putranya dan mengatakan kepada-Nya secara lugas : "Mereka kehabisan anggur" (Yoh 2:3).
Dengan cara yang sama, Maria melewati kota-kota kita, jalanan-jalanan kita, lapangan-lapangan kita, rumah-rumah kita dan rumah sakit-rumah sakit kita. Maria adalah Perawan dari la Tirana; Perawan Ayquina di Calama; Perawan Batu Karang di Arica. Ia memperhatikan semua masalah yang membebani hati kita, lalu berbisik ke telinga Yesus dan berkata : Lihatlah, "mereka kehabisan anggur".
Maria tidak tinggal diam. Ia mendatangi para pelayan dan berkata kepada mereka: "Apa yang dikatakan kepadamu, buatlah itu!" (Yoh 2:5). Maria, salah seorang perempuan tetapi berkata sangat terarah, juga mendatangi kita masing-masing dan berkata lugas : "Apa yang dikatakan kepadamu, buatlah itu!". Dengan cara ini, ia memunculkan mukjizat Yesus yang pertama : membuat sahabat-sahabat-Nya merasa bahwa mereka juga adalah bagian dari mukjizat tersebut. Karena Kristus "datang ke dunia ini bukan melakukan tugas sendirian saja, tetapi bersama kita" - Ia melakukan mukjizat bersama kita - "bersama kita semua, agar menjadi kepala tubuh yang agung, yang daripadanya kita adalah sel-sel yang hidup, bebas dan aktif".[2] Beginilah cara Yesus melakukan mukjizat: bersama kita.
Mukjizat dimulai saat para pelayan mendekati tempayan dengan air untuk dibersihkan. Begitu juga, kita masing-masing bisa memulai mukjizat; terlebih lagi, kita masing-masing diajak menjadi bagian dari mukjizat bagi orang lain.
Saudara dan saudari, Iquique adalah tanah impian (karena begitulah namanya dalam bahasa Aymara). Iquique adalah tanah yang telah memberi tempat berlindung bagi laki-laki dan perempuan dari berbagai bangsa dan budaya yang harus meninggalkan segalanya dan berangkat. Berangkat selalu dengan harapan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, namun, seperti kita ketahui, selalu dengan tas mereka yang penuh dengan ketakutan dan ketidakpastian tentang masa depan. Iquique adalah wilayah para imigran, yang mengingatkan kita akan kebesaran laki-laki dan perempuan, seluruh keluarga, yang, dalam menghadapi kesulitan, menolak untuk menyerah dan berangkat mengusahakan kehidupan. Mengusahakan kehidupan. Mereka - terutama orang-orang yang harus meninggalkan kampung halaman mereka karena tidak mencukupi kebutuhan hidup dasariahnya - adalah gambaran Keluarga Kudus, yang harus melewati padang pasir untuk bertahan hidup.
Tanah ini adalah tanah impian, tetapi marilah kita bekerja untuk memastikan bahwa tanah tersebut juga terus menjadi tanah keramahtamahan. Keramahtamahan yang meriah, karena kita tahu betul bahwa tidak ada satupun sukacita kristiani ketika pintu tertutup; tidak ada satupun sukacita kristiani ketika orang lain merasa tidak diinginkan, bila tidak ada tempat bagi mereka di tengah-tengah kita (bdk. Luk 16:19-31).
Seperti Maria di Kana, marilah kita berusaha untuk lebih memperhatikan di lapangan-lapangan dan kota-kota kita, memperhatikan orang-orang yang hidupnya "dicampuri", yang telah hilang - atau telah dirampok - alasan-alasan untuk merayakan; orang-orang yang hatinya sedih. Dan marilah kita tidak takut untuk mengangkat suara kita dan berkata : "Mereka kehabisan anggur". Jeritan umat Allah, jeritan orang miskin, adalah semacam doa; jeritan tersebut membuka hati kita dan mengajarkan kita untuk memberi perhatian. Marilah kita memperhatikan, kemudian, semua situasi ketidakadilan dan bentuk-bentuk eksploitasi baru yang membuat begitu banyak saudara dan saudari kita merindukan sukacita pesta. Marilah kita memperhatikan kurangnya lapangan kerja tetap, yang menghancurkan kehidupan dan tempat tinggal. Marilah kita memperhatikan orang-orang yang mendapat keuntungan dari status tidak teratur dari banyak migran yang tidak mengenal bahasa atau yang tidak memiliki surat-surat "secara layak". Marilah kita memperhatikan kurangnya tempat tinggal, tanah dan pekerjaan yang dialami oleh begitu banyak keluarga. Dan, seperti Maria, katakanlah: Mereka kehabisan anggur, Tuhan.
Seperti para pelayan di pesta tersebut, marilah kita mempersembahkan apa yang ada, sedikit kelihatannya. Seperti mereka, janganlah kita takut untuk "mengulurkan tangan". Semoga kesetiakawanan kita dalam melaksanakan keadilan menjadi bagian dari tarian dan nyanyian yang bisa kita persembahkan kepada Tuhan kita. Marilah kita juga memanfaatkan banyak kesempatan untuk belajar dan menjadikan milik kita nilai-nilai, kebijaksanaan, dan kepercayaan yang dibawa oleh para migran. Tanpa menjadi tertutup oleh "tempayan-tempayan" itu sehingga penuh kebijaksanaan dan sejarah yang dibawa oleh orang-orang yang terus datang ke tanah-tanah ini. Janganlah kita melepaskan diri dari seluruh kebaikan yang harus mereka kucurkan.
Dan marilah kita mengizinkan Yesus untuk menyelesaikan mukjizat dengan mengubah jemaat dan hati kita menjadi tanda-tanda kehadiran-Nya yang hidup, yang penuh sukacita dan meriah karena kita telah mengalami bahwa Allah beserta kita, karena kita telah belajar memberi ruang bagi-Nya di dalam hati kita. Sukacita dan pesta yang menjalar yang menuntun kita untuk tidak mengucilkan siapapun dari pemberitaan Kabar Baik ini, dan membagikan semua yang menjadi milik budaya asli kita, untuk memperkayanya juga dengan apa yang benar-benar budaya kita, dengan tradisi-tradisi kita, dengan kebijaksanaan nenek moyang kita, sehingga orang-orang yang datang dapat menjumpai kebijaksanaan dan berbagi kebijaksanaan mereka sendiri. Inilah perayaan. Inilah air yang diubah menjadi anggur. Inilah mukjizat yang dilakukan Yesus.
Semoga Maria, dengan berbagai gelar di tanah yang terberkati di utara Cili ini, terus berbisik di telinga Yesus, Putranya : "Mereka kehabisan anggur", dan semoga perkataannya terus menemukan tempat di dalam diri kita : "Apa yang dikatakan kepadamu, buatlah itu!".
_________________________
[1] Paulus VI, Seruan Apostolik Evangelii Nuntiandi, 48.
[2] Santo Alberto Hurtado, Meditación Semana Santa para jóvenes (1946)
[Sambutan Akhir Paus Fransiskus]
Pada akhir perayaan ini, saya mengucapkan terima kasih kepada Uskup !quique, Guillermo Vera Soto, untuk kata-katanya yang penuh kasih atas nama para uskup saudaranya dan seluruh umat Allah. Hal ini terasa bagaikan sebuah perpisahan.
Saya kembali mengucapkan terima kasih kepada Presiden Michelle Bachelet atas undangannya untuk mengunjungi negara tersebut. Secara khusus, saya berterima kasih kepada setiap orang yang telah membantu menjadikan kunjungan ini : pihak berwenang dan semua pihak yang secara profesional memungkinkan kita menikmati saat perjumpaan ini.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada ribuan sukarelawan atas karya mereka yang tanpa pamrih dan tanpa banyak omong. Lebih dari dua puluh ribu sukarelawan. Tanpa komitmen dan kerja keras mereka, tempayan-tempayan air tidak akan pernah ada di sini karena Tuhan melakukan mukjizat membawakan anggur sukacita bagi kita. Terima kasih juga, kepada semua orang yang dengan berbagai cara menyertai peziarahan ini, terutama dengan doa-doa mereka. Saya memahami pengorbanan yang harus kalian lakukan untuk ambil bagian dalam perayaan dan pertemuan kita. Saya menghargai hal ini dan saya mengucapkan terima kasih dari hati saya. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada para anggota komisi perencanaan. Kalian semua telah bekerja keras, terima kasih banyak.
Saya sekarang melanjutkan perjalanan peziarahan saya ke Peru, sebuah negara yang merupakan sahabat dan saudara negara besar Cili ini, yang kita sebut untuk dihargai dan dijunjung tinggi. Cili adalah bangsa yang menemukan keindahannya di banyak dan beragam wajah rakyatnya.
Saudara-saudari terkasih, pada setiap Ekaristi kita berdoa : "Pandanglah, Tuhan, iman Gereja-Mu, dan dengan murah hati anugerahkanlah kepadanya damai dan kesatuan sesuai dengan kehendak-Mu". Apa lagi yang bisa saya mohonkan bagi kalian pada akhir kunjungan saya selain mengatakan kepada Tuhan : Pandanglah iman bangsa ini dan anugerahkanlah mereka kesatuan dan kedamaian!
Terima kasih, dan saya meminta kalian, tolong, ingatlah untuk mendoakan saya. Saya bersyukur atas kehadiran begitu banyak peziarah dari negara-negara saudara, Bolivia, Peru, dan tolong jangan cemburu, tetapi terutama orang-orang Argentina, karena Argentina adalah tanah air saya. Terima kasih kepada saudara dan saudari Argentina saya yang menyertai saya di Santiago, Temuco dan di sini di Iquique. Terima kasih banyak.
C.
HOMILI PAUS FRANSISKUS
DALAM MISA DI BANDARA MAQUEHUE, TEMUCO, CHILE. 17 Januari 2018
“Mari, Mari” [Selamat pagi!]
“Küme tünngün ta niemün” [“Damai sejahtera bagi kamu!" (Luk 24:36)]
Saya bersyukur kepada Allah karena telah mengizinkan saya untuk mengunjungi bagian yang indah dari benua ini, Araucanía. Araucanía adalah tanah yang diberkati oleh Sang Pencipta dengan lahan-lahan hijau yang sangat luas dan subur, dengan hutan-hutan yang penuh dengan araucaria yang mengesankan - "pujian" kelima yang ditawarkan oleh Gabriela Mistral ke negeri Cili ini - dan dengan gunung-gunung berapinya yang tertutup salju yang megah, danau-danaunya dan sungai-sungainya yang penuh dengan kehidupan. Pemandangan ini melambungkan kita kepada Allah, dan dengan mudah melihat tangan-Nya dalam semua ciptaan. Banyak generasi telah mengasihi tanah ini dengan rasa syukur yang sungguh-sungguh. Di sini saya ingin berhenti sejenak dan menyapa khususnya para anggota masyarakat Mapuche, juga masyarakat adat lainnya yang tinggal di negeri selatan ini : suku Rapanui (dari Pulau Paskah), suku Aymara, suku Quechua dan suku Atacameños, dan banyak suku lagi.
Dilihat dari kacamata turis, negeri ini akan menggetarkan diri kita saat kita melewatinya, tetapi jika kita menyendengkan telinga kita ke tanah, kita akan mendengarnya bernyanyi: "Arauco memiliki dukacita yang tidak dapat terbungkam, terjadinya ketidakadilan selama berabad-abad yang dilihat setiap orang".
Dalam konteks syukur untuk negeri ini dan bangsanya, tetapi juga karena kesedihan dan penderitaan, kita merayakan Ekaristi ini. Kita melakukannya di bandar udara Maquehue ini, yang merupakan tempat terjadinya pelanggaran berat hak asasi manusia. Kita mempersembahkan Misa ini untuk semua orang yang menderita dan meninggal, dan bagi orang-orang yang setiap hari menanggung beban dari banyak ketidakadilan tersebut. Pengorbanan Yesus di kayu salib menanggung semua dosa dan penderitaan bangsa kita, guna menebusnya.
Dalam Injil yang baru saja kita dengar, Yesus berdoa kepada Bapa "supaya mereka semua menjadi satu" (Yoh 17:21). Pada saat genting dalam hidup-Nya, Ia berhenti untuk memohonkan kesatuan. Di dalam hati-Nya, Ia mengetahui bahwa salah satu ancaman terbesar bagi murid-murid-Nya dan bagi seluruh umat manusia adalah perpecahan dan perseteruan, penindasan oleh segelintir orang terhadap orang lainnya. Berapa banyak air mata akan tumpah! Hari ini kita ingin berpegang pada doa Yesus ini, bersama-Nya memasuki taman dukacita ini dengan dukacita-dukacita kita tersebut, dan memohon kepada Bapa, bersama Yesus, agar kita juga menjadi satu. Semoga perseteruan dan perpecahan tidak pernah bisa mendapat angin di antara kita.
Kesatuan yang dipuji oleh Yesus ini adalah karunia yang harus terus menerus diusahakan, demi kebaikan negeri kita dan anak-anaknya. Kita perlu berjaga-jaga melawan godaan yang mungkin timbul untuk "meracuni akar" karunia yang ingin diberikan Allah kepada kita ini, dan yamg bersamanya Ia mengundang kita untuk memainkan peran yang sesungguhnya dalam sejarah.
1. Persamaan kata yang keliru
Salah satu godaan utama yang harus kita tolak adalah kerancuan antara kesatuan dan keseragaman. Yesus tidak memohon kepada Bapa-Nya supaya semua menjadi sama, serupa, karena kesatuan tidak dimaksudkan untuk menetralisir atau membungkam perbedaan. Kesatuan bukanlah sebuah berhala atau hasil penggabungan secara paksa; kesatuan bukan kerukunan yang dibeli dengan harga meninggalkan beberapa orang di pinggiran. Kekayaan negeri ini lahir justru dari keinginan berbagai pihak untuk berbagi kebijaksanaan dengan orang lain. Kesatuan tidak pernah bisa menjadi sebuah keseragaman yang mencekik yang dipaksakan oleh orang yang berkuasa, atau pemisahan yang tidak menghargai kebaikan orang lain. Setiap orang dan setiap budaya dipanggil untuk memberikan sumbangan kesatuan yang diusahakan dan ditawarkan oleh Yesus pada negeri berkat ini. Kesatuan adalah keseragaman yang diperdamaikan, karena keseragaman tidak sudi membiarkan kesalahan pribadi atau masyarakat dilakukan atas namanya. Kita membutuhkan kekayaan yang ditawarkan setiap orang, dan kita harus meninggalkan gagasan bahwa ada budaya yang lebih tinggi atau lebih rendah. "Chamal" yang indah membutuhkan penenun yang tahu seni memadukan berbagai bahan dan warna, yang menghabiskan waktu dengan setiap unsur dan setiap tahap pekerjaan. Proses itu bisa ditiru secara industri, tetapi setiap orang akan mengenali pakaian yang dibuat oleh mesin. Seni kesatuan membutuhkan perajin sejati yang tahu bagaimana menyelaraskan perbedaan dalam "desain" kota, jalan, alun-alun dan pertamanan. Kesatuan bukan "seni tulis", atau karya tulis; kesatuan adalah kerajinan yang menuntut perhatian dan pengertian. Itulah sumber keindahannya, tetapi juga ketahanannya terhadap lengkangnya waktu dan terhadap bisa terjadinya badai apa pun.
Kesatuan yang dibutuhkan bangsa kita mengharuskan kita saling mendengarkan, tetapi yang lebih penting lagi, kita saling menghargai. "Hal ini bukan hanya tentang informasi yang lebih baik tentang orang lain, melainkan tentang menuai apa yang telah ditaburkan Roh Kudus di dalam diri mereka". Hal ini menempatkan kita pada jalur kesetiakawanan sebagai sarana untuk menjalin kesatuan, sarana untuk membangun sejarah. Kesetiakawanan yang membuat kita berkata: Kita saling membutuhkan, dan perbedaan-perbedaan kita sehingga negeri ini bisa tetap indah! Kesatuan adalah satu-satunya senjata yang kita miliki untuk melawan "penggundulan" harapan. Itulah sebabnya kita berdoa: Tuhan, jadikanlah kami para pengrajin kesatuan.
2. Senjata kesatuan.
Jika kesatuan dibangun berdasarkan penghargaan dan kesetiakawanan, maka kita tidak dapat menerima cara apapun untuk mencapainya. Ada dua jenis kekerasan yang, bukannya mendorong bertumbuhnya kesatuan dan pendamaian, justru mengancam keduanya. Pertama, kita harus berjaga-jaga agar tidak timbul kesepakatan yang "anggun" yang tidak pernah diterapkan. Kata-kata bagus, rencana yang terperinci - perlu seperti ini - tetapi, bila tidak diimplementasikan, akhirnya "dihapus dengan siku, apa yang telah ditulis tangan". Inilah salah satu jenis kekerasan, karena membuat harapan frustasi.
Di tempat kedua, kita harus bersikeras agar budaya saling menghargai tidak mungkin berdasarkan pada tindakan kekerasan dan penghancuran yang akhirnya menyangkut kehidupan manusia. Kalian tidak bisa memaksakan diri dengan menghancurkan orang lain, karena hal ini hanya akan menyebabkan lebih banyak kekerasan dan perpecahan. Kekerasan melahirkan kekerasan, kehancuran meningkatkan puing-puing kehancuran dan keterpisahan. Kekerasan akhirnya sebagian besar hanyalah sebuah kebohongan. Itulah sebabnya kita mengatakan "tidak terhadap kekerasan yang menghancurkan" dalam dua bentuknya tersebut.
Kedua pendekatan tersebut bagaikan lahar gunung berapi yang meluluhlantahkan dan menghanguskan semua yang ada dalam perjalanannya, meninggalkan reruntuhan dan kerusakan. Marilah kita mencari jalan nirkekerasan yang aktif, "sebagai langgam politik untuk perdamaian". Marilah kita berusaha, dan tidak pernah lelah mengusahakan, dialog demi kesatuan. Itulah sebabnya kita berseru: Tuhan, jadikanlah kita para pengrajin kesatuan-Mu.
Kita semua, sampai batas tertentu, adalah orang-orang di bumi (bdk. Kej 2:7). Kita semua dipanggil kepada "kehidupan yang baik" (Küme Mongen), sebagaimana diingatkan oleh kebijaksanaan nenek moyang orang-orang Mapuche kepada kita. Seberapa jauh kita harus pergi, dan seberapa banyak kita masih harus belajar! Küme Mongen, kerinduan yang dalam yang tidak hanya bangkit dari hati kita, tetapi terdengar seperti seruan lantang, seperti sebuah nyanyian, dalam seluruh ciptaan. Oleh karena itu, saudara dan saudari, kepada anak-anak bumi ini, kepada cucu-cucu mereka, marilah bersama Yesus kita mengatakan kepada Bapa: semoga kita juga menjadi satu; menjadikan kita para pengrajin kesatuan.
[1] GABRIELA MISTRAL, Elogios de la tierra de Chile.
[2] VIOLETA PARRA, Arauco tiena una pena.
[3] Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, 246.
[4] Pesan Hari Perdamaian Sedunia tahun 2017.
(PS).
HARAPAN IMAN KASIH.
POROS VATIKAN - CHILE:
HOMILI PAUS & KISAH "PERTOLONGAN" UNTUK SANG POLISI DAN DUA SEJOLI..
Pemimpin Gereja Katolik Roma, Paus Fransiskus, kembali membuat tindakan yang di luar dugaan ketika melakukan lawatan ke Chile.
Semua terjadi ketika Fransiskus berada di kota Iquique Kamis (18/1/2018) waktu setempat.
Dilansir Daily Express, rombongan Sri Paus melewati umat yang memadati jalanan di Iquique selepas memimpin misa pagi.
Menaiki Popemobile, Paus pertama asal Amerika Latin itu menyapa dan melambaikan tangan kepada ratusan orang.
Namun, ketika Popemobile melewati seorang petugas polisi perempuan berkuda, hewan tersebut terkejut dengan suara sirine-nya.
Akibatnya, kuda itu melonjak, dan membuat petugas perempuan tersebut terpelanting.
Popemobile memang berhasil menghindari tubuh petugas tersebut sehingga tidak terjadi insiden yang lebih fatal.
Namun, Fransiskus tidak melanjutkan perjalanan. Paus ke-266 dalam sejarah Katolik Roma itu langsung meminta sopir untuk berhenti, dan bergegas turun menghampirinya
Fransiskus kemudian melihat kondisi petugas perempuan itu, dan menungguinya hingga dibawa menggunakan ambulans.
"Bapa Suci menawarkan untuk memberikan kata-kata penghiburan kepada petugas tersebut," demikian reportase Daily Express.
Setelah petugas itu dilarikan ke rumah sakit dengan ambulans, Fransiskus baru melanjutkan perjalanannya.
Sebelumnya, Fransiskus memberkati pasangan awak kabin pesawat yang membawa rombongan kepausan ke ibu kota Santiago.
Paus Fransiskus memutuskan untuk melangsungkan upacara pernikahan pasangan Paula Podest (39) dan Carlos Ciuffadri (41) di dalam pesawat, setelah keduanya meminta paus untuk memberkati pernikahan mereka.
Sebelumnya, mereka telah menikah secara sipil. Namun, upacara pemberkatan di gereja harus dibatalkan karena kala itu Santiago sedang diguncang gempa dahsyat pada 2010.
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)
NB:
A.
GOT MARRIED @ AIRPLANE.
Pasangan pramugari dan pramugara ini tak menyangka akan merasakan pemberkatan pernikahan di ketinggian 10.900 meter, saat mereka bertugas di pesawat yang membawa rombongan Paus Fransiskus, Kamis (18/1/2018), di Chile.
Paus Fransiskus memutuskan untuk melangsungkan upacara pernikahan pasangan Paula Podest (39) dan Carlos Ciuffadri (41) di dalam pesawat, setelah keduanya meminta paus untuk memberkati pernikahan mereka.
Sebelumnya, mereka telah menikah secara sipil. Namun, upacara pemberkatan di gereja harus dibatalkan karena kala itu Santiago sedang diguncang gempa dahsyat pada 2010.
Podest dan Ciuffadri meminta paus untuk memberkati pernikahan mereka, namun paus memiliki rencana lain.
"Kami memberi tahu dia kalau kami adalah pasangan suami-istri. Kami memiliki dua putri dan kami akan sangat bahagia apabila kami menerima berkatnya," kata Ciuffadri.
"Namun, tiba-tiba dia bertanya apakah kami ingin menikah untuk Gereja juga," tambahnya.
"Paus juga bertanya apakah kami ingin agar dia menikahkan kami, apakah kami yakin?" ucap Podest.
Keduanya menerima tawaran paus dan upacara pemberkatan pernikahan berlangsung secara sederhana di pesawat.
"Dia memegang tangan kami dan bertanya apakah ada cinta dalam pernikahan kami dan apakah kami ingin hidup bersama selamanya. Lalu kami mengatakan 'ya'," katanya kepada wartawan.
Presiden dari maskapai Latam Airlines, Ignacio Cueto, yang berada di dalam pesawat, menjadi saksi pernikahan Ruiza dan Ciuffadri.
Pasangan tersebut bertemu saat bekerja dalam sebuah penerbangan yang sama sekitar 10 tahun lalu.
Juru bicara Vatikan Greg Burke mengatakan pemberkatan pernikahan kali ini merupakan hal yang luar biasa: "Paus menikahkan mereka dalam upacara keagamaan yang tidak pernah terjadi di dalam pesawat paus sebelumnya," katanya.
"Mereka sangat bahagia. Paus baru mengetahui tentang mereka pagi ini, jadi pemberkatan ini tidak direncanakan," tambahnya.
Paus Fransiskus juga menandatangani surat pernikahan yang ditulis dengan tangan lengkap dengan tanda tangan saksi, seorang uskup, dan pasangan Podest-Ciuffadri.
B.
HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA DI KAMPUS LOBITO, IQUIQUE, CHILE
18 Januari 2018
"Hal itu dibuat Yesus di Kana yang di Galilea, sebagai yang pertama dari tanda-tandaNya" (Yoh 2:11)
Inilah kata-kata terakhir dari Injil yang baru saja kita dengar, yang menggambarkan penampilan Yesus di muka umum : di sebuah pesta, kurang lebih. Tidak mungkin sebaliknya, karena Injil adalah undangan terus menerus untuk bersukacita. Sejak awal, malaikat mengatakan kepada Maria : "Bersukacitalah!" (Luk 1:28). Bersukacitalah, ia berkata kepada para gembala; bersukacitalah, ia berkata kepada Elisabet, seorang perempuan tua dan mandul ...; bersukacita, Yesus berkata kepada penjahat, karena hari ini kamu akan menyertai Aku di surga (bdk. Luk 23:43).
Pesan Injil adalah sumber sukacita : "Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya sukacitaKu ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh" (Yoh 15:11). Sukacita yang menjalar, berpindah dari generasi ke generasi, sukacita yang telah kita warisi. Karena kita umat kristiani.
Seberapa banyak kalian pahan tentang hal ini, saudara dan saudari terkasih di Cili utara! Seberapa banyak kalian paham tentang menghayati iman dan hidup kalian dalam semangat bersukacita! Saya telah datang sebagai peziarah untuk bergabung dengan kalian dalam merayakan cara menghayati iman yang indah ini. Pesta santo/santa pelindung kalian, tarian-tarian rohani kalian - yang terkadang bahkan berlangsung selama seminggu - musik-musik kalian, busana kalian, semuanya menjadikan kawasan ini sebagai tempat suci spiritualitas dan kesalehan yang dikenal luas. Karena pesta tersebut tidak tinggal di dalam Gereja, tetapi kalian mengubah seluruh kota menjadi sebuah pesta. Kalian tahu bagaimana dengan menyanyi dan menari merayakan "kebapaan, pemeliharaan, kehadiran kasih Allah yang terus menerus", dan hal ini mengakibatkan "sikap batin yang jarang diamati pada tingkat yang sama di tempat lain : kesabaran, tanda salib dalam kehidupan sehari-hari, berpendirian teguh, keterbukaan terhadap orang lain, devosi".[1] Kata-kata nabi Yesaya mulai hidup: "Padang gurun akan menjadi kebun buah-buahan, dan kebun buah-buahan itu akan dianggap hutan" (Yes 32:15). Negeri ini, dikelilingi oleh gurun terkering di dunia, berhasil mengenakan busana pesta.
Dalam suasana pesta ini, Injil menunjukkan kepada kita bagaimana Maria bertindak untuk membuat sukacita itu berlanjut. Ia memperhatikan segala sesuatu yang terjadi di sekelilingnya; seperti seorang ibu yang baik, ia tidak duduk diam. Jadi, ia memperhatikan, di tengah pesta dan sukacita bersama, tentang terjadi sesuatu yang mungkin "mencampurinya". Ia mendekati Putranya dan mengatakan kepada-Nya secara lugas : "Mereka kehabisan anggur" (Yoh 2:3).
Dengan cara yang sama, Maria melewati kota-kota kita, jalanan-jalanan kita, lapangan-lapangan kita, rumah-rumah kita dan rumah sakit-rumah sakit kita. Maria adalah Perawan dari la Tirana; Perawan Ayquina di Calama; Perawan Batu Karang di Arica. Ia memperhatikan semua masalah yang membebani hati kita, lalu berbisik ke telinga Yesus dan berkata : Lihatlah, "mereka kehabisan anggur".
Maria tidak tinggal diam. Ia mendatangi para pelayan dan berkata kepada mereka: "Apa yang dikatakan kepadamu, buatlah itu!" (Yoh 2:5). Maria, salah seorang perempuan tetapi berkata sangat terarah, juga mendatangi kita masing-masing dan berkata lugas : "Apa yang dikatakan kepadamu, buatlah itu!". Dengan cara ini, ia memunculkan mukjizat Yesus yang pertama : membuat sahabat-sahabat-Nya merasa bahwa mereka juga adalah bagian dari mukjizat tersebut. Karena Kristus "datang ke dunia ini bukan melakukan tugas sendirian saja, tetapi bersama kita" - Ia melakukan mukjizat bersama kita - "bersama kita semua, agar menjadi kepala tubuh yang agung, yang daripadanya kita adalah sel-sel yang hidup, bebas dan aktif".[2] Beginilah cara Yesus melakukan mukjizat: bersama kita.
Mukjizat dimulai saat para pelayan mendekati tempayan dengan air untuk dibersihkan. Begitu juga, kita masing-masing bisa memulai mukjizat; terlebih lagi, kita masing-masing diajak menjadi bagian dari mukjizat bagi orang lain.
Saudara dan saudari, Iquique adalah tanah impian (karena begitulah namanya dalam bahasa Aymara). Iquique adalah tanah yang telah memberi tempat berlindung bagi laki-laki dan perempuan dari berbagai bangsa dan budaya yang harus meninggalkan segalanya dan berangkat. Berangkat selalu dengan harapan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, namun, seperti kita ketahui, selalu dengan tas mereka yang penuh dengan ketakutan dan ketidakpastian tentang masa depan. Iquique adalah wilayah para imigran, yang mengingatkan kita akan kebesaran laki-laki dan perempuan, seluruh keluarga, yang, dalam menghadapi kesulitan, menolak untuk menyerah dan berangkat mengusahakan kehidupan. Mengusahakan kehidupan. Mereka - terutama orang-orang yang harus meninggalkan kampung halaman mereka karena tidak mencukupi kebutuhan hidup dasariahnya - adalah gambaran Keluarga Kudus, yang harus melewati padang pasir untuk bertahan hidup.
Tanah ini adalah tanah impian, tetapi marilah kita bekerja untuk memastikan bahwa tanah tersebut juga terus menjadi tanah keramahtamahan. Keramahtamahan yang meriah, karena kita tahu betul bahwa tidak ada satupun sukacita kristiani ketika pintu tertutup; tidak ada satupun sukacita kristiani ketika orang lain merasa tidak diinginkan, bila tidak ada tempat bagi mereka di tengah-tengah kita (bdk. Luk 16:19-31).
Seperti Maria di Kana, marilah kita berusaha untuk lebih memperhatikan di lapangan-lapangan dan kota-kota kita, memperhatikan orang-orang yang hidupnya "dicampuri", yang telah hilang - atau telah dirampok - alasan-alasan untuk merayakan; orang-orang yang hatinya sedih. Dan marilah kita tidak takut untuk mengangkat suara kita dan berkata : "Mereka kehabisan anggur". Jeritan umat Allah, jeritan orang miskin, adalah semacam doa; jeritan tersebut membuka hati kita dan mengajarkan kita untuk memberi perhatian. Marilah kita memperhatikan, kemudian, semua situasi ketidakadilan dan bentuk-bentuk eksploitasi baru yang membuat begitu banyak saudara dan saudari kita merindukan sukacita pesta. Marilah kita memperhatikan kurangnya lapangan kerja tetap, yang menghancurkan kehidupan dan tempat tinggal. Marilah kita memperhatikan orang-orang yang mendapat keuntungan dari status tidak teratur dari banyak migran yang tidak mengenal bahasa atau yang tidak memiliki surat-surat "secara layak". Marilah kita memperhatikan kurangnya tempat tinggal, tanah dan pekerjaan yang dialami oleh begitu banyak keluarga. Dan, seperti Maria, katakanlah: Mereka kehabisan anggur, Tuhan.
Seperti para pelayan di pesta tersebut, marilah kita mempersembahkan apa yang ada, sedikit kelihatannya. Seperti mereka, janganlah kita takut untuk "mengulurkan tangan". Semoga kesetiakawanan kita dalam melaksanakan keadilan menjadi bagian dari tarian dan nyanyian yang bisa kita persembahkan kepada Tuhan kita. Marilah kita juga memanfaatkan banyak kesempatan untuk belajar dan menjadikan milik kita nilai-nilai, kebijaksanaan, dan kepercayaan yang dibawa oleh para migran. Tanpa menjadi tertutup oleh "tempayan-tempayan" itu sehingga penuh kebijaksanaan dan sejarah yang dibawa oleh orang-orang yang terus datang ke tanah-tanah ini. Janganlah kita melepaskan diri dari seluruh kebaikan yang harus mereka kucurkan.
Dan marilah kita mengizinkan Yesus untuk menyelesaikan mukjizat dengan mengubah jemaat dan hati kita menjadi tanda-tanda kehadiran-Nya yang hidup, yang penuh sukacita dan meriah karena kita telah mengalami bahwa Allah beserta kita, karena kita telah belajar memberi ruang bagi-Nya di dalam hati kita. Sukacita dan pesta yang menjalar yang menuntun kita untuk tidak mengucilkan siapapun dari pemberitaan Kabar Baik ini, dan membagikan semua yang menjadi milik budaya asli kita, untuk memperkayanya juga dengan apa yang benar-benar budaya kita, dengan tradisi-tradisi kita, dengan kebijaksanaan nenek moyang kita, sehingga orang-orang yang datang dapat menjumpai kebijaksanaan dan berbagi kebijaksanaan mereka sendiri. Inilah perayaan. Inilah air yang diubah menjadi anggur. Inilah mukjizat yang dilakukan Yesus.
Semoga Maria, dengan berbagai gelar di tanah yang terberkati di utara Cili ini, terus berbisik di telinga Yesus, Putranya : "Mereka kehabisan anggur", dan semoga perkataannya terus menemukan tempat di dalam diri kita : "Apa yang dikatakan kepadamu, buatlah itu!".
_________________________
[1] Paulus VI, Seruan Apostolik Evangelii Nuntiandi, 48.
[2] Santo Alberto Hurtado, Meditación Semana Santa para jóvenes (1946)
[Sambutan Akhir Paus Fransiskus]
Pada akhir perayaan ini, saya mengucapkan terima kasih kepada Uskup !quique, Guillermo Vera Soto, untuk kata-katanya yang penuh kasih atas nama para uskup saudaranya dan seluruh umat Allah. Hal ini terasa bagaikan sebuah perpisahan.
Saya kembali mengucapkan terima kasih kepada Presiden Michelle Bachelet atas undangannya untuk mengunjungi negara tersebut. Secara khusus, saya berterima kasih kepada setiap orang yang telah membantu menjadikan kunjungan ini : pihak berwenang dan semua pihak yang secara profesional memungkinkan kita menikmati saat perjumpaan ini.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada ribuan sukarelawan atas karya mereka yang tanpa pamrih dan tanpa banyak omong. Lebih dari dua puluh ribu sukarelawan. Tanpa komitmen dan kerja keras mereka, tempayan-tempayan air tidak akan pernah ada di sini karena Tuhan melakukan mukjizat membawakan anggur sukacita bagi kita. Terima kasih juga, kepada semua orang yang dengan berbagai cara menyertai peziarahan ini, terutama dengan doa-doa mereka. Saya memahami pengorbanan yang harus kalian lakukan untuk ambil bagian dalam perayaan dan pertemuan kita. Saya menghargai hal ini dan saya mengucapkan terima kasih dari hati saya. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada para anggota komisi perencanaan. Kalian semua telah bekerja keras, terima kasih banyak.
Saya sekarang melanjutkan perjalanan peziarahan saya ke Peru, sebuah negara yang merupakan sahabat dan saudara negara besar Cili ini, yang kita sebut untuk dihargai dan dijunjung tinggi. Cili adalah bangsa yang menemukan keindahannya di banyak dan beragam wajah rakyatnya.
Saudara-saudari terkasih, pada setiap Ekaristi kita berdoa : "Pandanglah, Tuhan, iman Gereja-Mu, dan dengan murah hati anugerahkanlah kepadanya damai dan kesatuan sesuai dengan kehendak-Mu". Apa lagi yang bisa saya mohonkan bagi kalian pada akhir kunjungan saya selain mengatakan kepada Tuhan : Pandanglah iman bangsa ini dan anugerahkanlah mereka kesatuan dan kedamaian!
Terima kasih, dan saya meminta kalian, tolong, ingatlah untuk mendoakan saya. Saya bersyukur atas kehadiran begitu banyak peziarah dari negara-negara saudara, Bolivia, Peru, dan tolong jangan cemburu, tetapi terutama orang-orang Argentina, karena Argentina adalah tanah air saya. Terima kasih kepada saudara dan saudari Argentina saya yang menyertai saya di Santiago, Temuco dan di sini di Iquique. Terima kasih banyak.
C.
HOMILI PAUS FRANSISKUS
DALAM MISA DI BANDARA MAQUEHUE, TEMUCO, CHILE. 17 Januari 2018
“Mari, Mari” [Selamat pagi!]
“Küme tünngün ta niemün” [“Damai sejahtera bagi kamu!" (Luk 24:36)]
Saya bersyukur kepada Allah karena telah mengizinkan saya untuk mengunjungi bagian yang indah dari benua ini, Araucanía. Araucanía adalah tanah yang diberkati oleh Sang Pencipta dengan lahan-lahan hijau yang sangat luas dan subur, dengan hutan-hutan yang penuh dengan araucaria yang mengesankan - "pujian" kelima yang ditawarkan oleh Gabriela Mistral ke negeri Cili ini - dan dengan gunung-gunung berapinya yang tertutup salju yang megah, danau-danaunya dan sungai-sungainya yang penuh dengan kehidupan. Pemandangan ini melambungkan kita kepada Allah, dan dengan mudah melihat tangan-Nya dalam semua ciptaan. Banyak generasi telah mengasihi tanah ini dengan rasa syukur yang sungguh-sungguh. Di sini saya ingin berhenti sejenak dan menyapa khususnya para anggota masyarakat Mapuche, juga masyarakat adat lainnya yang tinggal di negeri selatan ini : suku Rapanui (dari Pulau Paskah), suku Aymara, suku Quechua dan suku Atacameños, dan banyak suku lagi.
Dilihat dari kacamata turis, negeri ini akan menggetarkan diri kita saat kita melewatinya, tetapi jika kita menyendengkan telinga kita ke tanah, kita akan mendengarnya bernyanyi: "Arauco memiliki dukacita yang tidak dapat terbungkam, terjadinya ketidakadilan selama berabad-abad yang dilihat setiap orang".
Dalam konteks syukur untuk negeri ini dan bangsanya, tetapi juga karena kesedihan dan penderitaan, kita merayakan Ekaristi ini. Kita melakukannya di bandar udara Maquehue ini, yang merupakan tempat terjadinya pelanggaran berat hak asasi manusia. Kita mempersembahkan Misa ini untuk semua orang yang menderita dan meninggal, dan bagi orang-orang yang setiap hari menanggung beban dari banyak ketidakadilan tersebut. Pengorbanan Yesus di kayu salib menanggung semua dosa dan penderitaan bangsa kita, guna menebusnya.
Dalam Injil yang baru saja kita dengar, Yesus berdoa kepada Bapa "supaya mereka semua menjadi satu" (Yoh 17:21). Pada saat genting dalam hidup-Nya, Ia berhenti untuk memohonkan kesatuan. Di dalam hati-Nya, Ia mengetahui bahwa salah satu ancaman terbesar bagi murid-murid-Nya dan bagi seluruh umat manusia adalah perpecahan dan perseteruan, penindasan oleh segelintir orang terhadap orang lainnya. Berapa banyak air mata akan tumpah! Hari ini kita ingin berpegang pada doa Yesus ini, bersama-Nya memasuki taman dukacita ini dengan dukacita-dukacita kita tersebut, dan memohon kepada Bapa, bersama Yesus, agar kita juga menjadi satu. Semoga perseteruan dan perpecahan tidak pernah bisa mendapat angin di antara kita.
Kesatuan yang dipuji oleh Yesus ini adalah karunia yang harus terus menerus diusahakan, demi kebaikan negeri kita dan anak-anaknya. Kita perlu berjaga-jaga melawan godaan yang mungkin timbul untuk "meracuni akar" karunia yang ingin diberikan Allah kepada kita ini, dan yamg bersamanya Ia mengundang kita untuk memainkan peran yang sesungguhnya dalam sejarah.
1. Persamaan kata yang keliru
Salah satu godaan utama yang harus kita tolak adalah kerancuan antara kesatuan dan keseragaman. Yesus tidak memohon kepada Bapa-Nya supaya semua menjadi sama, serupa, karena kesatuan tidak dimaksudkan untuk menetralisir atau membungkam perbedaan. Kesatuan bukanlah sebuah berhala atau hasil penggabungan secara paksa; kesatuan bukan kerukunan yang dibeli dengan harga meninggalkan beberapa orang di pinggiran. Kekayaan negeri ini lahir justru dari keinginan berbagai pihak untuk berbagi kebijaksanaan dengan orang lain. Kesatuan tidak pernah bisa menjadi sebuah keseragaman yang mencekik yang dipaksakan oleh orang yang berkuasa, atau pemisahan yang tidak menghargai kebaikan orang lain. Setiap orang dan setiap budaya dipanggil untuk memberikan sumbangan kesatuan yang diusahakan dan ditawarkan oleh Yesus pada negeri berkat ini. Kesatuan adalah keseragaman yang diperdamaikan, karena keseragaman tidak sudi membiarkan kesalahan pribadi atau masyarakat dilakukan atas namanya. Kita membutuhkan kekayaan yang ditawarkan setiap orang, dan kita harus meninggalkan gagasan bahwa ada budaya yang lebih tinggi atau lebih rendah. "Chamal" yang indah membutuhkan penenun yang tahu seni memadukan berbagai bahan dan warna, yang menghabiskan waktu dengan setiap unsur dan setiap tahap pekerjaan. Proses itu bisa ditiru secara industri, tetapi setiap orang akan mengenali pakaian yang dibuat oleh mesin. Seni kesatuan membutuhkan perajin sejati yang tahu bagaimana menyelaraskan perbedaan dalam "desain" kota, jalan, alun-alun dan pertamanan. Kesatuan bukan "seni tulis", atau karya tulis; kesatuan adalah kerajinan yang menuntut perhatian dan pengertian. Itulah sumber keindahannya, tetapi juga ketahanannya terhadap lengkangnya waktu dan terhadap bisa terjadinya badai apa pun.
Kesatuan yang dibutuhkan bangsa kita mengharuskan kita saling mendengarkan, tetapi yang lebih penting lagi, kita saling menghargai. "Hal ini bukan hanya tentang informasi yang lebih baik tentang orang lain, melainkan tentang menuai apa yang telah ditaburkan Roh Kudus di dalam diri mereka". Hal ini menempatkan kita pada jalur kesetiakawanan sebagai sarana untuk menjalin kesatuan, sarana untuk membangun sejarah. Kesetiakawanan yang membuat kita berkata: Kita saling membutuhkan, dan perbedaan-perbedaan kita sehingga negeri ini bisa tetap indah! Kesatuan adalah satu-satunya senjata yang kita miliki untuk melawan "penggundulan" harapan. Itulah sebabnya kita berdoa: Tuhan, jadikanlah kami para pengrajin kesatuan.
2. Senjata kesatuan.
Jika kesatuan dibangun berdasarkan penghargaan dan kesetiakawanan, maka kita tidak dapat menerima cara apapun untuk mencapainya. Ada dua jenis kekerasan yang, bukannya mendorong bertumbuhnya kesatuan dan pendamaian, justru mengancam keduanya. Pertama, kita harus berjaga-jaga agar tidak timbul kesepakatan yang "anggun" yang tidak pernah diterapkan. Kata-kata bagus, rencana yang terperinci - perlu seperti ini - tetapi, bila tidak diimplementasikan, akhirnya "dihapus dengan siku, apa yang telah ditulis tangan". Inilah salah satu jenis kekerasan, karena membuat harapan frustasi.
Di tempat kedua, kita harus bersikeras agar budaya saling menghargai tidak mungkin berdasarkan pada tindakan kekerasan dan penghancuran yang akhirnya menyangkut kehidupan manusia. Kalian tidak bisa memaksakan diri dengan menghancurkan orang lain, karena hal ini hanya akan menyebabkan lebih banyak kekerasan dan perpecahan. Kekerasan melahirkan kekerasan, kehancuran meningkatkan puing-puing kehancuran dan keterpisahan. Kekerasan akhirnya sebagian besar hanyalah sebuah kebohongan. Itulah sebabnya kita mengatakan "tidak terhadap kekerasan yang menghancurkan" dalam dua bentuknya tersebut.
Kedua pendekatan tersebut bagaikan lahar gunung berapi yang meluluhlantahkan dan menghanguskan semua yang ada dalam perjalanannya, meninggalkan reruntuhan dan kerusakan. Marilah kita mencari jalan nirkekerasan yang aktif, "sebagai langgam politik untuk perdamaian". Marilah kita berusaha, dan tidak pernah lelah mengusahakan, dialog demi kesatuan. Itulah sebabnya kita berseru: Tuhan, jadikanlah kita para pengrajin kesatuan-Mu.
Kita semua, sampai batas tertentu, adalah orang-orang di bumi (bdk. Kej 2:7). Kita semua dipanggil kepada "kehidupan yang baik" (Küme Mongen), sebagaimana diingatkan oleh kebijaksanaan nenek moyang orang-orang Mapuche kepada kita. Seberapa jauh kita harus pergi, dan seberapa banyak kita masih harus belajar! Küme Mongen, kerinduan yang dalam yang tidak hanya bangkit dari hati kita, tetapi terdengar seperti seruan lantang, seperti sebuah nyanyian, dalam seluruh ciptaan. Oleh karena itu, saudara dan saudari, kepada anak-anak bumi ini, kepada cucu-cucu mereka, marilah bersama Yesus kita mengatakan kepada Bapa: semoga kita juga menjadi satu; menjadikan kita para pengrajin kesatuan.
[1] GABRIELA MISTRAL, Elogios de la tierra de Chile.
[2] VIOLETA PARRA, Arauco tiena una pena.
[3] Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, 246.
[4] Pesan Hari Perdamaian Sedunia tahun 2017.
(PS).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar