Kita Bhinneka, Kita Indonesia 2
SENSUS HISTORICUS:
"Kita Bhinneka, Kita Indonesia".
TJILIK RIWUT.
Marsekal Pertama TNI (Anumerta)
TJILIK RIWUT
Pria Terhormat dari Borneo.
Tidak banyak yang tahu siapa itu Tjilik Riwut meski namanya telah diabadikan menjadi bandar udara di Palangkaraya. Padahal, ia adalah sosok yang sangat berjasa bagi Indonesia dan merupakan tokoh hebat dari suku Dayak, Kalimantan. Tjilik Riwut adalah putera Katolik Roma dari suku Dayak Ngaju. Dengan bangga ia menyebut dirinya sebagai orang hutan karena terbiasa hidup di alam liar Kalimantan. Bahkan semasa hidupnya, dia sudah 3 kali mengelilingi pulau Borneo tersebut hanya dengan jalan kaki serta menggunakan sampan.
Tidak hanya aktif di bidang militer, dia juga menjadi sosok yang berjasa di balik bersatunya Kalimantan dengan Indonesia. Ia turut bertempur saat perang mempertahankan kemerdekaan berkecamuk di Kalimantan. Kiprahnya bagi kemajuan masyarakat ia tunjukkan saat menjadi Bupati Kotawaringin, Gubernur Kalimantan Tengah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Tokoh kelahiran Kasongan, Kalimantan Tengah pada tanggal 2 Februari 1918 ini menamatkan pendidikan dasar di kota kelahirannya. Setelah itu ia melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Perawat di Purwakarta dan Bandung.
Untuk meningkatkan citra masyarakat Dayak, Tjilik Riwut bersama dengan para pemuda dari daerah asalnya pada tahun 1938 mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama Pakat Dayak. Pakat Dayak menerbitkan sebuah majalah yang bernama Suara Rakyat dengan Tjilik Riwut selaku pemimpin redaksinya.
Ketertarikannya dalam dunia tulis menulis membuatnya memutuskan untuk menjadi wartawan. Tahun 1940, ia sudah menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Suara Pakat. Di kurun waktu yang sama, ia juga bekerja sebagai koresponden Harian Pemandangan. Dalam bidang jurnalisme itulah Tjilik Riwut turut menyumbangkan tenaga dan pikiran dengan menyebarkan berita seputar pergerakan nasional di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Tapi kiprahnya di dunia pers tidak berlangsung lama karena Jepang mendarat di Balikpapan tahun 1942.
Ketika Jepang menguasai Indonesia, Tjilik Riwut beralih profesi menjadi intelijen militer Jepang. Tugasnya adalah untuk mengumpulkan data-data tentang keadaan di Kalimantan, tapi bukan berarti dia sedang berkhianat. Dia melakukan tugas penting demi Indonesia. Ia mendapatkan jabatan dari pemerintah pendudukan Jepang yang membuatnya punya akses ke seluruh daerah di Kalimantan. Hal inilah yang ia manfaatkan untuk menjalin komunikasi dan koordinasi dengan beragam suku di Kalimantan. Tjilik Riwut meyakinkan mereka agar tetap setia dan mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Saat proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, berita tentang kemerdekaan Indonesia tersebar ke seluruh penjuru Indonesia. Tjilik Riwut, sebagai pemuda yang berasal dari luar Jawa bersama para pemuda Kalimantan yang ada di Jawa segera pulang ke kampung halamannya untuk memberitakan perihal proklamasi kemerdekaan. Mereka tak hanya pulang membawa kabar bahagia tersebut, namun juga untuk menggelorakan semangat juang saudara-saudaranya di Kalimantan Tengah. Dipelopori oleh Mayor Tjilik Riwut bersama teman-teman seperjuangannya, mereka mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berlokasi di Kotawaringin.
Meskipun kemerdekaan Indonesia berhasil diproklamirkan, ancaman terhadap kedaulatan republik masih terus membayangi para pemuda pejuang. Dia mendirikan kelompok pasukan bersenjata yang terlibat dalam serangkaian perang gerilya. Tjilik Riwut beberapa kali terlibat dalam pertempuran.
Ia juga melakukan pertemuan dengan para kepala suku Dayak sambil memimpin sejumlah pertempuran melawan Belanda. Hasil pertemuan dengan para kepala Suku Dayak itu adalah Sumpah Setia Masyarakat Suku Dayak terhadap Negara RI. Dia mewakili 185 ribu rakyat Dayak di pedalaman Kalimantan yang terdiri dari 142 suku, 145 kepala kampung, 12 kepala adat, 4 kepala suku, 3 panglima, 10 patih, 2 tumenggung, dan 2 kepala burung untuk menyatakan sumpah setia kepada Republik Indonesia. Sumpah ini berarti Kalimantan telah menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Para anggota suku ini juga bersumpah akan mempertahankan daerahnya masing-masing dari serangan tentara NICA yang berusaha merebut kembali Indonesia.
Tjilik Riwut kemudian terjun ke dunia militer dan menjadi Komandan Pasukan MN 101 Mobiele Brigade MBT/TNI Kalimantan. Ia juga mencatatkan prestasi di bidang militer karena kesuksesannya sebagai komando Penerjung Payung Pertama AURI pada 17 Oktober 1947. Di kota Yogyakarta yang saat itu menjadi ibu kota negara Indonesia, ia mendapat perintah dari S. Suryadarma, kepala TNI AU waktu itu, untuk memimpin Operasi Penerjunan Pasukan Payung kali pertama oleh pasukan MN 1001 di desa Sambi, Kotawaringin, Kalimantan Tengah. Dalam operasi tersebut, Tjilik Riwut bertanggung jawab menjadi penunjuk jalan bagi tim yang berjumlah 13 orang (11 orang asal Kalimantan dan 2 orang Jawa) itu. Untuk mengenang peristiwa penting dalam sejarah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ini, tanggal 17 Oktober pun resmi ditetapkan sebagai Hari Pasukan Khas TNI-AU.
Pangkat terakhirnya di bidang militer adalah Marsekal Pertama Kehormatan TNI-AU. Setelah era peperangan telah berakhir dan Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, Tjilik Riwut beralih ke dunia politik demi membangun Kalimantan.
Salah satu jasa Tjilik Riwut yang masih dikenang di bidang pembangunan adalah membuka hutan serta membangun daerah di sekitar Desa Pahandut menjadi Palangkaraya, Ibukota Kalimantan Tengah. Pembangunan kota Palangkaraya ini adalah salah satu obsesi Tjilik Riwut yang berhasil tercapai. Obsesi lainnya yaitu membangun 2 bandara internasional, meski saat ini yang terwujud baru satu bandara saja.
Tekad besar dan loyalitas Tjilik Riwut pada Kalimantan tidak hanya terbukti dari pembangunan yang ia pimpin saja. Ia bahkan menyumbangkan harta dan uang pribadinya untuk memberi makan orang yang ikut membangun Palangkaraya. Keluarganya sendiri bahkan sampai kehabisan jatah beras yang diperuntukkan baginya sebagai gubernur karena ia membagikan beras tersebut pada orang-orang yang bekerja. Tjilik Riwut juga ikut turun langsung menebang pohon bersama dengan para pekerja lainnya.
Bukan saja nasionalis, ia juga sangat menjunjung tinggi kebudayaan dan leluhurnya. Ia selalu menekankan pentingnya untuk tetap mengingat asal-usul kita sebagai manusia. Baginya, kebudayaan adalah sebuah identitas yang harus terus dipelihara. Ideologinya ini tertuang dalam beberapa karyanya berupa buku yaitu Kalimantan Memanggil (1958), Kalimantan Membangun (1979), dan Manaser Panatau Tatu Hiang: Menyelami Kekayaan Leluhur (2003). Lewat tulisannya, ia banyak mengenalkan dan mengabadikan kebudayaan suku Dayak yang perlahan mulai luntur. Tjilik Riwut menghembuskan nafas terakhirnya tepat pada perayaan HUT RI ke 42, pada hari Senin tanggal 17 Agustus 1987, yang bertepatan dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Ia meninggal setelah dirawat di Rumah Sakit Suaka Insan karena menderita penyakit lever/hepatitis dalam usia 69 Tahun, dimakamkan di makam Pahlawan Sanaman Lampang, Palangka Raya, Kalimantan Tengah.
Karena jasanya di lingkungan AURI dan merintis perjuangan di Kalimantan Tengah, Angkatan Udara RI memberinya anugerah berupa pangkat Laksamana (marsekal) Pertama kehormatan.
Atas berbagai jasanya, Tjilik Riwut juga kemudian dianugerahi gelar Pahlawan Nasional di tahun 1998, di masa pemerintahan B.J. Habibie berdasarkan SK Presiden RI No. 108/TK/Tahun 1998, tanggal 6 Nopember 1998. Namanya diabadikan sebagai salah satu nama bandar udara dan jalan utama di Palangka Raya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar